Renungan

Sabtu, 08 Juni 2019

Melihat Nabi SAW dalam Keadaan Jaga Sesudah Beliau Wafat


Dalam sejarah sufi sering terdengar bahwa sufi pulan pernah bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan jaga alias tidak melalui mimpi. Banyak muncul pertanyaan dikalangan umat Islam, apakah mungkin seseorang itu karena karamahnya, memungkinkan dia bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan jaga, padahal Nabi SAW sendiri sudah lama wafat meninggalkan dunia yang fana ini. Kontroversial masalah ini sebenarnya sudah lama terjadi dalam dunia Islam. Imam al-Suyuthi, salah seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah pernah menjawab secara khusus masalah ini dengan mengarang sebuah bab khusus mengenai ini dengan judul “Tanwir al-Halak fi Imkan Ru’yah al-Nabi wal Malak”. Bab ini terdapat dalam kitab beliau bernama “al-Hawi lil Fatawa”. Pembahasan mengenai kemungkinan melihat Nabi SAW dalam keadaan jaga, juga dibahas oleh ahli fiqh Mazhab Syafi’i, Ibnu Hajar al-Haitamy dalam kitab beliau, Fatawa al-Haditsah. Adapun kesimpulan jawaban kedua ulama ini adalah dimungkinkan seseorang melihat Nabi SAW dalam keadaan jaga sesudah beliau wafat.
Imam al-Suyuthi dalam mempertahankan pendapat beliau tersebut berargumentasi dengan dalil-dalil sebagai berikut :
1.        Dari Abu Hurairah, Rasululllah SAW bersabda :
من رآني في المنام فسيراني في اليقظة ولا يتمثل الشيطان بي
Artinya : Barangsiapa melihat aku dalam mimpi, maka dia akan melihatku dalam keadaan jaga dan syaithan tidak dapat menyerupaiku (H.R. Bukhari, Muslim dan Abu Daud)[1]

Hadits serupa telah dikeluarkan oleh al-Thabrani dari hadits Malik bin Abdullah al-Khats’amy dan dari hadits Abi Bakrah dan juga oleh Al-Darimi dari hadits Abi Qatadah.[2]
Selanjutnya, beliau menjelaskan bahwa telah terjadi perbedaan pendapat para ulama mengenai penafsiran hadits di atas sebagai berikut :
a.         Sebagian mereka mengatakan, orang yang bermimpi melihat Nabi SAW akan melihat beliau pada hari qiamat. Penafsiran ini dibantah oleh al-Suyuthi dengan mengatakan tidak ada faedah mengkhususkan melihat Nabi SAW pada hari kiamat pada orang-orang yang melihat beliau dalam mimpinya dalam hadits tersebut, karena semua orang nantinya akan melihat beliau di hari kiamat, baik dia itu melihat Nabi SAW dalam mimpinya atau tidak.
b.        Sebagian yang lain mengatakan, orang-orang yang beriman dengan Nabi SAW pada ketika hidup beliau, sedangkan dia tidak sempat melihat beliau karena berjauhan tempat tinggalnya, maka sebagai khabar gembira, tidak boleh tidak bagi dia ini akan melihat Nabi SAW dalam keadaan jaga sebelum wafat beliau.
c.         Sekelompok ulama menafsirkan secara dhahir hadits, yakni barangsiapa yang melihat Nabi SAW dalam mimpinya, maka dia akan melihat beliau dalam keadaan jaga dengan mata kepalanya. Ada yang mengatakan dengan mata hatinya. Kedua pendapat terakhir ini telah dihikayah oleh Qadhi Abu Bakar Ibnu al-Arabi.
Setelah mengutip beberapa penafsiran hadits di atas, al-Suyuthi mengutip komentar Al-Imam Abu Muhammad bin Abi Jamrah dalam ta’liqnya atas hadits-hadits yang dirangkum dari al-Bukhari, beliau mengatakan hadits ini menunjukan siapa saja yang melihat Nabi SAW dalam mimpinya, maka dia akan melihatnya dalam keadaan jaga. Apakah ini mencakup pada masa hidup dan sesudah wafat beliau SAW atau khusus sesudah wafat ? dan ini mencakup untuk semua orang yang pernah melihat dalam mimpinya atau khusus untuk orang-orang tertentu dan pengikut sunnah ‘alaihisalam.? Kemudian Abu Muhammad bin Abi Jamarah menjawab, lafazh berlaku umum. Siapa saja yang mendakwa khusus tanpa ada mukhasshis (yang mengkhususkannya) dari Nabi SAW maka dia itu terlalu memaksa yang tidak perlu.[3]
Keterangan Al-Imam Abu Muhammad bin Abi Jamrah ini juga telah dikutip oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Haditsiyah. Dalam kitab ini, Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan konsekwensi orang yang mengingkari hal tersebut berarti dia mengingkari perkataan orang-orang terpercaya dan dia jahil dengan qudrah al-Qaadir serta mengingkari karamah para auliya, padahal itu ada ketetapan dari dalil sunnah yang terang benderang. Kemudian al-Haitami menjelaskan kepada kita bahwa yang dimaksud dengan umum (lafazh hadits berlaku umum sebagaimana komentar Abu Muhammad bin Abi Jamrah di atas) adalah dapat terlihat dalam keadaan jaga sebagaimana dijanjikan dalam hadits bagi orang-orang yang melihatnya dalam mimpi, meskipun cuma satu kali untuk memastikan janjinya yang tidak pernah salah.[4]



[1] Al-Suyuthi, al-Hawii lil Fatawa, Dar al-Kutub al-Ilmyah, Beirut, Juz. II, Hal. 255
[2] Al-Suyuthi, al-Hawii lil Fatawa, Dar al-Kutub al-Ilmyah, Beirut , Juz. II, Hal. 255
[3] Al-Suyuthi, al-Hawii lil Fatawa, Dar al-Kutub al-Ilmyah, Beirut , Juz. II, Hal. 255-256
[4] Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Haditsiyah, Maktabah Syamilah, Hal. 212

Jumat, 07 Juni 2019

Ramadhan bulan rahmat, pengampunan dosa dan terlepas dari neraka


Judul di atas merupakan terjemahan dari hadits di bawah ini. Hadits ini sangat populer ditengah masyarakat kita, apalagi saat umat Islam sedang dalam suasana melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan para dai-dai kita sering mengutip hadits ini untuk memaparkan fadhilah bulan Ramadhan. Adapun matan haditsnya adalah sebagai berikut :
أول شهر رمضان رحمة وأوسطه مغفرة وآخره عتق من النار
Awal bulan Ramadhan adalah rahmah, pertengahannya adalah keampunan dan ujungnya adalah terlepas dari neraka
Hadits ini telah diriwayat oleh Ibn Abi a-Dun-ya dalam kitab Fadhail Ramadhan, al-Khathib al-Baghdady dan Ibn ‘Asaakir dari jalur Abu Hurairah. Darinya juga diriwayat oleh al-Dailamy dan lainnya.[1] Mulla al-Qary mengatakan : Al-Munziry menjelaskan bahwa pada sanadnya terdapat ‘Ali bin Zaid bin Jud’aan. Hadits ini juga diriwayat oleh Ibnu Khuzaimah dan al-Baihaqi dari hadits Abu Hurairah, namun pada sanadnya terdapat Katsir bin Zaid.[2]
Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan ‘Ali bin Zaid bin Jud’aan mengambil hadits dari Anas bin Malik, Sa’id bin Musayyab, Abi Utsman al-Nahdy dan lain-lain. Selanjutnya dijelaskan bahwa Abu Hatim mengatakan ‘Ali bin Zaid bin Jud’aan tidak kuat, haditsnya ditulis, namun tidak dapat jadi hujjah. Al-Nisa-i mengatakan beliau dhaif dan Ibnu Khuzaimah mengatakan tidak menjadi hujjah karena buruk hafalannya.[3]
Adapun Katsir bin Zaid terjadi khilaf ahli hadits dalam menilai beliau ini.  ‘Ammar bin al-Mushily mengatakan terpercaya, namun al-Nisa’i mengatakan beliau ini dhaif. Abu Ja’far al-Thabari mengatakan, beliau termasuk orang yang tidak dapat dijadikan hujjah.[4]



[1] Al-Munawy, Faizh al-Qadir,Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 86, No. 2815
[2] Mulla al-Qary, Marqaah al-Mafatih Syarh Masykah al-Mashabih, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. IV, Hal. 398
[3] Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahzib al-Tahzib, Muassisah al-Risalah, Juz. III, Hal. 162-163
[4] Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahzib al-Tahzib, Muassisah al-Risalah, Juz. III, Hal. 459