Renungan

Selasa, 22 Februari 2022

Waktu-waktu fadhilah bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW

 Sebagaimana dimaklumi disyariatkan kepada kita  bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW dimana saja dan kapan saja sesuai firman Allah Ta’ala berbunyi :

إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِىِّ ۚ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ صَلُّوا۟ عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا۟ تَسْلِيمًا

"Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kepada Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya."(QS. Al-Ahzab : 56)


Namun demikian ada beberapa waktu lebih diutamakan bershalawat. Berikut ini waktu-waktu fadhilah bershalawat kepada Nabi SAW yang disebut oleh Ibnu Hajar al-Haitamiy dalam kitab beliau, al-Dar al-Mandhud fi al-Shalah wa al-Salam ‘ala Shahib al-Maqam al-Mahmud.[1] Sesuai dengan penjelasan beliau, dalil-dalilnya ada yang shahih, hasan dan dha’if. Dikemukakan hadits dha’if di sini karena hadits dha’if sesuai dengan pendapat jumhur ulama dibolehkan pengamalannya pada bab fadhailul amal.

Adapun waktu-waktu lebih diutamakan bershalawat tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :

1.    Setelah selesai wudhu’, mandi dan tayammum

2.    Dalam shalat yang ada dibaca ayat yang disebut nama Nabi Muhammad SAW. Dianjurkan bagi yang membaca dan mendengarnya sebagaimana pendapat yang dikutip pengarang al-Anwar dari al-‘Ijliy dan beliau mentarjihkannya. Namun menurut al-Nawawi tidak dianjurkan. (perlu ditambah lagi beberapa catatan). Juga dalam shalat, disunnahkan membaca shalawat kepada Nabi SAW pada tasyahud awal dan pada akhir qunut witir karena warid demikian. Adapun qunut shubuh diqiyaskan kepada witir.

3.    Setelah melaksanakan shalat

4.    Setelah iqamah dan azan

5.    Ketika bangun tidur untuk shalat malam

6.    Setelah selesai dari tahajjud

7.    Ketika melewati masjid, masuk dan keluar masjid

8.    Pada hari dan malam Jum’at

9.    Dalam khutbah seperti khutbah Jum’at, khutbah hari raya, khutbah gerhana dan khutbah shalat minta hujan. Shalawat dalam khutbah merupakan rukun menurut mazhab Syafi’i.

10.Disela-sela takbir shalat hari raya

11.Dalam shalat jenazah. Disyariatkan setelah takbir kedua. Pendapat yang masyhur dari Syafi’i dan Ahmad merupakan rukun shalat jenazah

12.Setelah membaca talbiyah, ketika melaksana sa’i antara shafa dan marwah, ketika mengusap batu hajar aswad dan ketika thawaf pada waktu melaksanakan haji

13.Ketika ziarah kubur Nabi SAW. Imam-imam kita mengatakan disunnahkan juga memperbanyak  shalawat pada jalan bagi orang yang berniat berpergian kepada Nabi SAW. Demikian juga pada saat melihat peninggalan-peninggalan Nabi SAW, lebih-lebih lagi saat melihat rumah tempat tinggal beliau SAW.

14.Ketika menyembelih

15.Ketika melakukan akad jual beli

16.Ketika menulis wasiat

17.Dalam khutbah pernikahan

18.Pada awal dan akhir siang hari, ketika mau tidur dan bagi orang yang sedkit tidurnya

19.Ketika mau melakukan perjalanan

20.Ketika mau naik kenderaan

21.Ketika mau masuk pasar, menghadiri dakwah dan seumpamanya

22.Ketika masuk tempat tinggal, mengalami kefakiran atau membutuhkan kebutuhan  ataupun  kuatir terjadi hal tersebut

23.Dalam surat-surat yakni setelah basmalah

24.Ketika kesusahan, kegentingan dan menimpa tha’un

25.Ketika kuatir tenggelam

26.Pada awal, pertengahan dan akhir do’a

27.Ketika berkumandang azan

28.Ketika kebas kaki

29.Ketika haus

30.Ketika teringat yang terlupakan atau kuatir lupa

31.Ketika terkagum melihat sesuatu

32.Ketika makan sayur lobak

33.Ketika meringkik keledai

34.Ketika terlanjur melakukan dosa

35.Ketika datang hajat

36.Pada setiap keadaan

37.Ketika menjadi tertuduh, padahal tidak berbuat apa yang dituduh

38.Ketika bertemu kawan

39.Ketika tersesat dari kelompok setelah sempat bersama-sama dengan kelompoknya, ketika berdiri dari majelis dan pada setiap tempat berkumpul untuk berzikir kepada Allah Ta’ala

40.Ketika khatam al-Qur’an

41.Dalam do’a untuk dapat menghafal al-Quran

42.Ketika memulai setiap kalam

43.Ketika menyebut nama Nabi SAW

44.Pada ketika menyebar ilmu, nasehat dan membaca hadits, baik pada awal ataupun pada ujungnya

45.Ketika melakukan ifta’ hukum

46.Ketika menulis nama Nabi SAW

 

 

 



[1] Ibnu Hajar al-Haitamiy, al-Dar al-Mandhud fi al-Shalah wa al-Salam ‘ala Shahib al-Maqam al-Mahmud, Darul Minhaj, Hal. 200-258

Jumat, 18 Februari 2022

Kitab Istbat al-Istiwa’ wa al-Fauqiyah karangan siapa?

Kitab Istbat al-Istiwa’ wa al-Fauqiyah ini, kandungannya banyak berisi i’tiqad memaknai sifat-sifat khabariyah Allah Ta’ala dengan makna dhahir tanpa tafwizh  atau ta’wil. Berdasarkan kitab ini sebagian kelompok Islam menuduh Abu Muhammad al-Juwaini ayah dari Imam al-Juwainiy telah taubat pada akhir hidupnya dari i’tikad al-Asy’ariyah dengan menisbahkan kitab ini kepada beliau.


Kitab ini diketahui pernah dicetak dalam kumpulan risalah, yakni Majmu’ al-Rasail al-Munirah pada Tahun 1343 H dengan dinisbahkan kepada Abu Muhammad al-Juwaini ayah dari Imam al-Juwainiy (Imam al-Hararamian). Kemudian diterbit lagi oleh Darul Thawiq-Riyadh dengan pentahqiqnya Dr Ahmad Mu’az bin ‘Alwan al-Haqqiy dalam bentuk kitab tersendiri pada tahun 1419 H/1998 M, juga dinisbahkan kepada Abu Muhammad al-Juwaini. Dengan mengikuti dua terbitan di atas, kemungkinan Maktabah Syamilah (sebuah aplikasi digital kitab turats yang sangat populer sekarang ini) juga menisbahkan kitab ini kepada orang yang sama.

Namun apabila kita telusuri kandungan kitab ini, antara lain perkataan yang terdapat pada halaman 49 sebagai berikut :

قَالَ الإِمَام الْحَافِظ ‌عبد ‌الْغَنِيّ فِي عقيدته لما ذكر حَدِيث الأوعال قَالَ رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيّ وَابْن مَاجَه وَقَالَ حَدِيث الرّوح رَوَاهُ أَحْمد وَالدَّارَقُطْنِيّ

Imam al-Hafizh ‘Abd al-Ghaniy mengatakan pada ‘Aqidah beliau pada ketika beliau menyebut hadits Au’al (malaikat yang berbentuk domba) berkata “ Telah meriwayat hadits ini oleh Abu Daud, Turmidzi, Ibnu Majah dan beliau mengatakan, hadits ruh telah diriwayat oleh Ahmad dan Darulquthniy.[1]


Maka dapat dipahami bahwa al-Hafizh ‘Abd al-Ghaniy yang mempunyai karangan kitab ‘Aqidah tersebut adalah al-Hafizh Taqiyuddin ‘Abd al-Ghaniy bin ‘Abd al-Waahid al-Maqdisiy. Sementara beliau ini menurut Abdullah bin Muhammad al-Bushairiy, pentahqiq kitab beliau ini (Kitab Aqidah) lahir pada Tahun 541 H dan meninggal dunia pada Hari Senin, 23 Rabiul Awal Tahun 600 H. Kesimpulan ini karena perkataan di atas memang terdapat dalam kitab ‘Aqidah karangan al-Hafizh Taqiyuddin ‘Abd al-Ghaniy bin ‘Abd al-Waahid al-Maqdisiy sebagaimana terdapat pada halaman 41-42 sebabagi berikut :

روى العباس بن عبد المطلب رضي الله عنه ان النبي صلعم ذكر سبع سموات وما بينهما ثم قال وفوق ذالك بحر بين اعلاه وبين اسفله كما بين سَمَاءٍ إِلَى سَمَاءٍ ثم فوق ذالك ثمانية اوعال ما بَينَ أَظلافِهِن وَرُكَبِهِن مَا بَينَ سَمَاءٍ إِلَى سَمَاءٍ ، ثم فوق ظُهُورِهن العَرشُ ما بين اعلاه واسفله ما بين سَمَاءٍ إِلَى سَمَاءٍ والله فوق ذالك رواه ابو داود والترمذي وابن ماجه القزويني

Al-Abbas bin Abd al-Muthallib r.a. meriwayat sesungguhnya Nabi SAW pernah menyebut tujuh langit dan isi antara keduanya, kemudian mengatakan, di atas itu ada laut dimana antara yang tingginya dan bawahnya sama seperti langit ke langit, kemudian beliau mengatakan, di atas itu ada delapan malaikat au’al (malaikat dengan bentuk domba), dimana antara kukunya dan lututnya jauhnya antara langit ke langit, kemudian di atas punggung mereka ada ‘arasy, antara tinggi dan bawahnya jauhnya antara langit ke langit. Allah di atas itu. Diriwayat oleh Abu Daud, Turmidzi dan Ibnu Majah al-Quzwainiy.[2]

 

Dan pada halaman 45 disebutkan :

وفي حديث ابي هريرة رضي الله عنه ان رسول الله صلعم ذكر المؤمن عند موته وانه يعرج بروحه حتى ينتهي بها الى سماء التي فيها الله رواه الامام احمد والدارقطني وغيرهما

Dalam hadits Abu Hurairah r.a., sesungguhnya Rasulullah SAW pernah menyebut orang mukmin pada saat mati dan akan naik dengan ruhnya sehingga sampai kepada langit yang padanya ada Allah. Hadits diriwayat oleh Ahmad , Darulquthniy dan lainnya.[3]

 

Apabila pengarang kitab ‘Aqidah tersebut merupakan karangan al-Hafizh Taqiyuddin ‘Abd al-Ghaniy bin ‘Abd al-Waahid al-Maqdisiy yang lahir pada Tahun 541 H dan meninggal dunia pada Hari Senin, 23 Rabiul Awal Tahun 600 H, apakah mungkin Syeikh Abu Muhammad al-Juwainiy yang wafat pada Tahun 348 H.[4] mengutip perkataan Taqiyuddin ‘Abd al-Ghaniy bin ‘Abd al-Waahid al-Maqdisiy yang lahir setelah 193 tahun wafat Syeikh Abu Muhammad al-Juwaini?. Maka dengan ini, dapat dipastikan bahwa Kitab Istbat al-Istiwa’ wa al-Fauqiyah ini bukanlah merupakan karangan Syeikh Abu Muhammad al-Juwaini.

Lalu siapa pengarang kitab Istbat al-Istiwa’ wa al-Fauqiyah ini?

Banyak para ulama zaman sekarang ini yang meragukan penisbatan Kitab Istbat al-Istiwa’ wa al-Fauqiyah ini kepada Abu Muhammad al-Juwaini ayah dari Imam al-Juwainiy. Diantaranya Sayyed Hasan bin ‘Ali al-Saqaf dalam kitab beliau, Tanaquzhaat albaniy al-Wazhihaat mengatakan :

والد امام الحرامين ليس له رسالة في ذالك والرسالة ليس من تصنيفه البتة ولا علاقة له بها وانما هي من تصنيف ابن شيخ الحزامين

Ayah dari Imam al-Haramain tidak mempunyai risalah tersebut (Istbat al-Istiwa’ wa al-Fauqiyah). Risalah tersebut bukanlah karangan beliau sama sekali dan tidak ada hubungan dengannya. Risalah tersebut hanyalah karangan Ibnu Syeikh al-Hazamiin. [5]

 

Nama lengkap Ibnu Syeikh al-Hazamiin adalah Ahmad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Mas’ud bin Umar al-Waashithiy al-Hazamiy Abu Abbas Ibnu Syeikh al-Hazamiin. Beliau lahir pada Tahun 657 H dan wafat pada Tahun 711 H,[6]



[1] Istbat al-Istiwa’ wa al-Fauqiyah, Terbitan Darul Thawiq-Riyadh dengan pentahqiqnya Dr Ahmad Mu’az bin ‘Alwan al-Haqqiy, Hal. 49

[2] Taqiyuddin ‘Abd al-Ghaniy bin ‘Abd al-Waahid al-Maqdisiy, ‘Akidah, (Pentahqiqnya : Abdullah bin Muhammad al-Bushairiy}, Hal. 41-42

[3] Taqiyuddin ‘Abd al-Ghaniy bin ‘Abd al-Waahid al-Maqdisiy, ‘Akidah, (Pentahqiqnya : Abdullah bin Muhammad al-Bushairiy}, Hal. 45

[4] Tajuddin Al-Subkiy, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah Juz. V, Hal. 75

[5] Sayyed Hasan al-Saqaf, Tanaquzhaat albaniy al-Wazhihaat, Juz. III, Hal. 260

[6] Ibnu Rajab, Thabaqat al-Hanabilah, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 380, 381 dan 384.

Kamis, 10 Februari 2022

Imam al-Bukhari juga Ahli Ta’wil

 Ibnu Hajar al-Asqalaniy memberitahukan kepada kita bahwa Imam al-Bukhari dalam membahas terkait akidah (ilmu kalam), beliau mengikuti al-Karaabisiy dan Ibnu Kullab. Kedua tokoh besar Ahlussunah wal Jama’ah ini dikenal sebagai ahli kalam sebelum Imam al-Asy’ari yang mentakwil sifat khabariyah Allah. . Al-Asqalaniy berkata :

أَنَّ الْبُخَارِيَّ فِي جَمِيعِ مَا يُورِدُهُ مِنْ تَفْسِيرِ الْغَرِيبِ إِنَّمَا يَنْقُلُهُ عَنْ أَهْلِ ذَلِكَ الْفَنِّ كَأَبِي عُبَيْدَةَ وَالنَّضْرِ بْنِ شُمَيْلٍ وَالْفَرَّاءِ وَغَيْرِهِمْ وَأَمَّا المباحث الفقهيه فغالبها مستمدة من الشَّافِعِي وَأبي عبيد وَأَمْثَالِهِمَا وَأَمَّا الْمَسَائِلُ الْكَلَامِيَّةُ فَأَكْثَرُهَا مِنَ الْكَرَابِيسِيِّ وبن كِلَابٍ وَنَحْوِهِمَا

Imam al-Bukhari dalam menafsirkan kata-kata yang gharib (asing) menukil dari ahli bidang ini seperti Abu Ubaidah, Nadlr ibn Syumail, al Farra’ dan lainnya. Dalam pembahasan fiqh beliau mengambil dari asy Syafii, Abu Ubaid dan lainnya. Adapun dalam masalah ilmu kalam maka kebanyakan mengambil dari al-Karaabisiy, Ibn Kullab dan lainnya.[1]

Contoh ta’wil Imam al-Bukhari :

1.    Firman Allah Ta’ala, Q.S. al-Qasas : 88, berbunyi :

وَلَا تَدۡعُ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَۘ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَۚ كُلُّ شَيۡءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجۡهَهُۥۚ لَهُ ٱلۡحُكۡمُ وَإِلَيۡهِ تُرۡجَعُونَ

Jangan engkau sembah tuhan selain Allah. Tidak ada tuhan kecuali Dia. Segala sesuatu pasti binasa, kecuali wajah-Nya. Segala putusan menjadi wewenang-Nya dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan. (Q.S. al-Qasas : 88)

 

Dalam menafsir ayat ini, Imam al-Bukhari mengatakan :

}كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ {  إِلَّا مُلْكَهُ، وَيُقَالُ: إِلَّا مَا أُرِيدَ بِهِ وَجْهُ اللهِ

 Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya”, maksudnya adalah“Kecuali kekuasaan-Nya. Dan ada pendapat lain yang mengatakan “Kecuali yang ditujukan karena wajah Allah”.[2]

2.    Firman Allah Ta’ala berbunyi :

إِنِّي تَوَكَّلۡتُ عَلَى ٱللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُمۚ مَّا مِن دَآبَّةٍ إِلَّا هُوَ آخِذٌ ‌بِنَاصِيَتِهَآۚ إِنَّ رَبِّي عَلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ

Sesungguhnya aku bertawakal kepada Allah, tuhanku dan tuhanmu. Tidak ada satupun makhluk yang bergerak melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya tuhanku dijalan yang lurus. (Q.S. Hud : 56)

Imam al-Bukhari  dalam menafsirkan ayat di atas mengatakan :

}آخِذٌ ‌بِنَاصِيَتِهَا} أَيْ: فِي مِلْكِهِ وَسُلْطَانِهِ

Dialah yang memegang ubun-ubunnya dengan  makna dalam kekuasaan dan kerajaan-Nya.[3]

Mengomentari penjelasan Imam al-Bukhari di atas, Ibnu Hajar al-Asqalaniy mengatakan :

قَوْلُهُ آخِذٌ ‌بِنَاصِيَتِهَا فِي مُلْكِهِ وَسُلْطَانِهِ قَالَ أَبُو عُبَيْدَةَ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى مَا مِنْ دَابَّةٍ الا هُوَ آخذ ‌بناصيتها أَيْ فِي قَبْضَتِهِ وَمُلْكِهِ وَسُلْطَانِهِ وَخَصَّ النَّاصِيَةَ بِالذِّكْرِ عَلَى عَادَةِ الْعَرَبِ فِي ذَلِكَ تَقُولُ نَاصِيَةُ فُلَانٍ فِي يَدِ فُلَانٍ إِذَا كَانَ فِي طَاعَتِهِ

Perkataannya :  “Dialah yang memegang ubun-ubunnya dengan  makna dalam kekuasaan dan kerajaan-Nya”. Abu ‘Ubaidah mengatakan pada firman Allah Ta’ala “Tidak ada satupun makhluk yang bergerak melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya”, artinya pada genggaman, kekuasaan dan kerajaan-Nya. Dikhususkan ubun-ubun dalam penyebutan berdasarkan kepada adat orang Arab perihal itu. Kamu mengatakan, “Ubun-ubun sipulan pada tangan sipulan yang lain, apabila si pulan tersebut berada dalam keta’atan kepada lain. [4]

 

 

 



[1] Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 243

[2] Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. Vi, Hal. 112

[3] Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. Vi, Hal. 73

[4] Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 348

Senin, 07 Februari 2022

Anjuran Membaca ayat dan surat dari Al-Quran dalam Waktu dan Keadaan Tertentu (Menurut Imam al-Nawawi dalam kitabnya, al-Tibyan fi Adab Hamalah al-Qur’an)

 Imam al-Nawawi menyebutkan di antaranya :[1]

1.    Memperbanyak membaca al-Qur’an pada Bulan Ramadhan.

2.    Lebih banyak lagi membaca Al-Qur’an pada sepuluh yang akhir dari Bulan Ramadhan

3.    Lebih dikuatkan lagi pada malam ganjil dari sepuluh yang akhir dari Bulan Ramadhan

4.    Memperbanyak membaca al-Qur’an pada sepuluh yang pertama dari Bulan Dzulhijjah

5.    Memperbanyak membaca al-Qur’an pada Hari ‘Arafah, pada Hari Jum’at, setelah Subuh dan pada waktu malam

6.    Memperbanyak membaca Surat Yasin, Surat al-Waqi’ah dan Surat al-Mulk

7.    Sunnah membaca Surat alif laam miim al-Tanziil (Surat al-Sajdah) dengan sempurna pada rakaat pertama setelah al-Fatihah pada shalat Subuh Hari Jum’at dan Surat Hal ataa ‘ala al-Insan  (Surat al-Insan) dengan sempurna  pada rakaat kedua

8.    Sunnah membaca Surat al-Jum’ah pada rakaat pertama dari shalat Jum’at  dengan sempurna dan Surat al-Munaafiquun dengan sempurna pada rakaat kedua. Boleh juga membaca Surat Sabbihismarabbika a’laa (Surat al-A’laa) pada rakaat pertama dan Surat Hal ataaka hadiits al-Ghasyiyah (Surat al-Ghasyiyah)

9.    Sunnah membaca Surat Qaf dengan sempurna pada rakaat pertama shalat ‘id dan Surat Iqtarabatissaa’ah (Surat al-Qamar) dengan sempurna pada rakaat kedua. Boleh juga Surat Sabbihismarabbika a’laa (Surat al-A’laa) pada rakaat pertama dan Surat Hal ataaka hadiits al-Ghasyiyah (Surat al-Ghasyiyah) pada rakaat kedua

10.Sunnah membaca Surat Qul Ya aiyuhaa al-Kafiruun (Surat al-Kafiruun) pada rakaat pertama dari shalat sunnah Subuh dan Surat Qul huwallah pada rakaat kedua. Boleh juga pada rakaat pertama  membaca ayat :

قُوْلُوْٓا اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَمَآ اُنْزِلَ اِلَيْنَا وَمَآ اُنْزِلَ اِلٰٓى اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ وَيَعْقُوْبَ وَالْاَسْبَاطِ وَمَآ اُوْتِيَ مُوْسٰى وَعِيْسٰى وَمَآ اُوْتِيَ النَّبِيُّوْنَ مِنْ رَّبِّهِمْۚ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْهُمْۖ وَنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ

(Q.S. al-Baqarah : 136)

Dan pada rakaat kedua membaca :

قُلْ يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ تَعَالَوْا اِلٰى كَلِمَةٍ سَوَاۤءٍۢ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ اَلَّا نَعْبُدَ اِلَّا اللّٰهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهٖ شَيْـًٔا وَّلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُوْلُوا اشْهَدُوْا بِاَنَّا مُسْلِمُوْنَ

(Q.S. Ali Imran : 64)

11.   Sunnah membaca Surat al-Kafiruun pada rakaat pertama dari shalat sunnah Magrib dan Qul huwallah pada rakaat kedua. Dan sunnah pula dibaca keduanya pada shalat sunnah thawaf dan Istikharah.

12.   Sunnah bagi yang melakukan shalat witir tiga rakaat membaca Surat al-A’laa pada rakaat pertama, Surat al-Kafiruun pada rakaat kedua dan Surat Qul huwallah serta Qul a’uzu birabbinnas dan Qul a’uzu birabb al-falaq pada rakaat ketiga

13.   Dianjurkan membaca Surat al-Kahfi pada hari Jum’at. Menurut Imam Syafi’i dalam al-Um juga dianjurkan membacanya pada malam Jum’at.

14.   Al-Darimiy menyebut hadits dianjurkan membaca Surat Hud pada Hari Jum’at.

15.   Dari Makhuul dari kalangan Tabi’in menganjurkan membaca Surat Ali Imran pada Hari Jum’at

16.   Dianjurkan membaca ayat kursi pada setiap keadaan. Dan dianjurkan membacanya pada setiap malam saat mau tidur

17.   Dianjurkan membaca Qul a’uzu birabbinnas dan Qul a’uzu birabb al-falaq pada setiap setelah selesai shalat

18.   Pada saat mau tidur dianjurkan membaca ayat kursi, Surat Qul huwallah, Qul a’uzu birabbinnas dan Qul a’uzu birabb al-falaq serta akhir surat al-Baqarah. Ini termasuk yang dipentingkan dan dikuatkan.

19.   Pada waktu terbangun dari tidur pada setiap malam, dianjurkan membaca akhir Surat Ali Imran mulai dari :

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ

Ayat ke 190 sampai tamat Surat Ali Imran.

20.   Dianjurkan dibaca pada orang sakit Surat al-Fatihah, Qul huwallah, Qul a’uzu birabbinnas dan Qul a’uzu birabb al-falaq

21.   Dianjurkan membaca Surat Yasin pada orang yang meninggal dunia.

22.   Dari Mujalid dari al-Sya’bi, orang-orang Anshar membaca Surat al-Baqarah pada saat menghadiri orang yang sudah meninggal dunia.

selesai



[1] Al-Nawawi, al-Tibyan fi Adab Hamalah al-Qur’an, Maktabah al-Muayyad, Saudi Arabiya, Hal. 176-185

Hadits “ shalat adalah tiang agama”

 Lafazh hadits ini :

الصلاة عماد الدين.

Shalat adalah tiang agama

Terkait hadits ini, al-Ajluniy menyampaikan kepada kita sebagai berikut :

1.  Al-Shakhawi mengatakan, hadits ini telah diriwayat oleh al-Baihaqi dalam Kitab Syu’b al-Iman dengan sanad dha’if dari hadits Ikrimah dari Umar secara marfu’. Al-Baihaqi mengutip dari gurunya, al-Hakim beliau berkata : “Ikrimah tidak mendengar hadits dari Umar.” Yang sama dengan ini dalam Kitab Takhrij al-Iraqi li Ahaditsi al-Ihya.

2.  Dalam al-Jami’ al-Shaghir hadits ini dinisbahkan kepada al-Baihaqi dari Umar.

3.  Lafazh al-Baihaqi dalam Syu’b al-Iman sebagaimana pada awal syarah al-Muwatha’ karangan al-Suyuthi berbunyi :

عن عمر رضي الله عنه قال جاء رجلٌ فقال يا رسول الله أي شئ أحب عند الله في الإسلام؟ قال الصلاة لوقتها ومن ترك الصلاة فلا دين له، والصلاة عماد الدين،

Dari Umar r.a., beliau berkata : “Seseorang datang dan bertanya : “Ya Rasulullah, apa yang sangat dicintai di sisi Allah dalam Islam?”. Rasulullah menjawab : “Shalat dalam waktunya. Barangsiapa meninggalkan shalat, maka tidak ada agama baginya. Shalat adalah tiang agama.”

 

4.  Hadits ini telah disebut dalam Ihya oleh Imam al-Ghazali dengan lafazh :

الصلاة عماد الدين، فمن تركها فقد هدم الدين.

Shalat adalah tiang agama, maka barangsiapa yang meninggalkannnya dia sungguh telah menghancurkan agama

 

5.  Pengarang al-Washith telah menyebut hadits ini. Beliau berkata : “ Nabi SAW bersabda :

الصلاة عماد الدين،

Ibnu al-Shalah tidak tahu hadits ini. Karena itu, dalam Musykil al-Washit beliau mengatakan bahwa hadits ini tidak dikenal. Dalam al-Tanqih, Imam al-Nawawi mengatakan munkar dan bathil. Namun al-Manawi mengatakan, Ibnu Hajar menolak pendapat al-Nawawi ini, karena hadits ini hanya dha’if dan terputus sanad saja dan tidak bathil. Hal ini juga telah diberitahukan oleh al-Iraqi dalam Hasyiah al-Kasyaf.

6.  Al-Thabraniy dan al-Dailamiy telah meriwayat dengan lafazh :

الصلاة عماد الدين والجهاد سنام العمل والزكاة بين ذلك.

Shalat adalah tiang agama, jihad adalah puncak amal, sedangkan zakat di antara keduanya

 

7.  Al-Tiimiy dalam Targhibnya meriwayat dengan lafazh :

الصلاة عماد الإسلام

Shalat adalah tiang Islam

 

8.  Abu Na’im meriwayat dari Bilal bin Yahya, beliau berkata :

جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم يسأله عن الصلاة فقال الصلاة عمود الدين

Seseorang menghampiri Nabi SAW menanyakan tentang shalat. Nabi SAW bersabda : “Shalat adalah tiang agama”.

 

Hadits ini mursal dan perawinya terpercaya.

 

9.  Sebagian fuqaha meriwayat dengan lafazh :

الصلاة عماد الدين فمن أقامها فقد أقام الدين ومن هدمها فقد هدم الدين يعني دين نفسه.

 

Shalat adalah tiang agama. Karena itu, barangsiapa mendirikan shalat, maka dia mendirikan agama dan barangsiapa yang meruntuhkan shalat, maka dia meruntuhkan agama, yakni agama dirinya.

 

10 . Al-Thabraniy meriwayat dari Mu’az dengan lafazh :

رأس هذا الأمر الإسلام ومن أسلم سلم وعموده الصلاة وذروة سنامه الجهاد ولا يناله إلا أفضلهم

Pokok perkara ini adalah agama dan barangsiapa yang Islam, maka selamat. Dan tiangnya adalah shalat, puncaknya adalah jihad dan tidak akan mencapainya kecuali orang yang utama dari mereka.[1]

 

Hadits dengan lafazh pada point terakhir ini juga telah diriwayat oleh Turmidzi, namun tanpa perkataan " wa laa yanaaluhu illa afzhaluhum".  Beliau mengatakan, hadits ini hasan shahih.[2]

 



[1] Al-‘Ajluniy, Kasyf al-Khufa, Maktabah al-Qudsi, Kairo, Juz. II, Hal. 31-32

[2] Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 12