Renungan

Kamis, 01 Agustus 2019

Hukum Potong Kuku dan Rambut Ketika Ada Rencana Qurban


Mendekati Dzulhijjah tahun ini banyak tersebar fatwa bahwa hukum  memotong kuku dan rambut ketika hendak melakukan qurban adalah haram.  Sebenarnya tidak ada yang salah dengan fatwa ini, karena bagaimanapun pendapat haram memotong kuku dan rambut ketika hendak melakukan qurban masih dalam mazhab yang mu’tabarah dalam fiqh Islam. Namun ketika fatwa tersebut disampaikan kepada masyarakat Indonesia dan khususnya Aceh, yang mayoritas bermazhab Syafi’i  yang berpendapat hanya makruh, tanpa ada penjelasan bahwa masalah ini termasuk khilafiyah di kalangan ulama mazhab, tentu ini sungguh bukan suatu tindakan yang bijak dan pada ujungnya dapat meresahkan umat karena fatwa haram yang berasal dari mazhab Hanbali tersebut terasa sangat asing dan tidak begitu familiar di telinga orang  awam umumnya Indonesia dan khususnya Aceh yang mayoritas bermazhab Syafi’i. Berangkat dari fenomena ini, kami mencoba mendudukkan masalah  memotong kuku dan rambut ketika hendak melakukan qurban ini dengan menempatkan masalah ini sebagai masalah furu’ yang terjadi khilafiyah ulama.
Terjadi khilaf ulama mengenai hukum memotong kuku dan rambut ketika hendak melakukan qurban. Menurut Syafi’i makruh tanzih, sedangkan menurut Malik dan Abu Hanifah tidak makruh. Ahmad bin Hanbal berpendapat haram. Namun Malik berdasarkan riwayat lain disebutkan berpendapat makruh. Dalam Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Imam al-Nawawi mengatakan :
مَذْهَبُنَا أَنَّ إزَالَةَ الشَّعَرِ وَالظُّفْرِ فِي الْعَشْرِ لِمَنْ أَرَادَ التَّضْحِيَةَ مَكْرُوهٌ كَرَاهَةَ تَنْزِيهٍ حَتَّى يُضَحِّيَ وَقَالَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ لَا يُكْرَهُ وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ وَرَبِيعَةُ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَدَاوُد يَحْرُمُ وَعَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ يُكْرَهُ وَحَكَى عَنْهُ الدَّارِمِيُّ يَحْرُمُ فِي التَّطَوُّعِ وَلَا يَحْرُمُ فِي الْوَاجِبِ
Mazhab kita (mazhab Syafi’i) menghilangkan rambut dan kuku pada sepuluh hari sebelum qurban bagi orang-orang yang merencanakan qurban adalah makruh tanzih sampai selesai penyembelihan. Malik dan Abu Hanifah mengatakan tidak makruh. Sedangkan Sa’id bin al-Musayyab, Rabi’ah, Ahmad, Ishaq dan Daud berpendapat haram. Daam satu riwayat, Malik berpendapat makruh. Diceritakan dari al-Darimi haram pada qurban sunnah dan haram pada qurban wajib.[1]

Mulla al-Qari seorang ulama besar ilmu hadits dan fuqaha Hanafi mengatakan:
وَالْحَاصِلُ أَنَّ الْمَسْأَلَةَ خِلَافِيَّةٌ، فَالْمُسْتَحَبُّ لِمَنْ قَصَدَ أَنْ يُضَحِّيَ عِنْدَ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ أَنْ لَا يَحْلِقَ شَعْرَهُ، وَلَا يُقَلِّمَ ظُفْرَهُ حَتَّى يُضَحِّيَ، فَإِنْ فَعَلَ كَانَ مَكْرُوهًا. وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: هُوَ مُبَاحٌ، وَلَا يُكْرَهُ، وَلَا يُسْتَحَبُّ. وَقَالَ أَحْمَدُ: بِتَحْرِيمِهِ كَذَا فِي رَحْمَةِ الْأُمَّةِ فِي اخْتِلَافِ الْأَئِمَّةِ
Al-hasil ini masalah khilafiyah: menurut Imam Malik dan Syafi’i disunahkan tidak memotong rambut dan kuku bagi orang yang berkurban, sampai selesai penyembelihan. Bila dia memotong kuku ataupun rambutnya sebelum penyembelihan dihukumi makruh. Sementara Abu Hanifah berpendapat memotong kuku dan rambut itu hanyalah mubah (boleh), tidak makruh jika dipotong, dan tidak sunah pula bila tidak dipotong. Adapun Imam Ahmad mengharamkannya. Demikian terdapat dalam kitab Ikhhtilaf al-Aimmah.[2]

Dalil yang mengharamkannya
Dalil yang mengharamkannya karena berpegang kepada dhahir hadits riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda :
وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا - قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ، وَأَرَادَ بَعْضُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا وَفِي رِوَايَةٍ: فَلَا يَأْخُذَنَّ شَعْرًا، وَلَا يَقْلِمَنَّ ظُفْرًا،
Dari Ummu Salamah r.a., beliau berkata, Rasulullah SAW pernah bersabda : “apabila seseorang telah memasuki awal sepuluh Zulhijjah dan merencanakan berqurban, maka hendaknya tidak menyentuh sedikitpun rambut dan kulitnya. Dalam satu riwayat : “maka hendaknya tidak memotong rambut dan kuku. (H.R. Muslim).[3]

Dalil yang mengatakan larangan ini hanya bersifat makruh
Golongan ini menempatkan hadits riwayat Muslim di atas hanya bersifat makruh, alias tidak sampai kepada haram. Hal ini karena ada hadits lain yang membolehkan atau tidak mengharamkan potong kuku dan rambut berdasar hadits dari Aisyah r.a. beliau berkata :
كُنْتُ أَفْتِلُ قَلاَئِدَ هَدْيِ رَسُولِ اللهِ  ثُمَّ يُقَلِّدُه ويَبْعَثُ بِه وَلاَ يُحْرِمُ عَلَيْهِ شَيْءٌ أَحَلَّهُ اللهُ لَهُ حَتىَّ يَنْحَرَ هَدْيه
Aku pernah menganyam tali kalung hewan udhiyah Rasulullah SAW, kemudian beliau mengikatkannya dengan tangannya dan mengirimkannya dan tidak diharamkan atasnya sesuatu atas apa-apa yang dihalalkan Allah SWT, hingga beliau menyembelihnya. (HR. Bukhari Muslim)[4]

            Sabda Nabi SAW “dan tidak diharamkan atasnya sesuatu atas apa-apa yang dihalalkan Allah SWT, hingga beliau menyembelihnya.” bermakna dengan sebab mengirim qurban (tentu didalamnya sudah niat) tidak menyebabkan haram yang sudah dihalalkan Allah seperti memotong kuku, memotong rambut dan lain-lain.







[1] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. VIII, Hal. 363
[2] Mulla al-Qari, Mirqah al-Mafatih Syarah Misyakah al-Mashabih, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. V, Hal. 511
[3] Mulla al-Qari, Mirqah al-Mafatih Syarah Misyakah al-Mashabih, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. V, Hal. 511
[4] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. VIII, Hal. 364