Renungan

Minggu, 10 September 2023

Kajian tentang jin dan hukumnya bersama Imam al-Suyuthi

 

Setelah mengatakan, hanya sedikit kitab dari kalangan Syafi’iyah yang menjelaskan hukum tentang jin dan ulama Hanafiyah, Qadhi Badruddin al-Syibliy ada mengarang sebuah kitab bernama “Aakam al-Marjaan fi Ahkam al-Jaan”, Imam al-Suyuthi dalam kitab beliau, al-Asybah wa al-Nadhair menjelaskan kepada kita sebagai berikut :

1.  Imam al-Subkiy mengatakan dalam Fatawa beliau : “Ibnu ‘Abdilbar mengatakan, Jin di sisi  satu jama’ah, jin adalah mukallaf dan ikut juga kewajiban mengikuti hukum Allah. Qadhi ‘Abd al-Jabbar mengatakan, kami tidak mengetahui ada khilafiyah antara para ulama pemikir tentang itu. Al-Qur’an membicarakan tentang itu dalam banyak ayatnya.”

2.  Setelah menyebut ada ulama yang membolehkan menikah dengan jin, Imam As-Suyuthi memilih pendapat mengharamkan nikah dengan bangsa jin berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut :

a.    Sebuah pernikahan harus dilaksanakan dengan jenis manusia sehingga diharapkan dengan pernikahan menjadikan seseorang tenteram dan terjalin cinta dan kasih sayang, berdasarkan firman Allah Qur’an Surat an-Nahl : 72

 وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا

Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri (Q. S. an-Nahl : 72)

 

Dan firman Allah Qur’an Surat ar-Rum : 21

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(Q.S. Ar-Ruum: 21)

 

b.    Hadits riwayat Harb al-Karmany dalam Masailnya dari Ahmad dan Ishaq, berkata Rasulullah SAW :

ﻨﻬﻰ  ﺭﺴﻭﻝ ﺍﻠﻠﻪ ﺼﻠﻌﻡ ﻋﻥﻨﻜﺎﺡ ﺍﻠﺠﻥ

 Rasulullah SAW melarang nikah dengan bangsa jin

 

Hadits ini meskipun mursal namun maksud hadits tersebut disokong (‘azhid) oleh banyak qaul ulama, diantaranya Hasan Basri, Qutadah, Hakam bin ‘Aiiyinah, Ishaq bin Rahawih.

c.    Nikah disyari’atkan untuk saling mengasihi, ketenteraman hati dan saling menyayangi. Hal tersebut tidak terdapat pada perkawinan dengan jin, bahkan yang ada lawannya, rasa permusuhan yang tidak hilang-hilang.

d.    Firman Allah Qur’an Surat An-Nisa’ : 3

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ

Maka kawinilah wanita-wanita yang baik bagi kamu (Q.S. An-Nisa’ : 3)

 

Perkataan “al-nisa’” adalah nama khusus bagi perempuan Bani Adam. Maka jenis yang lainnya  masuk dalam katagori haram karena beramal dengan qaidah :

 أﻷﺼﻝ ﻔﻲﺍﺒﻀﺎﻉ ﺍﻠﺤﺭﻤﺔ ﺤﺘﻰ ﻴﺭﺩ ﺩﻠﻴﻝ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﺤﻝ

 Asal pada pernikahan adalah haram kecuali datang dalil yang menunjukkan kepada halal

 

e.    Dalam Islam, diharamkan nikah dengan hamba sahaya karena menghasilkan mudharat pada keturunannya, yaitu keturunannya menjadi hamba sahaya. Sedangkan pernikahan dengan bangsa jin mudharatnya lebih besar.

3.  Seandainya jin menyetubuhi seorang perempuan, apakah perempuan tersebut wajib mandi ?

Al-Suyuthi mengatakan, kalangan Syafi’iyah belum ada yang membahas ini. Namun sebagian ulama Hanafiyah dan Hanabilah mengatakan, tidak wajib mandi, karena tidak ada kepastian adanya masuk kemaluan jin dalam faraj si perempuan dan juga tidak ada kepastian adanya orgasme. Karena itu, disamakan hukumnya seperti mimpi tanpa orgasme. Kemudian al-Suyuthi mengatakan, “Ini juga berlaku sesuai dengan qawaid kita (mazhab Syafi’i).”

4.  Apakah sah shalat berjama’ah dengan makmumnya hanya bangsa jin?.Al-Suyuhi cenderung berpendapat jamaahnya sah. Kemudian beliau menyebut beberapa keterangan berikut ini :

a.    Pengarang Kitab Aakam al-Marjaan mengatakan, sah jama’ahnya. Pendapat ini juga telah diriwayat dari Ibnu al-Shairafii al-Hanbali. Dalilnya hadits Ahmad dari Ibnu Mas’ud tentang kisah jin. Dalam hadits tersebut disebutkan :

فَلَمَّا قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي أَدْرَكَهُ شَخْصَانِ مِنْهُمْ فَقَالَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إنَّا نُحِبُّ أَنْ تَؤُمَّنَا فِي صَلَاتِنَا. قَالَ فَصَفَفْنَا خَلْفَهُ، ثُمَّ صَلَّى بِنَا، ثُمَّ انْصَرَفَ.

Ketika Rasulullah SAW berdiri mau mendirikan shalat, beliau menemukan dua sosok dari bangsa jin. Keduanya berkata, “Ya Rasulullah, kami menginginkan engkau mengimani shalat kami.” Ibnu Mas’ud berkata, “Maka kami membuat shaf di belakang beliau, kemudian beliau shalat bersama kami, kemudian pergi.

 

b.    Sufyan al-Tsury dalam Tafsirnya dari Ismail al-Bajaliy dari Sa’id bin Jubair berkata :

قَالَتْ الْجِنُّ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ لَنَا بِمَسْجِدِكَ أَنْ نَشْهَدَ الصَّلَاةَ مَعَك، وَنَحْنُ نَاءُونَ عَنْكَ؟ فَنَزَلَتْ وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

Jin pernah menanyakan kepada Nabi SAW, “Bagaimana kami dapat mendatangi masjidmu melakukan shalat bersamamu, sedangkan kami tinggal jauh darimu, maka turun firman Allah berbunyi :”Dan sesungguhnya masjid adalah milik Allah, maka janganlah kamu menyembah seseorangpun disamping menyembah Allah.”

 

c.    Dalam Fatawa al-Hanaathiy dari kalangan Syafi’iyah dibahas tentang hukum orang yang melakukan shalat sendiri tidak berjamaah dalam sebuah lapangan yang disertai azan dan iqamah, kemudian dia bersumpah bahwa dia sudah melakukan shalat secara berjama’ah, apakah sumpahnya itu menyalahi atau tidak?. Al-Hanathiy menjawab, orang itu sudah benar pada sumpahnya dan tidak ada kifarat atasnya, karena hadits yang diriwayatkan sesungguhnya Nabi SAW bersabda :

مَنْ أَذَّنَ وَأَقَامَ فِي فَضَاءٍ مِنْ الْأَرْضِ، وَصَلَّى وَحْدَهُ، صَلَّتْ الْمَلَائِكَةُ خَلْفَهُ صُفُوفًا

Barangsiapa yang melakukan azan dan iqamah dalam sebuah lapangan dan dia melakukan shalat sendiri tanpa berjama’ah, maka malaikat melakukan shalaat di belakangnya dengan membentuk shaf-shaf.

 

Karena itu, apabila seseorang bersumpah sesuai dengan jenis sumpah ini, maka dia tidak melanggar sumpahnya. (Jin dapat disamakan hukumnya dengan malaikat dalam hal jamaah).

d.    al-Subkiy mengatakan, berdasarkan pendapat ini (pendapat sah jama’ah dengan makmumnya hanya malaikat), maka barang siapa yang meninggalkan jama’ah karena ‘uzur, sedangkan kita berpendapat jamaah itu, hukumnya fardhu ‘ain, maka apakah wajib qadha shalat tersebut seperti seperti shalat orang faaqid al-thuhuraini (tidak mendapatkan air dan tanah)?. Jika benar demikian, maka shalat malaikat bersamanya  menjadikan shalatnya dihukum berjamaah (Jika kita berpendapat shalat malaikat seperti shalat manusia). Maka dari itu, jawabannya, memadai shalatnya dan dapat menggugurkan qadha. Al-Suyuthi mengatakan, berdasarkan pendapat ini pula, maka dianjurkan niat jamaah bagi orang yang melakukan shalat tersebut atau niat menjadi imam.

5.  Pengarang kitab Aakam al-Marjaan mengatakan, Ibnu al-Shairufiy telah mengutip dari gurunya, Abu al-Baqaa-i al-‘U’bariy al-Hanbaliy (bermazhab Hanbali), beliau ditanyakan perihal keabsahan shalat berjamaah dibelakang jin. Beliau menjawab, sah. Karena bangsa jin itu mukallaf dan Nabi SAW juga diutus kepada mereka.

6.  Apabila jin berlalu di hadapan orang melakukan shalat, apakah dapat memutuskan shalat?. Jawabannya, Dari Ahmad bin Hanbal ada dua riwayat jawabannya. Adapun menurut mazhab Syafi’i, berlalu  sesuatu di hadapan orang shalat tidak dapat memutuskan shalat, akan tetapi diperangi sebagaimana diperangi manusia.

7.  Di sini, Imam al-Suyuthi mengutip penjelasan Ibnu Taimiyah yang mengatakan, tidak boleh membunuh jin dengan tanpa hak sebagaimana tidak boleh membunuh manusia dengan tanpa hak. Kedhaliman diharamkan dalam setiap keadaan. Karena itu, tidak halal seseorang mendhalimi orang lain, meskipun seorang kafir. Jin dapat menjelma dalam bentuk-bentuk yang berbeda-beda, apabila ular ada dalam rumah bisa jadi dia adalah jin, maka hendaknya memperingatkannya tiga kali sebagaimana dalam hadits. Jika ular itu pergi maka memadai dengannya. Jika tidak mau pergi, maka dibunuh saja, karena jika ular itu merupakan ular sebenarnya maka dibunuh. Akan tetapi apabila itu merupakan jin, maka sesungguhnya ia telah menunjukkan sikap bermusuhan dengan jalan menjelmakan dirinya kepada manusia dalam bentuk ular yang mencoba menakuti manusia dengan cara itu. Maka lazimnya, suatu bahaya yang mendesak boleh menolaknya sebagai upaya menolak mudharatnya meskipun itu dengan jalan membunuh.

Kemudian al-Suyuthi mengutip riwayat Ibnu Abi al-Dun-ya berbunyi :

أَنَّ عَائِشَةَ رَأَتْ فِي بَيْتِهَا حَيَّةً، فَأَمَرَتْ بِقَتْلِهَا، فَقُتِلَتْ، فَأُتِيَتْ فِي تِلْكَ اللَّيْلَةِ، فَقِيلَ لَهَا: إنَّهَا مِنْ النَّفَرِ الَّذِينَ اسْتَمَعُوا الْوَحْيَ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَرْسَلَتْ إلَى الْيَمَنِ، فَابْتِيعَ لَهَا أَرْبَعِينَ رَأْسًا، فَأَعْتَقَتْهُمْ

Sesungguhnya ‘Aisyah r.a. pernah melihat dalam rumahnya seekor ular, lalu beliau memerintah seseorang membunuhnya, maka dibunuhlah ular itu. Pada malam harinya, beliau diberitahukan bahwa ular tersebut merupakan golongan jin yang mendengar wahyu dari Nabi SAW. Mendengar itu, beliau mengutus sseorang ke negeri Yaman membeli untuknya empat puluh orang hamba sahaya, lalu beliau memerdekakannya.

 

Ibnu Abi Syaibah telah meriwayat dalam mushannafnya dan lainnya dimana di dalamnya disebutkan :

فَلَمَّا أَصْبَحَتْ أَمَرَتْ بِاثْنَيْ عَشَرَ أَلْفَ دِرْهَمٍ، فَفُرِّقَتْ عَلَى الْمَسَاكِينَ

Begitu tiba paginya, ‘Aisyah memerintah seseorang membagi-bagikan dua belas ribu dirham kepada orang-orang miskin.

 

Adapun cara memperingatkan ular sebagaimana dalam hadits adalah dengan mengatakan,

نَسْأَلُكِ بِعَهْدِ نُوحٍ، وَسُلَيْمَانَ بْنِ دَاوُد: أَنْ لَا تُؤْذِينَا

Kami minta kepadamu dengan sebab janji Nuh dan Sulaiman bin Daud, janganlah kamu menyakiti kami.

 

8.  Pengarang Aakam al-Marjaan telah menyebut beberapa atsar riwayatnya dimana terindikasi pengarangnya menganggap maqbul riwayat golongan jin. Kemudian Imam al-Suyuthi mengatakan, bahwa pembahasan tentang periwayatan jin dapat dikatagori dalam dua kelompok. Yang pertama, riwayat golongan jin dari manusia dan kedua, riwayat manusia dari golongan jin. Adapun yang pertama tidak diragukan lagi bahwa jin boleh meriwayat dari manusia apa yang mereka dengar dari manusia atau dibacakan kepada mereka, sedangkan mereka mendengarnya, baik manusia mengetahui kehadiran mereka atau tidak. Demikian juga apabila seorang syeikh memberikan ijazah kepada yang hadir atau yang mendengarnya, maka golongan jin masuk dalam pemberian ijazah tersebut, meskipun syeikhnya tidak mengetahuinya sebagaimana halnya periwayatan manusia.

Adapun riwayat manusia dari golongan jin, dhahirnya tidak boleh. Karena tidak ada tsiqqah (kepercayaan) terkait ‘adil mereka. Ada riwayat hadits berbunyi :

يُوشِكُ أَنْ تَخْرُجَ شَيَاطِينُ كَانَ أَوْثَقَهَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُد، فَيَقُولُونَ حَدَّثَنَا وَأَخْبَرَنَا

Nyaris muncul setan-setan yang pernah diikat oleh Sulaiman bin Daud, mereka berkata, “Telah memberikan hadits kepada kami” dan “Telah memberi kabar kepada kami.”

 

Adapun atsar yang disebut dalam Aakam al-Marjaan yaitu :

a.    Riwayat yang ditakhrij oleh al-Hafizh Abu Na’im dengan sanadnya berbunyi :

عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ خَرَجَ قَوْمٌ يُرِيدُونَ مَكَّةَ، فَأَضَلُّوا الطَّرِيقَ، فَلَمَّا عَايَنُوا الْمَوْتَ، أَوْ كَادُوا أَنْ يَمُوتُوا، لَبِسُوا أَكْفَانَهُمْ، وَتَضَجَّعُوا لِلْمَوْتِ، فَخَرَجَ عَلَيْهِمْ جِنِّيٌّ يَتَخَلَّلُ الشَّجَرَ. وَقَالَ أَنَا بَقِيَّةُ النَّفَرِ الَّذِينَ اسْتَمَعُوا عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُهُ يَقُولُ الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ وَدَلِيلُهُ لَا يَخْذُلُهُ هَذَا الْمَاءُ، وَهَذَا الطَّرِيقُ.

Dari Ubay bin Ka’ab beliau berkata,  “Keluar sekelompok manusia berencana pergi ke Makkah, namun mereka tersesat di jalan. Ketika mereka putus asa dan merasa akan menemui ajal atau ketika mereka hampir menemui ajal, merekapun mengenakan kain kapan  lalu telentang siap untuk menghadapi kematian. Tiba-tiba muncul jin dari sela-sela pepohonan seraya berkata, “Aku adalah jin antara jin-jin yang pernah mendengar dari Muhammad SAW. Aku mendengar beliau bersabda, “Orang mukmin itu saudara orang mukmin lainnya dan petunjuknya tidak akan menjerumuskannya”. Kemudian jin tersebut mengatakan, “Itu adalah air dan itu adalah jalan kalian”.

 

b.     Ibnu Abi Dun-ya meriwayat dengan sanadnya dari Abdurrahman bin Bisyr, beliau berkata :

خَرَجَ قَوْمٌ حُجَّاجًا فِي إمْرَةِ عُثْمَانَ فَأَصَابَهُمْ عَطَشٌ، فَانْتَهَوْا إلَى مَاءٍ مِلْحٍ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَوْ تَقَدَّمْتُمْ فَإِنَّا نَخَافُ أَنْ يُهْلِكَنَا هَذَا الْمَاءُ فَسَارُوا حَتَّى أَمْسَوْا، فَلَمْ يُصِيبُوا مَاءً، فَأَدْلَجُوا إلَى شَجَرَةِ سَمُرٍ، فَخَرَجَ عَلَيْهِمْ رَجُلٌ أَسْوَدُ شَدِيدُ السَّوَادِ جَسِيمٌ، فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ الرَّكْبِ، إنِّي سَمِعْت رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُحِبَّ لِلْمُسْلِمِينَ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ، وَيَكْرَهُ لِلْمُسْلِمِينَ مَا يَكْرَهُ لِنَفْسِهِ، فَسِيرُوا حَتَّى تَنْتَهُوا إلَى أَكَمَةٍ، فَخُذُوا عَنْ يَسَارِهَا، فَإِنَّ الْمَاءَ ثَمَّ

Ada sekumpulan orang pergi menunai ibadah haji. Setiba di Imrah Usman mereka kehausan, mereka mendapatkan sumber air yang asin. Sebagian mereka berkata, “Sekiranya kalian menghampiri air itu, kami kuatir itu dapat mencelakakan kalian. Maka merekapun berjalan lagi sehingga sorenya, akan tetapi juga tidak menemukan air. Merekapun berjalan ke pohon samur. Di tempat itu mereka ditemui seorang laki-laki yang berkulit hitam dan bertubuh besar, seraya berkata, “Hai kumpulan pengelana, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hendaknya ia menyukai bagi orang muslimin sebagaimana ia menyukai bagi dirinya sendiri dan membenci bagi orang muslimin sebagaimana ia membenci bagi dirinya sendiri. Teruskanlah berjalan sehingga sampai kepada sebuah bukit, maka ambillah jalan kiri, sesungguhnya di sana ada air”.

 

c.  Ibnu Abi Dun-ya meriwayat dengan sanadnya, Fayazh bin Muhammad memberitakan :

أَنَّ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ بَيْنَا هُوَ يَسِيرُ عَلَى بَغْلَةٍ إذَا هُوَ بِجَانٍّ مَيِّتٍ عَلَى قَارِعَةِ الطَّرِيقِ فَنَزَلَ فَأَمَرَ بِهِ، فَعَدَلَ عَنْ الطَّرِيق، ثُمَّ حَفَرَ لَهُ، فَدَفْنه وَوَارَاهُ، ثُمَّ مَضَى، فَإِذَا هُوَ بِصَوْتٍ عَالٍ، يَسْمَعُونَهُ، وَلَا يَرَوْنَ أَحَدًا لِيَهِنك الْبِشَارَة مِنْ اللَّه يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، أَنَا وَصَاحِبَيْ هَذَا الَّذِي دَفَنَتْهُ مِنْ الْجِنّ الَّذِينَ قَالَ اللَّهُ فِيهِمْ وَإِذْ صَرَفْنَا إلَيْكَ نَفَرًا مِنْ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآنَ فَلَمَّا أَسْلَمْنَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِصَاحِبِي هَذَا سَتَمُوتُ فِي أَرْضِ غُرْبَةٍ يَدْفِنُك فِيهِ يَوْمَئِذٍ خَيْرُ أَهْلِ الْأَرْضِ

Sesungguhnya Umar bin Abdul Aziz tatkala menunggang baghal, ketika itu ada jin mati ditengah jalan, lalu beliau turun mengambilnya. Kemudian keluar dari jalan dan menggali lubang untuk menguburkan dan menimbunnya. Kemudian beliaupun melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba ada suara yang cukup nyaring yang dapat didengar oleh semua orang, namun tidak seorangpun dapat melihatnya, “Mudah-mudahan datang kabar gembira dari Allah untukmu hai Amirul mukminin. Aku dan temanku ini yang telah engkau kebumikan adalah dari golongan jin yang Allah berfirman tentang mereka, “Dan ingatlah ketika Kami hadapkan sekelompok jin kepadamu yang mendengar al-Qur’an”. Setelah kami masuk Islam, Rasulullah SAW bersabda kepada temanku ini, “Kamu akan mati di tempat yang asing dan kamu akan dikebumikan pada hari itu oleh orang yang paling baik dari penghuni bumi.”

 

Setelah menyebut tiga atsar di atas, al-Suyuthi menjelaskan bahwa jawaban untuk tiga atsar di atas bahwa sesungguhnya riwayatnya datang dari golongan jin yang mendengar langsung dari Nabi SAW. Dhahirnya mereka ini dihukum sebagaimana sahabat Nabi dalam hal tidak perlu pemeriksaan terkait adil mereka. Para hafizh hadits yang mengarang kitab-kitab tentang sahabat Nabi telah menyebut golongan jin yang beriman seperti ini masuk dalam katagori sahabat Nabi. Al-Hafizh Abu al-Fazhl al-‘Iraqi mengatakan, sesungguhnya Ibnu al-Atsir pernah mempertanyakan penyebutan golongan jin yang beriman dalam katagori sahabat Nabi, tetapi tidak memasukkan para malaikat yang pernah melihat Nabi SAW. Padahal para malaikat lebih layak dan pantas untuk dimasukkan. Menjawab ini, al-‘Iraqi mengatakan, hal itu tidak sebagaimana dakwaan Ibnu al-Atsir. Karena jin termasuk dalam golongan mukallaf yang mencakup kepadanya risalah kenabian dan kebangkitan Nabi. Karena itu, maka penyebutan jin-jin yang diketahui namanya yang pernah melihat Nabi SAW adalah baik. Ini berbeda dengan para malaikat.

9.  Tidak boleh istinja’ dengan bekal jin, yaitu tulang sebagaimana dijelaskan dalam hadits.

10.  ‌‌Jumhur ulama berpendapat bahwa golongan jin tidak ada yang menjadi nabi. Adapun firman Allah Ta;ala berbunyi :

يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ

Hai golongan jin dan manusia, bukankah sudah datang kepadamu rasul-rasul dari kalanganmu sendiri.

 

Jumhur ulama mentakwil ayat ini dengan makna rasul dari rasul-rasul (utusan dari rasul-rasul) dimana mereka mendengar kalam para rasul kemudian memberitahukan kepada kaum mereka, bukan dalam arti menerima langsung dari Allah Ta’ala. Namun al-Zhaha’ dan Ibnu Hazm berpendapat bahwa di antara golongan jin itu ada yang menjadi nabi. Dalilnya hadits berbunyi :

وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً

Bahwa Nabi itu diutuskan kepada khusus kaumnya

 

Jin bukanlah dari golongan nabi (golongan manusia). Sedangkan mereka tidak diragukan lagi ada datang peringatan dalam bentuk ajaran agama. Karena itu, mereka juga didatangi para nabi dari kalangan mereka sendiri.

11.  Tidak terjadi khilafiyah dalam hal golongan jin kafir masuk dalam neraka. Terjadi perbedaan pendapat, apakah jin yang beriman masuk surga dan mendapat pahala atas ketaatannya. al-Suyuthi mengatakan, pendapat yang aku anggap baik adalah masuk surga. Pendapat ini ada yang menisbahkannya kepada jumhur ulama. Diantara dalilnya firman Allah Ta’ala berbunyi :

وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

Dan bagi siapa yang takut akan saat menghadapi Tuhannya ada dua surga, maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?.

 

Ayat ini sampai akhir Surat merupakan titah kepada jin dan manusia. Kepada mereka, Allah Ta’ala akan menganugerahkan surga dan mempersiapkannya serta membuat mereka rindu kepadanya. Ini menjadi petunjuk bahwa jin akan mendapatkan apa yang akan dianugerahkan Allah kepadanya apabila mereka beriman. Pendapat lain mengatakan, golongan jin tidak akan masuk surga. Adapun pahala kebaikan mereka hanya dalam bentuk terlepas dari api neraka. Ada juga yang mengatakan, golongan jin akan ditempatkan di suatu tempat yang bernama al-A’raf.

Al-Harits al-Muhaasibiy mengatakan, bahwa jin yang masuk surga, kita akan melihat mereka kelak, akan tetapi mereka tidak dapat melihat kita, kebalikan dari apa yang terjadi di dunia.

12.  Ibnu Abdissalam menerangkan, bahwa malaikat di dalam surga tidak dapat melihat Allah Ta’ala. Karena Allah Ta’ala tidak dapat diketahui dengan pandangan mata sesuai dengan firman Allah Ta’ala berbunyi :

لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ

Dia (Allah) tidak dapat dicapai dengan penglihatan mata.

 

Dikecualikan dari kandungan ayat ini manusia yang beriman. Maka malaikat tetap dalam hukum keumuman ayat ini. Namun pengarang kitab Aakam al-Marjaan mengatakan, konsekwensi pemahaman seperti ini bahwa jin juga tidak dapat melihat Allah Ta’ala. Karena jin juga tetap dalam hukum keumuman ayat ini

 

(Tulisan ini merupakan rangkuman dari Kitab al-Asybah wa al-Nadhair pada bab al-Qaul fi Ahkam al-Jaan, karangan Imam al-Suyuthi, Hal. 161-164)

 

 

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar