Renungan

Jumat, 29 September 2023

Kajian hukum memperingati Maulid Nabi SAW

 

Maulid Nabi SAW adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Arti kata maulid atau milad dalam bahasa Arab mempunyai arti hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang terus berkembang di masyarakat Islam dunia dan Indonesia. Adanya peringatan Maulid Nabi ini merupakan ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW saat lahir ke dunia. Di Indonesia memperingati maulid Nabi SAW ini ada yang membatasi hanya dengan ceramah yang berisi sejarah hidup Nabi SAW saja. Akan tetapi kebanyakannya dalam bentuk rangkaian kegiatan pembacaan shalawat kepada Nabi SAW, pembacaan ayat-ayat suci al-Qur’an, zikir-zikir dan pembacaan kisah kehidupan Nabi SAW, kemudian ditutup dengan acara makan bersama yang disediakan oleh pribadi-pribadi yang mempunyai kemampuan atau kelompok masyarakat dengan mengundang kerabat dan orang-orang sekitarnya. Katagori kedua ini merupakan rangkaian kegiatan memperingati maulid Nabi SAW yang lebih lama tradisinya dalam masyarakat Islam, baik di Indonesia maupun negara-negara yang mayoritas penduduk Islam lainnya. Karena itu, pengertian memperingati maulid Nabi SAW pada umumnya dipahami dengan pengertian katagori yang kedua ini. Katagori yang kedua inilah yang menjadi pembahasan kita dalam tulisan ini.

Dalam al-Hawi lil Fataawi pada bab khusus, Husn al-Maqshid fi ‘Amal al-Maulid, Imam al-Suyuthi menjelaskan sebagai berikut :

عِنْدِي أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوْلِدِ الَّذِي هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ وَرِوَايَةُ الْأَخْبَارِالْوَارِدَةِ فِي مَبْدَأِ أَمْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا وَقَعَ فِي مَوْلِدِهِ مِنَ الْآيَاتِ، ثُمَ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُونَهُ وَيَنْصَرِفُونَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِي يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيهِ مِنْ تَعْظِيمِ قَدْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالِاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيفِ،

Menurutku, bahwanya subtansi dari Maulid Nabi yang berupa berkumpulnya orang banyak, mereka membaca al-Quran, membaca mulai dari awal kisah hidup Nabi SAW sampai hal-hal yang terjadi saat kelahirannya yang terdiri dari tanda-tanda kenabian, kemudian dilanjut dengan suguhan hidangan untuk makan bersama dan selesai tanpa ada tambahan lagi adalah tergolong bid’ah hasanah, yang pelakunya mendapatkan pahala karena ia mengagungkan Nabi SAW, menampakkan rasa gembira dan kebahagiaannya atas kelahiran Nabi SAW yang mulia.(al-Hawi lil Fataawi : I/189)

 

Pencetus pertama kegiatan memperingati maulid Nabi SAW.

Berdasarkan dari beberapa sumber yang kita telusuri, dapat dipahami bahwa pencetus pertama kegiatan memperingati maulid Nabi SAW raja Irbil, Raja al-Mudzaffar Abu Said Kukburi bin Zainuddin Ali bin Biktikin (w.630 H). Imam al-Suyuthi mengatakan,  

وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ فِعْلَ ذَلِكَ صَاحِبُ إِرْبِلَ الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُو سَعِيدٍ كُوكْبُرِي بْنُ زَيْنِ الدِّينِ عَلِيِّ بْنِ بَكْتَكِينَ، أَحَدُ الْمُلُوكِ الْأَمْجَادِ وَالْكُبَرَاءِ الْأَجْوَادِ، وَكَانَ لَهُ آثَارٌ حَسَنَةٌ، وَهُوَ الَّذِي عَمَّرَ الْجَامِعَ الْمُظَفَّرِيَّ بِسَفْحِ قَاسِيُونَ

Orang yang pertamakali mengadakan peringatan Maulid Nabi adalah penguasa Irbil, Raja al-Mudzaffar Abu Said Kukburi bin Zainuddin Ali bin Biktikin, salah seorang raja yang agung, besar dan mulia. Ia memiliki riwayat hidup yang baik. Dan dia lah yang memakmurkan Masjid Jami' al-Mudzaffari di Safah Qasiyun.

 

Untuk mendukung penjelasan ini, al-Suyuthi juga mengutip keterangan Ibnu Katsir dalam kitab Tarikh-nya yang mengatakan,

كانَ يَعْمَلُ الْمَوْلِدَ الشَّرِيفَ فِي رَبِيعٍ الْأَوَّلِ وَيَحْتَفِلُ بِهِ احْتِفَالًا هَائِلًا، وَكَانَ شَهْمًا شُجَاعًا بَطَلًا عَاقِلًا عَالِمًا عَادِلًا، رَحِمَهُ اللَّهُ وَأَكْرَمَ مَثْوَاهُ، قَالَ وَقَدْ صَنَّفَ لَهُ الشَّيْخُ أَبُو الْخَطَّابِ ابْنُ دِحْيَةَ مُجَلَّدًا فِي الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ سَمَّاهُ التَّنْوِيرُ فِي مَوْلِدِ الْبَشِيرِ النَّذِيرِفَأَجَازَهُ عَلَى ذَلِكَ بِأَلْفِ دِينَارٍ، وَقَدْ طَالَتْ مُدَّتُهُ فِي الْمُلْكِ إِلَى أَنْ مَاتَ وَهُوَ مُحَاصِرٌ لِلْفِرِنْجِ بِمَدِينَةِ عَكَّا سَنَةَ ثَلَاثِينَ وَسِتِّمِائَةٍ، مَحْمُودُ السِّيرَةِ وَالسَّرِيرَةِ.

Bahwa Raja al-Mudzaffar mengadakan Maulid Nabi di bulan Rabi'ul Awal dan melakukan perayaan yang besar. Sosok yang dermawan, pemberani, tangguh, cerdas akalnya, pandai dan adil. Semoga Allah merahmatinya dan memuliakan tempat kembalinya. Kemudian Ibnu Katsir mengatakan, Syaikh Abu Khattab Ibnu Dihyah telah mengarang kitab tentang Maulid Nabi dan diperuntukkan bagi Raja al-Mudzaffar yang ia beri nama at-Tanwir fi Maulid al-Basyir an-Nadzir. Lalu Raja al-Mudzaffar membalasnya dengan memberi hadiah sebesar seribu dinar atas karyanya itu. Raja al-Mudzaffar diberi usia panjang dalam kekuasaannya hingga ia meninggal saat mengepung Perancis di kota Akka (salah satu kota di Palestina) pada tahun 630 H. Ia terpuji sejarahnya dan perangainya. (al-Hawi lil Fataawi : I/189)

 

Asy-Syaukani (w. 1250 H) dalam salah satu kitabnya mengatakan, bahwa orang pertama kali yang mengadakan peringatan maulid Nabi SAW adalah Raja Mudhaffar,

 وَأَجْمَعُوْا أَنَّ الْمُخْتَرِعَ لَهُ السُّلْطَانُ الْمُظَفَّر أَبُوْ سَعِيْد كُوْكْبَرِي بْنُ زَيْنِ الدِّينِ عَلِيِّ بْنِ بَكْتَكِينَ صَاحِبُ إِرْبِلَ

Para ulama telah sepakat bahwa yang mengadakan peringatan maulid pertama kali adalah Raja Mudhaffar Abu Said Kuukuburi bin Zainuddin Ali bin Biktikin, penguasa Irbil (Al-Fathur Rabbani min Fatawa Imam asy-Syaukani, : I/1087)

 

Di antara sumber lain yang menjelaskan yang pertama sekali melakukan peringatan maulid Nabi SAW adalah kitab I’anah al-Thalibin. Di dalamnya disebutkan :

وأول من أحدثه من الملوك الملك ‌المظفر أبو سعيد صاحب أربل

Orang yang pertamakali mengadakan peringatan Maulid Nabi SAW dari kalangan penguasa adalah Raja al-Mudzaffar Abu Said, penguasa Irbil. (I’anah al-Thalibin III/364)

 

Menurut keterengan dalam kitab al-Hawi lil Fataawi, Isteri Raja al-Mudzaffar Abu Said yang bernama Rabi’ah Khatuun binti Ayyub merupakan saudara perempuan dari Sultan Shalahuddin al-Ayyubi. (al-Hawi lil Fataawi : I/190)

Namun demikian, ada juga yang berpendapat bahwa yang pertama sekali mengadakan peringatan maulid Nabi SAW adalah para penguasa dinasti Bani Fathimah di Mesir. Syeikh Muhammad Bukhit al-Muthi’i (w. 1920 M) salah seorang ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang pertama sekali mengadakan peringatan maulid Nabi SAW adalah para penguasa dinasti Bani Fathimah Mesir yang bermazhab Syiah. beliau mengatakan,

وأول من أحدثها بالقاهرة الخلفاء الفاطميون واولهم المعز لدين الله توجه من المغرب الى مصر في شوال سنة احدى وستين وثلاثمائة هجرية

Yang pertama sekali mengadakan peringatan maulid Nabi SAW di Kota Kairo adalah para penguasa dari Bani Fathimah. Penguasa pertama dari kalangan mereka adalah al-Mu’iz li diinillah yang berangkat dari kawasan Magribi ke Mesir pada bulan Syawal Tahun 361 H. (Ahsan al-Kalam fi Maa Yata’allaqu bi al-Sunnah wa al-Bid’ah min al-Ahkam : 59)

 

Mengomentari penjelasan Imam al-Suyuthi di atas yang mengatakan pencetus pertama kegiatan memperingati maulid Nabi SAW adalah Raja al-Mudzaffar Abu Said Kukburi bin Zainuddin Ali bin Biktikin, Syeikh Muhammad Bukhit al-Muthi’i mengatakan, amalan peringatan maulid Nabi SAW yang dilakukan pada masa Raja al-Mudzaffar Abu Said di Irbil tidak menafikan bahwa peringatan tersebut sudah pernah dilakukan di Kairo pada masa dinasti Bani Fathimah sebelumnya. Adapun dinasti Bani Fathimah di Kairo hilang dengan wafatnya penguasa terakhirnya, al-‘Azhid billah Abu Muhammad Abdullah  bin al-Hafizh Ibnu al-Muntashir pada Hari Senin 10 Muharram Tahun 567 H. (Ahsan al-Kalam fi Maa Yata’allaqu bi al-Sunnah wa al-Bid’ah min al-Ahkam : 70). Dari penjelasan ini, juga dipahami bahwa masa pemerintahan Dinasti Bani Fathimah di Kairo Mesir ini berkisar mulai tahun 361 H sampai dengan 567 H.  Kemudian Mesir dikuasai oleh Dinasti Ayyubiyah, didirikan oleh Salahuddin al-Ayyubi yang beraliran Ahlussunnah wal Jama’ah.

Hukum memperingati maulid Nabi SAW

Sebagaimana penjelasan Imam al-Suyuthi yang telah dikutip di atas sesungguhnya memperingati Maulid Nabi SAW dengan rangkaian kegiatan berupa berkumpulnya orang banyak, mereka membaca al-Quran, membaca mulai dari awal kisah hidup Nabi SAW sampai hal-hal yang terjadi saat kelahirannya yang terdiri dari tanda-tanda kenabian, kemudian dilanjut dengan suguhan hidangan untuk makan bersama dan selesai tanpa tambahan kegiatan yang ada unsur-unsur maksiat adalah tergolong bid’ah hasanah, yang pelakunya mendapatkan pahala karena ia mengagungkan Nabi SAW, menampakkan rasa gembira dan kebahagiaannya atas kelahiran Nabi SAW yang mulia. Imam Syafi’i mengatakan,

ما أحدث وخالف كتابا أو سنة أو إجماعا أو أثرا فهو البدعة الضالة، وما أحدث من الخير ولم يخالف شيئا من ذلك فهو البدعة المحمودة.

Setiap perbuatan yang diadakan kemudian dan menyalahi kitab, sunnah, ijmak dan atsar adalah bid’ah yang sesat dan setiap perbuatan yang baik diadakan kemudian, tidak menyalahi sesuatupun dari demikian adalah bid’ah terpuji. (I’anah al-Thalibin : I/271)

 

Syeikhul Islam ‘Izzuddin Abdissalam mengatakan,

 الْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِي عَصْرِ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -. وَهِيَ مُنْقَسِمَةٌ إلَىبِدْعَةٌ وَاجِبَةٌ، وَبِدْعَةٌ مُحَرَّمَةٌ، وَبِدْعَةٌ مَنْدُوبَةٌ، وَبِدْعَةٌ مَكْرُوهَةٌ، وَبِدْعَةٌ مُبَاحَةٌ، وَالطَّرِيقُ فِي مَعْرِفَةِ ذَلِكَ أَنْ تُعْرَضَ الْبِدْعَةُ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرِيعَةِفَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْإِيجَابِ فَهِيَ وَاجِبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ التَّحْرِيمِ فَهِيَ مُحَرَّمَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمَنْدُوبِ فَهِيَ مَنْدُوبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمَكْرُوهِ فَهِيَ مَكْرُوهَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمُبَاحِ فَهِيَ مُبَاحَةٌ،

Bid’ah adalah perbuatan yang tidak ada pada masa Rasulullah SAW. Bid’ah terbagi kepada bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah mandubah (anjuran), bid’ah makruh dan bid’ah mubah. Untuk mengetahui status hukum bid’ah ini, harus lebih dulu menghubungkannya dengan kaidah-kaidah syari’at. Jika suatu perbuatan yang tidak ada pada masa Nabi masuk dalam kaidah-kaidah ijab (keharusan), maka hukumnya wajib. Bila masuk pada kaidah-kaidah pengharaman maka hukumnya haram, jika masuk pada kaidah-kaidah mandubah maka hukumnya mandubah, begitu juga bila masuk pada kaidah-kaidah kemakruhan maka hukumnya makruh dan jika masuk pada kaidah-kaidah mubah hukumnya mubah.(Al-Qawaid al-Kubra: II/337)

 

Adanya bid’ah terpuji atau bid’ah hasanah ini didukung oleh hadits riwayat Aisyah, Rasulullah SAW bersabda :

من أحدث في أمرنا هذا ماليس منه فهو رد

Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan dari agama kami, maka (amalan) itu tertolak.(H.R. Bukhari dan Muslim)

 

Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan bahwa makna “maa laisa minhu” (sesuatu yang bukan dari agama kami) adalah sesuatu yang bertentangan dengan agama atau tidak didukung oleh qawaid agama atau dalil-dalil agama yang bersifat umum. Dalam uraian beliau selanjutnya, beliau mengatakan, adapun yang tidak bertentangan dengan agama, yakni yang didukung oleh dalil syara’ atau qawaid syara’, maka tidak tertolak pelakunya, bahkan amalannya diterima. (Fath al-Mubin bi Syarh al-Arbangiin): 94).

Pandangan para ulama perihal hukum memperingati maulid Nabi SAW

Berikut ini pandangan-pandangan para ulama perihal hukum memperingati maulid Nabi SAW, yaitu antara lain :

1.  Ibnu Hajar al-Asqalaniy mengatakan,

 أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُونِ الثَّلَاثَةِ، وَلَكِنَّهَا مَعَ ذَلِكَ قَدِ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِي عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَ بِدْعَةً حَسَنَةً وَإِلَّا فَلَا

Asal amalan maulid adalah bid’ah, tidak ada riwayat amalan ini datang dari seorangpun dari salafusshalih pada qurun yang tiga. Akan tetapi amalan maulid kadang disertai dengan kebaikan-kebaikan dan juga kadang sebaliknya. Karena itu, barang siapa yang melakukan kebaikan-kebaikan dalam amalan maulid ini serta menjauhi kebalikannya, maka ia menjadi amalan bid’ah hasanah dan apabila tidak, maka ia tidak menjadi amalan bid’ah hasanah.(al-Hawi lil Fataawi : I/196)

 

2.  Abu Syamah, seorang guru dari Imam al-Nawawi mengatakan,

ومن أحسن ما ابتدع في زماننا ما يفعل كل عام في اليوم الموافق ليوم مولده صلعم من الصدقات والمعروف، وإظهار الزينة والسرور فإن ذلك مع ما فيه من الإحسان للفقراء مشعر بمحبة النبي صلعم وتعظيمه في قلب فاعل ذلك وشكر الله تعالى على ما من به من إيجاد رسول الله صلعم الذي أرسله رحمة للعالمين

Salah satu amaliyah bid‘ah terbaik di zaman kita sekarang adalah peringatan yang diadakan setiap tahun pada hari bertepatan dengan hari kelahiran Rasulullah SAW yang diisi dengan sadaqah, kebaikan, dan ekspresi keindahan serta kebahagiaan. Semua itu yang juga dibaringi dengan santunan kepada orang-orang fakir menunjukkan bentuk cinta dan ta’zhim kepada Nabi SAW di batin mereka yang mengamalkannya. Semua praktik itu juga merupakan bentuk syukur kepada Allah SWT atas nikmat-Nya, yakni menciptakan Rasulullah SAW yang diutus membawa rahmat bagi segenap penghuni alam (I’anah al-Thalibin : III/364)

 

3.  Imam al-Suyuthi menjelaskan sebagai berikut :

عِنْدِي أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوْلِدِ الَّذِي هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ وَرِوَايَةُ الْأَخْبَارِالْوَارِدَةِ فِي مَبْدَأِ أَمْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا وَقَعَ فِي مَوْلِدِهِ مِنَ الْآيَاتِ، ثُمَ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُونَهُ وَيَنْصَرِفُونَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِي يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيهِ مِنْ تَعْظِيمِ قَدْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالِاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيفِ،

Menurutku, bahwanya subtansi dari Maulid Nabi yang berupa berkumpulnya orang banyak, mereka membaca al-Quran, membaca mulai dari awal kisah hidup Nabi SAW sampai hal-hal yang terjadi saat kelahirannya yang terdiri dari tanda-tanda kenabian, kemudian dilanjut dengan suguhan hidangan untuk makan bersama dan selesai tanpa ada tambahan lagi adalah tergolong bid’ah hasanah, yang pelakunya mendapatkan pahala karena ia mengagungkan Nabi SAW, menampakkan rasa gembira dan kebahagiaannya atas kelahiran Nabi SAW yang mulia.(al-Hawi lil Fataawi : I/189)

 

4.  Al-Hafidz as-Sakhawi, salah seorang murid  al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalaniy mengatakan,

إن عمل المولد حدث بعد القرون الثلاثة ثم لا زال أهل الإسلام من سائر الأقطار والمدن الكبار يعملون المولد، ويتصدقون في لياليه بأنواع الصدقات، ويعتنون بقراءة مولده الكريم، ويظهر عليهم من بركاته كل فضل عميم.

Sesungguhnya amaliyah Maulid datang sesudah qurun yang tiga. Kemudian senantiasa umat Islam melakukannya di seluruh penjuru dan kota besar selalu merayakannya di bulan kelahiran Nabi SAW, mereka bersadaqah di malam harinya dengan berbagai jenis sadaqah, menampakkan rasa suka cita dengan membaca kisah kelahiran Nabi SAW yang mulia dan dengan sebab berkahnya  tampak kepada mereka keutamaan-keutamaan yang merata.  (I’anah al-Thalibin : III/364)

 

5.  Al-Halabiy dalam kitab Sirah beliau, mengatakan,

فقد حكى بعضهم أن الإمام السبكي اجتمع عنده كثير من علماء عصره فأنشد منشده قول الصرصري في مدحه صلعم :

 قليل لمدح المصطفى الخط بالذهب * على ورق من خط أحسن من كتب

 وأن تنهض الأشراف عند سماعه  *  قياما صفوفا أو جثيا على الركب

 فعند ذلك قام الإمام السبكي وجميع من بالمجلس، فحصل أنس كبير في ذلك المجلس وعمل المولد.واجتماع الناس له كذلك مستحسن.

Sebagian ulama menceritakan, sesungguhnya di hadapan Imam al-Subki berkumpul banyak ulama pada masanya. Kemudian yang bertindak sebagai pembawa syair melantunkan perkataan Sharshari dalam memuji Nabi SAW : “Sedikit sekali tulisan bertinta emas di kertas untuk memuji Nabi dari goresan kitab terbaik. Hendaknya orang-orang yang mulia bangkit berdiri dengan berbaris ataupun duduk atas kenderaannya ketika mendengar pujian terhadap Nabi”. Ketika itu, Imam al-Subki dan sekalian ulama yang hadir bergerak untuk berdiri. Maka timbullah kesejukan hati yang luar biasa dalam majelis itu. Adapun amalan maulid dan berkumpul manusia seperti itu untuk acara tersebut merupakan suatu yang baik. (I’anah al-Thalibin : III/363-364)


Dalil-dalil anjuran memperingati maulid Nabi SAW

Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, amalan maulid Nabi SAW berupa rangkaian kegiatan berkumpulnya orang banyak, membaca al-Quran, zikir-zikir, membaca mulai dari awal kisah hidup Nabi SAW sampai hal-hal yang terjadi saat kelahirannya yang terdiri dari tanda-tanda kenabian, kemudian dilanjut dengan suguhan hidangan untuk makan bersama belum pernah ada pada zaman Nabi SAW dan salafusshalih. Namun banyak dalil syara’ yang mengisyaratkan anjuran memperingati maulid Nabi SAW. Karena ada dalil-dalil syara’ ini, makanya para ulama memasukkan amalan maulid ini sebagai katagori bid’ah hasanah. Adapun dalil-dalilnya itu antara lain :

1.  Dari Ibnu Abbas r.a. , beliau berkata :

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِينَةَ ‌فَوَجَدَ ‌الْيَهُودَ صِيَامًا، يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي تَصُومُونَهُ؟ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ، أَنْجَى اللهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ، وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ، فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا، فَنَحْنُ نَصُومُهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

Sesungguhnya Rasulullah SAW tiba di Madinah, beliau mendapati Yahudi Madinah melakukan puasa Hari ‘Asyura. Ketika itu, Rasulullah SAW menanyakan kepada mereka, Hari apakah yang kalian puasa ini?. Mereka menjawab, Ini adalah hari agung dimana Allah melepaskan Musa serta kaumnya dan menenggelamkan Fir’un serta kaumnya.  Karena itu, Musa melakukan puasa sebagai rasa syukur dan kami juga melakukannya. Lalu Rasulullah  SAW bersabda, “Maka kami lebih berhak dan lebih pantas menghormati Musa dibandingkan kalian. Maka Rasulullah SAW melakukan puasa pada Hari ‘Asyura dan memerintahkan kami melakukannya juga. (H.R. Bukhari)

 

Ibnu Hajar al-Asqalaniy telah menjadikan hadits di atas sebagai dalil kebolehan, bahkan anjuran memperingati maulid Nabi SAW. Menurut beliau, berdasarkan hadits ini, diperbolehkan melakukan syukur kepada Allah pada hari tertentu. Bersyukur kepada Allah dapat diwujudkan dengan berbagai ibadah seperti sujud, puasa, sadaqah dan membaca al-Qur’an. Adapun kelahiran Nabi SAW sebagai pembawa rahmat merupakan nikmat yang lebih agung dari lainnya, maka seharusnya lebih patut di syukuri dengan melakukan berbagai  ibadah. (al-Hawi lil Fataawi : I/196)

2.  Dari Anas bin Malik, beliau berkata :

أَن النَّبِي  صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم عق عَن نَفسه بعد النُّبُوَّة

Sesungguhnya Nabi SAW pernah melakukan aqiqah untuk diri sendiri setelah kenabian beliau. (H.R. al-Baihaqi)

 

Ibnu Mulaqqin mengatakan, hadits ini dhaif. (Badrul Munir : IX/339). Namun hadits ini terdapat pada jalur lain, yaitu riwayat al-Bazzaar dan al-Thabraniy dari Anas bin Malik, beliau berkata :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْد مَا بُعِثَ نَبِيًّا

Sesungguhnya Nabi SAW pernah melakukan aqiqah untuk diri sendiri setelah diangkat menjadi nabi. (H.R. al-Bazzaar dan al-Thabraniy)

 

Al-Haitsamiy mengatakan, rijal al-Thabaraniy adalah rijal shahih kecuali al-Haitsam bin Jamiil, beliau ini thiqqah (terpercaya). (Majma’ al-Zawaid : IV/59). Senada dengan penjelasan ini juga telah dikemukakan Ibnu Hajar al-Haitamiy dalam Tuhfah al-Muhtaj. (Tuhfah al-Muhtaj dan Hasyiahnya : IX/371)

Hadits ini telah dijadikan dalil oleh Imam al-Suyuthi atas kebolehan memperingati maulid Nabi SAW. Beliau mengatakan, hadits ini mengandung makna bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi SAW tersebut adalah sebagai ungkapan rasa syukur, karena Allah telah menjadikannya rasul sebagai rahmat bagi sekalian alam dan menjadi syariat bagi umatnya. Karena itu, dianjurkan pula bagi kita untuk mewujudkan rasa syukur dengan sebab lahir Nabi SAW dengan rangkain kegiatan berkumpul dan menjamu makanan dan cara-cara lain dalam bentuk amalam yang baik dan melahirkan rasa gembira. Tidak dimaknai hadits ini sebagai aqiqah pada umumnya, karena Nabi SAW sudah pernah diaqiqah oleh kakek beliau sendiri pada hari ketujuh kelahirannya, padahal aqiqah tidak diulangi kedua kalinya. (Al-Hawi lil Fataawi : I/196).

Dalam kitab Siirah al-Nabawiyahnya, Ibnu Katsir mengatakan,

فَلَمَّا كَانَ الْيَوْمُ السَّابِعُ ذَبَحَ عَنْهُ وَدَعَا لَهُ قُرَيْشًا، فَلَمَّا أَكَلُوا قَالُوا يَا عَبْدَ الْمُطَّلِبِ، أَرَأَيْتَ ابْنَكَ هَذَا الَّذِي أَكْرَمْتَنَا عَلَى وَجْهِهِ، مَا سَمَّيْتَهُ؟ قَالَ: سَمَّيْتُهُ مُحَمَّدًا.

Ketika datang hari ketujuh kelahiran Nabi SAW, Abdul Muthalib melakukan penyembelihan untuk menyambut kelahiran Nabi SAW dengan mengundang orang-orang Quraisy. (Siirah al-Nabawiyah : I/210)

 

3.  Dalam Shahih Muslim disebutkan :

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ؟ قَالَ ذَاكَ يَوْمٌ ‌وُلِدْتُ ‌فِيهِ

Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa Hari Senin. Rasulullah SAW menjawab, itu adalah hari aku dilahirkan. (H.R. Muslim)

 

Ini mengisyaratkan bahwa pensyariatan puasa Hari Senin merupakan ibadah dalam rangka mewujudkan rasa syukur atas kelahiran Nabi SAW pada hari tersebut. Jadi, kalau kita melakukan ibadah lainnya yang disyariatkan dalam agama kita sebagaimana halnya puasa, yang digerakkan oleh rasa bersyukur atas nikmat lahirnya Nabi SAW, maka Insya Allah akan mempunyai nilai lebih di sisi Allah Ta’ala.

4.  Firman Allah Ta’ala berbunyi :

وَمَن ‌يُعَظِّمۡ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقۡوَى ٱلۡقُلُوبِ 

Barangsiapa yang memuliakan syiar-syiar Allah, sesungguhnya itu termasuk hati yang bertaqwa.(Q.S. al-Hajj : 32)

 

Nabi SAW merupakan syiar Allah terbesar, karena kemunculan Nabi SAW di dunia ini sebagai juru penerang kepada ummat manusia untuk bertauhid kepada Allah Ta’ala. Memperingati hari lahirnya Nabi SAW adalah dalam rangka memuliakan Nabi SAW sebagai syiar Allah. 

Kritikan terhadap anjuran memperingati maulid Nabi SAW dan bantahannya

1.  Memperingati maulid Nabi SAW tidak ada pada zaman Nabi SAW, para Sahabat dan para shalafusshalih sesudahnya. Melakukan suatu amalan tanpa contoh sebelumnya dari Nabi SAW dan para Sahabat beliau ada bid’ah. Padahal Nabi SAW bersabda :

وإيّاكُم ومُحدَثاتِ الأُمورِ؛ فإِنَّ كُلَّ بدعَةٍ ضَلالَةٌ

Jauhilah mengada-adakan perkara-perkara dalam agama, karena sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat. (H.R. al-Baihaqi dan Ibnu Hibban).

 

Al-Turmidzi mengatakan, hadits ini hasan shahih. (Badrul Munir karya Ibnu Mulaqqin: IX/582)

Bantahan :

Hadits ini adalah ‘am makhshus. Artinya hadits yang bersifat umum, akan tetapi hukumnya hanya berlaku pada sebagian saja. Sehingga bermakna sebagian bid’ah, tidak semuanya. Karena bid’ah ada yang terpuji atau bid’ah hasanah dan ada juga yang tercela. Ini didukung oleh mafhum mukhalafah (pemahaman dari sebaliknya dari sebuah teks) dari kandungan hadits riwayat Aisyah, Rasulullah SAW bersabda :

من أحدث في أمرنا هذا ماليس منه فهو رد

Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan dari agama kami, maka (amalan) itu tertolak.(H.R. Bukhari dan Muslim)

 

Lebih detilnya perhatikan kembali uraian di atas. Berdasarkan pemahaman ini, maka memperingati maulid Nabi SAW termasuk dalam katagori bid’ah hasanah.

2.  Maulid Nabi SAW pencetus pertama sekali adalah para penguasa Dinasti Bani Fathimah di Mesir yang beraliran Syiah. Maka memperingati maulid nabi adalah perbuatan menyerupai tradisi pengikut mazhab yang sudah disepakati sesat oleh para ulama.

Bantahan :

Memang ada pendapat yang mengatakan pencetus pertama sekali peringatan maulid Nabi adalah para penguasa Dinasti Bani Fathimah. Diantara yang berpendapat seperti ini adalah Syeikh Muhammad Bukhit al-Muthi’i. Namun pendapat ini bertolak belakang dengan pendapat ulama-ulama besar yang hidup jauh sebelum beliau seperti Imam al-Suyuthi. Bahkan Asy-Syaukani mengatakan, Raja Mudhaffar sebagai pencetus pertama sekali merupakan kesepakatan para ulama sebagaimana telah kami kutip di atas sebelumnya.

Seandainya ini kita terima, ini bukan berarti maulid Nabi SAW yang dilakukan umat Islam dewasa ini menjadi tercela dan haram. Syeikh Muhammad Bukhit al-Muthi’I sendiri meskipun berpendapat pencetus pertama sekali peringatan maulid Nabi adalah para penguasa Dinasti Bani Fathimah, akan tetapi beliau berpendapat peringatan maulid Nabi SAW adalah bid’ah yang terpuji selama dalam kegiatan tersebut tidak ada unsur yang terlarang seperti perbuatan-perbuatan mubazir dan lainnya. (Lihat kitab Ahsan al-Kalam fi Maa Yata’allaqu bi al-Sunnah wa al-Bid’ah min al-Ahkam : 72

Kenapa tidak terlarang?. Karena memang tidak ada unsur menyerupainya. Umat Islam memperingati maulid Nabi SAW bukan karena keinginan menyerupai perbuatan orang-orang Syiah, akan tetapi ingin menunjukkan rasa gembira dan rasa syukut kepada Allah Ta’ala dengan meningkatkan amal ibadah yang diridha syariat seperti sadaqah, shalawat, berzikir dan lainnya pada hari atau bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Amalan-amalan seperti ini juga dilakukan pada bulan lain, akan tetapi ditingkatkan pengamalannya pada maulid Nabi SAW dengan niat mengungkap rasa gembira dan syukur atas kelahiran Nabi SAW. Dengan sebab niat ini, maka amalan ini menjadi bid’ah hasanah. Pada saat sebuah amalan dengan rangkaian kegiatan bercirikan dan menjadi syiar Ahlussunnah wal Jamaah dan tidak ada lagi unsur-unsur Syiah, bagaimana bisa kita katakan menyerupai?.Apakah hanya semata-mata karena sebuah amalan lebih dahulu dilakukan oleh kelompok sesat seperti Syiah, maka itu menjadi tercela apabila kita dari kaum Ahlussunnah wal Jamaah ikut melakukan juga?. Padahal Rasululullah SAW sendiri pernah melakukan puasa ‘Asyura, sementara puasa tersebut lebih dahulu dilakukan kaum Yahudi sebagaimana dalam hadits shahih di atas. Jawabannya tentu tidak. Dengan demikian, alasan memperingati maulid Nabi SAW lebih dahulu dilakukan kaum Syiah tidak menjadi argumentasi  bahwa maulid Nabi SAW merupakan perbuatan tercela.

Ibnu Hajar al-Asqalany dalam Fathul Barri mengemukakan pendapat sebagian umat Islam yang menyatakan haram memakai thailasaan (sejenis pakaian toga yang biasa dipakai Yahudi zaman dulu) dengan didasarkan kepada hadits :

يَتْبَعُ الدَّجَّالَ مِنْ يَهُودِ أَصْبَهَانَ سَبْعُونَ أَلْفًا عَلَيْهِمُ الطَّيَالِسَةُ

Tujuh puluh ribu Yahudi dari Ashbahan yang memakai thailasaan akan mengikuti Dajjal. (H.R. Muslim)

 

Berdasarkan hadits di atas, thailasan merupakan pakaian Yahudi, oleh karena itu, haram memakainya karena menyerupai pakaian Yahudi. Ibnu Hajar al-Asqalany membantah pemahaman tersebut dengan mengatakan, hanya saja sah melakukan pendalilian tersebut  (haram memakai thailasaan) dengan kisah Yahudi tersebut adalah pada waktu  thailasaan itu merupakan syi’ar mereka (Yahudi). Sedangkan sekarang, hal itu tidak berlaku lagi, maka ia termasuk dalam umum mubah. Karena itu, Ibnu Abdussalam menyebutnya sebagai contoh bid’ah yang mubah.(Fathulbarri : X/274)

3.  Praktek peringatan maulid Nabi SAW dalam masyarakat banyak mengandung unsur maksiat seperti bercampur laki-laki dan perempuan, kesibukannya kadang mengakibatkan meninggalkan shalat dan lain-lain. Karena itu, sudah seharusnya peringatan ini dihukum tercela.

Bantahan

Sudah dijelas sebelumnya, bahwa memperingati Maulid Nabi SAW dilaksanakan dalam  rangkaian kegiatan berkumpulnya orang banyak, mereka membaca al-Quran, membaca mulai dari awal kisah hidup Nabi SAW sampai hal-hal yang terjadi saat kelahirannya yang terdiri dari tanda-tanda kenabian, kemudian dilanjut dengan suguhan hidangan untuk makan bersama. Tidak diragukan lagi bahwa rangkaian kegiatan-kegiatan ini merupakan amal kebaikan yang dianjurkan dalam agama, baik pada ketika memperingati maulid Nabi SAW maupun di bulan-bulan lainnya. Seandainya ada masuk unsur-unsur maksiat seperti bercampur laki-laki dan perempuan, maka ini tidak membatalkan anjuran memperingati maulid Nabi SAW. Ini sama halnya kalau bercampurnya unsur maksiat ketika orang-orang berkumpul untuk shalat Jumat atau shalat Hari Raya ataupun menghidupkan malam Ramadhan dengan melaksanakan shalat Tarawih. Apakah karena datangnya gadis-gadis cantik yang mengenakan dandanan menggoda, lalu kita memvonis shalat jumat, shalat Hari Raya dan shalat Tarawih menjadi haram? Jawabannya tentu tidak demikian. Unsur-unsur maksiat tersebut sesuatu yang ‘arizhi (bukan substansi) muncul pada ibadah tersebut. Yang harus dilakukan adalah menghilangkan unsur-unsur maksiat tersebut, bukannya  mengharamkan shalat jumat, shalat Hari Raya dan shalat Tarawih. Demikian juga dalam hal rangkaian kegiatan peringatan maulid Nabi SAW. Jika ada kegiatan maulid Nabi SAW ini bercampur dengan perbuatan maksiat, maka yang harus dilakukan menghilangkan kemaksiatan itu, bukan membatalkan maulid Nabi SAW. Jawaban seperti ini telah dijelaskan Imam al-Suyuthi dalam kitab beliau, al-Haawi lil Fataawi..(al-Hawi lil Fataawi : I/193)