Renungan

Selasa, 29 Agustus 2023

Hukum tidur menjelang waktu shalat

 

Dikisahkan dalam sebuah hadits :

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَنَحْنُ عِنْدَهُ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ زَوْجِي صَفْوَانَ بْنَ الْمُعَطَّلِ، يَضْرِبُنِي إِذَا صَلَّيْتُ، وَيُفَطِّرُنِي إِذَا صُمْتُ، وَلَا يُصَلِّي صَلَاةَ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، قَالَ وَصَفْوَانُ عِنْدَهُ، قَالَ: فَسَأَلَهُ عَمَّا قَالَتْ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَمَّا قَوْلُهَا يَضْرِبُنِي إِذَا صَلَّيْتُ، فَإِنَّهَا تَقْرَأُ بِسُورَتَيْنِ وَقَدْ نَهَيْتُهَا، قَالَ: فَقَالَ: لَوْ كَانَتْ سُورَةً وَاحِدَةً لَكَفَتِ النَّاسَ وَأَمَّا قَوْلُهَا: يُفَطِّرُنِي، فَإِنَّهَا تَنْطَلِقُ فَتَصُومُ، وَأَنَا رَجُلٌ شَابٌّ، فَلَا أَصْبِرُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَئِذٍ: لَا تَصُومُ امْرَأَةٌ إِلَّا بِإِذْنِ زَوْجِهَا وَأَمَّا قَوْلُهَا: إِنِّي لَا أُصَلِّي حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، فَإِنا أَهْلُ بَيْتٍ قَدْ عُرِفَ لَنَا ذَاكَ، لَا نَكَادُ نَسْتَيْقِظُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، قَالَ: فَإِذَا اسْتَيْقَظْتَ فَصَلِّ

Dari Abu Sa’id, beliau berkata : “Seorang perempuan datang menemui Nabi SAW, sedangkan kami waktu itu di sisinya. Perempuan itu berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya suamiku, Shafwan bin al-Mu’atthal memukulku apabila aku shalat dan memberiku makan untuk berbuka apabila aku puasa dan dia tidak melaksanakan shalat Subuh sehingga terbit matahari.” Abu Sa’id melanjutkan ceritanya, “Shafwan ada di sisi Nabi SAW, lalu Nabi SAW menanyakan perihal yang disampaikan isterinya”, maka Shafwan menjawab, “Ya Rasulullah, perkataannya, “memukulku apabila aku shalat”, sesungguhnya dia membaca dua surat yang sudah aku larang”. Lalu Nabi SAW bersabda : “Jika satu surat saja, maka itu memadai untuk seseorang”. “Adapun perkataannya “ memberiku makan untuk berbuka”, itu karena dia pergi dan berpuasa, padahal aku adalah seseorang yang masih muda, maka saya tidak akan bisa bersabar. Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Tidak berpuasa seorang isteri kecuali dengan izin suaminya”. Adapun perkataannya, “Sesunggunya aku tidak melaksanakan shalat sehingga terbit matahari, itu karena kami adalah para penghuni rumah, dan hal itu sudah dimaklum bahwa kami bangun pada saat mendekati matahari terbit." Beliau bersabda: "Jika kamu telah bangun, maka shalatlah. (H.R. Abu Daud)

Ibnu Hajar al-Asqalaniy mengatakan, isnadnya shahih. (al-Ishaabah fi Tamyiiz al-Shahabah : III/357). al-Suyuthi telah menjadikan hadits ini sebagai hujjah atas kebolehan tidur sebelum masuk waktu shalat, sedangkan dalam dugaannya tidurnya itu membuatnya tidak sempat shalat dalam waktunya. (al-Asybah wan Nadhair : 215). Senada dengan pendapat ini, Imam al-Ramli mengatakan,

فَإِنْ نَامَ قَبْلَ دُخُولِ الْوَقْتِ لَمْ يَحْرُمْ وَإِنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ عَدَمُ تَيَقُّظِهِ فِيهِ لِأَنَّهُ لَمْ يُخَاطَبْ بِهَا

Karena itu, jika tidur sebelum masuk waktu shalat, maka tidak haram meskipun berat dugaannya tidak terbangun dalam waktunya. Karena belum ada perintah shalat sebelum masuk waktu.(Nihayah al-Muhtaj : I/373)

 

Al-Khatib al-Syarbaini juga mempunyai pendapat yang sama. Dalam Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj disebutkan :

(قَوْلُهُ: وَلَوْ قَبْلَ دُخُولِ الْوَقْتِ) خَالَفَهُ النِّهَايَةُ، وَالْمُغْنِي فَقَالَا فَإِنْ نَامَ قَبْلَ دُخُولِ الْوَقْتِ لَمْ يَحْرُمْ وَإِنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ عَدَمُ تَيَقُّظِهِ فِيهِ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يُخَاطَبْ بِهَا اهـ

Perkataan pengarang, meskipun sebelum masuk waktu. Pendapat ini berbeda dengan al-Nihayah (karangan Imam al-Ramli) dan al-Mughni (karangan al-Khatib al-Syarbaini). Keduanya berpendapat apabila tertidur sebelum masuk waktunya, maka tidak haram, meskipun berat dugaannya tidak akan terbangun dalam waktu. Karena belum ada perintah shalat sebelum masuk waktu.(Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj : I/429)

 

Berbeda dengan pendapat di atas, Ibnu Hajar al-Haitamiy dalam Tuhfah al-Muhtah berpendapat haram tidur sebelum masuk waktu shalat jika berat dugaannya tidak terbangun dalam waktunya.sebagaimana beliau rincikan hukumnya berikut ini :

)وَ) يُكْرَهُ (النَّوْمُ قَبْلَهَا) أَيْ قَبْلَ فِعْلِهَا بَعْدَ دُخُولِ وَقْتِهَا وَلَوْ وَقْتَ الْمَغْرِبِ لِمَنْ يَجْمَعُ لِأَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَكْرَهُهُ وَمَا بَعْدَهُ رَوَاهُ الشَّيْخَانِ وَلِأَنَّهُ رُبَّمَا اسْتَمَرَّ نَوْمُهُ حَتَّى فَاتَ الْوَقْتُ وَيَجْرِي ذَلِكَ فِي سَائِرِ أَوْقَاتِ الصَّلَوَاتِ وَمَحَلُّ جَوَازِ النَّوْمِ إنْ غَلَبَهُ بِحَيْثُ صَارَ لَا تَمْيِيزَ لَهُ وَلَمْ يُمْكِنْهُ دَفْعَهُ، أَوْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّهُ يَسْتَيْقِظُ وَقَدْ بَقِيَ مِنْ الْوَقْتِ مَا يَسَعُهَا وَطُهْرَهَا وَإِلَّا حَرُمَ وَلَوْ قَبْلَ دُخُولِ الْوَقْتِ عَلَى مَا قَالَهُ كَثِيرُونَ وَيُؤَيِّدُهُ مَا يَأْتِي مِنْ وُجُوبِ السَّعْيِ لِلْجُمُعَةِ عَلَى بَعِيدِ الدَّارِ قَبْلَ وَقْتِهَا إلَّا أَنْ يُجَابَ بِأَنَّهَا مُضَافَةٌ لِلْيَوْمِ بِخِلَافِ غَيْرِهَا

Makruh tidur sebelum melaksanakan shalat sesudah masuk waktunya, meskipun waktu magrib bagi orang yang melakukan jama’. Karena Nabi SAW memakruhnya dan perkara-perkara sesudahnya dalam hadits riwayat Syaikhain dan karena kadang-kadang keterusan tidurnya sehingga hilang waktu shalatnya. Ini juga berlaku pada waktu-waktu shalat lainnya. Kebolehan tidur ini diposisikan apabila berat matanya sehingga tidak ada tamyiz (tidak dapat menyadari sekitarnya) dan tidak mungkin menghindarinya ataupun diposisikan berat dugaannya dia terbangun dan masih memungkinkan shalat dan bersuci. Jika tidak demikian, maka haram, meskipun sebelum masuk waktu berdasarkan pendapat  kebanyakan ulama. Pendapat ini didukung oleh ketentuan nantinya dimana wajib berangkat ke lokasi Jum’at sebelum masuk waktunya atas orang yang jauh rumahnya. Namun masalah Jumat ini ada yang menjawab bahwa Jumat disandarkan kepada hari, berbeda dengan shalat selainnya. (Tuhfah al-Muhtaj dan Hasyiahnya : I/429)

 

Kesimpulan

Hukum tidur menjelang masuk waktu shalat dapat dirincikan sebagai berikut :

1.  Terjadi khilaf pendapat ulama mengenai hukum tidur sebelum masuk waktu shalat. Al-Suyuthi, al-Ramli dan Khatib Syarbaini berpendapat tidak haram tidur, meskipun berat dugaannya tidak akan terbangun dari tidurnya dalam waktu shalat dan membuatnya tidak sempat shalat dalam waktunya. Adapun menurut Ibnu Hajar al-Haitamiy, hukumnya haram apabila berat dugaannya tidak akan terbangun dalam waktu shalat dan membuatnya tidak sempat shalat dalam waktunya.

2.  Makruh tidur sebelum melakukan shalat tapi sudah masuk waktunya. Namun hukumnya ini dapat berubah menjadi haram apabila berat dugaannya tidak akan terbangun dari tidurnya dalam waktu yang masih sempat melakukan shalat dalam waktunya kecuali apabila berat matanya sehingga tidak ada tamyiz (tidak dapat menyadari sekitarnya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar