Qaidah di atas
sering kita jumpai dalam kitab-kitab fiqh di saat pembahasan yang berujung
kepada pengkafiran seseorang karena i’tiqadnya yang dihukum sebagai i’tiqad bid’ah. Misalnya seseorang yang
beri’tiqad bahwa Allah mempunyai arah (misalnya Allah beradaa di atas langit),
lazim (konsekwensi) dari i’tiqad ini bahwa Allah adalah benda. Kalau Allah
benda, maka konsekwensinya Allah adalah baharu. I’tiqad Allah baharu jelas
disepakati menjadikan seseorang sebagai kafir. Namun demikian orang tersebut
tidak mengi’tiqad Allah baharu. Di sini muncul perbedaan umat Islam dalam
menyikapinya, apakah lazim mazhab adalah juga mazhab?. Yang berpendapat lazim
mazhab adalah mazhab, maka dalam kasus di atas, menyebabkan seseorang dihukum
kafir. Bagi yang berpendapat lazim mazhab bukanlah mazhab, maka dalam kasus di
atas, tidak menjadi kafir kecuali seseorang tersebut mengi’tiqad lazimnya.
Kebanyakan ulama
kita berpendapat lazim mazhab bukanlah mazhab. Berikut ini perkataan para ulama
yang berargumentasi dengan qaidah ini dalam mempertahankan pendapat yang
mengatakan sebagian ahli bid’ah tidak kafir, meskipun i’tiqadnya tersebut ada
kosekwensi (lazim) kepada kufur selama tidak dii’tiqad kufur tersebut.
Diantaranya :
1.
Ibnu Hajar al-Haitamiy
mengatakan :
الْأَصَح فِي الْأُصُول أَن لَازم الْمَذْهَب
لَيْسَ بِمذهب، لجَوَاز أَن يعْتَقد الْمَلْزُوم دون اللَّازِم،
Menurut
pendapat yang lebih shahih dalam ushul, sesungguhnya lazim mazhab bukanlah
mazhab. Karena boleh jadi seseorang mengi’tiqad malzum tanpa i’tiqad lazimnya.[1]
2.
Qalyubi dalam Hasyiah ‘ala Syarh al-Mahalliy mengatakan,
أنَّ لَازِمَ الْمَذْهَبِ
لَيْسَ بِمَذْهَبٍ
Sesungguhnya lazim mazhab bukanlah mazhab[2]
3. Al-Zarkasyi mengatakan,
لَازِمُ الْمَذْهَبِ لَيْسَ
بِمَذْهَبٍ
Lazim mazhab bukanlah mazhab[3]
Qaidah ini sesuai dengan
kutipan di atas oleh penulis-penulisnya di atas menyebutnya secara mutlaq,
yakni tanpa qaid berupa lazim tersebut bukan lazim yang terang (baiyyin).
Namun demikian, al-Syarwaniy dalam mengomentari qaidah ini yang disebut oleh
Ibnu Hajar al-Haitamiy dalam Tuhfah al-Muhtaj secara mutlaq, beliau menegaskan mutlaq
berlaku qaidah ini dalam Hasyiahnya, yakni :
)قَوْلُهُ:
أَنَّ لَازِمَ الْمَذْهَبِ) ظَاهِرُهُ، وَإِنْ كَانَ لَازِمًا بَيِّنًا، وَهُوَ
ظَاهِرٌ لِجَوَازِ أَنْ لَا يَعْتَقِدَ اللَّازِمَ، وَإِنْ كَانَ بَيِّنًا لَيْسَ
بِمَذْهَبٍ مَعْنَاهُ أَنَّهُ لَا يُحْكَمُ بِهِ بِمُجَرَّدِ لُزُومِهِ فَإِنْ
اعْتَقَدَهُ فَهُوَ مَذْهَبُهُ وَيَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ حُكْمُهُ اللَّائِقُ بِهِ
اهـ سم
(Perkataan pengarang,
sesungguhnya lazim mazhab…), dhahirnya meskipun lazim mazhab tersebut adalah
lazim yang terang. Ini dhahir karena boleh jadi bahwa seseorang tidak mengi’tiqad
lazimnya meskipun terang yang bukan merupakan mazhab. Maknanya sesungguhnya tidak
dihukum seseorang dengan lazimnya tersebut dengan semata-mata luzumnya. Karena itu,
jika seseorang mengi’tiqad lazimnya, maka itu mazhabnya dan berlaku atasnya hukum
yang semestinya baginya. Demikian dari Ibnu al-Qasim.[4]
Di bawah ini kami kutip pendapat beberapa ulama yang
menyebut lazim mazhab bukanlah mazhab dengan syarat apabila tidak ada lazim
tersebut terang (baiyyin) alias lazim tersebut tersembunyi. Artinya
apabila lazimnya merupakan lazim yang baiiyin, maka lazim mazhab adalah mazhab.
Yaitu sebagai berikut :
1.
Pengarang hasyiah al-‘Ithar
mengatakan,
لازم المذهب ليس بمذهب، مقيد بما إذا لم يكن اللازم لازمًا بيِّنًا
Lazim mazhab bukanlah mazhab dikaidkan apabila lazim tersebut bukan
lazim yang jelas”[5]
2.
Syeikh al-Dusuuqy mengatakan,
وأما قولهم لازم المذهب ليس بمذهب
فمحمول على اللازم الخفي
Adapun perkataan para ulama
“Lazim mazhab bukan mazhab” perkataan ini dipertempatkan atas lazim yang
tersembunyi.[6]
3.
Syeikh Hasan al-Saqaf seorang ulama kontemporer yang sangat gigih
mempertahankan Ahlussunnah wal Jama’ah menyebut qaidah ini yang semakna dengan
kutipan di atas, yakni :
الصحيح في هذا
ان لازم المذهب ان كان قريبا فهو مذهب وان كان بعيدا فليس مذهبا
Menurut pendapat yang shahih tentang ini, sesungguhnya lazim mazhab jika
lazim tersebut mendekati, maka menjadi mazhab. Adapun jika jauh, maka bukanlah
mazhab.[7]
[1] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa
al-Haditsiyyah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 108
[2]
Qalyubi, Hasyiah Qalyubi ‘ala Syarh al-Mahalliy, Dar Ihya
al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz, IV, Hal. 175
[3]
Al-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawaid al-Fiqhiyah, Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 207
[4] Ibnu
Hajar al-Haitamy, Hasyiah al-Syarwaniy ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah
Mushtafa Muhammad, Kairo, Hal. 86
[5]
Syeikh Hasan al-‘Ithar, Hasyiah al-‘Ithar ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’,
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 173
[6]
Al-Dusuuqy, Hasyiah al-Dusuuqi ‘ala al-Syarah al-Kabiir, Maktabah
Syamilah, Juz. IV, Hal, 301
[7] Hasan
al-Saqaf, Shahih Syarah al-‘Aqidah al-Thahawiyah, Dar al-Imam
al-Rawaas, Beirut, Hal. 371
lon tuan lake izin kopi dan share guree
BalasHapusget, silakan,
Hapus