Renungan

Kamis, 15 Desember 2022

Tayamum dan Jamak shalat untuk pengantin

Hukum tayamum dan Jamak shalat untuk pengantin dapat dijelaskan sebagai berikut :

1.  Kebolehan tayamum dalam fiqh berdasarkan firman Allah berbunyi :

فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُۚ

Lalu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang suci, usaplah wajah dan tanganmu dengan debu itu (Q.S. al-Maidah : 6)

 

Dalam ayat di atas, dijelaskan bahwa kebolehan tayamum dikaitkan dengan sebab tidak ada air. Para ahli fiqh menafsirkan tidak ada air di sini mencakup tidak ada air dalam kenyataan (hissi) dan tidak ada air pada syara’. Yang dimaksud tidak ada air pada syara’ adalah ada air pada hissi, namun tidak boleh digunakan pada syara’. Kedua jenis sebab ini, oleh Imam al-Nawawi menjabarkannya dalam sebab-sebab boleh tayamum berikut ini :

a.    Tidak ada air

b.    Ada air, namun diperlukan untuk minuman manusia atau hewan yang dihormati syara’

c.    Sakit, dimana apabila menggunakan air dikuatirkan hilang anggota tubuh atau lambat sembuh ataupun menimbulkan cacat yang memalukan pada dhahir anggota tubuh

d.    Sangat dingin. (Minhaj al-Talibin : 16-17)

Memperhatikan sebab-sebab kebolehan tayamum atas, terutama sebab tayamum huruf “b” s/d “d” merupakan ‘uzur yang wajib diperhatikan. Sehingga berlaku qaidah fiqh :

الواجب لا يترك الا بالواجب

Sebuah kewajiban tidak boleh ditinggalkan kecuali dengan sebab yang wajib juga.

 

Adapun mempertahankan tetap utuh rias pengantin pada acara pesta pernikahan bukanlah merupakan kewajiban pada syara’. Sehingga tidak boleh dijadikan alasan membolehkan tayamum untuk melaksanakan shalat. Apalagi apabila rias pengantin tersebut sudah masuk dalam katagori tabarruj (memperlihatkan kecantikan atau perhiasan yang dapat menarik perhatian laki-laki yang bukan mahram) yang diharamkan sebagaimana biasanya terjadi pada pesta pernikahan zaman sekarang, maka dapat dipastikan tidak boleh tayamum. Karena tayamum merupakan rukhsah (keringanan) dalam agama, sedangkan rukhsah tidak boleh karena faktor maksiat. Qaidah fiqh mengatakan :

الرخصة لا تناط بالمعصية

Rukhsah tidak dikaitkan dengan maksiat.

 

Perlu menjadi catatan bahwa masih banyak cara lain yang dapat dilakukan untuk menghormati tamu dalam pesta pernikahan apabila waktu shalat sudah tiba sebagaimana akan kami sebutkan pada akhir tulisan ini

2.  Adapun masalah jamak shalat, mari kita simak penjelasan Imam al-Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhazzab berikut :

(فَرْعٌ) فِي مَذَاهِبِهِمْ فِي الْجَمْعِ فِي الْحَضَرِ بِلَا خَوْفٍ ولا سفر وَلَا مَرَضٍ: مَذْهَبُنَا وَمَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ وَأَحْمَدَ وَالْجُمْهُورِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ وَحَكَى ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْ طَائِفَةٍ جَوَازَهُ بِلَا سَبَبٍ قَالَ وجوزه بن سِيرِينَ لِحَاجَةٍ أَوْ مَا لَمْ يَتَّخِذْهُ عَادَةً

Masalah mazhab ulama tentang jamak shalat pada waktu hazhir (tidak musafir) tanpa faktor ketakutan, musafir dan sakit, yakni mazhab kita (Mazhab Syafi’i), Mazhab Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan jumhur ulama berpendapat tidak boleh. Namun Ibnu al-Munzir menceritakan pendapat dari sekelompok ulama yang mengatakan boleh dengan tanpa sebab apapun. Ibnu Siriin membolehkannya karena kebutuhan atau selama tidak menjadikannya sebagai suatu kebiasaan. (Majmu’ Syarah al-Muhazzab IV/264)

 

Juga penjelasan Imam al-Nawawi  dalam Raudhah al-Thalibin :

وَقَدْ حَكَى الْخَطَّابِيُّ عَنِ الْقَفَّالِ الْكَبِيرِ الشَّاشِيِّ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ جَوَازَ الْجَمْعِ فِي الْحَضَرِ لِلْحَاجَةِ مِنْ غَيْرِ اشْتِرَاطِ الْخَوْفِ، وَالْمَطَرِ، وَالْمَرَضِ، وَبِهِ قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ مِنْ أَصْحَابِنَا

Al-Khathabiy sungguh telah menceritakan dari al-Qafal al-Kabiir al-Syaasyii dari Abu Ishaq al-Marwaziy boleh jamak pada waktu hazhir (tidak musafir) karena ada kebutuhan tanpa disyaratkan ada ketakutan, hujan dan sakit. Pendapat ini merupakan pendapat Ibnu al-Munzir dari pengikut Syafi’i. (Raudhah al-Thalibin I/401)

 

Sesuai dengan penjelasan al-Nawawi di atas, bahwa jumhur ulama, termasuk di dalamnya imam mazhab yang empat berpendapat jamak shalat shalat tanpa faktor ketakutan, musafir dan sakit tidak dibolehkan. Dengan demikian pendapat yang mengatakan boleh jamak shalat hanya karena hajat (kebutuhan) atau selama tidak menjadi kebiasaan bertentangan dengan mazhab yang empat dan jumhur ulama. Al-Ruyaaniy telah menyebut pendapat ini sebagai pendapat ghalzun (tersalah) (Bahr al-Mazhab II/350). Pendapat ini juga bertentangan dengan hadits Nabi SAW berbunyi :

من جمع بين صلاتين من غير عذر فقد أتى بابا من أبواب الكبائر

Barangsiapa yang melakukan jamak antara dua shalat dengan tanpa ‘uzur, maka dia telah mendatangkan pintu dari pintu-pintu dosa besar. (H.R. al-Turmidzi, al-Baihaqi dan lainnya)

 

Setelah menolak pendapat yang mengatakan boleh jamak shalat hanya karena hajat (kebutuhan) atau selama tidak menjadi kebiasaan dengan mengemukakan dalil-dalilnya, Ismail al-Zain (W. 1382 H), seorang ulama mazhab Syafi’i mutaakhirin, menyimpulkan :

إذا علم هذا فما عليه أئمة المذاهب الأربعة هو المعتمد وهو الذي يدين الله به من يريد الاستبراء للدين وما سوى ذلك لا يعول عليه ولا يجوز اعتماده ولا تقليد قائله

Apabila ini sudah dimaklumi, maka apa yang menjadi pegangan mazhab yang empat adalah mu’tamad (menjadi pegangan) dan dengannya orang-orang yang mau menjagakan diri bagi  agamanya menundukkan diri kepada Allah. Tidak bersandar kepada selain itu (selain pendapat mazhab empat) dan tidak boleh berpegang dengannya dan juga tidak boleh taqlid kepada yang mengatakan pendapat tersebut. (Qurratul ‘Ain bi Fatawa Isma’il al-Zain :82)

 

Adapun hadits Nabi SAW berbunyi :

أن النبي صلى الله عليه وسلم جمع بالمدينة من غير خوف ولا مطر

Sesungguhnya Nabi SAW melakukan shalat secara jamak di Madinah tanpa ada sebab ketakutan dan hujan (H.R. Muslim)

 

Diantara takwil hadits ini yang dikemukakan jumhur ulama, yang dimaksud jamak dalam hadits ini adalah al-jam’u al-shuuri (seperti bentuk jamak), yakni melaksanakan shalat waktu pertama pada akhir waktunya dan melaksanakan shalat waktu kedua pada awal waktunya, sehingga kedua shalat tersebut berhampiran waktu pelaksanaannya, seolah-olah seperti shalat jamak. (Qurratul ‘Ain bi Fatawa Isma’il al-Zain :82)

Dengan demikian, untuk pertanyaan bolehkah jama' shalat karena sangat sukar meninggalkan pelaminan ketika puncak tamu, terutama shalat dhuhur ? jawabannya tidak boleh. Karena hanya sekedar menerima tamu dalam acara pesta pernikahan tidak termasuk dalam katagori ‘uzur pada syara’ yang membolehkan jamak shalat .

Solusi untuk kasus dalam pertanyaan Sdri Dara al-Khairi di atas

1.  Setelah shalat dilaksanakan, pengantin tampil saja secara sederhana tanpa perlu make up lagi (di Aceh dan Indonesia pada umumnya pesta pernikahan dilakukan siang hari). Kami yakin para tamu bisa memahaminya. Bahkan tamu yang baik pasti bertambah menghormatinya karena melihat pengantin meskipun sedang dalam acara pesta pernikahannya, masih tetap melaksanakan shalat sebagai kewajibannya kepada Allah Ta’ala.

2.  Shalat tidak wajib dilakukan pada awal waktu, boleh dilakukan pada ujung waktu asal masih dalam waktunya. Dengan demikian, pengantin dapat melakukan shalat pada ujung waktu dhuhur, dimana biasanya pada saat itu tamu sudah mulai kosong. Perlu dicatat bahwa waktu shalat dhuhur mulai tergelincir matahari sampai dengan ukuran panjang bayang suatu benda sebanding dengan ukuran panjang benda itu sendiri. Apabila bayangannya sudah melebihi dari ukuran benda, maka sudah masuk waktu asar. Dengan demikian, selama belum masuk waktu asar, maka masih ada waktu dhuhur. Di Banda Aceh apabila pengantin merencanakan shalat dhuhur pada pukul 15.00 Wib, Insya Allah masih mempunyai waktu cukup untuk shalat. Dan biasanya pada pukul 15.00, Wib tamu sudah mulai kosong.

 

Wallahua’lam bisshawab

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar