Renungan

Selasa, 29 Agustus 2023

Hukum tidur menjelang waktu shalat

 

Dikisahkan dalam sebuah hadits :

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَنَحْنُ عِنْدَهُ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ زَوْجِي صَفْوَانَ بْنَ الْمُعَطَّلِ، يَضْرِبُنِي إِذَا صَلَّيْتُ، وَيُفَطِّرُنِي إِذَا صُمْتُ، وَلَا يُصَلِّي صَلَاةَ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، قَالَ وَصَفْوَانُ عِنْدَهُ، قَالَ: فَسَأَلَهُ عَمَّا قَالَتْ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَمَّا قَوْلُهَا يَضْرِبُنِي إِذَا صَلَّيْتُ، فَإِنَّهَا تَقْرَأُ بِسُورَتَيْنِ وَقَدْ نَهَيْتُهَا، قَالَ: فَقَالَ: لَوْ كَانَتْ سُورَةً وَاحِدَةً لَكَفَتِ النَّاسَ وَأَمَّا قَوْلُهَا: يُفَطِّرُنِي، فَإِنَّهَا تَنْطَلِقُ فَتَصُومُ، وَأَنَا رَجُلٌ شَابٌّ، فَلَا أَصْبِرُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَئِذٍ: لَا تَصُومُ امْرَأَةٌ إِلَّا بِإِذْنِ زَوْجِهَا وَأَمَّا قَوْلُهَا: إِنِّي لَا أُصَلِّي حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، فَإِنا أَهْلُ بَيْتٍ قَدْ عُرِفَ لَنَا ذَاكَ، لَا نَكَادُ نَسْتَيْقِظُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، قَالَ: فَإِذَا اسْتَيْقَظْتَ فَصَلِّ

Dari Abu Sa’id, beliau berkata : “Seorang perempuan datang menemui Nabi SAW, sedangkan kami waktu itu di sisinya. Perempuan itu berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya suamiku, Shafwan bin al-Mu’atthal memukulku apabila aku shalat dan memberiku makan untuk berbuka apabila aku puasa dan dia tidak melaksanakan shalat Subuh sehingga terbit matahari.” Abu Sa’id melanjutkan ceritanya, “Shafwan ada di sisi Nabi SAW, lalu Nabi SAW menanyakan perihal yang disampaikan isterinya”, maka Shafwan menjawab, “Ya Rasulullah, perkataannya, “memukulku apabila aku shalat”, sesungguhnya dia membaca dua surat yang sudah aku larang”. Lalu Nabi SAW bersabda : “Jika satu surat saja, maka itu memadai untuk seseorang”. “Adapun perkataannya “ memberiku makan untuk berbuka”, itu karena dia pergi dan berpuasa, padahal aku adalah seseorang yang masih muda, maka saya tidak akan bisa bersabar. Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Tidak berpuasa seorang isteri kecuali dengan izin suaminya”. Adapun perkataannya, “Sesunggunya aku tidak melaksanakan shalat sehingga terbit matahari, itu karena kami adalah para penghuni rumah, dan hal itu sudah dimaklum bahwa kami bangun pada saat mendekati matahari terbit." Beliau bersabda: "Jika kamu telah bangun, maka shalatlah. (H.R. Abu Daud)

Ibnu Hajar al-Asqalaniy mengatakan, isnadnya shahih. (al-Ishaabah fi Tamyiiz al-Shahabah : III/357). al-Suyuthi telah menjadikan hadits ini sebagai hujjah atas kebolehan tidur sebelum masuk waktu shalat, sedangkan dalam dugaannya tidurnya itu membuatnya tidak sempat shalat dalam waktunya. (al-Asybah wan Nadhair : 215). Senada dengan pendapat ini, Imam al-Ramli mengatakan,

فَإِنْ نَامَ قَبْلَ دُخُولِ الْوَقْتِ لَمْ يَحْرُمْ وَإِنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ عَدَمُ تَيَقُّظِهِ فِيهِ لِأَنَّهُ لَمْ يُخَاطَبْ بِهَا

Karena itu, jika tidur sebelum masuk waktu shalat, maka tidak haram meskipun berat dugaannya tidak terbangun dalam waktunya. Karena belum ada perintah shalat sebelum masuk waktu.(Nihayah al-Muhtaj : I/373)

 

Al-Khatib al-Syarbaini juga mempunyai pendapat yang sama. Dalam Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj disebutkan :

(قَوْلُهُ: وَلَوْ قَبْلَ دُخُولِ الْوَقْتِ) خَالَفَهُ النِّهَايَةُ، وَالْمُغْنِي فَقَالَا فَإِنْ نَامَ قَبْلَ دُخُولِ الْوَقْتِ لَمْ يَحْرُمْ وَإِنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ عَدَمُ تَيَقُّظِهِ فِيهِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُخَاطَبْ بِهَا اهـ

Perkataan pengarang, meskipun sebelum masuk waktu. Pendapat ini berbeda dengan al-Nihayah (karangan Imam al-Ramli) dan al-Mughni (karangan al-Khatib al-Syarbaini). Keduanya berpendapat apabila tertidur sebelum masuk waktunya, maka tidak haram, meskipun berat dugaannya tidak akan terbangun dalam waktu. Karena belum ada perintah shalat sebelum masuk waktu.(Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj : I/429)

 

Berbeda dengan pendapat di atas, Ibnu Hajar al-Haitamiy dalam Tuhfah al-Muhtah berpendapat haram tidur sebelum masuk waktu shalat jika berat dugaannya tidak terbangun dalam waktunya.sebagaimana beliau rincikan hukumnya berikut ini :

)وَ) يُكْرَهُ (النَّوْمُ قَبْلَهَا) أَيْ قَبْلَ فِعْلِهَا بَعْدَ دُخُولِ وَقْتِهَا وَلَوْ وَقْتَ الْمَغْرِبِ لِمَنْ يَجْمَعُ لِأَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَكْرَهُهُ وَمَا بَعْدَهُ رَوَاهُ الشَّيْخَانِ وَلِأَنَّهُ رُبَّمَا اسْتَمَرَّ نَوْمُهُ حَتَّى فَاتَ الْوَقْتُ وَيَجْرِي ذَلِكَ فِي سَائِرِ أَوْقَاتِ الصَّلَوَاتِ وَمَحَلُّ جَوَازِ النَّوْمِ إنْ غَلَبَهُ بِحَيْثُ صَارَ لَا تَمْيِيزَ لَهُ وَلَمْ يُمْكِنْهُ دَفْعَهُ، أَوْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّهُ يَسْتَيْقِظُ وَقَدْ بَقِيَ مِنْ الْوَقْتِ مَا يَسَعُهَا وَطُهْرَهَا وَإِلَّا حَرُمَ وَلَوْ قَبْلَ دُخُولِ الْوَقْتِ عَلَى مَا قَالَهُ كَثِيرُونَ وَيُؤَيِّدُهُ مَا يَأْتِي مِنْ وُجُوبِ السَّعْيِ لِلْجُمُعَةِ عَلَى بَعِيدِ الدَّارِ قَبْلَ وَقْتِهَا إلَّا أَنْ يُجَابَ بِأَنَّهَا مُضَافَةٌ لِلْيَوْمِ بِخِلَافِ غَيْرِهَا

Makruh tidur sebelum melaksanakan shalat sesudah masuk waktunya, meskipun waktu magrib bagi orang yang melakukan jama’. Karena Nabi SAW memakruhnya dan perkara-perkara sesudahnya dalam hadits riwayat Syaikhain dan karena kadang-kadang keterusan tidurnya sehingga hilang waktu shalatnya. Ini juga berlaku pada waktu-waktu shalat lainnya. Kebolehan tidur ini diposisikan apabila berat matanya sehingga tidak ada tamyiz (tidak dapat menyadari sekitarnya) dan tidak mungkin menghindarinya ataupun diposisikan berat dugaannya dia terbangun dan masih memungkinkan shalat dan bersuci. Jika tidak demikian, maka haram, meskipun sebelum masuk waktu berdasarkan pendapat  kebanyakan ulama. Pendapat ini didukung oleh ketentuan nantinya dimana wajib berangkat ke lokasi Jum’at sebelum masuk waktunya atas orang yang jauh rumahnya. Namun masalah Jumat ini ada yang menjawab bahwa Jumat disandarkan kepada hari, berbeda dengan shalat selainnya. (Tuhfah al-Muhtaj dan Hasyiahnya : I/429)

 

Kesimpulan

Hukum tidur menjelang masuk waktu shalat dapat dirincikan sebagai berikut :

1.  Terjadi khilaf pendapat ulama mengenai hukum tidur sebelum masuk waktu shalat. Al-Suyuthi, al-Ramli dan Khatib Syarbaini berpendapat tidak haram tidur, meskipun berat dugaannya tidak akan terbangun dari tidurnya dalam waktu shalat dan membuatnya tidak sempat shalat dalam waktunya. Adapun menurut Ibnu Hajar al-Haitamiy, hukumnya haram apabila berat dugaannya tidak akan terbangun dalam waktu shalat dan membuatnya tidak sempat shalat dalam waktunya.

2.  Makruh tidur sebelum melakukan shalat tapi sudah masuk waktunya. Namun hukumnya ini dapat berubah menjadi haram apabila berat dugaannya tidak akan terbangun dari tidurnya dalam waktu yang masih sempat melakukan shalat dalam waktunya kecuali apabila berat matanya sehingga tidak ada tamyiz (tidak dapat menyadari sekitarnya)

Jumat, 25 Agustus 2023

Memahami Qiyas al-Jalii dan al-Khafii

 

Qiyas adalah satu dari empat sumber hukum Islam yang disepakati para ulama. Dalam hal ini, qiyas menempati posisi keempat, setelah al-Quran, Hadits, dan Ijma. Menurut istilah, qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak memiliki nash hukum dengan sesuatu yang ada nash hukum berdasarkan kesamaan illat hukum Qiyas juga dapat diartikan sebagai kegiatan melakukan padanan suatu hukum terhadap hukum lain.

Syeikh Zakariya al-Anshari mendevinisi qiyas dengan :

حمل معلوم على معلوم لمساواته في علة حكمه عند الحامل

Menyamakan sesuatu yang maklum kepada sesuatu yang maklum lainnya karena ada kesamaannya pada ‘illat hukumnya di sisi mujtahid yang menyamakannya. (Ghayah al-Wushul : 110)

 

Kemudian qiyas ini dilihat dari aspek kualitasnya terbagi dua, yaitu, qiyas jalii dan qiyas khafii.

1.  Pengertian qiyas al-Jalii

Qiyas jalii sebagaimana dijelaskan Zakariya al-Anshari adalah :

(ما قطع فيه بنفي الفارق) أي بإلغائه (أو) ما (قرب منه) بإن كان ثبوت الفارق أي تأثيره فيه ضعيفا بعيدا كل البعد

Qiyas yang dipastikan padanya ternafi al-fariiq (titik yang yang membedakan) dengan sebab membatalkan al-fariiq atau yang mendekatinya, yaitu adanya pengaruh al-fariiq pada qiyas tetapi dhaif dan sangat jauh.

 

Sesuai dengan penjelasan ini, qiyas al-jalii terbagi dalam dua katagori, yaitu :

a.  Qiyas yang dipastikan tidak ada titik yang membedakan antara maqiis dan maqiis ‘alaihi yang berakibat berbeda hukum antara keduanya (al-fariiq).

Contohnya, qiyas hamba sahaya perempuan kepada hamba sahaya laki-laki terkait hukum membebaskan hamba sahaya yang merupakan milik berkongsi. Dalam sebuah hadits shahih berbunyi :

مَن أَعْتَقَ شِرْكًا له في عَبْدٍ، فكان له مالٌ يَبْلُغُ ثَمَنَ العَبْدِ: قُوِّمَ عليه قِيمَةَ عَدْلٍ ، فأعطى شُرَكَاءَهُ حِصَصَهُمْ، وعَتَقَ عليه العَبْدُ ، وإلا فقد عَتَقَ منه ما عَتَقَ

Barangsiapa yang memerdekakan apa yang menjadi miliknya pada diri seorang hamba sahaya dan ia masih mempunyai uang yang cukup untuk menebus sisanya, maka hendaknya sisanya tersebut dihargai dan diberikan kepada teman kongsinya sehingga hamba sahaya tersebut merdeka. Jika tidak ada, maka sesunggugnya ia telah memerdekakan apa yang menjadi miliknya.(Muttafqun ‘alaihi)

 

Berdasarkan hadits ini, seorang hamba sahaya laki-laki yang merupakan milik berkongsi antara beberapa orang apabila satu orang diantara mereka memerdekakan bagiannya, sedangkan ia mempunyai sejumlah harta yang mencukupi untuk menebus sisanya, maka ia berkewajiban memberikan harta tersebut kepada teman kongsinya untuk menebus sisanya dan hamba sahaya laki-laki itu merdeka karenanya. Adapun apabila tidak mempunyai sejumlah harta tersebut, maka hamba sahaya laki-laki itu hanya merdeka bagiannya saja. Pemberlakuan hukum kepada hamba sahaya laki-laki ini juga berlaku kepada hamba sahaya perempuan secara qiyas al-jalii, karena dapat dipastikan tidak ada titik yang membedakan antara keduanya.

b.  Qiyas yang ada titik yang membedakan antara maqiis dan maqiis ‘alaihi, namun pengaruhnya dalam pembedaan hukum antara keduanya sangat dhaif dan jauh.

Contohnya, qiyas ternak yang matanya buta sama sekali kepada ternak yang matanya buta sebelah saja dalam hal tidak memadai sebagai qurban yang ketentuannya berdasarkan hadits Nabi SAW berbunyi :

أربع لا تجوز في الأضاحي العوراء البين عورها

Empat golongan yang tidak memadai pada qurban, yaitu yang buta sebelah matanya secara nyata. (H.R. Sunan yang Empat. Al-Turmidzi mengatakan, hadits ini hasan shahih)

 

Ada perbedaan antara keduanya (al-fariiq), yaitu ternak yang buta sama sekali digembala oleh pengembalanya kepada tempat pengembalaan yang baik sehingga berpotensi gemuk. Adapun ternak yang matanya buta sebelah  makannya masih diserahkan kepada kemampuan melihat matanya, meskipun sudah kurang satu mata. Matanya yang sudah berkurang ini menyebabkan berpotensia kurus. Pembedaan ini dibantah kembali, yang menjadi titik pandang dalam hal tidak memadai sebagai qurban bukanlah kurang gemuk (kurus), akan tetapi kurang bagus karena kurang sempurna kejadiannya

2.  Pengertian Qiyas al-Khafii

Qiyas al-khafii sebagaimana dijelaskan Zakariya al-Anshari adalah :

ما كان احتمال تأثير الفارق فيه إما قويا واحتمال نفي الفارق أقوى منه، وإما ضعيفا وليس بعيدا كل البعد

Qiyas yang kemungkinan pengaruh al-fariiq kuat, namun kemungkinan ternafi al-fariiq lebih kuat darinya atau qiyas yang kemungkinan pengaruh al-fariiq dhaif, akan tetapi tidak terlalu jauh.

 

Sesuai dengan penjelasan ini, qiyas al-khafii terbagi juga dalam dua katagori, yaitu :

a.  Qiyas yang kemungkinan pengaruh pembeda antara maqiis dan maqiis ‘alaihi yang berakibat berbeda hukum antara keduanya (al-fariiq).adalah kuat, namun kemungkinan ternafi al-fariiq tersebut lebih kuat lagi.

Contohnya, qiyas pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan benda tajam dalam penetapan hukuman qishas. Abu Hanifah berpendapat tidak wajib qishas pembunuhan dengan benda berat. Perbedaannnya, benda tajam memang merupakan alat yang dibuat untuk membunuh, sedangkan benda berat seperti tongkat merupakan alat yang dibuat untuk memberi adab, bukan untuk membunuh. Karena benda berat tidak dapat mengoyak tubuh. Pembedaan ini dibantah kembali. Yang dimaksud dengan benda berat yang disamakan hukumnya dengan benda tajam di sini adalah setiap benda yang pada kebiasaannya dapat membunuh seperti batu besar.

b.  Qiyas yang kemungkinan pengaruh al-fariiq adalah dhaif, akan tetapi tidak terlalu jauh.

Berikut ini beberapa pendapat lain terkait pengertian qiyas al-jalii dan al-khafii yang dikemukakan Zakariya al-Anshari, yaitu :

1.  Qiyas al-jalii sesuai dengan pengertian di atas, sedangkan qiyas al-khafii adalah qiyas syabah. Adapun qiyas al-wazhiih adalah qiyas yang berada antara keduanya

2.  Qiyas al-jalii adalah qiyas al-aulawi seperti qiyas memukul kedua orangtua kepada mengatakan “ah” dalam hal keharamannya. Sedangkan qiyas al-wazhiih adalah qiyas al-musawwi seperti qiyas membakar harta anak yatim kepada memakan harta anak yatim dalam keharamannya. Adapun qiyas al-khafii adalah qiyas al-adnaa seperti qiyas buah apel kepada gandum dalam hal ribawi. (Ghayah al-Wushul : 136-137 dan Syarah Jam’u al-Jawami’ beserta Hasyiahnya, al-Bananiy : 340)

 

Ada penjelasan lain terkait pengertian qiyas al-jalii dan qiyas al-khafii yang dikemukakan Imam al-Mawardi dalam kitab beliau, al-Hawi al-Kabir, yaitu sebagai berikut :

Qiyas al-jalii adalah :

ما يكون معناه في الفرع زائدا على معنى الاصل

Qiyas yang ‘illatnya pada furu’ melebihi ‘illatnya yang ada pada asal

 

Qiyas al-jalii terbagi dalam tiga pembagian, yaitu :

1.  Qiyas yang dikenali ‘illatnya dari dhahir nash tanpa perlu ada usaha pendalilian serta tidak dimungkinkan ta’abbud berbeda dengan asalnya. Contohnya firman Allah :

فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا

Maka janganlah kamu katakana kepadanya “ah” dan jangan juga kamu hardik keduanya (Q.S. al-Isra’ : 22)

 

Keharaman mengatakan “ah” secara gamblang memberi petunjuk kepada haram memukul dan mencaci maki kedua orangtua. Karena itu, tidak mungkin kita mengatakan haram mengatakan “ah”, pada saat yang sama kita mengatakan halal memukul dan mencaci maki.

2.  Qiyas yang dikenali ‘illatnya dari dhahir nash tanpa perlu ada usaha pendalilian, akan tetapi  masih dimungkinkan ta’abbud berbeda dengan asalnya. Contohnya hadits Nabi SAW berbunyi :

أربع لا تجوز في الأضاحي العوراء البين عورها

Empat golongan yang tidak memadai pada qurban, yaitu yang buta sebelah matanya secara nyata. (H.R. Sunan yang Empat. Al-Turmidzi mengatakan, hadits ini hasan shahih)

 

Ternak yang matanya buta sama sekali dapat diqiyaskan kepada ternak yang matanya buta sebelah saja dalam hal tidak memadai sebagai qurban, meskipun dimungkinkan bertaa’bbud dengan tidak memadai berqurban ternak yang matanya buta sebelah saja, tetapi memadai qurban ternak yang matanya buta sama sekali.

3.  Qiyas yang dikenali ‘illatnya dari dhahir nash dengan usaha pendalilian dan dapat dikenali hanya semata-mata sedikit analisa. Contohnya, qiyas hamba sahaya perempuan kepada hamba sahaya laki-laki terkait hukum membebaskan hamba sahaya yang merupakan milik berkongsi. Dalam sebuah hadits shahih berbunyi :

مَن أَعْتَقَ شِرْكًا له في عَبْدٍ، فكان له مالٌ يَبْلُغُ ثَمَنَ العَبْدِ: قُوِّمَ عليه قِيمَةَ عَدْلٍ ، فأعطى شُرَكَاءَهُ حِصَصَهُمْ، وعَتَقَ عليه العَبْدُ ، وإلا فقد عَتَقَ منه ما عَتَقَ

Barangsiapa yang memerdekakan apa yang menjadi miliknya pada diri seorang hamba sahaya dan ia masih mempunyai uang yang cukup untuk menebus sisanya, maka hendaknya sisanya tersebut dihargai dan diberikan kepada teman kongsinya sehingga hamba sahaya tersebut merdeka. Jika tidak ada, maka sesunggugnya ia telah memerdekakan apa yang menjadi miliknya.(Muttafqun ‘alaihi)

 

Pemberlakuan hukum kepada hamba sahaya laki-laki sebagaimana dijelaskan dalam hadits ini juga berlaku kepada hamba sahaya perempuan secara qiyas al-jalii.

Qiyas al-khafii adalah :

مَا خَفِيَ مَعْنَاهُ فَلَمْ يُعْرَفْ إِلَّا بِالِاسْتِدْلَالِ وَيَكُونُ مَعْنَاهُ فِي الْفَرْعِ مُسَاوِيًا لِمَعْنَى الْأَصْلِ.

Qiyas yang tersembunyi ‘illatnya. Karena itu, tidak dikenalinya kecuali dengan upaya pendalilian. Sedangkan ‘illatnya pada furu’ sama kekuatannya dengan ‘illat asal.

 

Qiyas al-khafii ini juga terbagi dalam tiga pembagian, yaitu :

1.  Qiyas yang ‘illatnya laa-ih (dengan isyarat tersembunyi) yang dikenali dengan upaya pendalilian yang disepakati. Contohnya,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ

Diharamkan atasmu ibu-ibumu, anak-anakmu, saudara-saudara perempuanmu, bibi sebelah ayah dan bibi sebelah ibumu (Q.S. al-Isra’ : 23)

 

Bibi ayah sebelah ayahnya (‘ammah ayah) dan para nenek sebelah ayah juga menjadi mahram karena qiyas kepada bibi sebelah ayah. Demikian juga bibi ayah sebelah ibunya (khallah ayah) dan para nenek sebelah ibu juga menjadi mahram karena qiyas kepada bibi sebelah ibu. Kedua qiyas ini ‘illatnya adalah sama sama ada ikatan rahim. Namun ‘illatnya ini dihasilkan dari isyarat tersembunyi, karena masih memungkinkan pengelompokannya  berkisar antara al-jalii dan al-khafii.

2.  Qiyas yang ‘illatnya ghaamizh (tidak terang) karena pendalilian yang diperselisihkan. Contohnya dalam hal menentukan ‘illat ribawi gandum yang ada ketentuan nash atas ribawinya. Jika ‘illatnya makanan, maka diqiyaskan kepadanya setiap yang dimakan dan jika ‘illatnya makanan yang mengenyangkan, maka diqiyas kepadanya setiap makanan yang mengenyangkan dan juga  jika ‘illatnya timbangan/takaran, maka diqiyas kepadanya setiap yang ada timbangan/takaran. ‘illat ini karena terjadi perbedaan titik pandang, maka membutuhkan tarjih untuk menentukan ‘illatnya.

3.  Qiyas yang ‘illatnya mutasyabih (samar-samar), yaitu qiyas yang nash dan ‘illatnya membutuhkan kepada upaya pendalilian. Contohnya penetapan Rasulullah SAW dalam hadits berikut ini :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا ابْتَاعَ غُلَامًا، فَأَقَامَ عِنْدَهُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يُقِيمَ، ثُمَّ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا، فَخَاصَمَهُ إِلَى النَّبِيِّ صلّى الله عليه وسلّم، فَرَدَّهُ عَلَيْهِ، فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ اسْتَغَلَّ غُلَامِي؟ فَقَالَ الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ

Dari ‘Aisyah r.a, bahwasanya seorang lelaki membeli seorang budak laki-laki. Kemudian, budak tersebut tinggal bersamanya selama beberapa waktu. Suatu hari sang pembeli mendapatkan adanya cacat pada budak tersebut. Kemudian, pembeli mengadukan penjual budak kepada Nabi SAW dan Nabi-pun memutuskan agar budak tersebut dikembalikan. Maka penjual berkata, ‘Ya Rasulullah! Sungguh ia telah mempekerjakan budakku?’ Rasulullah SAW bersabda, “Keuntungan adalah imbalan atas tanggungjawab resiko” (Hadits shahih riwayat Syafi’i, Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Hibban)

 

Dengan jalan pendalilian, diketahui bahwa kharaj adalah manfaat dan dhaman adalah tanggungjawab resiko dalam jual beli, artinya siapa yang bertanggung jawab resiko dalam jual beli seperti hilang benda yang dijual, maka seandainya dapat manfaat, maka itu adalah miliknya. Melalui pendalilian, didapati beberapa ‘illat yang berbeda-beda sesuai dengan jalan pendaliliannya. Ulama yang menjadikan ‘illatnya adalah atsar (bekas/dampak yang tidak berbentuk benda), apabila pembeli mengembalikan benda yang dibelinya karena cacat, maka manfaat dalam bentuk benda seperti buah dari pohon dan anak dari hewan yang dibeli tidak akan menjadi milik sipembeli. Demikian juga apabila yang menjadikan ‘illatnya sesuatu yang tidak sama dengan jenis benda yang dibeli, maka manfaat seperti buah dari pohon yang dibeli menjadi milik sipembeli, tidak anak dari hewan yang dibelinya. Imam Syafi’i menjadikan ‘illatnya namaa’ (sesuatu yang berkembang dari benda yang dibeli), maka setiap yang muncul dari benda yang dibeli, baik dalam bentuk buah maupun anak menjadi milik sipembeli.

(al-Hawi al-Kabiir : XVI/144-148)

 

Qiyas al-Jalii dapat menggugurkan keputusan hakim

Keputusan hakim dapat dinyatakan gugur dan tidak berlaku apabila bertentangan dengan qiyas al-jalii. Terkait ini, Ibnu Hajar al-Haitamiy menyebut qaidah yang berbunyi :

أَنَّ قَضَاءَ الْقَاضِي يُنْقَضُ إذَا خَالَفَ أَحَدَ أَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ: الْإِجْمَاعَ، أَوْ النَّصَّ، أَوْ الْقَاعِدَةَ، أَوْ الْقِيَاسَ الْجَلِيَّ

Sesungguhnya keputusan hakim dapat dinyatakan gugur apabila menyalahi salah satu dari empat perkara, yaitu ijmak, nash, qaidah atau qiyas al-jalii (al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa : IV/192)

 

Syeikh al-Zarkasyi mengatakan “

مدار نقض الحكم على تبين الخطأ والخطأ إما في إجتهاد الحاكم في الحكم الشرعي حيث تبين النص أو الإجماع أو القايس الجلي بخلافه

Pusaran gugur hukum adalah atas nyata salah, yaitu adakalanya pada ijtihad hakim pada hukum syar’i dengan sebab nyata nash, ijmak atau qiyas al-jalii menyalahinya (Al-Mansur fi al-Qawaid : II/69)

Kamis, 17 Agustus 2023

Mengenal hadits maudhu’ (palsu)

 

Dalam kitab Syarah Baiquniyah fi Mushthalah al-Hadits disebutkan :

والحديث (الكذب) أي المكذوب على النبي صلعم (المختلق) بفتح اللام أي لا ينسب الى النبي اصلا (المصنوع) من واضعه (على النبي فذالك الموضوع)

Hadits yang didustai kepada Nabi SAW, dibuat-buat (baca mukhtalaq dengan fatah lam) artinya tidak dapat dinisbahkan kepada Nabi sama sekali, merupakan buatan pemalsunya atas Nabi, itu adalah maudhu’.(Hasyiah ‘Athiyah al-Ajhuurii ‘ala Syarh al-Baiquniyah : 81)

 

Lebih jelasnya, Hadits maudhu' adalah sesuatu yang dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, karena rekaan atau dusta tentang sesuatu yang tidak pernah beliau ucapkan, kerjakan, atau taqrirkan. Membuat rekaan atau dusta ini, baik karena dengan sengaja atau bukan. Penegasan yang terakhir ini sesuai dengan penjelasan al-Zarqaniy berikut ini :

ثم من الموضوع نوع لم يقصد وضعه وانما غلط ناقله

Kemudian termasuk hadits maudhu’ satu jenis hadits yang tidak sengaja memalsukannya, hanya kesilapan pengutipnya. .(Hasyiah ‘Athiyah al-Ajhuurii ‘ala Syarh al-Baiquniyah : 84)

 

Dari penegasan ini, dipahami bahwa hadits maudhu’ mencakup juga karena faktor tidak kesengajaan dari pemalsunya seperti lupa atau kesilapan sebagaimana juga terlihat setelah ini dalam pembahasan sebab-sebab munculnya hadits maudhu’.

Al-Zarqaniy menyebut contoh karena kesilapan, hadits Tsabit bin Musa, berbunyi :

من كثرت صلاته باليل حسن وجهه بالنهار

Barangsiapa banyak shalat malamnya, maka bagus wajahnya di siang harinya

 

Di sini, Tsabit bin Musa tidak sengaja memalsukan hadits ini. Pada suatu waktu, Tsabit bin Musa masuk dalam majelis pengajian Syariik bin Abdullah yang sedang mendiktekan sanad dengan katanya, “Telah memberikan hadits kepada kami oleh al-A’masy dari Abu Sufyan dari Jabir, beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda”. Sampai di sini Syariik bin Abdullah berhenti dan tidak menyebut matan haditsnya atau ada menyebutnya menurut penuturan Ibnu Hibban, yaitu :

يعقد الشيطان على قافية أحدكم

Syaithan diikat di atas tengkuk salah seorang kamu

Melihat Tsabit bin Musa masuk ruangan majelisnya, Syariik bin Abdullah dalam keadaan bersambung dengan sanad atau matan hadits di atas, mengatakan dengan berkelakar yang ditujukan kepada Tsabit bin Musa yang dikenal zuhud, warak dan kuat ibadahnya :

من كثرت صلاته باليل حسن وجهه بالنهار

Kemudian, oleh Tsabit bin Musa tanpa menyadari perkataan tersebut sebenarnya hanya kelakar Syariik bin Abdullah, menyangka bahwa perkataannya itu adalah sambungan dari sanad atau sambungan dari sebagian matan yang telah disebut oleh Syariik bin Abdullah. Ini merupakan kesilapan dari Tsabit bin Musa, sehingga beliau menyangkanya sebagai hadits Nabi SAW..(Hasyiah ‘Athiyah al-Ajhuurii ‘ala Syarh al-Baiquniyah : 84)

Cara mengenal hadits maudhu’

Dalam Syarh Al-Zarqaniy ‘ala Syarh al-Baiquniyah dan Hasyiahnya disebutkan beberapa hal yang dapat membantu kita mengenal hadits maudhu’, yaitu:

1.  Pengakuan dari pemalsu sendiri.

2.  Qarinah dan perihal hadits yang dapat diketahui oleh orang yang mempunyai kemampuan dan kecakapan dalam bidang hadits dengan pemeriksaan yang cermat dan sempurna. Qarinah itu antara lain :

a.  dipahami dari perihal perawi. Contohnya, Ghayats bin Ibrahim pernah menemui Khalifah al-Mahdi, salah seorang Khalifah Bani Abbasiyah di Baghdad. Melihat Khalifah sedang bermain dengan seekor merpati, Ghayats dengan serta merta mengatakan sebuah hadits dengan sanadnya yang berujung sampai kepada Nabi SAW bahwa Nabi SAW bersabda :

لا سبق الا في نصل او خف اوحافر او جناح

Tidak ada perlombaan kecuali pada panahan, hewan bersepatu, hewan berkuku dan hewan bersayap

 

Pada saat itu. Khlaifah al-Mahdi maklum bahwa Ghayats bin Ibrahim berdusta untuk menyenanginya, lalu beliau memerintahkan bawahanya menyembelih merpati tersebut.

b.  kandungan matannya bertentangan dengan nash al-Qur’an, al-Sunnah yang mutawatir, ijma’ yang qahth’i dan sharih ‘aql (akal sehat). Ini apabila matannya itu tidak memungkin menerima takwil kepada makna yang bersesuaian.

3.  Hadits maudhu’ kadang dikenali dengan sebab janggal lafazhnya karena tidak fashahah atau janggal maknanya karena berujung kepada berita yang menghimpunkan dua yang saling berlawanan ataupun janggal lafazh dan makna sekaligus

4.  Berita yang mengandung pemberian pahala yang sangat besar dengan sebab melakukan suatu perbuatan yang sangat kecil  dan remeh. Contohnya hadits berbunyi :

من اطعم لقمة بنى الله له الف مدينة في كل مدينة الف بيت في كل بيت الف حورية لكل حورية الف وصيفة

Barangsiapa yang memberikan sesuap makanan, maka Allah membangun untuknya seribu kota, dalam setiap kota ada seribu rumah, dalam setiap rumah ada seribu bidadari, dalam setiap bidadari ada seribu pelayannya.

 

5.  Atau sebaliknya, berita yang mengandung pemberian azab yang sangat berat dengan sebab melakukan suatu perbuatan yang sangat kecil dan remeh.

(Hasyiah ‘Athiyah al-Ajhuurii ‘ala Syarh al-Baiquniyah : 82)

 

Mulaa ‘Ali al-Qari telah menyebut contoh hadits maudhu’ yang dikenali dengan sebab pengakuan perawi, yaitu pengakuan Umar bin Shubaiih telah memalsukan pidato dengan menisbahkan pidato tersebut kepada Nabi SAW dan demikian juga hadits yang panjang dari Ubay bin Ka’ab r.a. perihal fadhilah surat surat al-Qur’an yang diakui oleh perawinya. (Syarah Nukhbah al-Fikri karangan Mulaa ‘Ali al-Qari : 437).

Mulaa ‘Ali al-Qari juga telah menyebut contoh hadits maudhu’ sebab kandungan matannya bertentangan dengan nash al-Qur’an, al-Sunnah yang mutawatir, ijma’ yang qath’i dan sharih ‘aql (akal sehat), yaitu riwayat :

لا يبقى على ظهر الارض بعد مئة سنة نفس منفوسة

Tidak akan kekal di muka bumi setelah seratus tahun satu jiwa yang bernapas.

 

Dinyatakan maudhu’ karena kandungannya tidak sesuai dengan kenyataan.(Syarah Nukhbah al-Fikri karangan Mulaa ‘Ali al-Qari : 444).

Sumber matan hadits maudhu’

Matan hadits-hadits yang divonis maudhu’ oleh ulama hadits ini berasal dari, antara lain :

1.  Dari kalam pemalsu hadits sendiri

2.  Dari kalam orang lain, antara lain seperti :

a.  kalam sebagian salafusshalih. Contohnya :

حب الدنيا رأس كل خطيْة

Mencintai dunia merupakan inti dari segala kesalahan

 

Perkataan ini, sebenarnya merupakan perkataan Malik bin Dinar sebagaimana riwayat Ibnu Abu Dun’ya atau perkataan Nabi Isa a.s. sebagaimana riwayat al-Baihaqi dalam kitab al-Zuhd.

b.  kalam para hukama zaman dahulu. Contohnya :

المعدة بيت الداء والحمية رأس الدواء

Lambung adalah rumah penyakit dan menjaganya adalah inti dari segala pengobatan

 

Ini merupakan perkataan sebagian para tabib

c.  kalam Israiliyyat (kalam yang dinisbahkan kepada Bani Israil yang berasal kitab Taurat, tokoh-tokoh agama dan orang-shaleh dari kalangan mereka).

d.  berasal dari hadits dhaif yang dicampur aduk dengan hadits shahih

(Hasyiah ‘Athiyah al-Ajhuurii ‘ala Syarh al-Baiquniyah : 82)

Sebab-sebab munculnya hadits maudhu’

Adapun sebab-sebab yang memotivasi seseorang melakukan pemalsuan hadits sesuai dengan yang disebiut dalam Syarh al-Zarqaniy ‘ala Syarh al-Baiquniyah dan Hasyiahnya, yaitu :

1.  Tidak ada agama seperti golongan zindiq (golongan yang tidak mempunyai ketetapan dengan satu agama). Al-‘Uqailiy mentakrijkan riwayat dari Humad bin Zaid, beliau mengatakan, golongan zindiq ini telah memalsukan hadits sebanyak empat belas ribu hadits. Al-Mahdi mengatakan, seorang dari golongan zindiiq mengaku memalsukan hadits sebanyak seratus hadits.

2.  Dalam rangka mneyokong dan fanatik mazhab seperti golongan al-Khatthabiyah dan al-Saliimiyah. Al-Khatthabiyah merupakan salah satu cabang dari golongan Rafiidhah. al-Khatthabiyah yang dinisbahkan kepada Abu al-Khatthab al-Asaadiy yang mengi’tiqad ajaran hulul Allah pada ahlu bait). Sedangkan al-Saliimiyah adalah golongan yang dinisbahkan kepada al-Hasan bin Muhammad bin Ahmad bin Salim al-Saalimiy.

3.  Mengikuti hawa nafsu sebagian pembesar negara seperti khalifah dan para amiir dalam rangka mendekatkan diri kepada mereka

4.  Keinginan mencela orang-orang yang ingin mereka cela. Mereka adalah para fakir miskin yang suka meminta-minta kepada anak-anak sahabat Nabi. Apabila anak para sahabat Nabi tersebut tidak memenuhi keinginan mereka, maka mereka mengatakan, bapakmu tidak termasuk yang menghadiri perang Badar, lalu merekapun menyebut hadits-hadits batil.

5.  Motivasi pekerjaan dan mendapatkan harta

6.  Motivasi terkenal dengan sebab meriwayatkan berita-berita ganjil

7.  Karena dihinggapi kebodohan, seperti pekerjaan sebagian orang yang kuat beribadah yang memalsukan hadits-hadits keutamaan surat-surat al-Qur’an

(Hasyiah ‘Athiyah al-Ajhuurii ‘ala Syarh al-Baiquniyah : 82-83)

Zakariya al-Anshari dalam Ghayatul Wushul menyebut sebab-sebab lain terjadinya pemalsuan hadits sebagai berikut :

1.  Lupa apa yang diriwayatkannya, lalu menyebut yang bukan riwayatnya karena menyangka itu merupakan riwayatnya

2.  Menjauhkan orang dari beragama, seperti pemalsuan yang dilakukan oleh golongan zindiq berita-berita yang bertentangan dengan akal guna menjauhkan orang-orang dari syariat yang suci

3.  Kesilapan dari perawi, yakni terlanjur lisannya mengucapkan yang bukan riwayatnya atau menempatkan lafazh-lafazh darinya yang menurut sangkaanya dapat mengungkapkan makna hadits yang diriwayatnya (riwayat bil makna) ataupun meriwayat yang menurut sangkaannya itu merupakan hadits.

4.  Memalsukan berita-berita dalam rangka menggemarkan orang pada ketaatan dan menjauhkan dari maksiat.

(Ghayatul Wushul : 99).

Hukum meriwayat hadits maudhu’

Telah terjadi ijmak ulama atas keharaman meriwayatkan hadits maudhu’ kecuali dalam rangka menjelaskan maudhu’nya (kepalsuannya). Al-Zarqaniy dalam Syarah al-Baiquniyah, setelah menyebut motivasi-motivasi pemalsuan hadits sebagaimana dirincikan di atas, beliau mengatakan :

كل ذالك حرام باجماع من يعتد به ولا عبرة لما ذهب اليه بعض الكرامية وبعض الصوفية من اباحة الوضع في الترغيب والترهيب لانه خطأ نشأ عن جهل لان الترغيب والترهيب من جملة الاحكام الشرعية وقد اجمعوا على ان الكذب على النبي صلعم من الكبائر وبالغ الجويني فكفر من تعمده عليه و اجمعوا على تحريم رواية الموضوع الا مقرونا ببيانه لقوله صلعم من حدث عني بحديث يرى انه كذب فهو أحد الكاذبين رواه مسلم

Semua itu adalah haram dengan ijmak para ulama muktabar dan tidak dii’tibar pendapat sebagian golongan Karamiyah dan sebagian golongan shufiyah yang membolehkan pemalsuan hadits dalam perihal targhib (menggemarkan amal) dan tarhiib (menjauhi larangan). Karena hal itu terjadi karena kebodohan. Sebab targhiib dan tarhiib merupakan bagian dari hukum syariat, sementara telah terjadi ijmak bahwa berdusta atas nama Nabi SAW merupakan dosa besar, bahkan Imam al-Juwaini secara berlebihan mengatakan kafir orang-orang yang sengaja melakukannya. Dan telah ijmak ulama haram meriwayat hadits maudhu’ kecuali dalam rangka menjelaskan maudhu’nya, karena beramal dengan sabda Nabi SAW : “Barangsiapa memberitakan sebuah hadits dariku yang dia mengetahui itu dusta, maka dia termasuk salah seorang pendusta. Telah diriwayat hadits ini oleh Imam Muslim. (Hasyiah ‘Athiyah al-Ajhuurii ‘ala Syarh al-Baiquniyah : 83)

 

Kitab al-Maudhu’aat Ibnu al-Jauzi

Tidak boleh menetapkan sebuah hadits sebagai hadits maudhu’ hanya  semata-mata merujuk kepada penilaian Ibnu al-Jauzi dalam kitab beliau, al-Maudhu’aat. Hal ini karena berdasarkan peneletian banyak ahli hadits yang hidup setelah zaman beliau, banyak hadits-hadits yang divonis maudhu’ dalam kitab tersebut ternyata hadits tersebut disepakati shahih atau hanya dalam derajad dhaif. Bahkan dalam kitab tersebut terdapat hadits shahih Muslim yang dinyatakan maudhu’. Ini dapat menggambarkan kepada kita betapa ketidakhati-hatian dan keliru Ibnu al-Jauzi dalam menilai hadits dalam kitab beliau ini. Al-Zarqani mengatakan :

وقد صنف ابن الجوزي في بيان الموزضوعات كتابا نحو مجلدين لكنه خرج عن موضوعه بحيث اودع فيه كثيرا من الاحاديث الضعيفة التي لا دليل له على وضعه بل ربما اودع فيه الحسن و الصحيخ وخطْؤه في ذالك وشنعوا عليه فيه. قال السيوطي وفي كتاب ولد الجوزي ما * ليس من الموضوع حتى وهما * من الصحيح و الضعيف والحسن * ضمنته كتابي القول الحسن *   ومن الغريب ما تراه فاعلم * . فيه حديث من صحيح مسلم حتى قال شيخ الاسلام الحافط بن حجر العسقلاني هذا غفلة شديدة من ابن الجوزي حيث حكم على هذا الحديث بالوضع وهو في احد الصحيحين.

Sesungguhnya Ibnu al-Jauzi telah mengarang sebuah kitab yang menjelaskan hadits maudhu’ sekitar dua jilid, akan tetapi kitab tersebut melenceng dari mauhu’ hadits karena di dalamnya terdapat banyak hadits dhaif yang tidak ada dalil atas maudhu’nya. Bahkan kadang dimasukkan dalamnya hadits hasan dan shahih. Karenanya, para ahli hadits telah mempersalahkan dan mencelanya. Al-Suyuthi mengatakan : “Dalam kitab Ibnu al-Jauzi ada hadits yang bukan maudhu’ sehingga disangkakannya kepada hadits shahih, dhaif dan hasan.  Telah aku masukannya dalam  kitabku, al-Qaul al-Hasan, Ketahuilah termasuk yang aneh sebagaimana kamu lihat di dalam kitab Ibnu al-Jauzi tersebut ada hadits Shahih Muslim, sehingga Syeikh Islam al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalany mengatakan, Ini kelalaian berat dari Ibnu al-Jauzi karena telah menilai hadits ini dengan maudhu’, padahal hadits ini terdapat dalam salah satu kitab al-Shahihaini.(Hasyiah ‘Athiyah al-Ajhuurii ‘ala Syarh al-Baiquniyah : 83)