Imam Ghazali dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin menerangkan
tingkatan dalam berpuasa, yaitu : Pertama, puasa orang awam, Puasa
tingkatan pertama disebut sebagai shaumul umum atau puasanya orang awam.
Praktik puasa yang dilakukan di tingkatan ini sebatas menahan haus dan lapar
serta hal-hal lain yang membatalkan puasa secara fiqh.
Kedua, puasanya orang khusus atau puasanya orang-orang spesial. Puasa
tingkatan kedua ini adalah puasanya orang-orang shalih. Mereka berpuasa lebih
dari sekadar untuk menahan haus, lapar dan hal-hal yang membatalkan. Tapi
mereka juga berpuasa untuk menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan,
kaki dan segala anggota badannya dari perbuatan dosa dan maksiat. Mulutnya
bukan saja menahan diri dari mengunyah, tapi juga menahan diri dari
menggunjing, bergosip, apalagi memfitnah. Imam al-Ghazali menuturkan bahwa
puasa tingkatan ini akan sempurna dengan enam perkara, yaitu :
1. Menghindari dari memandang sesuatu yang tercela dan makruh serta dari
setiap yang melalaikan hati dari mengingat Allah Ta’ala
2. Memelihara lidah dari berkata dusta, ghibah, ucapan yang keji dan kasar,
berbantah-bantah serta berlaku riya. Disamping itu, memperbanyak diam dan
menyibuk diri dengan berzikir kepada Allah dan membaca al-Qur’an.
3. Menghindari pendengaran dari menyimak sesuatu yang dibenci syara’, karena
setiap yang haram mengatakannya haram juga menyimaknya.
4. Menghindari anggota tubuh lain dari dosa seperti dosa tangan dan kaki. Demikian
juga menghindari perut dari syubhat pada waktu berbuka. Tidak ada makna puasa
menahan makan makanan halal, akan tetapi kemudian berbuka dengan makanan haram.
Sesungguhnya makanan halal yang banyak dapat memudharat manusia. Karena itu,
puasalah yang menguranginya.
5. Tidak memperbanyak makan yang halal pada waktu berbuka. Ruh dan rahasia
puasa adalah melemahkan kekuatan yang merupakan wasilah syaithan untuk
kembali kepada kejahatan. Itu tidak akan
berhasil kecuali dengan mengurangi makan.
6. Hendaknya hati orang yang berpuasa digantung antara rasa khauf (rasa takut
kepada Allah) dan rasa rija’ (berharap ridha Allah). Karena seseorang tidak
mengetahui apakah puasanya itu diterima di sisi-Nya atau ditolak.
Ketiga, Puasa Orang Super-Khusus. Ini tingkatan yang paling tinggi
menurut klasifikasi Imam Al-Ghazali, disebut shaumul khushusil khushus.
Mereka tidak saja menahan diri dari maksiat, tapi juga menahan hatinya dari
keraguan akan hal-hal keakhiratan. Menahan pikirannya dari masalah duniawiyah,
serta menjaga diri dari berpikir kepada selain Allah. Standar batalnya puasa
bagi mereka sangat tinggi, yaitu apabila terbersit di dalam hati dan pikirannya
tentang selain Allah. Bahkan, menurut kelompok ketiga ini puasa dapat
terkurangi nilainya dan bahkan dianggap batal apabila di dalam hati tersirat
keraguan, meski sedikit saja, atas kekuasaan Allah. Puasa kategori tingkatan
ketiga ini adalah puasanya para nabi, shiddiqin dan muqarrabin. Puasa tingkatan ketiga inilah yang disebut
oleh sebagian ulama sebagai tingkatan muntahi (tingkatan penghujung
puasa).
Upaya Imam Al-Ghazali mengklasifikasi orang berpuasa ke
dalam tiga tingkatan di atas, tak lain tujuannya adalah agar kita yang setiap
tahun berpuasa Ramadhan bisa menapaki tangga yang lebih tinggi dalam kualitas
ibadah puasanya. Karena itu, apabila seseorang menginginkan puasanya sempurna
dan mencapai tingkat tertinggi, maka hendaknya menyempurnakan puasanya dimulai
dari tingkatan pertama dengan memelihara puasanya dari yang membatalkan puasa
secara fiqh, kemudian naik ke tingkatan kedua dengan menjaga dirinya dengan
menerapkan apa yang harus dilakukannya sebagaimana dijelaskan Imam al-Ghazali
di atas. Kemudian insya Allah dengan mengharap ridha Allah (dengan penuh rasa
rija’ dan khauf) mudah-mudahan dianugerahkan oleh Allah mendapatkan puasa para
nabi, shiddiqin dan muqarrabin. Amiin Ya Rabbal ‘Alamiin.
Kemudian, apakah seseorang berdosa kalau
puasanya hanya sekedar tahan lapar dan dahaga? Jawabannya, selama puasanya itu
tidak dibaringi dengan hal-hal yang membatalkan puasa secara ilmu fiqh, maka
puasanya sah dan sudah dihukum sebagai orang yang melaksanakan perintah Allah.
Dengan demikian, dari sisi pandang ini, orang seperti ini tidak berdosa, meskipun
dia dapat dihukum berdosa misalnya karena berkata dusta dan lain-lain. Namun
demikian, puasa orang ini tidak bernilai di sisi Allah Ta’ala. Karena itu, Nabi
SAW bersabda :
رُبَّ
صَاىِٔمٍ ليس له مِنْ صِيَامِهِ الا الْجُوْعُ
Berapa banyak orang berpuasa, yang tidak mendapatkan apa-apa
kecuali menahan lapar saja. (H.R. Ibnu Majah)
Wallahua’lam bisshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar