Maulid Nabi SAW adalah peringatan hari
lahir Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada 12 Rabiul Awal dalam penanggalan
Hijriyah. Arti kata maulid atau milad dalam bahasa Arab mempunyai arti hari
lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang terus berkembang di
masyarakat Islam dunia dan Indonesia. Adanya peringatan Maulid Nabi ini
merupakan ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW saat
lahir ke dunia. Di Indonesia memperingati maulid Nabi SAW ini ada yang
membatasi hanya dengan ceramah yang berisi sejarah hidup Nabi SAW saja. Akan
tetapi kebanyakannya dalam bentuk rangkaian kegiatan pembacaan shalawat kepada
Nabi SAW, pembacaan ayat-ayat suci al-Qur’an, zikir-zikir dan pembacaan kisah
kehidupan Nabi SAW, kemudian ditutup dengan acara makan bersama yang disediakan
oleh pribadi-pribadi yang mempunyai kemampuan atau kelompok masyarakat dengan
mengundang kerabat dan orang-orang sekitarnya. Katagori kedua ini merupakan
rangkaian kegiatan memperingati maulid Nabi SAW yang lebih lama tradisinya
dalam masyarakat Islam, baik di Indonesia maupun negara-negara yang mayoritas
penduduk Islam lainnya. Karena itu, pengertian memperingati maulid Nabi SAW
pada umumnya dipahami dengan pengertian katagori yang kedua ini. Katagori yang
kedua inilah yang menjadi pembahasan kita dalam tulisan ini.
Dalam al-Hawi lil Fataawi pada bab
khusus, Husn al-Maqshid fi ‘Amal al-Maulid, Imam al-Suyuthi menjelaskan sebagai
berikut :
عِنْدِي أَنَّ
أَصْلَ عَمَلِ الْمَوْلِدِ الَّذِي هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا
تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ وَرِوَايَةُ الْأَخْبَارِالْوَارِدَةِ فِي مَبْدَأِ
أَمْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا وَقَعَ فِي مَوْلِدِهِ
مِنَ الْآيَاتِ، ثُمَ
يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُونَهُ وَيَنْصَرِفُونَ مِنْ
غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَلِكَ
هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِي يُثَابُ عَلَيْهَا
صَاحِبُهَا لِمَا فِيهِ مِنْ تَعْظِيمِ قَدْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالِاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيفِ،
Menurutku, bahwanya subtansi dari Maulid Nabi yang berupa
berkumpulnya orang banyak, mereka membaca al-Quran, membaca mulai dari awal
kisah hidup Nabi SAW sampai hal-hal yang terjadi saat kelahirannya yang terdiri
dari tanda-tanda kenabian, kemudian dilanjut dengan suguhan hidangan untuk
makan bersama dan selesai tanpa ada tambahan lagi adalah tergolong bid’ah
hasanah, yang pelakunya mendapatkan pahala karena ia mengagungkan Nabi SAW,
menampakkan rasa gembira dan kebahagiaannya atas kelahiran Nabi SAW yang mulia.(al-Hawi
lil Fataawi : I/189)
Pencetus pertama kegiatan memperingati maulid
Nabi SAW.
Berdasarkan
dari beberapa sumber yang kita telusuri, dapat dipahami bahwa pencetus pertama
kegiatan memperingati maulid Nabi SAW raja Irbil, Raja al-Mudzaffar Abu Said Kukburi bin Zainuddin
Ali bin Biktikin (w.630 H). Imam al-Suyuthi mengatakan,
وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ فِعْلَ ذَلِكَ صَاحِبُ إِرْبِلَ الْمَلِكُ
الْمُظَفَّرُ أَبُو سَعِيدٍ كُوكْبُرِي بْنُ زَيْنِ الدِّينِ عَلِيِّ بْنِ
بَكْتَكِينَ، أَحَدُ الْمُلُوكِ الْأَمْجَادِ وَالْكُبَرَاءِ الْأَجْوَادِ،
وَكَانَ لَهُ آثَارٌ حَسَنَةٌ، وَهُوَ الَّذِي عَمَّرَ الْجَامِعَ الْمُظَفَّرِيَّ
بِسَفْحِ قَاسِيُونَ
Orang yang pertamakali mengadakan peringatan
Maulid Nabi adalah penguasa Irbil, Raja al-Mudzaffar Abu Said Kukburi bin Zainuddin
Ali bin Biktikin, salah seorang raja yang agung, besar dan mulia. Ia memiliki
riwayat hidup yang baik. Dan dia lah yang memakmurkan Masjid Jami'
al-Mudzaffari di Safah Qasiyun.
Untuk mendukung penjelasan ini,
al-Suyuthi juga mengutip keterangan Ibnu Katsir dalam kitab Tarikh-nya yang
mengatakan,
كانَ يَعْمَلُ الْمَوْلِدَ الشَّرِيفَ فِي
رَبِيعٍ الْأَوَّلِ وَيَحْتَفِلُ بِهِ احْتِفَالًا هَائِلًا، وَكَانَ شَهْمًا
شُجَاعًا بَطَلًا عَاقِلًا عَالِمًا عَادِلًا، رَحِمَهُ اللَّهُ وَأَكْرَمَ
مَثْوَاهُ، قَالَ وَقَدْ صَنَّفَ لَهُ الشَّيْخُ أَبُو
الْخَطَّابِ ابْنُ دِحْيَةَ مُجَلَّدًا فِي الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ سَمَّاهُ التَّنْوِيرُ فِي مَوْلِدِ الْبَشِيرِ
النَّذِيرِفَأَجَازَهُ عَلَى ذَلِكَ بِأَلْفِ دِينَارٍ، وَقَدْ طَالَتْ مُدَّتُهُ
فِي الْمُلْكِ إِلَى أَنْ مَاتَ وَهُوَ مُحَاصِرٌ لِلْفِرِنْجِ بِمَدِينَةِ عَكَّا
سَنَةَ ثَلَاثِينَ وَسِتِّمِائَةٍ، مَحْمُودُ السِّيرَةِ وَالسَّرِيرَةِ.
Bahwa Raja al-Mudzaffar mengadakan Maulid Nabi
di bulan Rabi'ul Awal dan melakukan perayaan yang besar. Sosok yang dermawan,
pemberani, tangguh, cerdas akalnya, pandai dan adil. Semoga Allah merahmatinya
dan memuliakan tempat kembalinya. Kemudian Ibnu Katsir mengatakan, Syaikh Abu
Khattab Ibnu Dihyah telah mengarang kitab tentang Maulid Nabi dan diperuntukkan
bagi Raja al-Mudzaffar yang ia beri nama at-Tanwir fi Maulid al-Basyir
an-Nadzir. Lalu Raja al-Mudzaffar membalasnya dengan memberi hadiah sebesar
seribu dinar atas karyanya itu. Raja al-Mudzaffar diberi usia panjang dalam
kekuasaannya hingga ia meninggal saat mengepung Perancis di kota Akka (salah
satu kota di Palestina) pada tahun 630 H. Ia terpuji sejarahnya dan
perangainya. (al-Hawi
lil Fataawi : I/189)
Asy-Syaukani (w. 1250 H) dalam salah satu
kitabnya mengatakan, bahwa orang pertama kali yang mengadakan peringatan maulid
Nabi SAW adalah Raja Mudhaffar,
وَأَجْمَعُوْا أَنَّ الْمُخْتَرِعَ لَهُ السُّلْطَانُ الْمُظَفَّر
أَبُوْ سَعِيْد كُوْكْبَرِي
بْنُ زَيْنِ الدِّينِ عَلِيِّ بْنِ
بَكْتَكِينَ صَاحِبُ إِرْبِلَ
Para ulama telah sepakat bahwa yang mengadakan
peringatan maulid pertama kali adalah Raja Mudhaffar Abu Said Kuukuburi bin
Zainuddin Ali bin Biktikin, penguasa Irbil (Al-Fathur Rabbani min Fatawa Imam
asy-Syaukani, : I/1087)
Di antara sumber lain yang menjelaskan
yang pertama sekali melakukan peringatan maulid Nabi SAW adalah kitab I’anah
al-Thalibin. Di dalamnya disebutkan :
وأول من أحدثه
من الملوك الملك المظفر أبو سعيد صاحب أربل
Orang yang pertamakali mengadakan peringatan
Maulid Nabi SAW dari kalangan penguasa adalah Raja al-Mudzaffar Abu Said,
penguasa Irbil. (I’anah
al-Thalibin III/364)
Menurut keterengan dalam kitab al-Hawi
lil Fataawi, Isteri Raja al-Mudzaffar Abu Said yang bernama Rabi’ah Khatuun binti
Ayyub merupakan saudara perempuan dari Sultan Shalahuddin al-Ayyubi. (al-Hawi
lil Fataawi : I/190)
Namun demikian, ada juga yang berpendapat
bahwa yang pertama sekali mengadakan peringatan maulid Nabi SAW adalah para
penguasa dinasti Bani Fathimah di Mesir. Syeikh Muhammad
Bukhit al-Muthi’i (w. 1920 M) salah seorang ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
yang pertama sekali mengadakan peringatan maulid Nabi SAW adalah para penguasa
dinasti Bani Fathimah Mesir yang bermazhab Syiah. beliau mengatakan,
وأول من أحدثها
بالقاهرة الخلفاء الفاطميون واولهم المعز لدين الله توجه من المغرب الى مصر في
شوال سنة احدى وستين وثلاثمائة هجرية
Yang pertama sekali mengadakan
peringatan maulid Nabi SAW di Kota Kairo adalah para penguasa dari Bani
Fathimah. Penguasa pertama dari kalangan mereka adalah al-Mu’iz li diinillah
yang berangkat dari kawasan Magribi ke Mesir pada bulan Syawal Tahun 361 H.
(Ahsan al-Kalam fi Maa Yata’allaqu bi al-Sunnah wa al-Bid’ah min al-Ahkam : 59)
Mengomentari
penjelasan Imam al-Suyuthi di atas yang mengatakan pencetus pertama kegiatan memperingati
maulid Nabi SAW adalah Raja al-Mudzaffar Abu Said Kukburi bin Zainuddin Ali bin
Biktikin, Syeikh Muhammad
Bukhit al-Muthi’i mengatakan, amalan peringatan maulid Nabi SAW yang dilakukan
pada masa Raja al-Mudzaffar Abu Said di Irbil tidak menafikan bahwa
peringatan tersebut sudah pernah dilakukan di Kairo pada masa dinasti Bani
Fathimah sebelumnya. Adapun dinasti Bani Fathimah di Kairo hilang dengan
wafatnya penguasa terakhirnya, al-‘Azhid billah Abu Muhammad Abdullah bin al-Hafizh Ibnu al-Muntashir pada Hari
Senin 10 Muharram Tahun 567 H. (Ahsan
al-Kalam fi Maa Yata’allaqu bi al-Sunnah wa al-Bid’ah min al-Ahkam : 70). Dari
penjelasan ini, juga dipahami bahwa masa pemerintahan Dinasti Bani Fathimah di
Kairo Mesir ini berkisar mulai tahun 361 H sampai dengan 567 H. Kemudian Mesir dikuasai oleh Dinasti
Ayyubiyah, didirikan oleh Salahuddin al-Ayyubi yang beraliran Ahlussunnah wal
Jama’ah.
Hukum
memperingati maulid Nabi SAW
Sebagaimana penjelasan
Imam al-Suyuthi yang telah dikutip di atas sesungguhnya memperingati Maulid
Nabi SAW dengan rangkaian kegiatan berupa berkumpulnya orang banyak, mereka
membaca al-Quran, membaca mulai dari awal kisah hidup Nabi SAW sampai hal-hal
yang terjadi saat kelahirannya yang terdiri dari tanda-tanda kenabian, kemudian
dilanjut dengan suguhan hidangan untuk makan bersama dan selesai tanpa tambahan
kegiatan yang ada unsur-unsur maksiat adalah tergolong bid’ah hasanah, yang
pelakunya mendapatkan pahala karena ia mengagungkan Nabi SAW, menampakkan rasa
gembira dan kebahagiaannya atas kelahiran Nabi SAW yang mulia. Imam Syafi’i mengatakan,
ما أحدث وخالف كتابا أو سنة أو إجماعا أو
أثرا فهو البدعة الضالة، وما أحدث من الخير ولم يخالف شيئا من ذلك فهو البدعة
المحمودة.
Setiap perbuatan yang diadakan kemudian dan
menyalahi kitab, sunnah, ijmak dan atsar adalah bid’ah yang sesat dan setiap
perbuatan yang baik diadakan kemudian, tidak menyalahi sesuatupun dari demikian
adalah bid’ah terpuji. (I’anah al-Thalibin : I/271)
Syeikhul Islam ‘Izzuddin Abdissalam mengatakan,
الْبِدْعَةُ فِعْلُ مَا لَمْ يُعْهَدْ فِي عَصْرِ رَسُولِ اللَّهِ -
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
-. وَهِيَ
مُنْقَسِمَةٌ إلَى: بِدْعَةٌ وَاجِبَةٌ، وَبِدْعَةٌ
مُحَرَّمَةٌ، وَبِدْعَةٌ مَنْدُوبَةٌ، وَبِدْعَةٌ مَكْرُوهَةٌ، وَبِدْعَةٌ
مُبَاحَةٌ، وَالطَّرِيقُ فِي مَعْرِفَةِ ذَلِكَ أَنْ
تُعْرَضَ الْبِدْعَةُ عَلَى قَوَاعِدِ الشَّرِيعَةِ: فَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْإِيجَابِ
فَهِيَ وَاجِبَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ التَّحْرِيمِ فَهِيَ
مُحَرَّمَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمَنْدُوبِ فَهِيَ مَنْدُوبَةٌ،
وَإِنْ دَخَلَتْ فِي قَوَاعِدِ الْمَكْرُوهِ فَهِيَ مَكْرُوهَةٌ، وَإِنْ دَخَلَتْ
فِي قَوَاعِدِ الْمُبَاحِ فَهِيَ مُبَاحَةٌ،
Bid’ah adalah perbuatan yang tidak ada pada
masa Rasulullah SAW. Bid’ah terbagi kepada bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah
mandubah (anjuran), bid’ah makruh dan bid’ah mubah. Untuk mengetahui status
hukum bid’ah ini, harus lebih dulu menghubungkannya dengan kaidah-kaidah
syari’at. Jika suatu perbuatan yang tidak ada pada masa Nabi masuk dalam
kaidah-kaidah ijab (keharusan), maka hukumnya wajib. Bila masuk pada
kaidah-kaidah pengharaman maka hukumnya haram, jika masuk pada kaidah-kaidah
mandubah maka hukumnya mandubah, begitu juga bila masuk pada kaidah-kaidah
kemakruhan maka hukumnya makruh dan jika masuk pada kaidah-kaidah mubah
hukumnya mubah.(Al-Qawaid al-Kubra: II/337)
Adanya bid’ah terpuji atau bid’ah hasanah
ini didukung oleh hadits riwayat Aisyah, Rasulullah SAW bersabda :
من أحدث في أمرنا هذا ماليس منه فهو رد
Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu
(amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan dari agama kami, maka
(amalan) itu tertolak.(H.R. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan bahwa
makna “maa laisa minhu” (sesuatu yang bukan dari agama kami) adalah sesuatu
yang bertentangan dengan agama atau tidak didukung oleh qawaid agama atau
dalil-dalil agama yang bersifat umum. Dalam uraian beliau selanjutnya, beliau
mengatakan, adapun yang tidak bertentangan dengan agama, yakni yang didukung
oleh dalil syara’ atau qawaid syara’, maka tidak tertolak pelakunya, bahkan
amalannya diterima. (Fath al-Mubin bi Syarh al-Arbangiin): 94).
Pandangan para ulama perihal hukum
memperingati maulid Nabi SAW
Berikut ini pandangan-pandangan para ulama perihal hukum
memperingati maulid Nabi SAW, yaitu antara lain :
1. Ibnu Hajar al-Asqalaniy mengatakan,
أَصْلُ
عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ
مِنَ الْقُرُونِ الثَّلَاثَةِ، وَلَكِنَّهَا مَعَ ذَلِكَ قَدِ اشْتَمَلَتْ عَلَى
مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِي عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ
ضِدَّهَا كَانَ بِدْعَةً حَسَنَةً وَإِلَّا فَلَا
Asal amalan maulid adalah bid’ah, tidak ada riwayat amalan ini
datang dari seorangpun dari salafusshalih pada qurun yang tiga. Akan tetapi
amalan maulid kadang disertai dengan kebaikan-kebaikan dan juga kadang
sebaliknya. Karena itu, barang siapa yang melakukan kebaikan-kebaikan dalam
amalan maulid ini serta menjauhi kebalikannya, maka ia menjadi amalan bid’ah
hasanah dan apabila tidak, maka ia tidak menjadi amalan bid’ah hasanah.(al-Hawi lil Fataawi : I/196)
2. Abu Syamah, seorang guru dari Imam al-Nawawi
mengatakan,
ومن أحسن
ما ابتدع في زماننا ما يفعل كل عام في اليوم الموافق ليوم مولده صلعم من الصدقات
والمعروف، وإظهار الزينة والسرور فإن ذلك مع ما فيه من الإحسان للفقراء مشعر بمحبة
النبي صلعم وتعظيمه في قلب فاعل ذلك وشكر الله تعالى على ما من به من إيجاد رسول
الله صلعم الذي أرسله رحمة للعالمين
Salah satu amaliyah bid‘ah terbaik di zaman kita sekarang adalah
peringatan yang diadakan setiap tahun pada hari bertepatan dengan hari
kelahiran Rasulullah SAW yang diisi dengan sadaqah, kebaikan, dan ekspresi
keindahan serta kebahagiaan. Semua itu yang juga dibaringi dengan santunan
kepada orang-orang fakir menunjukkan bentuk cinta dan ta’zhim kepada Nabi SAW
di batin mereka yang mengamalkannya. Semua praktik itu juga merupakan bentuk
syukur kepada Allah SWT atas nikmat-Nya, yakni menciptakan Rasulullah SAW yang
diutus membawa rahmat bagi segenap penghuni alam (I’anah al-Thalibin : III/364)
3. Imam al-Suyuthi menjelaskan sebagai berikut :
عِنْدِي أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوْلِدِ
الَّذِي هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
وَرِوَايَةُ الْأَخْبَارِالْوَارِدَةِ فِي مَبْدَأِ أَمْرِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا وَقَعَ فِي مَوْلِدِهِ مِنَ الْآيَاتِ، ثُمَ يُمَدُّ لَهُمْ
سِمَاطٌ يَأْكُلُونَهُ وَيَنْصَرِفُونَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ
الَّتِي يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيهِ مِنْ تَعْظِيمِ قَدْرِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ
وَالِاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيفِ،
Menurutku,
bahwanya subtansi dari Maulid Nabi yang berupa berkumpulnya orang banyak, mereka
membaca al-Quran, membaca mulai dari awal kisah hidup Nabi SAW sampai hal-hal
yang terjadi saat kelahirannya yang terdiri dari tanda-tanda kenabian, kemudian
dilanjut dengan
suguhan hidangan untuk makan bersama dan selesai tanpa ada tambahan lagi adalah
tergolong bid’ah hasanah, yang pelakunya mendapatkan pahala karena ia
mengagungkan Nabi SAW, menampakkan rasa gembira dan kebahagiaannya atas
kelahiran Nabi SAW yang mulia.(al-Hawi lil Fataawi : I/189)
4.
Al-Hafidz
as-Sakhawi, salah seorang murid
al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalaniy mengatakan,
إن عمل
المولد حدث بعد القرون الثلاثة ثم لا زال أهل الإسلام من سائر الأقطار والمدن الكبار
يعملون المولد، ويتصدقون في لياليه بأنواع الصدقات، ويعتنون بقراءة مولده الكريم،
ويظهر عليهم من بركاته كل فضل عميم.
Sesungguhnya amaliyah Maulid datang sesudah qurun yang tiga.
Kemudian senantiasa umat Islam melakukannya di seluruh penjuru dan kota besar
selalu merayakannya di bulan kelahiran Nabi SAW, mereka bersadaqah di malam
harinya dengan berbagai jenis sadaqah, menampakkan rasa suka cita dengan membaca
kisah kelahiran Nabi SAW yang mulia dan dengan sebab berkahnya tampak kepada mereka keutamaan-keutamaan yang
merata. (I’anah al-Thalibin : III/364)
5. Al-Halabiy dalam kitab Sirah beliau,
mengatakan,
فقد حكى
بعضهم أن الإمام السبكي اجتمع عنده كثير من علماء عصره فأنشد منشده قول الصرصري في
مدحه صلعم :
قليل لمدح المصطفى الخط بالذهب
* على ورق
من خط أحسن من كتب
وأن تنهض الأشراف عند سماعه * قياما صفوفا أو جثيا على الركب
فعند ذلك قام الإمام السبكي وجميع من بالمجلس،
فحصل أنس كبير في ذلك المجلس وعمل المولد.واجتماع الناس له كذلك مستحسن.
Sebagian ulama menceritakan, sesungguhnya di hadapan Imam al-Subki
berkumpul banyak ulama pada masanya. Kemudian yang bertindak sebagai pembawa
syair melantunkan perkataan Sharshari dalam memuji Nabi SAW : “Sedikit sekali
tulisan bertinta emas di kertas untuk memuji Nabi dari goresan kitab terbaik. Hendaknya orang-orang yang mulia bangkit berdiri dengan berbaris ataupun
duduk atas kenderaannya ketika mendengar pujian terhadap Nabi”. Ketika itu,
Imam al-Subki dan sekalian ulama yang hadir bergerak untuk berdiri. Maka timbullah
kesejukan hati yang luar biasa dalam majelis itu. Adapun amalan maulid dan
berkumpul manusia seperti itu untuk acara tersebut merupakan suatu yang baik. (I’anah
al-Thalibin : III/363-364)
Dalil-dalil anjuran memperingati maulid Nabi
SAW
Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, amalan maulid Nabi
SAW berupa rangkaian kegiatan berkumpulnya
orang banyak, membaca al-Quran, zikir-zikir, membaca mulai dari awal kisah
hidup Nabi SAW sampai hal-hal yang terjadi saat kelahirannya yang
terdiri dari tanda-tanda kenabian, kemudian dilanjut dengan suguhan hidangan
untuk makan bersama belum pernah ada pada zaman Nabi SAW dan salafusshalih.
Namun banyak dalil syara’ yang mengisyaratkan anjuran memperingati maulid Nabi
SAW. Karena ada dalil-dalil syara’ ini, makanya para ulama memasukkan amalan
maulid ini sebagai katagori bid’ah hasanah. Adapun dalil-dalilnya itu antara
lain :
1. Dari Ibnu Abbas r.a. , beliau berkata :
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدِمَ
الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا، يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ لَهُمْ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي
تَصُومُونَهُ؟ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ، أَنْجَى اللهُ فِيهِ
مُوسَى وَقَوْمَهُ، وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ، فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا،
فَنَحْنُ نَصُومُهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Sesungguhnya Rasulullah SAW tiba di Madinah,
beliau mendapati Yahudi Madinah melakukan puasa Hari ‘Asyura. Ketika itu, Rasulullah
SAW menanyakan kepada mereka, Hari apakah yang kalian puasa ini?. Mereka
menjawab, Ini adalah hari agung dimana Allah melepaskan Musa serta kaumnya dan
menenggelamkan Fir’un serta kaumnya. Karena itu, Musa melakukan puasa sebagai rasa
syukur dan kami juga melakukannya. Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Maka kami lebih berhak dan
lebih pantas menghormati Musa dibandingkan kalian. Maka Rasulullah SAW
melakukan puasa pada Hari ‘Asyura dan memerintahkan kami melakukannya juga. (H.R. Bukhari)
Ibnu Hajar al-Asqalaniy telah menjadikan hadits di atas sebagai
dalil kebolehan, bahkan anjuran memperingati maulid Nabi SAW. Menurut beliau,
berdasarkan hadits ini, diperbolehkan melakukan syukur kepada Allah pada hari
tertentu. Bersyukur kepada Allah dapat diwujudkan dengan berbagai ibadah
seperti sujud, puasa, sadaqah dan membaca al-Qur’an. Adapun kelahiran Nabi SAW
sebagai pembawa rahmat merupakan nikmat yang lebih agung dari lainnya, maka seharusnya
lebih patut di syukuri dengan melakukan berbagai ibadah. (al-Hawi
lil Fataawi : I/196)
2. Dari Anas bin Malik, beliau berkata :
أَن النَّبِي صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم عق عَن نَفسه بعد
النُّبُوَّة
Sesungguhnya Nabi SAW pernah melakukan aqiqah untuk diri sendiri setelah
kenabian beliau. (H.R. al-Baihaqi)
Ibnu Mulaqqin mengatakan, hadits ini dhaif. (Badrul Munir : IX/339). Namun
hadits ini terdapat pada jalur lain, yaitu riwayat al-Bazzaar dan al-Thabraniy
dari Anas bin Malik, beliau berkata :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْد مَا بُعِثَ نَبِيًّا
Sesungguhnya Nabi SAW pernah melakukan aqiqah untuk diri sendiri setelah diangkat
menjadi nabi. (H.R. al-Bazzaar dan al-Thabraniy)
Al-Haitsamiy mengatakan, rijal al-Thabaraniy adalah rijal shahih kecuali
al-Haitsam bin Jamiil, beliau ini thiqqah (terpercaya). (Majma’ al-Zawaid :
IV/59). Senada dengan penjelasan ini juga telah dikemukakan Ibnu Hajar
al-Haitamiy dalam Tuhfah al-Muhtaj. (Tuhfah al-Muhtaj dan Hasyiahnya : IX/371)
Hadits ini telah dijadikan dalil oleh Imam al-Suyuthi atas kebolehan
memperingati maulid Nabi SAW. Beliau mengatakan, hadits ini mengandung makna
bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi SAW tersebut adalah sebagai ungkapan rasa
syukur, karena Allah telah menjadikannya rasul sebagai rahmat bagi sekalian
alam dan menjadi syariat bagi umatnya. Karena itu, dianjurkan pula bagi kita
untuk mewujudkan rasa syukur dengan sebab lahir Nabi SAW dengan rangkain
kegiatan berkumpul dan menjamu makanan dan cara-cara lain dalam bentuk amalam
yang baik dan melahirkan rasa gembira. Tidak dimaknai hadits ini sebagai aqiqah
pada umumnya, karena Nabi SAW sudah pernah diaqiqah oleh kakek beliau sendiri
pada hari ketujuh kelahirannya, padahal aqiqah tidak diulangi kedua kalinya. (Al-Hawi
lil Fataawi : I/196).
Dalam kitab Siirah al-Nabawiyahnya, Ibnu Katsir mengatakan,
فَلَمَّا كَانَ
الْيَوْمُ السَّابِعُ ذَبَحَ عَنْهُ وَدَعَا لَهُ قُرَيْشًا، فَلَمَّا أَكَلُوا
قَالُوا يَا عَبْدَ الْمُطَّلِبِ، أَرَأَيْتَ ابْنَكَ هَذَا الَّذِي أَكْرَمْتَنَا
عَلَى وَجْهِهِ، مَا سَمَّيْتَهُ؟ قَالَ: سَمَّيْتُهُ مُحَمَّدًا.
Ketika datang hari ketujuh kelahiran Nabi SAW, Abdul Muthalib melakukan
penyembelihan untuk menyambut kelahiran Nabi SAW dengan mengundang orang-orang
Quraisy. (Siirah al-Nabawiyah : I/210)
3. Dalam Shahih Muslim disebutkan :
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ؟ قَالَ ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ
فِيهِ
Rasulullah SAW
pernah ditanya tentang puasa Hari Senin. Rasulullah SAW menjawab, itu adalah
hari aku dilahirkan. (H.R. Muslim)
Ini mengisyaratkan bahwa pensyariatan puasa Hari Senin merupakan
ibadah dalam rangka mewujudkan rasa syukur atas kelahiran Nabi SAW pada hari
tersebut. Jadi, kalau kita melakukan ibadah lainnya yang disyariatkan dalam
agama kita sebagaimana halnya puasa, yang digerakkan oleh rasa bersyukur atas
nikmat lahirnya Nabi SAW, maka Insya Allah akan mempunyai nilai lebih di sisi
Allah Ta’ala.
4. Firman Allah Ta’ala berbunyi :
وَمَن يُعَظِّمۡ شَعَٰٓئِرَ ٱللَّهِ
فَإِنَّهَا مِن تَقۡوَى ٱلۡقُلُوبِ
Barangsiapa yang memuliakan syiar-syiar
Allah, sesungguhnya itu termasuk hati yang bertaqwa.(Q.S. al-Hajj : 32)
Nabi SAW merupakan syiar Allah terbesar,
karena kemunculan Nabi SAW di dunia ini sebagai juru penerang kepada ummat
manusia untuk bertauhid kepada Allah Ta’ala. Memperingati hari lahirnya Nabi
SAW adalah dalam rangka memuliakan Nabi SAW sebagai syiar Allah.
Kritikan terhadap anjuran memperingati
maulid Nabi SAW dan bantahannya
1. Memperingati maulid Nabi SAW tidak ada pada
zaman Nabi SAW, para Sahabat dan para shalafusshalih sesudahnya. Melakukan
suatu amalan tanpa contoh sebelumnya dari Nabi SAW dan para Sahabat beliau ada
bid’ah. Padahal Nabi SAW bersabda :
وإيّاكُم
ومُحدَثاتِ الأُمورِ؛ فإِنَّ كُلَّ بدعَةٍ ضَلالَةٌ
Jauhilah mengada-adakan perkara-perkara
dalam agama, karena sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat. (H.R.
al-Baihaqi dan Ibnu Hibban).
Al-Turmidzi mengatakan, hadits ini hasan
shahih. (Badrul Munir karya Ibnu Mulaqqin: IX/582)
Bantahan :
Hadits ini adalah ‘am makhshus. Artinya hadits yang bersifat umum,
akan tetapi hukumnya hanya berlaku pada sebagian saja. Sehingga bermakna
sebagian bid’ah, tidak semuanya. Karena bid’ah ada yang terpuji atau bid’ah
hasanah dan ada juga yang tercela. Ini didukung oleh mafhum mukhalafah (pemahaman
dari sebaliknya dari sebuah teks) dari kandungan hadits riwayat Aisyah,
Rasulullah SAW bersabda :
من أحدث في أمرنا هذا ماليس منه فهو رد
Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan
(agama) kami yang bukan dari agama kami, maka (amalan) itu tertolak.(H.R.
Bukhari dan Muslim)
Lebih detilnya perhatikan kembali uraian di atas. Berdasarkan
pemahaman ini, maka memperingati maulid Nabi SAW termasuk dalam katagori bid’ah
hasanah.
2. Maulid Nabi SAW pencetus pertama sekali adalah
para penguasa Dinasti Bani Fathimah di Mesir yang beraliran Syiah. Maka
memperingati maulid nabi adalah perbuatan menyerupai tradisi pengikut mazhab
yang sudah disepakati sesat oleh para ulama.
Bantahan :
Memang ada pendapat yang mengatakan pencetus pertama sekali
peringatan maulid Nabi adalah para penguasa Dinasti Bani Fathimah. Diantara
yang berpendapat seperti ini adalah Syeikh Muhammad
Bukhit al-Muthi’i. Namun pendapat ini bertolak belakang dengan pendapat
ulama-ulama besar yang hidup jauh sebelum beliau seperti Imam al-Suyuthi.
Bahkan Asy-Syaukani mengatakan, Raja Mudhaffar sebagai pencetus pertama
sekali merupakan kesepakatan para ulama sebagaimana telah kami kutip di atas
sebelumnya.
Seandainya ini kita terima, ini bukan berarti maulid Nabi SAW yang
dilakukan umat Islam dewasa ini menjadi tercela dan haram. Syeikh Muhammad Bukhit al-Muthi’I sendiri meskipun berpendapat pencetus
pertama sekali peringatan maulid Nabi adalah para penguasa Dinasti Bani
Fathimah, akan tetapi beliau berpendapat peringatan maulid Nabi SAW adalah
bid’ah yang terpuji selama dalam kegiatan tersebut tidak ada unsur yang
terlarang seperti perbuatan-perbuatan mubazir dan lainnya. (Lihat kitab Ahsan al-Kalam fi Maa Yata’allaqu
bi al-Sunnah wa al-Bid’ah min al-Ahkam : 72
Kenapa tidak terlarang?. Karena memang tidak ada unsur
menyerupainya. Umat Islam memperingati maulid Nabi SAW bukan karena keinginan
menyerupai perbuatan orang-orang Syiah, akan tetapi ingin menunjukkan rasa
gembira dan rasa syukut kepada Allah Ta’ala dengan meningkatkan amal ibadah
yang diridha syariat seperti sadaqah, shalawat, berzikir dan lainnya pada hari
atau bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Amalan-amalan seperti ini juga
dilakukan pada bulan lain, akan tetapi ditingkatkan pengamalannya pada maulid
Nabi SAW dengan niat mengungkap rasa gembira dan syukur atas kelahiran Nabi
SAW. Dengan sebab niat ini, maka amalan ini menjadi bid’ah hasanah. Pada saat
sebuah amalan dengan rangkaian kegiatan bercirikan dan menjadi syiar Ahlussunnah
wal Jamaah dan tidak ada lagi unsur-unsur Syiah, bagaimana bisa kita katakan
menyerupai?.Apakah hanya semata-mata karena sebuah amalan lebih dahulu
dilakukan oleh kelompok sesat seperti Syiah, maka itu menjadi tercela apabila
kita dari kaum Ahlussunnah wal Jamaah ikut melakukan juga?. Padahal
Rasululullah SAW sendiri pernah melakukan puasa ‘Asyura, sementara puasa
tersebut lebih dahulu dilakukan kaum Yahudi sebagaimana dalam hadits shahih di
atas. Jawabannya tentu tidak. Dengan demikian, alasan memperingati maulid Nabi
SAW lebih dahulu dilakukan kaum Syiah tidak menjadi argumentasi bahwa maulid Nabi SAW merupakan perbuatan
tercela.
Ibnu Hajar al-Asqalany dalam Fathul Barri mengemukakan pendapat
sebagian umat Islam yang menyatakan haram memakai thailasaan (sejenis
pakaian toga yang biasa dipakai Yahudi zaman dulu) dengan didasarkan kepada
hadits :
يَتْبَعُ الدَّجَّالَ مِنْ يَهُودِ أَصْبَهَانَ سَبْعُونَ
أَلْفًا عَلَيْهِمُ الطَّيَالِسَةُ
Tujuh puluh ribu Yahudi dari Ashbahan yang memakai thailasaan akan
mengikuti Dajjal. (H.R. Muslim)
Berdasarkan hadits di atas, thailasan merupakan pakaian Yahudi,
oleh karena itu, haram memakainya karena menyerupai pakaian Yahudi. Ibnu Hajar
al-Asqalany membantah pemahaman tersebut dengan mengatakan, hanya saja sah
melakukan pendalilian tersebut (haram memakai thailasaan) dengan kisah
Yahudi tersebut adalah pada waktu thailasaan itu merupakan syi’ar mereka
(Yahudi). Sedangkan sekarang, hal itu tidak berlaku lagi, maka ia termasuk
dalam umum mubah. Karena itu, Ibnu Abdussalam menyebutnya sebagai contoh bid’ah
yang mubah.(Fathulbarri : X/274)
3. Praktek peringatan maulid Nabi SAW dalam
masyarakat banyak mengandung unsur maksiat seperti bercampur laki-laki dan
perempuan, kesibukannya kadang mengakibatkan meninggalkan shalat dan lain-lain.
Karena itu, sudah seharusnya peringatan ini dihukum tercela.
Bantahan
Sudah dijelas sebelumnya, bahwa memperingati
Maulid Nabi SAW dilaksanakan dalam rangkaian kegiatan berkumpulnya
orang banyak, mereka membaca al-Quran, membaca mulai dari awal kisah hidup Nabi
SAW sampai hal-hal yang terjadi saat kelahirannya yang terdiri dari tanda-tanda
kenabian, kemudian dilanjut dengan suguhan hidangan untuk makan bersama. Tidak
diragukan lagi bahwa rangkaian kegiatan-kegiatan ini merupakan amal kebaikan
yang dianjurkan dalam agama, baik pada ketika memperingati maulid Nabi SAW
maupun di bulan-bulan lainnya. Seandainya ada masuk unsur-unsur maksiat seperti
bercampur laki-laki dan perempuan, maka ini tidak membatalkan
anjuran memperingati maulid Nabi SAW. Ini sama halnya kalau bercampurnya unsur
maksiat ketika orang-orang berkumpul untuk shalat Jumat atau shalat Hari Raya ataupun
menghidupkan malam Ramadhan dengan melaksanakan shalat Tarawih. Apakah karena
datangnya gadis-gadis cantik yang mengenakan dandanan menggoda, lalu kita memvonis
shalat jumat, shalat Hari Raya dan shalat Tarawih menjadi haram? Jawabannya
tentu tidak demikian. Unsur-unsur maksiat tersebut sesuatu yang ‘arizhi (bukan
substansi) muncul pada ibadah tersebut. Yang harus dilakukan adalah
menghilangkan unsur-unsur maksiat tersebut, bukannya mengharamkan shalat jumat, shalat Hari Raya dan
shalat Tarawih. Demikian juga dalam hal rangkaian kegiatan peringatan maulid
Nabi SAW. Jika ada kegiatan maulid Nabi SAW ini bercampur dengan perbuatan
maksiat, maka yang harus dilakukan menghilangkan kemaksiatan itu, bukan membatalkan
maulid Nabi SAW. Jawaban seperti ini telah dijelaskan Imam al-Suyuthi dalam
kitab beliau, al-Haawi lil Fataawi..(al-Hawi lil Fataawi : I/193)