Dalam
sejarah sufi sering terdengar bahwa sufi pulan pernah bertemu dengan Nabi SAW
dalam keadaan jaga alias tidak melalui mimpi. Banyak muncul pertanyaan
dikalangan umat Islam, apakah mungkin seseorang itu karena karamahnya,
memungkinkan dia bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan jaga, padahal Nabi SAW
sendiri sudah lama wafat meninggalkan dunia yang fana ini. Kontroversial
masalah ini sebenarnya sudah lama terjadi dalam dunia Islam. Imam al-Suyuthi,
salah seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah pernah menjawab secara khusus
masalah ini dengan mengarang sebuah bab khusus mengenai ini dengan judul
“Tanwir al-Halak fi Imkan Ru’yah al-Nabi wal Malak”. Bab ini terdapat dalam
kitab beliau bernama “al-Hawi lil Fatawa”. Pembahasan mengenai kemungkinan
melihat Nabi SAW dalam keadaan jaga, juga dibahas oleh ahli fiqh Mazhab
Syafi’i, Ibnu Hajar al-Haitamy dalam kitab beliau, Fatawa al-Haditsah. Adapun
kesimpulan jawaban kedua ulama ini adalah dimungkinkan seseorang melihat Nabi SAW dalam keadaan jaga sesudah beliau wafat.
Imam
al-Suyuthi dalam mempertahankan pendapat beliau tersebut berargumentasi dengan
dalil-dalil sebagai berikut :
1.
Dari Abu Hurairah, Rasululllah SAW bersabda :
من رآني في
المنام فسيراني في اليقظة ولا يتمثل
الشيطان بي
Artinya :
Barangsiapa melihat aku dalam mimpi, maka dia akan melihatku dalam keadaan jaga
dan syaithan tidak dapat menyerupaiku (H.R. Bukhari, Muslim dan Abu Daud)[1]
Hadits
serupa telah dikeluarkan oleh al-Thabrani dari hadits Malik bin Abdullah
al-Khats’amy dan dari hadits Abi Bakrah dan juga oleh Al-Darimi dari hadits Abi
Qatadah.[2]
Selanjutnya,
beliau menjelaskan bahwa telah terjadi perbedaan pendapat para ulama mengenai
penafsiran hadits di atas sebagai berikut :
a.
Sebagian mereka mengatakan, orang yang bermimpi melihat Nabi SAW
akan melihat beliau pada hari qiamat. Penafsiran ini dibantah oleh al-Suyuthi
dengan mengatakan tidak ada faedah mengkhususkan melihat Nabi SAW pada hari
kiamat pada orang-orang yang melihat beliau dalam mimpinya dalam hadits
tersebut, karena semua orang nantinya akan melihat beliau di hari kiamat, baik
dia itu melihat Nabi SAW dalam mimpinya atau tidak.
b.
Sebagian yang lain mengatakan, orang-orang yang beriman dengan Nabi
SAW pada ketika hidup beliau, sedangkan dia tidak sempat melihat beliau karena
berjauhan tempat tinggalnya, maka sebagai khabar gembira, tidak boleh tidak
bagi dia ini akan melihat Nabi SAW dalam keadaan jaga sebelum wafat beliau.
c.
Sekelompok ulama menafsirkan secara dhahir hadits, yakni
barangsiapa yang melihat Nabi SAW dalam mimpinya, maka dia akan melihat beliau
dalam keadaan jaga dengan mata kepalanya. Ada yang mengatakan dengan mata
hatinya. Kedua pendapat terakhir ini telah dihikayah oleh Qadhi Abu Bakar Ibnu
al-Arabi.
Setelah mengutip beberapa penafsiran hadits di atas, al-Suyuthi
mengutip komentar Al-Imam Abu Muhammad bin Abi Jamrah dalam ta’liqnya atas
hadits-hadits yang dirangkum dari al-Bukhari, beliau mengatakan hadits ini
menunjukan siapa saja yang melihat Nabi SAW dalam mimpinya, maka dia akan
melihatnya dalam keadaan jaga. Apakah ini mencakup pada masa hidup dan sesudah
wafat beliau SAW atau khusus sesudah wafat ? dan ini mencakup untuk semua orang
yang pernah melihat dalam mimpinya atau khusus untuk orang-orang tertentu dan
pengikut sunnah ‘alaihisalam.? Kemudian Abu Muhammad bin Abi Jamarah menjawab,
lafazh berlaku umum. Siapa saja yang mendakwa khusus tanpa ada mukhasshis (yang
mengkhususkannya) dari Nabi SAW maka dia itu terlalu memaksa yang tidak perlu.[3]
Keterangan Al-Imam Abu Muhammad bin Abi Jamrah ini juga telah
dikutip oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Haditsiyah. Dalam kitab
ini, Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan konsekwensi orang yang mengingkari hal
tersebut berarti dia mengingkari perkataan orang-orang terpercaya dan dia jahil
dengan qudrah al-Qaadir serta mengingkari karamah para auliya, padahal itu ada ketetapan
dari dalil sunnah yang terang benderang. Kemudian al-Haitami menjelaskan kepada
kita bahwa yang dimaksud dengan umum (lafazh hadits berlaku umum sebagaimana
komentar Abu Muhammad bin Abi Jamrah di atas) adalah dapat terlihat dalam
keadaan jaga sebagaimana dijanjikan dalam hadits bagi orang-orang yang
melihatnya dalam mimpi, meskipun cuma satu kali untuk memastikan janjinya yang
tidak pernah salah.[4]
Bila terlihat dlm keadaan jaga, apakah tidak mungkin, hanyalah halusinasi.
BalasHapusDi Akhirat, sekian bnyknya makhluk, dr segenap pelusuk, dr segenap zaman, apakah mungkin semua manusia dpt melihat makhluk yg paling mulia.
Yaqazah, apakah bukan halusinasi ?
BalasHapus