Renungan

Jumat, 12 Mei 2023

Hukum mengangkat tangan sebagai ganti salam

 

Mengucapkan dan menjawab salam adalah kebiasaan baik yang seyogyanya dilakukan setiap muslim setiap kali bertemu dengan saudaranya. Sebagai seorang muslim, mengucapkan salam adalah hal yang sunnah dilakukan setiap hari dalam berbagai aktifitas, seperti bertemu dengan sesama muslim, masuk dalam suatu ruangan/rumah dan berbagai aktifitas lainnya. Adapun lafazh salam yang dianjurkan minimal :

‌السَّلَامُ ‌عَلَيْكُمْ

atau

سَلَامِي عَلَيْكُمْ

ataupun

 سَلَامٌ عَلَيْكُمْ

(Hasyiah Qalyubi : IV/216)

Lantas bagaimana hukumnya seandainya seseorang hanya mengangkat tangan sebagai ganti salam ? Pada dasarnya hanya mengangkat tangan sebagai ganti salam, hukumnya kurang  baik, meskipun tidak sampai kepada haram. Para ulama kita ada yang mengatakan makruh dan ada juga yang mengatakan hanya khilaf aula (kurang baik). Imam al-Nawawi dalam fatawa beliau mengatakan makruh.

الانحناء بالرأس مكروه، والسلام بالِإشارة من غير نطق مكروه في حق الناطق، مستحب في حق الأخرس، فإن كان الذي يسلم عليه بعيدًا جمع بين اللفظ والِإشارة.

Menunduk kepala makruh. Sedangkan salam dengan isyarat tanpa melafazhkannya makruh atas orang yang dapat bicara dan dianjurkan atas orang yang bisu. Karena itu, jika orang yang akan diberikan salam adalah orang yang jauh, maka hendaknya dihimpun antara lafazh dan isyarat.(Fatawa al-Nawawi : 70)

Demikian juga, beliau mengatakan makruh dalam kitabnya, al-Azkar, halaman 246. Namun demikian, dalam kitab Raudhah al-Thalibiin beliau hanya mengkatagorikan sebagai khilaf aula. Beliau mengatakan,

وَالْإِشَارَةُ بِالسَّلَامِ بِالْيَدِ وَنَحْوِهَا بِلَا لَفْظٍ خِلَافُ الْأُولَى، فَإِنْ جَمَعَ بَيْنَ الْإِشَارَةِ وَاللَّفْظِ، فَحَسَنٌ

Isyarat salam dengan tangan dan seumpamanya tanpa lafazh adalah khilaf aula. Karena itu, apabila dihimpun antara isyarat dan lafazh, maka itu baik.(Raudhah al-Thalibin : X/233)

 

Diantara ulama lain yang mengatakan khilaf aula adalah Ibnu al-Muqri dalam kitab Raudh al-Thalib dan diamini oleh Zakariya al-Anshari dalam syarahnya. (Asnaa al-Mathaalib fi Syarh Raudh al-Thalib : IV/183). Demikian juga Syeikh Nawawi al-Bantaniy mengatakannya sebagai khilaf aula. (Nihayah al-Zain : 361)

Adapun dalil makruh atau khilaf aula mengangkat tangan sebagai ganti salam adalah sabda Nabi SAW berbunyi :

لَا تُسَلِّمُوا تَسْلِيمَ الْيَهُودِ فَإِن تسليمهم بالرؤوس وَالْأَكُفِّ وَالْإِشَارَةِ

Janganlah memberikan salam sebagaimana salam Yahudi. Sesungguhnya salam mereka  itu dengan kepala atau telapak tangan ataupun dengan isyarat.(H.R. al-Nisa-i)

 

Ibnu Hajar al-Asqalaniy mengatakan, sanadnya jaid (baik) (Fathulbarri : XI/14). Disamping itu ada sabda Nabi SAW berbunyi :

لَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَالنَّصَارَى فَإِنَّ تَسْلِيمَ الْيَهُودِ الْإِشَارَةُ بِالْإِصْبَعِ وَتَسْلِيمُ النَّصَارَى بِالْأَكُفِّ

Janganlah kalian menyerupai dengan Yahudi dan Nashara. Sesungguhnya salam Yahudi itu isyarat dengan jari dan salam Nashara isyarat dengan telapak tangan.(H.R. Turmidzi)

 

Namun menurut Turmidzi hadits ini gharib. Ibnu Hajar al-Asqalaniy mengatakan, dalam sanadnya dhaif.(Fathulbarri : XI/14).

Adapun hadits dari Asmaa bin Yaziid r.a. beliau berkata :

مَرَّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ يَوْمًا وَعُصْبَةٌ مِنْ النِّسَاءِ قُعُودٌ فَأَلْوَى بِيَدِهِ لِلتَّسْلِيمِ

Suatu hari Rasulullah SAW melewati masjid, sementara sekelompok perempuan sedang duduk, maka beliau mengisyaratkan salam dengan tangannya. (H.R. Turmidzi).

 

Hadits ini telah diriwayat oleh Turmidzi dan beliau mengatakan hadits ini hasan. Juga telah diriwayat oleh Abu Daud dengan redaksi :

فَسَلَّمَ عَلَيْنَا

Maka Rasulullah SAW memberikan salam kepada kami.

 

Dengan demikian, hadits riwayat Turmidzi di atas bermakna, Rasulullah SAW memberikan salam dengan menghimpun lafazh dan isyarat, bukan dengan isyarat saja sebagaimana dhahir makna hadits Turmidzi. (al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab : IV/595)

Catatan

Dalam hal larangan mengangkat tangan sebagai ganti salam, Ibnu Hajar al-Asqalaniy mengecualikan salam kepada orang-orang dalam kesibukannya dapat menghalanginya melafazhkan jawab salam, misalnya orang yang sedang shalat, orang yang keberadaannya jauh dan orang bisu. Maka memberikan salam kepada orang ini dapat dilakukan dengan isyarat saja. Demikian juga salam kepada orang tuli. Dalam Fathulbarri, beliau mengatakan,

وَالنَّهْيُ عَنِ السَّلَامِ بِالْإِشَارَةِ مَخْصُوصٌ بِمَنْ قَدَرَ عَلَى اللَّفْظِ حِسًّا وَشَرْعًا وَإِلَّا فَهِيَ مَشْرُوعَةٌ لِمَنْ يَكُونُ فِي شُغْلٍ يَمْنَعُهُ مِنَ التَّلَفُّظِ بِجَوَابِ السَّلَامِ كَالْمُصَلِّي وَالْبَعِيدِ وَالْأَخْرَسِ وَكَذَا السَّلَامُ عَلَى الْأَصَمِّ

Larangan salam dengan isyarat dikhususkan kepada orang yang mampu melafazhkan, baik secara hissi mau secara syara’. Jika bukan, maka tetap disyariatkan salam dengan isyarat kepada orang yang dalam kesibukannya dapat menghalanginya melafazhkan jawab salam, misalnya orang yang sedang shalat, orang yang keberadaannya jauh dan orang bisu. Demikian juga salam kepada orang tuli. (Fathulbarri : XI/14).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar