Mendekati Dzulhijjah tahun ini banyak
tersebar fatwa bahwa hukum memotong kuku
dan rambut ketika hendak melakukan qurban adalah haram. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan fatwa
ini, karena bagaimanapun pendapat haram memotong kuku dan rambut ketika hendak
melakukan qurban masih dalam mazhab yang mu’tabarah dalam fiqh Islam. Namun ketika
fatwa tersebut disampaikan kepada masyarakat Indonesia dan khususnya Aceh, yang
mayoritas bermazhab Syafi’i yang
berpendapat hanya makruh, tanpa ada penjelasan bahwa masalah ini termasuk khilafiyah
di kalangan ulama mazhab, tentu ini sungguh bukan suatu tindakan yang bijak dan
pada ujungnya dapat meresahkan umat karena fatwa haram yang berasal dari mazhab
Hanbali tersebut terasa sangat asing dan tidak begitu familiar di telinga orang
awam umumnya Indonesia dan khususnya Aceh
yang mayoritas bermazhab Syafi’i. Berangkat dari fenomena ini, kami mencoba
mendudukkan masalah memotong kuku dan
rambut ketika hendak melakukan qurban ini dengan menempatkan masalah ini
sebagai masalah furu’ yang terjadi khilafiyah ulama.
Terjadi khilaf ulama mengenai hukum memotong kuku dan
rambut ketika hendak melakukan qurban. Menurut Syafi’i makruh tanzih, sedangkan
menurut Malik dan Abu Hanifah tidak makruh. Ahmad bin Hanbal berpendapat haram.
Namun Malik berdasarkan riwayat lain disebutkan berpendapat makruh. Dalam Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Imam al-Nawawi mengatakan :
مَذْهَبُنَا أَنَّ
إزَالَةَ الشَّعَرِ وَالظُّفْرِ فِي الْعَشْرِ لِمَنْ أَرَادَ التَّضْحِيَةَ
مَكْرُوهٌ كَرَاهَةَ تَنْزِيهٍ حَتَّى يُضَحِّيَ وَقَالَ مَالِكٌ وَأَبُو
حَنِيفَةَ لَا يُكْرَهُ وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ وَرَبِيعَةُ وَأَحْمَدُ
وَإِسْحَاقُ وَدَاوُد يَحْرُمُ وَعَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ يُكْرَهُ وَحَكَى عَنْهُ
الدَّارِمِيُّ يَحْرُمُ فِي التَّطَوُّعِ وَلَا يَحْرُمُ فِي الْوَاجِبِ
Mazhab kita (mazhab Syafi’i)
menghilangkan rambut dan kuku pada sepuluh hari sebelum qurban bagi orang-orang
yang merencanakan qurban adalah makruh tanzih sampai selesai penyembelihan.
Malik dan Abu Hanifah mengatakan tidak makruh. Sedangkan Sa’id bin al-Musayyab,
Rabi’ah, Ahmad, Ishaq dan Daud berpendapat haram. Daam satu riwayat, Malik
berpendapat makruh. Diceritakan dari al-Darimi haram pada qurban sunnah dan
haram pada qurban wajib.[1]
Mulla al-Qari seorang ulama besar ilmu hadits dan
fuqaha Hanafi mengatakan:
وَالْحَاصِلُ أَنَّ
الْمَسْأَلَةَ خِلَافِيَّةٌ، فَالْمُسْتَحَبُّ لِمَنْ قَصَدَ أَنْ يُضَحِّيَ
عِنْدَ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ أَنْ لَا يَحْلِقَ شَعْرَهُ، وَلَا يُقَلِّمَ
ظُفْرَهُ حَتَّى يُضَحِّيَ، فَإِنْ فَعَلَ كَانَ مَكْرُوهًا. وَقَالَ أَبُو
حَنِيفَةَ: هُوَ مُبَاحٌ، وَلَا يُكْرَهُ، وَلَا يُسْتَحَبُّ. وَقَالَ أَحْمَدُ:
بِتَحْرِيمِهِ كَذَا فِي رَحْمَةِ الْأُمَّةِ فِي اخْتِلَافِ الْأَئِمَّةِ
Al-hasil ini masalah khilafiyah:
menurut Imam Malik dan Syafi’i disunahkan tidak memotong rambut dan kuku bagi
orang yang berkurban, sampai selesai penyembelihan. Bila dia memotong kuku
ataupun rambutnya sebelum penyembelihan dihukumi makruh. Sementara Abu Hanifah
berpendapat memotong kuku dan rambut itu hanyalah mubah (boleh), tidak makruh
jika dipotong, dan tidak sunah pula bila tidak dipotong. Adapun Imam Ahmad
mengharamkannya. Demikian terdapat dalam kitab Ikhhtilaf al-Aimmah.[2]
Dalil yang mengharamkannya
Dalil yang mengharamkannya karena berpegang kepada dhahir hadits
riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda :
وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا - قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ
الْعَشْرُ، وَأَرَادَ بَعْضُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ
وَبَشَرِهِ شَيْئًا وَفِي رِوَايَةٍ:
فَلَا يَأْخُذَنَّ شَعْرًا، وَلَا يَقْلِمَنَّ ظُفْرًا،
Dari Ummu Salamah r.a., beliau berkata, Rasulullah SAW pernah bersabda :
“apabila seseorang telah memasuki awal sepuluh Zulhijjah dan merencanakan
berqurban, maka hendaknya tidak menyentuh sedikitpun rambut dan kulitnya. Dalam
satu riwayat : “maka hendaknya tidak memotong rambut dan kuku. (H.R.
Muslim).[3]
Dalil yang mengatakan larangan
ini hanya bersifat makruh
Golongan ini menempatkan hadits riwayat Muslim di atas hanya
bersifat makruh, alias tidak sampai kepada haram. Hal ini karena ada hadits
lain yang membolehkan atau tidak mengharamkan potong kuku dan rambut berdasar hadits
dari Aisyah r.a. beliau berkata :
كُنْتُ أَفْتِلُ قَلاَئِدَ هَدْيِ رَسُولِ اللهِ ثُمَّ
يُقَلِّدُه ويَبْعَثُ بِه وَلاَ يُحْرِمُ عَلَيْهِ شَيْءٌ أَحَلَّهُ اللهُ لَهُ
حَتىَّ يَنْحَرَ هَدْيه
Aku pernah menganyam tali
kalung hewan udhiyah Rasulullah SAW, kemudian beliau mengikatkannya dengan tangannya
dan mengirimkannya dan tidak diharamkan atasnya sesuatu atas apa-apa yang
dihalalkan Allah SWT, hingga beliau menyembelihnya. (HR. Bukhari Muslim)[4]
Sabda Nabi SAW “dan tidak diharamkan atasnya sesuatu atas apa-apa yang dihalalkan Allah
SWT, hingga beliau menyembelihnya.” bermakna dengan sebab mengirim
qurban (tentu didalamnya sudah niat) tidak menyebabkan haram yang sudah
dihalalkan Allah seperti memotong kuku, memotong rambut dan lain-lain.
[2]
Mulla al-Qari, Mirqah
al-Mafatih Syarah Misyakah al-Mashabih, Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
Beirut, Juz. V, Hal. 511
[3]
Mulla al-Qari, Mirqah
al-Mafatih Syarah Misyakah al-Mashabih, Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
Beirut, Juz. V, Hal. 511
terimong geunaseh tgk.
BalasHapusbeu sehat sabe
amin
LukQQ
BalasHapusSitus Ceme Online
Agen DominoQQ Terbaik
Bandar Poker Indonesia
alhamdulillah info nya
BalasHapuscargo cepat jakarta
Agen Togel Online
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusIzin share teungku..
BalasHapusSitus togel online ini adalah situs togel terpercaya dan terbaik. Segera daftarkan dirimu di sini ya bandar togel terpercaya. Setelah itu, kamu akan menjadi orang paling beruntung karena akan mendapat bonus melimpah.
BalasHapusAlhamdulillah bermanfaat
BalasHapusJrohj gure
BalasHapusAssalamualaikum, seorang bernazar, berkurban seekor sapi yg Mu'aiyan (tertakyen). Apakah boleh menambahkan nama orang lain 6 orang lagi agar pas 7 orang?. Bantuan referensinya yaitu matan kitab kuning...
BalasHapus.
BalasHapustidak boleh, karena sapi qurban tersebut semua sudah menjadi nazarnya . karena itu semua dagingnya wajib di sadaqahkan kepada yg berhak (menjadi hak mustahiq qurban), tidak boleh diniatkan lagi untuk kegunaan lainnya seperti untuk ibadah orang lain. Zainuddin al-Malibarri dalam Kitab Fathul Mu’in menjelaskan :
Hapusويحرم الأكل من أضحية أو هدي وجبا بنذره.
Haram makan qurban atau hadyu yang wajib dengan sebab nazar.
Kemudian, penjelasan di atas, dikomentari oleh Abu Bakar Syatha dalam Hasyiah I’anah al-Thalibin :
(قوله: ويحرم الأكل إلخ) إي يحرم أكل المضحى والمهدي من ذلك، فيجب عليه التصدق بجميعها، حتى قرنها، وظلفها. فلو أكل شيئا من ذلك غرم بدله للفقراء
(Perkataan pengarang : haram makan..dst), artinya yang berqurban dan yang memberikan hadyu haram memakannya. Karena itu, wajib atasnya menyalurkan semuanya sebagai sadaqah hingga termasuk tanduk dan kukunya. Apabila dimakan maka dibayar untuk disalurkan kepada fakir miskin sebagai gantinya. (I’anah al-Thalibin II/378)