Secara harfiyah
tajdid wudhu’ bermakna memperbaharui wudhu’. Adapun dalam fiqh, tajdid wudhu’
dimaknai tindakan seseorang melakukan wudhu’ pada saat wudu yang pertama belum
batal. Devinisi ini sesuai dengan penjelasan Imam al-Nawawi dalam kitab beliau,
Majmu’ Syarah al-Muhazzab berikut ini :
اتَّفَقَ
أَصْحَابُنَا عَلَى اسْتِحْبَابِ تَجْدِيدِ الْوُضُوءِ وَهُوَ أَنْ يَكُونَ
عَلَى وُضُوءٍ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُحْدِثَ
Ashhab kita (ulama mazhab
Syafi’i) sepakat atas dianjurkan tajdid wudhu’, yaitu seseorang dalam keadaan
berwudhu’, kemudian mlakukan wudhu’ lagi pada saat dia belum berhadats. [1]
Adapun hukum tajdid
wudhu’ sebagaimana dikemukakan Imam al-Nawawi di atas, bahwa para ulama Mazhab
Syafi’i sepakat atas dianjurkannya.
Dalilnya antara
lain, Nabi SAW bersabda :
مَنْ تَوَضَّأَ
عَلَى طُهْرٍ كُتِبَ لَهُ عَشْرُ حَسَنَاتٍ
“Barangsiapa yang berwudhu’ di atas kesuciannya, maka ditetapkan
atasnya sepuluh kebaikan.” (H.R. Abu Daud dan lainnya)[2]
Namun terjadi
khilafiyah dalam hal waktu anjuran pelaksanaan tajdid wudhu’. Masih dalam kitab
Majmu’, Imam al-Nawawi menjelaskan kepada kita :
وَمَتَى يُسْتَحَبُّ: فِيهِ خَمْسَةُ أَوْجُهٍ أَصَحُّهَا إنْ صَلَّى
بالوضوء الاول فرضا أو نفلا استحب والا فلا وَبِهِ قَطَعَ الْبَغَوِيّ
(وَالثَّانِي) إنْ صَلَّى فَرْضًا اُسْتُحِبَّ وَإِلَّا فَلَا وَبِهِ قَطَعَ
الْفُورَانِيُّ (وَالثَّالِثُ) يُسْتَحَبُّ إنْ كَانَ فَعَلَ بِالْوُضُوءِ
الْأَوَّلِ مَا يَقْصِدُ لَهُ الْوُضُوءَ وَإِلَّا فَلَا ذَكَرَهُ الشَّاشِيُّ فِي
كِتَابَيْهِ الْمُعْتَمَدِ وَالْمُسْتَظْهَرَيْ فِي بَابِ الْمَاءِ واختاره (والرابع)
إن صلى بالاول أو سجده لِتِلَاوَةٍ أَوْ شُكْرٍ أَوْ قَرَأَ
الْقُرْآنَ فِي مصحف اُسْتُحِبَّ وَإِلَّا فَلَا وَبِهِ قَطَعَ الشَّيْخُ أَبُو
مُحَمَّدٍ الْجُوَيْنِيُّ فِي أَوَّلِ كِتَابِهِ الْفُرُوقِ: وَالْخَامِسُ
يُسْتَحَبُّ التَّجْدِيدُ وَلَوْ لَمْ يَفْعَلْ بِالْوُضُوءِ الْأَوَّلِ شَيْئًا
أَصْلًا حَكَاهُ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ قَالَ وَهَذَا إنَّمَا يَصِحُّ إذَا
تَخَلَّلَ بَيْنَ الْوُضُوءِ وَالتَّجْدِيدِ زَمَنٌ يَقَعُ بِمِثْلِهِ تَفْرِيقٌ
فَأَمَّا إذَا وَصَلَهُ بِالْوُضُوءِ فَهُوَ فِي حُكْمِ غَسْلَةٍ رَابِعَةٍ وَهَذَا
الْوَجْهُ غَرِيبٌ جِدًّا وَقَدْ قَطَعَ الْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ فِي كِتَابِهِ
شَرْحِ الْفُرُوعِ وَالْبَغَوِيُّ وَالْمُتَوَلِّي وَالرُّويَانِيُّ وَآخَرُونَ
بِأَنَّهُ يُكْرَهُ التَّجْدِيدُ إذَا لَمْ يؤد بالاول قال َالْمُتَوَلِّي
وَالرُّويَانِيُّ وكذا لو توضأ وقَرَأَ الْقُرْآنَ فِي مصحف يُكْرَهُ التَّجْدِيدُ
قَالَا وَلَوْ سَجَدَ لِتِلَاوَةٍ أَوْ شُكْرٍ لَمْ يُسْتَحَبَّ التَّجْدِيدُ
وَلَا يُكْرَهُ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
“Kapan dianjurkan tajdid wudhu’?. Ada lima pendapat ulama. Yang lebih
shahih adalah seandainya jika dengan wudhu’ pertama telah pernah dilakukan
shalat, baik shalat fardhu maupun sunnah, maka di anjurkannya. Jika tidak, maka
tidak dianjurkan. Pendapat pertama ini telah dinyatakan qatha’ oleh al-Baghwiy.
Pendapat kedua : jika telah pernah dilakukan shalat fardhu dengannnya, maka
dianjurkan. Jika tidak, maka tidak
dianjurkan.pendapat ini telah dinyatakan qatha’ oleh al-Furaaniy. Pendapat ketiga
: dianjurkan jika pernah dilakukan dengan wudhu’ pertama apa yang menjadi
qashadnya wudhu’nya tersebut. Jika tidak, maka tidak dianjurkan. Pendapat ini
telah disebut oleh al-Syasyiy dalam kitabnya, al-Mu’tamad dan al-Mustazhhariy
dalam bab air. Beliau memilih pendapat ini. Ke-empat : seandainya telah pernah
dilakukan shalat dengan wudhu’ pertama, sujud tilawah, atau sujud syukur
ataupun membaca al-Qur’an pada mashaf, maka dianjurkan. Jika tidak, maka tidak
dianjurkan. Pendapat ini telah dinyatakan qatha’ oleh Syeikh Abu Muhammad
al-Juwaini pada awal kitabnya al-Furuuq. Ke-lima : dianjurkan tajdid meskipun
tidak melakukan apapun sama sekali dengan wudhu’ pertama. Pendapat ini telah dihikayah
oleh Imam al-Haramain. Beliau mengatakan, ini hanya dibenarkan apabia diselangi
waktu dimana seukuran waktu tersebut menjadi pembeda di antara wudhu’ dan
tajdid. Adapun apabila tajdid tersebut bersambung dengan wudhu’ pertama, maka
dihukum dalam hokum basuh yang ke-empat kalinya. Pendapat ini sangat gharib
(jauh). Al-Qadhi Abu al-Thayyib dalam kitabnya Syarah al-Furuu’, al-Baghwiy,
al-Mutawalliy, al-Ruyyaniy dan lainnya telah menyatakan qatha’ makruh tajdid
apabila tidak pernah menunai apapun dengan wudu’ pertama. Al-Mutawally dan
al-Ruuyaniy mengatakan, demikian juga seandainya telah pernah berwudhu’ dan
membaca al-Qur’an pada mashaf, maka dimakruhkan tajdid dan kedua beliau ini
juga mengatakan, seandainya pernah sujud tilawah dan syukur, maka tidak
dianjurkan tajdid, akan tetapi tidak makruh. Wallahua’lam.”[3]
Sesuai dengan pendapat yang pertama yang
dinyatakan lebih shahih oleh Imam al-Nawawi di atas, maka tajdid wudhu’
dianjurkan apabila dengan wudhu’ pertama telah pernah dilakukan shalat, baik
shalat fardhu maupun sunnah. Ini sesuai juga dengan penjelasan Imam al-Ramli
dalam kitab beliau, Ghayah al-Bayan sebagai berikut :
)كَذَاك
تَجْدِيد الوضو إِن صلى فَرِيضَة أَو سنة أَو نفلا) أى يسن تَجْدِيد الْوضُوء إِذا
صلى بِهِ فَرِيضَة أَو سنة أَو نفلا مُطلقًا أى بِخِلَاف الْغسْل وَالتَّيَمُّم
لِأَن مُوجب الْوضُوء أغلب وقوعا وَاحْتِمَال عدم الشُّعُور بِهِ أقرب فَيكون
الِاحْتِيَاط بِهِ أهم ولخير أبي دَاوُد وَغَيره (من تَوَضَّأ على طهر كتب لَهُ
عشر حَسَنَات) وَالظَّاهِر كَمَا قَالَ بَعضهم إِلْحَاق الطّواف بِالصَّلَاةِ فرضا
أَو نفلا إِذْ هُوَ فِي مَعْنَاهَا لِأَنَّهُ صلى الله عَلَيْهِ وَسلم سمى الطّواف
بِالْبَيْتِ صَلَاة قَالَ وَلم أر أحدا ذكره
Demikian juga disunnahkan tajdid
wudhu’ apabila telah dilakukan shalat dengannya shalat fardhu atau shalat
sunnah. Artinya disunnahkan tajdid wudhu’ apabila seseorang telah melakukan
shalat fardhu, sunnah atau sunnat mutlaq. Ini berbeda dengan mandi dan
tayammum, karena yang menjadi penyebab wudhu’ sering terjadi dan pula kemungkinan
lupa wudhu’ lebih memungkinkan terjadi. Karena itu, sikap ihtiyath dalam wudhu’
lebih diutamakan. Dan juga karena beramal dengan hadits Abu Daud “Barangsiapa
yang berwudhu’ di atas kesuciannya, maka ditetapkan atasnya sepuluh kebaikan.” Yang
dhahir sebagaimana dikemukakan oleh sebagian ulama thawaf dihubungkan kepada
shalat juga, baik thawaf fardhu maupun thawaf sunnah. Karena thawaf pada makna
shalat. Karena Nabi SAW menamakan thawaf di baitullah dengan shalat. Sebagian ulama
tersebut mengatakan, namun belum pernah
aku melihat seseorangpun yang menyebutnya.”[4]
Namun demikian, terkait thawaf, Syeikh Sulaiman al-Jamal berpendapat
lain, beliau mengatakan :
وَلَا طَوَافٍ،
وَإِنْ كَانَ مُلْحَقًا بِالصَّلَاةِ
Tidak disunnahkan tajdid wudhu’ dengan sebab telah melaksanakan thawaf,
meskipun thawaf dapat dihubungkan kepada shalat.[5]
Di samping dalam
hal keadaan di atas, Syeikh Sulaiman al-Jamal menyebut ada dua keadaan lain
yang dianjurkan tajdid wudhu’, yakni bagi orang yang menyapu sepatu dan pada
wudhu’ yang disempurnakan dengan tayammum karena luka anggota wudhu’ atau
karena sebab lain. Beliau mengatakan :
وَيُسْتَحَبُّ
تَجْدِيدُ الْوُضُوءِ لِمَاسِحِ الْخُفِّ وَفِي الْوُضُوءِ الْمُكَمَّلِ
بِالتَّيَمُّمِ لِجِرَاحَةٍ وَنَحْوِهَا
Dianjurkan tajdid wudhu’ bagi penyapu sepatu dan pada wudhu’ yang
disempurnakan dengan tayamum karena luka dan lainnya.[6]
Kesimpulan :
Berdasarkan keterangan dari nash-nash ulama di atas, dsimpulkan sebagai
berikut :
1.
Sunnah tajdid wudhu'
dilakukan apabila :
- Wudhu' pertama sudah pernah di
gunakan utk shalat fardhu atau sunnah sesuai dengan pendapat yang dinyatakan
lebih shahih oleh Imam al-Nawawi.
- Wudhu' pertama
sudah pernah digunakan utk thawaf (terjadi khilafiyah sebagaimana nash nash di
atas )
2. Sunnah tajdid wudhu' bagi yg menyapu sepatu
dalam wudhu'nya
3. Sunnah tajdid wudhu' bagi wudhu' yg disempurnakan
dengan tayamun karena luka anggota
wudhu' dan seumpamanya.
[1] Al-Nawawi,
Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. I,
Hal. 494
[2] Imam
al-Ramli, Ghayah al-Bayan, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal.
73
[3] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab,
Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. I, Hal. 494
[4]
Imam al-Ramli, Ghayah al-Bayan, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal.
73
[5] Sulaiman
al-Jamal, Hasyiah al-Jamal ‘ala Manhaj al-Thulab, Maktabah
Syamilah, Juz. I, Hal. 165
[6] Sulaiman
al-Jamal, Hasyiah al-Jamal ‘ala Manhaj al-Thulab, Maktabah
Syamilah, Juz. I, Hal. 165
Tidak ada komentar:
Posting Komentar