Imam Syafi’i
r.a. sebagaimana dikutip al-Mawardi dalam Kitab al-Hawi al-Kabir berkata:
وَلَا بَأْسَ أَنْ يَبِيتَ الْمُشْرِكُ فِي كُلِّ مَسْجِدٍ
إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ لِقَوْلِ اللَّهِ جَلَّ وَعَزَّ: فَلا يَقْرَبُوا
الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا
Tidak mengapa orang musyrik
menetap dalam setiap masjid kecuali Masjid Haram, karena firman Allah Jalla wa
‘Azza :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati
Masjidilharam sesudah tahun ini (Q.S. al-Taubah : 28) [1]
Setelah mengutip
ucapan Imam Syafi’i di atas, al-Mawardi membagikan orang musyrik dalam dua
pembagian, yaitu :
1.
Mereka diterima sebagai ahli zimmi
dengan syarat tidak boleh memasuki masjid. Maka mereka ini tidak boleh memasuki
masjid dalam keadaan apapun
2.
Mereka yang tidak dibuat syarat
apapun terkait masuk masjid. Kelompok ini terjadi perbedaan pendapat ulama dalam
tiga pendapat terkaid apakah mereka dibolehkan masuk masjid atau tidak. Imam
Syafi’i membolehkannya dengan izin pihak masjid kecuali masjid haram. Imam
Malik tidak membolehkannya baik masjid haram maupun masjid lainnya. Sedangkan Imam
Abu Hanifah membolehkan secara mutlaq, baik masjid haram maupun masjid lain.
Kemudian dengan mendasarkan kepada ayat di atas, al-Mawardi membantah
pendapat Abu Hanifah yang membolehkan bagi kafir memasuki masjid tanpa
pengecualian masjid haram. Demikian juga pendapat Malik yang berpendapat tidak
boleh secara mutlak. Karena ayat di atas mengkhususkan larangan hanya pada masjid
haram, maka dipahami bahwa bagi selain masjid haram berlaku hukum sebaliknya,
yaitu boleh.[2]
Al-Zarkasyi juga
ikut menguatkan pendapat Imam Syafi’i di atas, beliau mengatakan :
يمكن
الكافر من دخول المسجد واللبس فيه وان كان جنوبا فان الكفار كانوا يدخلون مسجد
صلعم ولا شك ان فيهم الجنوب
Dipersilakan orang kafir masuk
masjid dan menetap dalamnya meskipun mereka berjunub, karena kaum kafir masuk
masjid Nabi SAW, padahal mereka berjunub.[3]
Kemudian dalam
rangka pendalilian pendapat beliau, al-Zarkasyi mengatakan, Imam al-Bukhari
telah membuat bab khusus tentang kaum musyrik masuk masjid dan beliau menyebut dalam
bab tersebut hadits kisah seorang Arab Baduwi yang bertanya tentang Islam dan hadits
kisah Yahudi yang mencerita seorang laki dan perempuan dari kalangan mereka
yang berzina. [4]
Senada dengan
al-Zarkasyi, al-Khatib al-Syarbaini mengatakan dalam kitabnya :
وَلَا يَجْرِي هَذَا الْحُكْمُ فِي حَرَمِ الْمَدِينَةِ
لِاخْتِصَاصِ حَرَمِ مَكَّةَ بِالنُّسُكِ، وَثَبَتَ أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَدْخَلَ الْكُفَّارَ مَسْجِدَهُ، وَكَانَ ذَلِكَ بَعْدَ
نُزُولِ " بَرَاءَةٌ "، فَإِنَّهَا نَزَلَتْ سَنَةَ تِسْعٍ، وَقَدِمَ
الْوَفْدُ عَلَيْهِ سَنَةَ عَشْرٍ وَفِيهِمْ وَفْدُ نَصَارَى نَجْرَانَ، وَهُمْ
أَوَّلُ مَنْ ضَرَبَ عَلَيْهِمْ الْجِزْيَةَ فَأَنْزَلَهُمْ مَسْجِدَهُ
وَنَاظَرَهُمْ فِي أَمْرِ الْمَسِيحِ وَغَيْرِهِ
Hukum ini (haram memasuki
haram Mekkah) tidak berlaku pada haram Madinah, karena terkhusus haram Mekkah dengan
ibadah haji dan juga terdapat riwayat yang shahih, bahwa Nabi SAW memasukkan
orang kafir ke dalam masjid beliau, dan itu terjadi setelah turun surat At-Taubah,
surat ini turun di tahun 9 Hijriyah. Sementara beliau menerima tamu-tamu pada
tahun 10 Hijriyah, dan diantara mereka ada orang Nasrani Najran. mereka suku
pertama yang terkena kewajiban jizyah. Nabi SAW menyuruh mereka
singgah di dalam masjid, dan beliau juga berdebat dengan mereka tentang al-Masih
dan yang lainnya.[5]
Kesimpulan
1.
Non-muslim yang diterima sebagai
ahli zimmi dengan persyaratan tidak boleh memasuki masjid, mereka ini tidak
boleh memasuki masjid dalam keadaan apapun
2.
Non-muslim yang tidak dibuat
syarat apapun terkait masuk masjid. Kelompok ini terjadi perbedaan pendapat
ulama dalam tiga kelompok pendapat terkaid apakah mereka dibolehkan masuk masjid
atau tidak. Imam Syafi’i membolehkannya dengan syarat ada izin pihak masjid kecuali
masjid haram. Adapun masjid haram diharamkan bagi mereka dalam keadaan apapun
[1]
Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
[2] Al-Mawardi,
al-Hawi al-Kabir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
[3] Zarkasyi,
I’lam Sajid bi Ahkam al-Masjid, Kairo, Hal. 318
[4]
Zarkasyi, I’lam Sajid bi Ahkam al-Masjid, Kairo, Hal. 318
[5] Al-Khatib
al-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj,Maktabah
Syamilah, Juz. VI, Hal. 68
Tidak ada komentar:
Posting Komentar