Dalam kitab tafsir, kisah-kisah Israiliyat seringkali digunakan untuk menjelaskan tentang suatu hal menyangkut peristiwa masa lampau sebelum diutusnya Rasulullah SAW. Kebanyakan peristiwa tersebut dalam al-qur’an disebut hanya sekilas saja. Dengan ada penambahan kisahnya melalui kisah kisah Israiliyat ini, maka alur ceritanya menjadi lebih menarik dan diharapkan menjadi nasehat bagi pembacanya. Kisah-kisah israiliyat menyebar tidak lepas berawal dari keingintahuan umat Islam untuk menggali informasi terutama tentang kisah-kisah dalam Al-Quran yang tidak merinci peristiwanya. Keingintahuan itu tersalurkan dengan menanyakan informasi yang dibutuhkan kepada ahlul kitab, Yahudi dan Nasrani yang hidup di tengah-tengah umat Islam ketika itu. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya mengatakan, manakala para ahli tafisr menginginkan mengetahui berita-berita yang dirindukan jiwa kemanusiannya perihal sebab-sebab kejadian pada alam, permulaan penciptaan, dan rahasia-rahasia wujud, maka mereka bertanya kepada ahli kitab sebelumnya dan mengambil faedah dari mereka. Mereka adalah para Yahudi dan kaum Nashara yang mengikuti agama mereka.[1]
Pengertian dan sumber Israiliyat dalam tafsir
Yang dimaksud dengan israiliyat di sini adalah berupa
kisah-kisah kuno yang masuk dalam tafsir yang asal periwayatannya bersumber
dari ahli kitab, yakni Yahudi dan Nasrani.Disebut Israiliyat karena kebanyakan
riwayat tersebut sumbernya dari Bani israil (Yahudi). Manna’ al-Qathan dalam
kitabnya, Mabahits fi Ulumi al-Qur’an mengatakan,
berita-berita yang disampaikan oleh ahli kitab setelah mereka masuk Islam
disebut Israiliyat termasuk bab taghlib (dominan) perkataan Yahudi atas
Nashrani, karena nukilan dari Yahudi lebih banyak dibandingkan nukilan dari
Nashrani. Sebabnya para yahudi lebih banyak bergaul dengan kaum Muslimim pada
masa awal kemunculan Islam dan hijrah ke Madinah.[2]
Dr Zahabi mengatakan, Israiliyat adalah berupa kisah-kisah kuno yang masuk
dalam tafsir dan hadits yang asal periwayatannya bersumber dari Yahudi, Nasrani
dan lainnya.[3]
Manna’ al-Qathanmenyebutkan, para ahli tafsir
biasanya meriwayatkan kisah kisah Israiliyat ini dari empat tokoh yaitu,
Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Ahbar, Wahab bin Munabbih dan Abdul Malik bin
Abdul Aziz bin Juraij.[4]
Pembagian
Kisah-Kisah Israiliyat ditinjau dari aspek keshahihannya dan hukum periwayatannya
Melihat dari
aspek keshahihannya, Ibnu Katsir membagi
kisah-kisah Israiliyat terbagi kepada tiga, yakni :
1.
Yang diketahui
keshahihannya, karena didukung oleh Kitabullah dan Sunnah Rasul
2.
Yang diketahui
kedustaannya, karena bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul
3.
Maskuut ’anhu (tidak
dibenarkan dan juga tidak didustakannya). Ini dibolehkan meriwayatkannya.[5]
Hukum
meriwayatkan kisah Israiliyat dapat dikatagorikan dalam tiga katagori sesuai
dengan pembagian kisah Israiliyat di atas, yaitu :
1). Kisah Israiliyat yang sesuai
dengan syari’at Islam/diketahui keshahihannya
Katagori ini dibenarkan
periwayatannya dan dimasukkan dalam tafsir. Karena kandungan riwayat tersebut
bersesuaian dengan berita yang tersebut dalam Kitabullah dan al-Sunnah. Ini
berdasarkan firman Allah SWT :
فَإِن
كُنتَ فِي شَكّٖ مِّمَّآ أَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ فَسۡـَٔلِ ٱلَّذِينَ يَقۡرَءُونَ ٱلۡكِتَٰبَ
مِن قَبۡلِكَۚ لَقَدۡ جَآءَكَ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡمُمۡتَرِينَ
Maka jika kamu (Muhammad) berada
dalam keragu-raguan tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah
kepada orang-orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang
kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu temasuk
orang-orang yang ragu-ragu. (Q.S. Yunus : 94).
Al-Kazhin dalam tafsirnya mengatakan,
“Para ahli tahqiq dari mufassir mengatakan, orang-orang yang membaca kitab
sebelum kamu itu adalah para ahli kitab yang telah beriman seperti Abdullah bin
Salam dan kawan-kawan, karena mereka terpercaya dengan berita-beritanya.[6]
Al-Qurthubi dalam menjelaskan ayat di atas menafsirkan, “Hai penyembah berhala,
apabila kamu ragu kandungan al-Qur’an, maka tanyalah kepada kaum Yahudi yang
telah masuk Islam, yakni Abdullah bin Salam dan yang sepertinya. Karena
penyembah-penyembah berhala tersebut mengakui bahwa kaum Yahudi lebih
mengetahui karena yahudi itu termasuk ahli kitab.[7]
Kebolehan meriwayat kisah Israiliyat
dalam katagori ini juga telah dikemukan oleh al-Muhallab sebagaimana dikutip
oleh Ibnu Bathal, yaitu sebagai berikut : “Adapun bertanya kepada Ahli Kitab
tentang berita-berita yang membenarkan syari’at kita dan membenarkan berita-berita
yang datang dari Nabi kita SAW berupa berita-berita umat terdahulu, maka tidak terlarang.”[8]
2). Kisah
Israiliyat yang bertentangan dengan syari’at Islam
Kisah israiliyat dalam katagori ini
tidak diragukan lagi keharaman meriwayatkannya. Ini sesuai dengan hadits Nabi
SAW berbunyi : Dari Ibnu Abbas r.a. berkata :
يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ، كَيْفَ تَسْأَلُونَ
أَهْلَ الْكِتَابِ، وَكِتَابُكُمُ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَى نَبِيِّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْدَثُ الْأَخْبَارِ بِاللهِ، تَقْرَؤُونَهُ لَمْ
يُشَبْ، وَقَدْ حَدَّثَكُمُ اللهُ أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ بَدَّلُوا مَا كَتَبَ
اللهُ وَغَيَّرُوا بِأَيْدِيهِمُ الْكِتَابَ، فَقَالُوا: هُوَ مِنْ عِنْدِ اللهِ
{لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلا} أَفَلَا يَنْهَاكُمْ مَا جَاءَكُمْ مِنَ
الْعِلْمِ عَنْ مُسَاءَلَتِهِمْ، وَلَا وَاللهِ مَا رَأَيْنَا مِنْهُمْ رَجُلًا
قَطُّ يَسْأَلُكُمْ عَنِ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَيْكُمْ.
Wahai sekalian kaum muslimin, bagaimana bisa kalian
bertanya kepada ahli kitab sedangkan kitab kalian yang diturunkan kepada
nabi-Nya shallallahu 'alaihi wasallam adalah kitab paling baru tentang Allah.
Kalian membacanya dengan tidak dicampur aduk, dan Allah telah memberitahu
kalian bahwa orang-orang ahli kitab telah merubah apa yang telah Allah
tetapkan, dan mereka merubahnya dengan tangan mereka, lalu mereka berkata ini
dari Allah dengan maksud (menjualnya dengan harga yang sedikit). Bukankah
dengan ilmu yang telah datang kepada kalian berarti Dia melarang kalian untuk
bertanya kepada mereka?.Tidak, demi Allah, kami tidak melihat seorangpun dari
mereka yang bertanya tentang apa yang diturunkan kepada kalian". (H.R.
Bukhari )[9]
3). Tidak
dibenarkan dan juga tidak dustakan (maskut ‘anhu)
Kisah Israiliyat
dalam katagori ini sebagaimana pendapat Ibnu Katsir di atas dan ulama lainnya
yang disebut di bawah ini adalah boleh meriwatkannya dengan catatan tidak dalam
posisi membenarkan atau mendustakan berita tersebut sebagaimana banyak terdapat
dalam kitab-kitab tafsir para ulama. Dalilnya adalah sebagai berikut :
a.
Dari Abu Hurairah r.a Rasulullah
SAW bersabda :
لَا تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ، وَقُولُوا:
آمَنَّا بِاللهِ وَمَا أُنْزِلَ
Karena itu, jangan kalian benarkan
ahli kitab dan jangan pula kalian dustakan. Katakan kepada mereka : “Kami
Beriman kepada Allah dan apa yang telah diturunkan kepada kami. (H.R. Bukhari)[10]
b.
Dari Abdullah bin Amr
meriwayatkan sesungguhnya Nabi SAW bersabda :
بَلِّغُوا عَنِّي
وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ
عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan
ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra'il dan itu tidak apa
(dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah
menempati tempat duduknya di neraka". (H.R. Bukhari)[11]
Ibnu Hajar al-Asqalany dalam
mensyarah hadits ini berkomentar, diberikan kelonggaran untuk menerima berita
dari Bani Israil. Karena sebelumnya Rasulullah SAW melarang menerima berita
dari mereka dan melihat dalam kitab-kitab mereka, kemudian ada kelonggaran. Hal
ini kemungkinan larangan tersebut yang terjadi sebelum mantap hukum-hukum Islam
dan qawaid agama karena takut fitnah. Kemudian pada saat hilang kekuatiran
tersebut, maka diberikan izin menerima berita dari mereka, karena ada yang
dapat diambil i’tibar dari mendengar berita-berita yang terjadi pada zaman
mereka.[12]
Imam Syafi’i dalam mengomentari
hadits ini mengatakan, termasuk yang kita maklumi bahwa Nabi SAW tidak
membolehkan menyampaikan berita dusta. Karena itu, makna hadits ini adalah : “Sampaikan
berita dari Bani Israil apa-apa yang tidak diketahui kedustaannya. Adapun yang
kalian diizinkan, maka tidak salah kalian menerima berita dari mereka. Hadits
ini serupa maksudnya dengan hadits “Apabila ada berita yang disampaikan oleh
ahli kitab, maka jangan kamu benarkan dan jangan kamu dustai mereka.”[13]
Mulla al-Qary seorang ulama hadits
terkenal dari kalangan Mazhab Hanafi mengatakan, Ini bukan bermakna membolehkan
kedustaan mereka, akan tetapi untuk menolak waham tidak ada kelonggaran
menerima berita dari mereka, meskipun tidak diketahui sah dan isnadnya karena
jauh zamannya. Demikian dalam kitab Syarah al-Sunnah dan diikuti pula oleh Zain
al-Arab dan sesuai dengan isyarat al-Muzdhir, yakni dikaitkan dengan apabila
tidak dimaklum dengan yakin atau dhan dusta apa yang mereka katakan.
Selanjutnya Mulla al-Qary menulis, al-Sayyid Jamaluddin mengatakan, jalan
kompromi antara larangan menyibuk diri dengan berita dari Bani Israil dan
kelonggaran yang dipahami dari hadits ini adalah yang dimaksud dengan menerima
berita adalah menerima berita tentang kisah-kisah dalam ayat-ayat keajaiban
seperti kisah “Uj bin ‘Unuq, bunuh diri Bani Israil karena taubat mereka dari
penyembahan lembu dan tafsil kisah-kisah yang ada dalam al-Qur’an. Karena yang
demikian ada ada i’tibar dan nasehat bagi orang punya mata hati. Dan apapun
yang dimaksud dengan larangan menerima beritanya adalah larangan menukil
hokum-hukum dari kitab mereka, karena semua syariat dan agama telah mansukh
dengan syari’at Nabi SAW.[14]
Dalam mensyarah hadits ini, Al-Munawi
mengutip perkataan al-Thiiby, yakni tidak saling bertentangan antara izin di
sini dan larangan menerima beritanya pada hadits lain serta larangan melihat
kitab Bani Israil, karena yang dimaksud di sini adalah menerima kisah-kisah
mereka seperti bunuh diri karena taubat mereka dan yang dimaksud dengan
larangan adalah larangan beramal dengan hukum-hukum karena sudah mansukh dengan
syari’at Nabi SAW. Atau larangan tersebut terjadi pada awal Islam sebelum
mantap hukum-hukum agama dan qawaid Islam. Karena itu, manakala sudah mantap,
maka diizinkan karena sudah aman dari kekuatirannya.[15]
[1]
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 439
[2]
Manna’ al-Qathan, Mabahits fi ‘ulum al-Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo, 345
[3]Dr.
Muhammad Husain al-Zahabi,Al-Israiliyat fil Tafsir wal-Hadits,
Maktabah Wahbah, Kairo, Hal.13
[4]Manna’
al-Qathan, Mabahits fi ‘ulum al-Qur’an, Maktabah Wahbah, Kairo, 346
[5]
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah, Juz. III,
Hal. 528
[6]Al-Kazhin,
Tafsir al-Kazhin, Dar al-Kutub al-ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal.
464
[7]Al-Qurthubi,
Tafsir al-Qurthubi, Maktabah Syamilah, Juz. VIII, Hal. 382
[8]
Ibnu Bathal, Syarah Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. X,
Hal. 391
[9] Imam
al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal.
181, No. 2685
[10]
Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VI,
Hal. 20, No. 4485
[11] Imam
al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal.
170, No. 3461
[12]
Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz, VI,
Hal. 198
[13]Ibnu
Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal.
199
[14]
Mulla al-Qari, Mirqatul Mafatih, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal, 281
[15]
Al-Munawy, Faid al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 206
Tidak ada komentar:
Posting Komentar