Renungan

Senin, 27 Desember 2021

Mudharat Mestinya Dihilangkan (Rangkuman Penjelasan Imam al-Suyuthi)

 

Penjelasan terkait kandungan judul diatas, dalam kitabnya, al-Asyabah wa al-Nadhair Imam al-Suyuthi memulai dengan qaidah fiqh yang cukup populer di kalangan penuntul ilmu fiqh, yakni :

اَلضَّرَرُ يُزَالُ

Mudharat mesti dihilang

Qaidah ini didasarkan kepada hadits Nabi SAW berbunyi :

لاَضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

Hadits ini diriwayat oleh Imam Malik dari ‘Amr bin Yahya dari bapaknya secara mursal dan juga telah keluarkan oleh al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak serta al-Baihaqi dan al-Darulquthny dari hadits Abu Sa’id al-Khudri. Juga telah dikeluarkan hadits ini oleh Ibnu Majah dari hadits Ibnu Abbas dan ‘Ubadah bin al-Shaamit.

Banyak bab fiqh yang berlandasan qawaid ini antara lain : raad dengan alasan ‘aib serta jenis-jenis khiyar lainnya karena berbeda sifat yang disyaratkan dalam akad, ta’zir, masalah pailit, pengampuan dengan jenis-jenisnya dan syafa’ah. Semua ini disyari’atkan demi menghilangkan mudharat.

Ada beberapa qaidah lain yang terkait dengan qaidah di atas, yaitu :

Qaidah pertama :

الضَّرُوْرَاتُ تُبِيحُ الْمَحْظُوْرَاتِ  بشرط غدم نقصانها عنها

Mudharat dapat memubahkan yang haram dengat syarat mudharat tersebut tidak kurang dari yang diharamkan

 

Artinya kualitas mudharat yang ditimbulkan apabila dilakukan suatu perbuatan tidak kurang dibandingkan mudharat yang ditimbulkan dengan melakukan yang diharamkan. Misalnya boleh makan bangkai ketika sangat lapar, boleh minum khamar dan mengucapkan kalimat kufur karena paksaan. Berdasarkan qaidah ini pula, seandainya bangkai merupakan mayat seorang nabi, maka tidak halal dimakan demi memelihara nyawa, karena kehormatan mayat seorang nabi lebih diutamakan dalam pandangan syara’ dibandingkan nyawa yang bukan nabi. Demikian juga tidak dihalalkan membunuh dan berzina seandainya seseorang dipaksa membunuh atau berzina, karena mafsadah yang ditimbulkan karena kedua hal tersebut sebanding dengan memelihara jiwa orang yang dipaksa atau bahkan bisa jadi lebih. Termasuk juga dalam qaidah ini, mayat dikebumikan tanpa kapan. Berdasarkan ini, mayat tersebut tidak boleh digali kembali untuk dikafani, karena mafsadah menghilangkan kehormatan mayat lebih besar dibandingkan mafsadah tidak mengkafani mayat yang sudah ditutupi tanah yang dapat dianggap pengganti kapan.

 

Qaidah kedua :

 

مَااُبِحُ لِلضَّرُوْرَةِ بقدر تعذرها

Apa yang diperbolehkan karena kemudlaratan diukur menurut kadar mudharatnya.

 

Contohnya antara lain tidak boleh makan bangkai bagi orang mudharat kecuali sekedar cukup memelihara nyawa, boleh ambil makanan di negeri harbi (negeri yang sudah dinyatakan perang oleh pemerintah muslim) sekedar kebutuhan, dimaafkan bagian tubuh yang diistinjak dengan batu akan tetapi kalau seseorang menanggung batu istinjak tersebut dalam shalat, maka shalatnya batal. Termasuk juga dalam qaidah ini dimaafkan bangkai binatang yang tidak ada darah yang mengalir. Namun apabila sengaja dibuang bangkai tersebut dalam air, maka tidak dimaafkan.

Yang mendekati dengan makna qaidah ini qaidah yang berbunyi :

ما جاز لعذر بطل بزواله

Sesuatu yang dibolehkan karena faktor kesukaran, maka batal dengan sebab hilang kesukaran tersebut

 

Contohnya : tayamum batal dengan sebab wujud air sebelum masuk dalam shalat dan kesaksian atas kesaksian dari saksi yang tidak dapat hadir karena sakit atau uzur lainnya batal apabila saksi yang sesungguhnya tersebut  hadir sebelum hakim memutuskan perkara.

 

Qaidah ketiga :

 

اَلضَّرَرُلا يُزَالُ بالضرر

Kemudharatan tidak dihilangkan dengan kemudharatan yang lain

Contohnya : seseorang yang menimpa kemudharatan tidak boleh makan makanan milik orang lain yang mudharat juga kecuali yang menimpa kemudharatan tersebut adalah seorang Nabi. Maka boleh seorang nabi mengambilnya untuk dirinya dan wajib pemilik makanan memberikan kepada Nabi,

Qaidah keempat :

اِذَا تَعَارَضَ الْمُفْسِدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا

Jika ada dua kemadharatan yang bertentangan, maka diperhatikan kemadaratan yang paling besar dengan mengabaikan kemudharatan yang paling ringan

 

 Qaidah kelima :

دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan daripada mengambil kemaslahatan

Berdasarkan qaidah ini, apabila bertentangan antara mafsadah dan kemaslahatan, maka pada ghalibnya didahulukan menolak mafsadah. Karena syariat lebih mementingkan perkara larangan dari pada perkara yang wajib. Dalilnya Nabi SAW bersabda :

اذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم واذا نهيتكم عن شيئ فاجتبوه

Apabila aku memerintahkan kamu dengan suatu perintah, maka laksanakanlah menurut kemampuanmu dan apabila aku larang dari sesuatu, maka jauhilah.

 

Karena itu, syariat mentoleransikan meninggalkan sebagian kewajiban dengan sebab kesukaran yang ringan seperti berdiri pada shalat, kebolehan berbuka, dan dalam bab bersuci. Akan tetapi tidak ditoleransikan dalam melakukan perbuatan larangan, terlebih lagi yang termasuk dosa besar.

Termasuk yang didasarkan kepada qaidah ini, mubalaghah berkumur-kumur dan isytinsyaq disunahkan namun makruh bagi orang yang berpuasa, takhlil rambut sunnah dalam thaharah namun makruh bagi orang ihram.

Namun demikian, apabila kemaslahatan lebih unggul dibandingkan mafsadah, maka yang diutamakan adalah kemaslahatan. Contohnya melakukan shalat dengan ketiadaan syarat-syarat shalat berupa bersuci, menutup aurat dan menghadap kiblat. Ketiadaan syarat-syarat tersebut merupakan mafsadah, karena tanpa syarat-syarat terebut mencederai sifat jalal Allah dimana seseorang tidak bermunajat kepada Allah kecuali dia dalam keadaan yang sempurna. Namun demikian, apabila seseorang sukar memenuhi syarat-syarat tersebut dibolehkan shalat, karena mendahulukan kemaslahatan shalat atas mafsadah di atas. Contoh lain adalah berdusta adalah mafsadah yang diharamkan, namun apabila mengandung kemaslahatan yang lebih utama dibandingkan mafsadahnya, maka dibolehkan seperti berdusta demi mendamaikan antara dua manusia yang bersengketa dan berdusta demi kebaikan isteri.

Menurut Imam al-Suyuthi, Pada hakikatnya, jenis ini termasuk :

ارْتِكَابِ أَخَفِّ الْمُفْسِدَتَين

(Al- Asybah wa al-Nadhair karangan Imam al-Suyuthi Hal. 59-62 , Terbitan al-Haramain)

 

Kamis, 23 Desember 2021

Kisah Israiliyat dalam Tafsir

 Dalam kitab tafsir, kisah-kisah Israiliyat seringkali digunakan untuk menjelaskan tentang suatu hal menyangkut peristiwa masa lampau sebelum diutusnya Rasulullah SAW. Kebanyakan peristiwa tersebut dalam al-qur’an disebut hanya sekilas saja. Dengan ada penambahan kisahnya melalui kisah kisah Israiliyat ini, maka alur ceritanya menjadi lebih menarik dan diharapkan menjadi nasehat bagi pembacanya. Kisah-kisah israiliyat menyebar tidak lepas berawal dari keingintahuan umat Islam untuk menggali informasi terutama tentang kisah-kisah dalam Al-Quran yang tidak merinci peristiwanya. Keingintahuan itu tersalurkan dengan menanyakan informasi yang dibutuhkan kepada ahlul kitab, Yahudi dan Nasrani yang hidup di tengah-tengah umat Islam ketika itu. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya mengatakan, manakala para ahli tafisr menginginkan mengetahui berita-berita yang dirindukan jiwa kemanusiannya perihal sebab-sebab kejadian pada alam, permulaan penciptaan, dan rahasia-rahasia wujud, maka mereka bertanya kepada ahli kitab sebelumnya dan mengambil faedah dari mereka. Mereka adalah para Yahudi dan kaum Nashara yang mengikuti agama mereka.[1]

Pengertian dan sumber Israiliyat dalam tafsir

Yang dimaksud dengan israiliyat di sini adalah berupa kisah-kisah kuno yang masuk dalam tafsir yang asal periwayatannya bersumber dari ahli kitab, yakni Yahudi dan Nasrani.Disebut Israiliyat karena kebanyakan riwayat tersebut sumbernya dari Bani israil (Yahudi). Manna’ al-Qathan dalam kitabnya, Mabahits fi Ulumi  al-Qur’an mengatakan, berita-berita yang disampaikan oleh ahli kitab setelah mereka masuk Islam disebut Israiliyat termasuk bab taghlib (dominan) perkataan Yahudi atas Nashrani, karena nukilan dari Yahudi lebih banyak dibandingkan nukilan dari Nashrani. Sebabnya para yahudi lebih banyak bergaul dengan kaum Muslimim pada masa awal kemunculan Islam dan hijrah ke Madinah.[2] Dr Zahabi mengatakan, Israiliyat adalah berupa kisah-kisah kuno yang masuk dalam tafsir dan hadits yang asal periwayatannya bersumber dari Yahudi, Nasrani dan lainnya.[3]

Manna’ al-Qathanmenyebutkan, para ahli tafsir biasanya meriwayatkan kisah kisah Israiliyat ini dari empat tokoh yaitu, Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Ahbar, Wahab bin Munabbih dan Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij.[4]

 

Pembagian Kisah-Kisah Israiliyat ditinjau dari aspek keshahihannya dan hukum periwayatannya

 

Melihat dari aspek keshahihannya,  Ibnu Katsir membagi kisah-kisah Israiliyat terbagi kepada tiga, yakni :

1.       Yang diketahui keshahihannya, karena didukung oleh Kitabullah dan Sunnah Rasul

2.       Yang diketahui kedustaannya, karena bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul

3.       Maskuut ’anhu (tidak dibenarkan dan juga tidak didustakannya). Ini dibolehkan meriwayatkannya.[5]

Hukum meriwayatkan kisah Israiliyat dapat dikatagorikan dalam tiga katagori sesuai dengan pembagian kisah Israiliyat di atas, yaitu :

1). Kisah Israiliyat yang sesuai dengan syari’at Islam/diketahui keshahihannya

Katagori ini dibenarkan periwayatannya dan dimasukkan dalam tafsir. Karena kandungan riwayat tersebut bersesuaian dengan berita yang tersebut dalam Kitabullah dan al-Sunnah. Ini berdasarkan firman Allah SWT :

فَإِن كُنتَ فِي شَكّٖ مِّمَّآ أَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ فَسۡـَٔلِ ٱلَّذِينَ يَقۡرَءُونَ ٱلۡكِتَٰبَ مِن قَبۡلِكَۚ لَقَدۡ جَآءَكَ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡمُمۡتَرِينَ

 

Maka jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu temasuk orang-orang yang ragu-ragu. (Q.S. Yunus : 94).

 

Al-Kazhin dalam tafsirnya mengatakan, “Para ahli tahqiq dari mufassir mengatakan, orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu itu adalah para ahli kitab yang telah beriman seperti Abdullah bin Salam dan kawan-kawan, karena mereka terpercaya dengan berita-beritanya.[6] Al-Qurthubi dalam menjelaskan ayat di atas menafsirkan, “Hai penyembah berhala, apabila kamu ragu kandungan al-Qur’an, maka tanyalah kepada kaum Yahudi yang telah masuk Islam, yakni Abdullah bin Salam dan yang sepertinya. Karena penyembah-penyembah berhala tersebut mengakui bahwa kaum Yahudi lebih mengetahui karena yahudi itu termasuk ahli kitab.[7]

Kebolehan meriwayat kisah Israiliyat dalam katagori ini juga telah dikemukan oleh al-Muhallab sebagaimana dikutip oleh Ibnu Bathal, yaitu sebagai berikut : “Adapun bertanya kepada Ahli Kitab tentang berita-berita yang membenarkan syari’at kita dan membenarkan berita-berita yang datang dari Nabi kita SAW berupa berita-berita umat terdahulu, maka tidak terlarang.”[8]

 

2). Kisah Israiliyat yang bertentangan dengan syari’at Islam

Kisah israiliyat dalam katagori ini tidak diragukan lagi keharaman meriwayatkannya. Ini sesuai dengan hadits Nabi SAW berbunyi : Dari Ibnu Abbas r.a. berkata :

يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ، ‌كَيْفَ ‌تَسْأَلُونَ ‌أَهْلَ ‌الْكِتَابِ، وَكِتَابُكُمُ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَى نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْدَثُ الْأَخْبَارِ بِاللهِ، تَقْرَؤُونَهُ لَمْ يُشَبْ، وَقَدْ حَدَّثَكُمُ اللهُ أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ بَدَّلُوا مَا كَتَبَ اللهُ وَغَيَّرُوا بِأَيْدِيهِمُ الْكِتَابَ، فَقَالُوا: هُوَ مِنْ عِنْدِ اللهِ {لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلا} أَفَلَا يَنْهَاكُمْ مَا جَاءَكُمْ مِنَ الْعِلْمِ عَنْ مُسَاءَلَتِهِمْ، وَلَا وَاللهِ مَا رَأَيْنَا مِنْهُمْ رَجُلًا قَطُّ يَسْأَلُكُمْ عَنِ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَيْكُمْ.

Wahai sekalian kaum muslimin, bagaimana bisa kalian bertanya kepada ahli kitab sedangkan kitab kalian yang diturunkan kepada nabi-Nya shallallahu 'alaihi wasallam adalah kitab paling baru tentang Allah. Kalian membacanya dengan tidak dicampur aduk, dan Allah telah memberitahu kalian bahwa orang-orang ahli kitab telah merubah apa yang telah Allah tetapkan, dan mereka merubahnya dengan tangan mereka, lalu mereka berkata ini dari Allah dengan maksud (menjualnya dengan harga yang sedikit). Bukankah dengan ilmu yang telah datang kepada kalian berarti Dia melarang kalian untuk bertanya kepada mereka?.Tidak, demi Allah, kami tidak melihat seorangpun dari mereka yang bertanya tentang apa yang diturunkan kepada kalian". (H.R. Bukhari )[9]

 

3). Tidak dibenarkan dan juga tidak dustakan (maskut ‘anhu)

Kisah Israiliyat dalam katagori ini sebagaimana pendapat Ibnu Katsir di atas dan ulama lainnya yang disebut di bawah ini adalah boleh meriwatkannya dengan catatan tidak dalam posisi membenarkan atau mendustakan berita tersebut sebagaimana banyak terdapat dalam kitab-kitab tafsir para ulama. Dalilnya adalah sebagai berikut :

a.       Dari Abu Hurairah r.a Rasulullah SAW bersabda :

لَا تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ، وَقُولُوا: آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ

Karena itu, jangan kalian benarkan ahli kitab dan jangan pula kalian dustakan. Katakan kepada mereka : “Kami Beriman kepada Allah dan apa yang telah diturunkan kepada kami. (H.R. Bukhari)[10]

b.      Dari Abdullah bin Amr meriwayatkan sesungguhnya Nabi SAW bersabda :

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً ‌وَحَدِّثُوا ‌عَنْ ‌بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.

Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra'il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka". (H.R. Bukhari)[11]

 

Ibnu Hajar al-Asqalany dalam mensyarah hadits ini berkomentar, diberikan kelonggaran untuk menerima berita dari Bani Israil. Karena sebelumnya Rasulullah SAW melarang menerima berita dari mereka dan melihat dalam kitab-kitab mereka, kemudian ada kelonggaran. Hal ini kemungkinan larangan tersebut yang terjadi sebelum mantap hukum-hukum Islam dan qawaid agama karena takut fitnah. Kemudian pada saat hilang kekuatiran tersebut, maka diberikan izin menerima berita dari mereka, karena ada yang dapat diambil i’tibar dari mendengar berita-berita yang terjadi pada zaman mereka.[12]

Imam Syafi’i dalam mengomentari hadits ini mengatakan, termasuk yang kita maklumi bahwa Nabi SAW tidak membolehkan menyampaikan berita dusta. Karena itu, makna hadits ini adalah : “Sampaikan berita dari Bani Israil apa-apa yang tidak diketahui kedustaannya. Adapun yang kalian diizinkan, maka tidak salah kalian menerima berita dari mereka. Hadits ini serupa maksudnya dengan hadits “Apabila ada berita yang disampaikan oleh ahli kitab, maka jangan kamu benarkan dan jangan kamu dustai mereka.”[13]

Mulla al-Qary seorang ulama hadits terkenal dari kalangan Mazhab Hanafi mengatakan, Ini bukan bermakna membolehkan kedustaan mereka, akan tetapi untuk menolak waham tidak ada kelonggaran menerima berita dari mereka, meskipun tidak diketahui sah dan isnadnya karena jauh zamannya. Demikian dalam kitab Syarah al-Sunnah dan diikuti pula oleh Zain al-Arab dan sesuai dengan isyarat al-Muzdhir, yakni dikaitkan dengan apabila tidak dimaklum dengan yakin atau dhan dusta apa yang mereka katakan. Selanjutnya Mulla al-Qary menulis, al-Sayyid Jamaluddin mengatakan, jalan kompromi antara larangan menyibuk diri dengan berita dari Bani Israil dan kelonggaran yang dipahami dari hadits ini adalah yang dimaksud dengan menerima berita adalah menerima berita tentang kisah-kisah dalam ayat-ayat keajaiban seperti kisah “Uj bin ‘Unuq, bunuh diri Bani Israil karena taubat mereka dari penyembahan lembu dan tafsil kisah-kisah yang ada dalam al-Qur’an. Karena yang demikian ada ada i’tibar dan nasehat bagi orang punya mata hati. Dan apapun yang dimaksud dengan larangan menerima beritanya adalah larangan menukil hokum-hukum dari kitab mereka, karena semua syariat dan agama telah mansukh dengan syari’at Nabi SAW.[14]

Dalam mensyarah hadits ini, Al-Munawi mengutip perkataan al-Thiiby, yakni tidak saling bertentangan antara izin di sini dan larangan menerima beritanya pada hadits lain serta larangan melihat kitab Bani Israil, karena yang dimaksud di sini adalah menerima kisah-kisah mereka seperti bunuh diri karena taubat mereka dan yang dimaksud dengan larangan adalah larangan beramal dengan hukum-hukum karena sudah mansukh dengan syari’at Nabi SAW. Atau larangan tersebut terjadi pada awal Islam sebelum mantap hukum-hukum agama dan qawaid Islam. Karena itu, manakala sudah mantap, maka diizinkan karena sudah aman dari kekuatirannya.[15]

 

 

 

 



[1] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 439

[2] Manna’ al-Qathan, Mabahits fi ‘ulum al-Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo, 345

[3]Dr. Muhammad Husain al-Zahabi,Al-Israiliyat fil Tafsir wal-Hadits, Maktabah Wahbah, Kairo, Hal.13

[4]Manna’ al-Qathan, Mabahits fi ‘ulum al-Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo, 346

[5] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 528

[6]Al-Kazhin, Tafsir al-Kazhin, Dar al-Kutub al-ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 464

[7]Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Maktabah Syamilah, Juz. VIII, Hal. 382

[8] Ibnu Bathal, Syarah Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. X, Hal. 391

[9] Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 181, No. 2685

[10] Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 20, No. 4485

[11] Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 170, No. 3461

[12] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz, VI, Hal. 198

[13]Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 199

[14] Mulla al-Qari, Mirqatul Mafatih, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal, 281

[15] Al-Munawy, Faid al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 206