Renungan

Rabu, 12 Juli 2023

Pengertian makruh di sisi ulama fiqh

 

Makruh lazim di maknai dengan :

ما يثاب على تركه ولا يعاقب على فعله.

Sesuatu yang diberikan pahala karena meninggalkannya dan tidak ada siksaan karena melakukannya.

 

Devinisi makruh seperti ini antara lain di temui dalam kitab ushul, al-Warqaat karangan Imam al-Haramain. (Hasyiah al-Dimyaathiy ‘ala Syarh al-Warqaat : 4). Makruh dengan makna ini mencakup larangan dengan nahi yang khusus dan larangan dengan nahi yang bukan khusus. Yang dimaksud dengan nahi khusus adalah larangan yang dipahami secara langsung dari keterangan syara’. Sedangkan nahi yang bukan khusus adalah larangan yang dipahami dari perintah syara’ atas suatu perbuatan. Konsekwensinya, syara’ melarang meninggalkannya sesuai dengan qaidah :

الأمر بشيء يفيد ‌النهي ‌عن تركه

Perintah kepada sesuatu, memberi petunjuk kepada larangan meninggalkannya.

 

Syeikh Ahmad al-Dimyaathiy menjelaskan bahwa devinisi makruh yang mencakup kedua jenis larangan di atas merupakan devinisi berasal dari istilah para ulama ushul. Akan tetapi sebagian mutaakhiriin fuqaha, diantaranya Imam Haramain membedakan antara keduanya. Larangan dengan nahi yang khusus dinamakan dengan makruh, sedangkan larangan dengan nahi yang bukan khusus dinamakan dengan khilaful aula. (Hasyiah al-Dimyaathiy ‘ala Syarh al-Warqaat : 4). Penjelasan yang sama juga dikemukakan dalam kitab Lathaif al-Isyaraat. (Lathaif al-Isyaraat lil Syeikh Abd al-Hamiid : 10)

Sesuai dengan pendapat Imam Haramain di atas, Zakariya al-Anshari dalam kitab ushulnya mengatakan,

فإن اقتضى فعلاً غير كف اقتضاء جازما فإيجاب أوغير جازم فندب أو كفا جازما فتحريم أوغير جازم بنهي مقصود فكراهة أو بغير مقصود فخلاف الأولى

Dengan demikian, jika titah tersebut menuntut perbuatan yang bukan meninggalkan sebagai tuntutan yang mesti dilakukan, maka adalah ijab atau yang tidak mesti dilakukan, maka adalah nadab atau menuntut meninggalkannya dengan tuntutan yang mesti ditinggalkan maka adalah tahrim atau yang tidak mesti ditinggalkan dengan larangan yang diqashadkan maka adalah karahah atau dengan larangan yang bukan diqashadkan maka adalah khilaful aula.(Ghayah al-Wushul : 10)

 

Zakariya al-Anshari menyebut contoh makruh, antara lain makruh duduk dalam masjid sebelum  melakukan shalat dua rakaat berdasarkan larangan langsung pada hadits Shahihaini berikut :

 اذا دخل أحدكم المسجد فلا يجلس حتى يصلى ركعتين

Apabila salah seorang kamu memasuki masjid, maka jangan duduk sehingga melakukan shalat dua raka’at. (Muttafaquun ‘alaihi)

 

Adapun contoh khilaful aula adalah  berbuka puasa musafir yang tidak mudharat dengan sebab puasa dan meninggalkan shalat dhuha.(Ghayah al-Wushul : 10). Banyak keterangan syara’ yang menerangkan bahwa berpuasa lebih utama bagi musafir. Demikian juga keutamaan shalat dhuha. Dengan demikian, meninggalkan puasa bagi musafir dan meninggalkan shalat dhuha, hukumnya adalah khilaful aula.


Patut menjadi catatan, dalam pembedaan antara makruh dan khilaful aula, sebagian ulama menyebutnya dengan larangan khusus dan sebagian ulama lainnya menyebutnya dengan larangan yang diqashadkan. Kedua perkataan ini, maksudnya sama. Karena larangan yang diqashadkan mempunyai arti larangan tersebut dipahami langsung dari larangan khusus, bukan dipahami dari perintah syara’ atas sesuatu.


Apabila kita telusuri literatur fiqh, kita akan menemui makna makruh tidak terbatas dengan makna tersebut di atas. Imam al-Ghazali dalam kitabnya. Al-Mustashfaa menjelaskan kepada kita bahwa makruh menurut ‘uruf fiqaha mempunyai beberapa makna, yaitu :

1.  Mahdhur (haram). Ketika Imam Syafi’i mengatakan, : “Wa akrahu kaza….”, kebanyakan dari lafazh tersebut, maksud beliau adalah haram.

2.  Larangan yang bersifat tanziih, yaitu ungkapan yang menunjukkan bahwa meninggalkannya lebih baik dari pada melakukannya, meskipun melakukannya tidak mendatangkan siksaan.

3.  Meninggalkan sesuatu yang lebih utama, meskipun tidak ada larangannya. Misalnya meninggalkan shalat Dhuha, bukan karena ada larangannya, akan tetapi karena banyak fadhilah dan pahalanya.

4.  Sesuatu yang mengandung keraguan dan syubhat dalam pengharamannya. Misalnya daging binatang buas dan sedikit anggur. Menurut al-Ghazali, makruh dengan makna ini perlu di analisis kembali. Karena apabila seorang ulama berijtihad dan hasil ijtihadnya adalah haram, maka sesuai dengan ijtihadnya, hukumnya adalah haram. Sebaliknya, apabila hasil ijtihadnya halal, maka hukumnya adalah halal. Karena itu, tidak ada makna untuk dinamakan dengan makruh di sini. (Al-Mustashfaa : 53-54)

Beberapa catatan terkait makna-makna makruh yang dikemukakan al-Ghazali di atas, antara lain :

1.  Imam al-Razi juga mengatakan :

وكثيرا ما يقول الشافعي رحمه الله أكره كذا وهو يريد به التحريم

Kebanyakan yang dikatakan Imam Syafi’i rhm, akrahu kaza….”, maksud beliau adalah haram. (al-Mahshul : I/104)

 

Terkait makruh bermakna haram ini sebagaimana pada makna pertama, Ibnu Suraaqah sebagaimana dikutip oleh al-Zarkasyi mengatakan,

وَسَمَّاهُ الشَّافِعِيُّ فِي كَثِيرٍ مِنْ كُتُبِهِ مَكْرُوهًا أَيْضًا تَوَسُّعًا، وَالْأَظْهَرُ أَنَّ لَفْظَ الْمَكْرُوهِ لَا يَقْتَضِي التَّحْرِيمَ

Imam Syafi’i menamakan yang haram dengan makruh juga dalam kebanyakan kitabnya karena tawassu’ (toleransi dalam istilah). Adapun menurut yang lebih dhahir, bahwa lafazh makruh tidak dimaksudkan kepada haram. (Bahrul Muhith lil Zarkasyi : I/337)

 

Contoh makruh bermakna haram dalam perkataan Imam Syafi’i adalah :

وَأَكْرَهُ النِّيَاحَةَ عَلَى الْمَيِّتِ ‌بَعْدَ ‌مَوْتِهِ

Dan aku memakruhkan (haram) meratap atas mayat setelah kematiannya. (Al-Umm : I/318)

 

Contoh lain makruh bermakna haram dalam perkataan Imam Syafi’i :

‌وَأَكْرَهُ ‌لِلْمُسْلِمِ ‌أَنْ ‌يَعْمَلَ ‌بِنَاءً ‌أَوْ ‌نِجَارَةً أَوْ غَيْرَهُ فِي كَنَائِسِهِمْ الَّتِي لِصَلَوَاتِهِم

Aku memandang makruh (haram) bagi seorang muslim yang membuat bangunan atau menjadi tukang kayu atau yang lainnya di gereja-gerja mereka yang digunakan untuk shalat mereka. (Al-Umm : 4/226)

 

Namun demikian, dalam kitab-kitab fiqh Syafi’iyah, makruh sering dimaknai dengan makruh tanziih. Ini berbeda dengan kitab-kitab fiqh dari kalangan Hanafiyah, dimana makruh apabila disebut secara mutlaq, maka dimaknai dengan haram. Ibnu ‘Abidin salah seorang ulama mutaakhiriin dari kalangan Hanafiyah mengatakan dalam kitabnya :

الْكَرَاهَةُ حَيْثُ أُطْلِقَتْ فَالْمُرَادُ مِنْهَا التَّحْرِيمُ قَالَ فِي الْبَحْر وَاعْلَمْ أَنَّ الْمَكْرُوهَ إذَا أُطْلِقَ فِي كَلَامِهِمْ فَالْمُرَادُ مِنْهُ التَّحْرِيمُ إلَّا أَنْ يَنُصَّ عَلَى كَرَاهَةِ التَّنْزِيهِ، فَقَدْ قَالَ الْمُصَنِّفُ فِي الْمُصَفَّى: لَفْظُ الْكَرَاهَةِ عِنْدَ الْإِطْلَاقِ يُرَادُ بِهَا التَّحْرِيمُ. قَالَ أَبُو يُوسُفَ: قُلْت لِأَبِي حَنِيفَةَ: إذَا قُلْت فِي شَيْءٍ أَكْرَهُهُ فَمَا رَأْيُك فِيهِ؟ قَالَ: التَّحْرِيمُ. اهـ

Makruh pada ketika disebut secara mutlaq, maka maksudnya adalah haram. pengarang al-Bahr mengatakan, ketahuilah bahwa makruh apabila disebut secara mutlaq dalam kalam mereka, maka maksudnya adalah haram kecuali ada disertai penyebutan makruh tanzih. Pengarang al-Musshaffaa mengatakan, lafazh makruh pada ketika mutlaq, maksudnya adalah haram. Abu Yusuf bertanya kepada Abu Hanifah, apabila engkau mengatakan pada sesuatu,”Aku memakruhkannya”. Apa maksud engkau tentangnya?. Abu Hanifah menjawab, “Maksudku adalah haram”. (Hasyiah Ibnu ‘Abidin : I/224)

 

2.  Menurut keterangan al-Zarkasyi makna makruh yang disebut oleh Imam al-Ghazali pada makna yang ke-3, yaitu makruh bermakna meninggalkan yang lebih utama, ini oleh sebagian  fuqaha tidak memasukkannya dalam katagori makruh, akan tetapi menyebutnya sebagai khilaful aula. Untuk membedakannya dengan larangan yang bersifat tanziih (makruh tanziih), al-Zarkasyi mengatakan sebagai berikut :

وَفَرَّقَ مُعْظَمُ الْفُقَهَاءِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الَّذِي قَبْلَهُ أَنَّ مَا وَرَدَ فِيهِ نَهْيٌ مَقْصُودٌ يُقَالُ فِيهِ: مَكْرُوهٌ، وَمَا لَا يُقَالُ فِيهِ: خِلَافُ الْأَوْلَى، وَلَا يُقَالُ: مَكْرُوهٌ.

Para pembesar fuqaha membedakan antaranya dan yang sebelumnya bahwa yang datang padanya larangan yang memang diqashadkan disebut sebagai makruh. Sedangkan larangan yang bukan diqadhad disebut khilaful aula, bukan makruh. (Bahrul Muhith lil Zarkasyi : I/394)

 

Penjelasan ini juga telah dikemukakan oleh Syeikh Ahmad al-Dimyaathiy sebagamana pada awal tulisan ini di atas.

3.  Al-Razi dalam kitab al-Mahshul hanya menyebut tiga makna makruh, yaitu yang disebut Imam al-Ghazali di atas kecuali makna ke-4. Al-Razi tidak memasukkan sesuatu yang mengandung keraguan dan syubhat dalam pengharamannya (makna ke-4) dalam katagori makna makruh. (Lihat al-Mahshul lil Razi : I/104). Kemungkinan besar karena al-Razi setuju dengan kritik Imam al-Ghazali sebagaimana terlihat pada kritik beliau di atas.

4.  Dikalangan fuqaha Hanafiah dikenal juga istilah makruh tahrim. Mereka membedakan makruh tahrim dengan haram sebagaimana dikutip oleh al-Zarkasyi berikut ini :

وَفَرَّقَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ صَاحِبُ أَبِي حَنِيفَةَ بَيْنَ الْحَرَامِ وَالْمَكْرُوهِ كَرَاهَةِ تَحْرِيمٍ، فَقَالَ: الْمَكْرُوهُ كَرَاهَةَ تَحْرِيمٍ: مَا ثَبَتَ تَحْرِيمُهُ بِغَيْرِ قَطْعِيٍّ، وَالْحَرَامُ مَا ثَبَتَ بِقَطْعِيٍّ كَالْوَاجِبِ مَعَ الْفَرْضِ

Muhammad bin Hasan pengikut Abu Hanifah membedakan antara haram dan makruh tahrim. Beliau mengatakan, makruh tahrim adalah yang ditetapkan keharamannya dengan dalil yang tidak qath’i. Adapun haram penetapan keharamannya dengan dalil qath’i. perbedaan ini sama dengan perbedaan antara wajib dan fardhu. (Bahrul Muhith lil Zarkasyi : I/394)

 

Dalam perkembangan perjalanan fiqh, penggunaan istilah makruh tahrim ini juga digunakan oleh fuqaha Syafi’iyah mutaakhiriin. Ibrahim al-Bajuri, fuqaha dari kalangan Syafi’iyah dalam membedakan antara makruh tahrim dan makruh tanziih mengatakan dalam kitab fiqhnya :

والفرق بين كراهة التحريم والحرام مع أن كلا يقتضي الإثم أن كراهة التحريم ما ثبتت بدليل يحتمل التأويل والحرام ما ثبت بدليل قطعي لا يحتمل التأويل من كتاب أو سنة أو إجماع أو قياس

Perbedaan antara makruh tahrim dan haram, meskipun keduanya mengakibatkan dosa, bahwa makruh tahrim adalah yang didasarkan pada dalil yang mengandung ta’wil. Sedangkan haram adalah perbuatan terlarang yang didasarkan pada dalil qath‘i yang tidak mengandung kemungkinan penakwilan baik dalil Al-Qur‘an, sunnah, ijmak, atau qiyas,” (Hasyiah Ibrahim al-Bajuri ‘ala Fathul Qarib : I/190).

 

Adapun perbedaan antara makruh tahrim dan makruh tanziih, kalau makruh tahrim mengakibatkan dosa, sedangkan makruh tanziih tidak mengakibatkan dosa. Ibrahim al-Bajuri mengatakan :

والفرق بين كراهة التحريم وكراهة التنزيه أن الأولى تقتضي الإثم والثانية لا تقتضيه

Perbedaan antara makruh tahrim dan makruh tanziih, adalah yang pertama, perbuatannya  mengakibatkan dosa dan yang kedua tidak mengakibatkan dosa,” (Hasyiah Ibrahim al-Bajuri ala Fathul Qariib: I/189)

 

 Wallahua’lam bisshawab

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar