Renungan

Jumat, 27 Oktober 2023

Hukum berdoa dalam shalat menggunakan selain Bahasa Arab

 

Dalam sebuah hadits riwayat Muslim, Mu’awiyah bin Hakam al-Sulamiy, beliau  berkata :

بَيْنَا أَنَا أُصَلِّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذْ عَطَسَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ فَقُلْتُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ. فَرَمَانِى الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ فَقُلْتُ وَاثُكْلَ أُمِّيَاهْ مَا شَأْنُكُمْ تَنْظُرُونَ إِلَىَّ. فَجَعَلُوا يَضْرِبُونَ بِأَيْدِيهِمْ عَلَى أَفْخَاذِهِمْ فَلَمَّا رَأَيْتُهُمْ يُصَمِّتُونَنِى لَكِنِّى سَكَتُّ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَبِأَبِى هُوَ وَأُمِّى مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ وَلاَ بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ فَوَاللَّهِ مَا كَهَرَنِى وَلاَ ضَرَبَنِى وَلاَ شَتَمَنِى قَالَ إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيهَا شَىْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هيَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ

Ketika saya shalat bersama Rasulullah SAW ada seorang laki-laki yang bersin, lantas saya mendo`akannya dengan mengucapkan yarhamukallah. Semua orang yang shalat lantas melihat kepadaku dan aku menjawab: "Celaka kedua orangtua kalian beranak kalian, ada apa kalian melihatku seperti itu?" Kemudian mereka memukulkan tangan mereka ke paha-paha mereka. Aku tahu mereka memintaku untuk diam, maka akupun diam. Ketika telah selesai Rasulullah SAW menunaikan shalat, demi ayah dan ibuku, aku tidak pernah melihat sebelum dan sesudahnya seorang guru yang lebih baik cara mendidiknya daripada Rasulullah. Demi Allah, beliau tidak mencemberutkanku, tidak memukulku, dan juga tidak mencelaku. Beliau hanya berkata: "Sesungguhnya shalat ini tidak boleh ada perkataan manusia di dalamnya. Di dalam shalat hanyalah terdiri dari tasbih, takbir dan bacaan al- Qur`an. (H.R. Muslim)


Berdasarkan hadits di atas, pengikut Syafi’i (Ashhabinaa) mengatakan, kalam yang membatalkan shalat adalah selain al-Qur’an, zikir, do’a dan seumpamanya. Adapun al-Qur’an, zikir, do’a dan seumpamanya, maka tidak batal shalat dengan tanpa khilaf di sisi ulama Syafi’iyah. Kemudian al-Nawawi menjelaskan kepada kita bahwa do’a dalam Bahasa Arab tidak membatalkan shalat, baik do’a itu ma’tsur (do’a yang syari’at membacanya dalam shalat) ataupun bukan ma’tsur. (al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab: IV/14)

Menambah zikir ataupun doa dalam shalat (zikir tidak ma’tsur) pada tempatnya selama tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur dapat dibenarkan. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Rifa’ah bin Rafi’ al-Zarqy, beliau berkata

كنا يوما نصلي وراء النبي صلى الله عليه وسلم، فلما رفع رأسه من الركعة، قال: سمع الله لمن حمده. قال رجل وراءه ربنا ولك الحمد، حمدا طيبا مباركا فيه. فلما انصرف، قال: من المتكلم قال أنا، قال: رأيت بضعة وثلاثين ملكا يبتدرونها، أيهم يكتبها أول

Dari Rifa’ah bin Raafi’ al-Zarqi, beliau berkata : “Pada suatu hari, kami shalat dibelakang Nabi SAW. Manakala Rasulullah mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau berkata : “Sami’allahu liman hamidah, lalu berkata seorang laki-laki di belakang beliau : “Rabbana wa lakalhamdu hamdan thaiban mubarakan fiihi. Tatkala Rasulullah selesai (dari shalatnya) bertanya : “Siapa yang berkata tadi ?. Laki-laki itu menjawab : “Saya”. Rasulullah bersabda : “Aku melihat tiga puluh orang lebih malaikat yang berebutan pertama kali menulis amalnya. (H.R. Bukhari)

 

Berkata Ibnu Hajar al-Asqalany, dijadikan dalil dengan hadits tersebut, kebolehan mengihdats (mendatangkan dengan tanpa ada dalil) zikir yang tidak ma’tsur dalam shalat apabila zikir itu tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur. (Fathul Barri, Darul Fikri: II/287)

Doa dan zikir dalam selain Bahasa Arab

Penjelasan di atas berkaitan dengan zikir dan doa dalam Bahasa Arab. Adapun zikir dan doa dalam bahasa selain Bahasa Arab dapat dijelaskan sebagai berikiut :

1.  Doa dan zikir ma’tsur (do’a yang syari’at membacanya dalam shalat)

Adapun jika doa dan zikirnya itu ma’tsur, maka ada tiga pendapat dalam masalah ini di kalangan ulama Syafi’iyah. Pendapat pertama (pendapat yang kuat), bagi yang tidak mampu membaca dalam Bahasa Arab, maka ia boleh membaca terjemah dari doa dan zikir tersebut. Jika ia mampu dalam Bahasa Arab dan tetap memakai terjemah, shalatnya batal. Pendapat kedua, boleh membaca terjemah bagi yang mampu dalam Bahasa Arab ataupun tidak. Pendapat ketiga, tidak dibolehkan membaca terjemah baik yang mampu  dalam Bahasa Arab ataupun tidak, karena pada saat itu tidak darurat. Al-Khatib al-Syarbaini mengatakan,

وَيُتَرْجِمُ لِلدُّعَاءِ) الْمَنْدُوبِ (وَالذِّكْرِ الْمَنْدُوبِ) نَدْبًا كَالْقُنُوتِ وَتَكْبِيرَاتِ الِانْتِقَالَاتِ وَتَسْبِيحَاتِ الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ (الْعَاجِزُ) لِعُذْرِهِ (لَا الْقَادِرُ) لِعَدَمِ عُذْرِهِ (فِي الْأَصَحِّ) فِيهِمَا كَالْوَاجِبِ لِحِيَازَةِ الْفَضِيلَةِ. وَالثَّانِي: يَجُوزُ لِلْقَادِرِ أَيْضًا لِقِيَامِ غَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ مَقَامَهَا فِي أَدَاءِ الْمَعْنَى. وَالثَّالِثُ: لَا يَجُوزُ لَهُمَا، إذْ لَا ضَرُورَةَ إلَيْهِمَا، بِخِلَافِ الْوَاجِبِ،

Dianjurkan bagi yang tidak mampu dalam Bahasa Arab menterjemahkan doa dan zikir yang sunnah seperti qunut, takbir intiqalat, tasbih rukuk dan sujud, karena keuzurannya, tidak boleh bagi yang mampu, karena tidak ada uzur menurut pendapat yang lebih shahih, sama halnya seperti doa dan zikir wajib, guna memperoleh fadhilah. Pendapat kedua, boleh bagi yang mampu juga, karena diposisikan selain Bahasa Arab pada posisi Bahasa Arab dalam penngungkapan makna. Pendapat ketiga, tidak boleh sama sekali, baik bagi yang mampu maupun yang tidak mampu, karena tidak dharurat, berbeda dengan doa dan zikir wajib.

 

Kemudian al-Khatib al-Syarbaini menjelaskan,

فَإِنَّ الْخِلَافَ الْمَذْكُورَ مَحَلُّهُ فِي الْمَأْثُورِ.أَمَّا غَيْرُ الْمَأْثُورِ بِأَنْ اخْتَرَعَ دُعَاءً أَوْ ذِكْرًا بِالْعَجَمِيَّةِ فِي الصَّلَاةِ فَلَا يَجُوزُ

Sesungguhnya khilafiyah tersebut, posisinya pada yang ma’tsur. Adapun yang tidak ma’tsur dengan mengada-ada doa atau zikir dalam bahasa ‘ajamiyah (bukan Bahasa Arab) dalam shalat adalah tidak boleh. (Mughni al-Muhtaj I/384-385)

 

Penjelasan yang sama juga telah dikemukakan oleh Imam al-Ramli dalam Nihayah al-Muhtaj: I/534-535.

Setelah mengemukakan khilafiyah ulama Syafi’iyah dalam hal menterjemahkan zikir da doa yang ma’tsur dalam shalat, Jalaluddin al-Mahalli menegaskan,

ثُمَّ الْمُرَادُ الدُّعَاءُ وَالذِّكْرُ الْمَأْثُورَانِ، فَلَا يَجُوزُ اخْتِرَاعُ دَعْوَةٍ أَوْ ذِكْرٍ بِالْعَجَمِيَّةِ فِي الصَّلَاةِ قَطْعًا

Kemudian yang menjadi maksud dalam khilafiyah diatas adalah doa dan zikir yang ma’tsur. Karena itu, tidak boleh membuat-buat doa dan zikir (yang tidak ma’tsur) dalam bahasa ‘ajamiah (selain Bahasa Arab) dalam shalat tanpa khilaf. (Syarah al-Mahalli 1/192)

 

2.  Doa dan zikir tidak ma’tsur

Untuk doa dan zikir yang tidak ma’tsur dengan menggunakan selain bahasa Arab, maka tidak dibolehkan dan ini tidak ada khilaf dalam mazhab Syafi’i dan shalatnya menjadi batal sebagaimana dijelaskan dalam keterangan di atas.

 

 



 

Senin, 23 Oktober 2023

Tata Cara Sujud Syukur

 

Tata cara sujud syukur penting untuk diketahui oleh umat muslim. Jenis sujud ini harus dilakukan dengan benar dan tidak bisa sembarangan. Sujud syukur dilakukan oleh seorang muslim sebagai wujud rasa terima kasih atas nikmat dan karunia dari Allah SWT. Selain itu, sujud syukur juga disyariatkan ketika selamat dari musibah, baik itu sakit, menemukan barang yang hilang, dan lain sebagainya. Dalam sebuah hadits dijelaskan :

عَنْ أَبِى بَكْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ صلعم أَنَّهُ كَانَ إِذَا جَاءَهُ أَمْرُ سُرُورٍ أَوْ بُشِّرَ بِهِ خَرَّ سَاجِدًا شَاكِرًا لِلَّهِ.

Dari Abu Bakrah, dari Nabi SAW, apabila beliau mendapati hal yang menggembirakan atau dikabarkan berita gembira, maka beliau tersungkur untuk sujud kepada Allah Ta’ala. (H.R. Abu Daud)

Al-Khatib al-Syarbaini mengatakan,

وَسجْدَة الشُّكْر لَا تدخل صَلَاة وتسن لهجوم نعمة أو اندفاع نقمة أو رؤية مبتلى أو فاسق معلن ويظهرها للفاسق إن لم يخف ضرره وَلَا للمبتلي لِئَلَّا يتَأَذَّى وَهِي كسجدة التِّلَاوَة

Sujud syukur tidak dapat dimasukkan dalam shalat. Sujud ini dikerjakan karena datangnya nikmat mendadak (tanpa diduga-duga), terhindar dari bahaya, melihat orang kena musibah/cacat atau melihat orang fasiq secara terang-terangan. Seseorang disunahkan menyatakan sujud syukur di hadapan si fasiq jika tidak dikuatirkan mudharat. Sujud syukur tidak dilakukan di depan orang yang cacat karena dapat melukai perasaan yang bersangkutan. Pelaksanaan sujud syukur sama saja dengan sujud tilawah. (al-Iqna’: I/119)

 

Sujud syukur hanya dapat dilakukan secara tersendiri, tidak boleh dilakukan dalam shalat. Ini berbeda dengan sujud tilawah yang dapat dilakukan dalam shalat dan juga dapat secara tersendiri diluar shalat. Penegasan ini telah dikemukakan al-Khatib al-Syarbaini di atas. Hal yang sama juga telah dikemukakan Syeikh Nawawi al-Bantaniy berikut ini,

وَلَا يجوز فعل هَذَا السُّجُود فِي الصَّلَاة

Tidak boleh melakukan sujud ini (sujud syukur) dalam shalat.(Nihayah al-Zain: 89)

 

Sebagaimana dijelaskan al-Khatib al-Syarbaini di atas, tata cara sujud syukur sama dengan sujud tilawah yang dilakukan bukan dalam shalat dan juga telah dikemukakan Syeikh Nawawi al-Bantaniy berikut ini,

وَهِي كسجدة التِّلَاوَة خَارج الصَّلَاة فِي كيفيتها وشروطها ومندوباتها

Sujud syukur sama dengan sujud tilawah yang dilakukan di luar shalat dalam tata cara, syarat-syarat dan sunnah-sunnahnya. (Nihayah al-Zain: 88)

 

Dalam menjelaskan rukun sujud tilawah, al-Khatib al-Syarbaini menjelaskan,

وأركان السَّجْدَة لغير مصل تحرم وَسُجُود وَسَلام ‌وَشَرطهَا ‌كَصَلَاة

Rukun sujud tilawah bagi yang bukan sedang melakukan shalat adalah takbiratul ihram, sujud dan salam. Adapun syaratnya sama seperti shalat. (al-Iqna’: I/119)

 

Penjelasan yang sama juga telah dikemukakan Syeikh Nawawi al-Bantaniy berikut ini,

وأركان سُجُود التِّلَاوَة لغير مصل تحرم مقرون بِالنِّيَّةِ وَسجْدَة وَسَلام بعد الْجُلُوس

Rukun sujud tilawah bagi yang bukan sedang melakukan shalat adalah takbiratul ihram yang disertai dengan niat, sujud dan salam sesudah duduk. Adapun syaratnya sama seperti shalat.(Nihayah al-Zain: 88)

 

Berdasarkan keterangan para ulama di atas, maka rukun sujud syukur ada empat rukun, yaitu niat, takbiratul ihram, sujud dan salam. Sedangkan syarat-syaratnya sama seperti syarat shalat dan sujud dalam shalat. Al-Bujairumiy menjabarkan lebih lanjut penjelasan al-Khatib al-Syarbaini di atas dengan penjelasan beliau berikut ini,

)وَشَرْطُهَا ‌كَصَلَاةٍ) فَيُعْتَبَرُ لِصِحَّتِهَا مَا يُعْتَبَرُ فِي سُجُودِ الصَّلَاةِ كَالطَّهَارَةِ وَالسَّتْرِ وَالِاسْتِقْبَالِ وَتَرْكٍ نَحْوَ كَلَامٍ، وَوَضْعِ الْجَبْهَةِ مَكْشُوفَةً بِتَحَامُلٍ عَلَى غَيْرِ مَا يَتَحَرَّكُ بِحَرَكَتِهِ وَوَضْعِ جُزْءٍ مِنْ بَاطِنِ الْكَفَّيْنِ وَالْقَدَمَيْنِ وَمِنْ الرُّكْبَتَيْنِ وَغَيْرِ ذَلِكَ

Syarat sujud syukur sama saja dengan shalat. Sujud syukur dianggap sah seperti sahnya sujud di dalam shalat seperti bersuci, menutup aurat, menghadap qiblat, tidak bicara, meletakkan dahi terbuka dengan sedikit tekanan di atas tempat yang tidak ikut bergerak dengan sebab tubuhnya bergerak, meletakkan telapak dua tangan, dua telapak kaki dan dua lutut, dan syarat sujud lainnya. (Hasyiah al-Bujairumiy ‘ala al-Iqna’: I/435)


Sesuai dengan uraian di atas, maka tata cara sujud syukur, pertama seseorang yang akan melakukan sujud syukur mengambil posisi berdiri, lalu bertakbiratul ihram disertai dengan niat sujud syukur. Kedua, mengucap takbir turun. Ketiga, turun sujud. Keempat, takbir serta bangun dari sujud . Kelima, salam.


Pada saat sujud dapat dibaca doa berikut ini.

سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِي خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ فَتَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الخَالِقِيْنَ

Wajahku bersujud kepada Yang menciptakannya, Yang membentuknya serta membelah pendengaran dan penglihatannya dengan daya dan kekuatan-Nya. Maha suci Allah sebaik-baik pencipta. (Nihayah al-Zain karya Nawawi al-Bantaniy: 88)

 

Wallahua’lam bisshawab

Sabtu, 07 Oktober 2023

Hukum Leungik Dikee (gerakan tubuh pada waktu zikir Maulid Nabi)

 

Sudah menjadi kebiasaan di Aceh dalam memperingati Maulid Nabi besar Muhammad SAW diadakan zikir barzanji yang berisi shalawat dan puji-pujian kepada Nabi SAW. Sebagiannya ada yang menggoyangkan tubuh dengan mengikuti irama seperti tarian pada umumnya (orang Aceh menyebutnya leungik dikee). Leungik dikee ini dilakukan baik pada waktu duduk maupun waktu berdiri. Pada prinsipnya  leungik dikee ini boleh-boleh saja dilakukan asalkan dilakukan memperhatikan adab-adab berzikir dan tidak ada unsur perbuatan maksiat di dalamnya, karena tidak ada dalil syara’ yang melarangnya. Karena itu berlaku qaidah fiqh berbunyi :

الاصل في الاشياء الاباحة حتى يدل الدليل على التحريم

Asal sesuatu adalah mubah sehingga ada dalil yang menunjuki kepada haram. (Al-Asybah wal-Nadhair, karya al-Suyuthi :43)

 

Allah Ta’ala berfirman :

ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.(Q.S. Ali Imran : 191)

 

Mengomentari ayat ini, Syeikh Muhammad Khaliliy al-Syafi’i mengatakan,

علمت أن الحركة فى الذكر والقرأة ليست محرمة ولا مكروهة بل هي مطلوبة فى جملة أحوال الذاكرين من قيام وقعود وجنوب وحركة وسكون وسفر وحضر وغني وفقر

Saya jadi mengerti bahwasannya menggerakkan (anggauta badan) ketika berzikir maupun membaca (al-Qur’an)  bukanlah sesuatu yang haram ataupun makruh. Akan tetapi sangat dianjurkan dalam semua kondisi baik ketika berdiri, duduk, berbaring, bergerak, diam, dalam perjalanan, di rumah, ketika kaya, ataupun ketika faqir. (Fatawa al-Khaliliy: I/36)

 

Namun demikian, dalam leungik dikee ada adab-adab yang harus diperhatikan, antara lain :

1.  Leungik dikee tersebut tidak menyebabkan kesalahan mengucapkan zikir. Hal ini sangat penting diperhatikan, karena kesibukan dengan gerakan tubuh, kadang-kadang melalaikan pengucapkan zikir yang benar. Kalau gerakan tubuhnya dapat menyebabkan kesalahan pengucapan zikir sehingga dapat merobah maknanya, maka ini tidak jauh kalau kita katakan bahwa leungik dikee semacam ini adalah haram atau minimal makruh.

2.  Leungik dikee tersebut tidak menyerupai perbuatan pelaku maksiat. Misalnya Leungik dikee yang dilakukan secara berlebihan, yang menyerupai tarian dimana gerakannya dipengaruhi karena mabuk minuman keras atau menyerupai tarian dalam konser-konser musik keras yang sudah menjadi simbol maksiat. Larangan leungik dikee seperti ini sesuai  dengan hadits Nabi SAW berbunyi:

من تشبه بقوم فهومنهم

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dalam kaum itu. (H.R. Abu Daud)

 

Hadits ini meskipun sanadnya dhaif, kualitasnya naik menjadi hasan karena ada sokongan dari jalur-jalur lain. Karena itu, Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan, Hadits ini ditakrij oleh Abu Daud dengan sanad hasan. (Fathulbarri:  X/271)

3.  Gerakan tubuh dalam leungik dikee tidak menyerupai gerakan gemulai kaum waria.

لَعَنَ النَّبِيُّ صلعم ‌الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ، وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنَ النِّسَاءِ

Nabi SAW melaknat kaum mukhannats (laki-laki bergaya perempuan) dan kaum mutarajjilaat (perempuan bergaya laki-laki). (H.R. Bukhari).

 

Dalam Mughni al-Muhtaj karya al-Khatib al-Syarbaini dijelaskan,

)لَا الرَّقْصُ) فَلَا يَحْرُمُ؛ لِأَنَّهُ مُجَرَّدُ حَرَكَاتٍ عَلَى اسْتِقَامَةٍ أَوْ اعْوِجَاجٍ، وَلَا يُكْرَهُ كَمَا صَرَّحَ بِهِ الْفُورَانِيُّ وَغَيْرُهُ، بَلْ يُبَاحُ

Tidak haram tarian. Maka tarian itu tidak haram, karena semata-mata gerakan tubuh yang tetap atau membungkuk dan juga tidak makruh sebagaimana diterangkan oleh al-Furaaniy dan lainnya tetapi hanya mubah.

 

Kemudian pengarangnya mengecualikan:

)إلَّا أَنْ يَكُونَ فِيهِ تَكَسُّرٌ كَفِعْلِ الْمُخَنِّثِ(

Kecuali keadaan gerakan tariannya patah-patah seperti perilaku waria (Mughni al-Muhtaj : VI/350)

 

Sesuai dengan keterangan di atas, gerakan tubuh dalam leungik dikee yang menyerupai gerakan gemulai kaum waria, hukumnya adalah haram.

Wallahua’lam bisshawab

 

 

Selasa, 03 Oktober 2023

Mengenal Nasab dan Keluarga Nabi Muhammad SAW

 

Sekarang kita sedang berada pada bulan Rabiul Awal, bulan yang penuh rahmat dan berkah. Disebut bulan rahmat dan berkah karena Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin dan pembimbing umat manusia dilahirkan pada bulan ini. Sebagai ekspresi rasa senang dan gembira, Umat Islam dunia dan Indonesia sampai hari ini masih memperingati  hari lahir Nabi Muhammad SAW ini dengan berbagai ibadah dan ritual keagamaan. Istilah yang sering digunakan untuk kegiatan ini adalah peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. Salah satu hikmah memperingati maulid Nabi Muhammad SAW adalah meneguhkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagai orang mukmin. Kecintaan kita kepada Nabi Muhammad SAW merupakan sebuah keniscayaan, sebagai konsekuensi dari keimanan. Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an :

اَلنَّبِيُّ اَوْلٰى بِالْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ اَنْفُسِهِمْ 

Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan dengan diri mereka sendiri. (Q.S al-Ahzab : 6).

 

Nabi SAW juga bersabda :

ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ

Tiga hal, barangsiapa memilikinya maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selainnya, mencintai seseorang semata-mata karena Allah, dan benci kembali kepada kekufuran sebagaimana bencinya ia jika dilempar ke dalam api neraka. (H.R. Bukhari dan Muslim).

 

Oleh karena itu, di bulan Rabiul Awal menjadi bulan yang sangat baik bagi kita untuk kembali menegaskan bahwa mencintai Nabi Muhammad SAW merupakan sesuatu yang prinsip dan fundamental. Tentunya, salah satu jalan kita mewujudkan rasa cinta kepada Nabi SAW dengan mengenal biografi Nabi Muhammad SAW. Berikut ini sekilas tentang nasab, nama isteri-isteri  dan putra-putri Nabi SAW.

Nasab Nabi Muhammad SAW

Nasab Nabi Muhammad SAW sebagaimana dipaparkan dalam Kitab Nurul Yaqin, karya Khuzari Bek adalah sebagai berikut :

1.  Nabi Muhammad SAW anak Abdullah dari isterinya Aminah binti Wahab al-Zahriyah al-Quraisyiyah.

2.  Abdullah anak dari Abdul Muthallib dari isterinya Fatimah bin ‘Amr al-Makhzumiyah al-Quraisyiyah. Abdul Muthallib ini merupakan seorang tokoh besar Quraisy yang menjadi rujukan dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dan kepentingan-kepentingan orang-orang Quraisy.

3.  Abdul Muthallib anak dari Hasyim dari isterinya Salma binti Amr al-Najariyah al-Khuzrajiyah.

4.   Hasyim anak dari Abdul Manaf dari isterinya Atikah binti Murrah al-Salamiyah.

5.  Abdul Manaf anak dari Qushai dari isterinya Hayy binti Halil Khuza’iyah. Pada zaman Jahiliyah, dari nenek moyangnya sampai kepada Qushai dipercaya sebagai orang yang menutupi Ka’bah, memberi makanan dan minuman orang-orang yang naik haji yang disebut dengan al-rifadah dan nadawah (tidak sempurna suatu rapat suku kecuali dilakukan dirumahnya) serta Liwa’ (yang menaikan bendera menyatakan perang). Manakala Qushai mendekati ajalnya, maka beliau mempercayai kedudukannya itu pada salah satu anaknya, yaitu Abdul Dar, namun rupanya Bani Abdul Manaf enggan membiarkan kedudukan tersebut pada paman mereka, mereka juga ingin merebutnya sehingga hampir terjadi pertumpahan darah ketika itu. Kemudian muncullah seorang yang arif dan bijaksana melakukan perundingan antara dua pihak yang menghasilkan kesepakatan bahwa kepada Bani Abdul Manaf diberikan hak saqayah (memberikan minuman) dan rifadah dan itu berlaku sampai kepada Abbas bin Abdul Muthallib, kemudian kepada Bani Abbas sesudahnya. Adapun penutup Ka’bah (hijabah) tetap diberikan haknya kepada Bani Abdul Dar sampai sekarang. Sedangkan Liwa’ juga tetap berada pada tangan Bani Abdul Dar sampai Islam membatalkannya dan menjadikannya sebagai hak dan wewenang khalifah Islam. Demikian juga hak nadawah.

6.  Qushai anak dari Kilab dari isterinya Fatimah binti Sa’ad dari Yaman dari suku Azdasyu-uniyah.

7.  Kilab anak dari Murrah dari isterinya Hindun binti Sariir dari Bani Fihr bin Malik.

8.  Murrah anak dari Ka’ab dari isterinya wahsyiyah binti Syaiban dari Bani Fihr juga.

9.  Ka’ab anak Luai dari isterinya Ummu Ka’ab Mariyah binti Ka’ab dari suku Qudha’ah

10.  Luai anak Ghalib dari isterinya Ummu Luai Salma binti Amr al-Khuza’i.

11.  Ghalib anak dari Fihr dari isterinya Ummu Ghalib Laila binti Sa’ad dari suku Huzail. Fihr inilah yang dipanggil dengan sebutan Quraiys. Suku Quraisy ada dua belas qabilah, yaitu Bani Abdul Manaf, Bani Abdul Dar, Bani Asad bin Abd Uzza bin Qushai, Bani Zahrah bin Kilab, Bani Makhzum bin Yaqzah bin Murrah, Bani Tiim bin Murrah, Bani ‘Adi Ibnu Ka’ab, Bani Sahm bin Hashish bin Amr bin Ka’ab, Bani Amir Ibn Luai, Bani Tiim bin Ghalib, Bani al-Harits bin Fihr dan Bani Muhaarib bin Fihr.

12.  Fihr anak dari Malik dari isterinya Jandalah binti al-Jarb dari suku Jurhum.

13.  Malik anak dari al-Nazhr dari isterinya Atikah binti Adwan dari suku Qiis Ailan

14.  Al-Nazhr anak dari Kinanah dari isterinya Barrah binti Mur binti Idd.

15.  Kinanah anak dari Khuzaimah dari isterinya ‘Awanah binti Sa’ad dari suku Qiis Ailan.

16.  Khuzaimah anak dari Mudrikah dari isterinya Salma binti Aslam dari suku Qudha’ah.

17.  Mudrikah anak dari Ilyas dari isterinya al-Khandaf. Khandaf ini seorang wanita perkasa dan mulia yang sering dijadikan sebagai contoh bagi orang Arab Jahiliyah.

18.  Ilyas anak Muzhar dari isterinya al-Rubab binti Jandah bin Ma’ad

19.  Muzhar anak dari Nazaz dari isterinya Saudah binti ‘Ak

20.  Nazaz anak dari Ma’ad dari isterinya Ma’anah binti Jausyam dari suku Jurhum

21.  Ma’ad anak dari Adnan.

Silsilah keturunan Rasulullah SAW sampai kepada Adnan ini merupakan nasab Rasulullah SAW yang disepakati shahih di sisi ulama tarikh dan ulama hadits. Adapun silsilah di atasnya, maka tidak ada riwayat yang shahih tentangnya. Namun telah terjadi ijmak ulama bahwa silsilah keturunan Rasulullah SAW sampai kepada Nabi Ismail bin Ibrahim ‘alaihimaassalam. (Nurul Yaqin : 3-5)

Isteri-isteri Nabi SAW

Isteri-isteri Nabi SAW yang disepakati para ulama berjumlah sebelas orang, enam orang diantaranya berasal dari suku Quraisy, yaitu Khadijah binti Khuwailid, ‘Aisyah bin Abu Bakar, Hafsah binti Umar bin Khathab, Ummu Habibah binti Abu Sufyan, Ummu Salamah binti Abu Umayyah, Saudah binti Zam’ah. Adapun yang bukan suku Quraisy tapi masih bangsa Arab berjumlah empat orang, yaitu Zainab binti Jahsyi, Maimunah binti al-Haarits al-Hilaliyah, Zainab binti Khuzaimah dan Juwairiyah binti al-Haarits al-KHuzaa’iyah. Sedangkan seorang lagi bukan berasal dari bangsa Arab, yaitu Safiyah binti Hay. beliau ini berasal dari Bani Israil.

(Al-Mawahib al-Laduniyah bi Manhi al-Muhammadiyah, karya Syihabuddin al-Qisthalaniy: I/490-491)

Putra-putri Nabi Muhammad SAW

Adapun anak Nabi SAW yang disepakati para ulama berjumlah enam orang, dua anak laki-laki dan empat anak perempuan. Dua anak laki-laki tersebut bernama al-Qaasim dan Ibrahim. Adapun empat anak perempuan adalah Zainab, Ruqayyah, Ummi Kaltsum dan Fathimah. Keempat anak perempuan ini sempat hijrah bersama Nabi SAW. Menurut Ibnu Ishaq, selain yang enam di atas, Nabi SAW juga mempunyai anak bernama al-Thahir dan al-Thaib. Maka menurut Ibnu Ishaq, anak Nabi SAW berjumlah delapan orang, empat laki-laki dan empat perempuan. Al-Zubair bin Baakar mengatakan, Nabi SAW mempunyai anak selain Ibrahim dan al-Qaasim, yaitu Abdullah. Nama lain dari Abdullah ini adalah al-Thaib dan al-Thahir. Dengan demikian, menurut pendapat ini, anak Nabi SAW berjumlah tujuh orang, tiga laki-laki dan empat perempuan. Al-Darulquthniy mengatakan, pendapat ini lebih kuat sandarannya. Kemudian al-Qisthalaniy mengatakan, yang lebih shahih bahwa anak Nabi SAW, tiga laki-laki dan empat perempuan, semuanya merupakan anak dari isteri beliau Khadijah r.a. kecuali Ibrahim. (Al-Mawahib al-Laduniyah bi Manhi al-Muhammadiyah, karya Syihabuddin al-Qisthalaniy: I/478-479)

Apakah Habib/Sayyid dan Syarifah Merupakan Keturunan Nasab Nabi SAW?

Fathimah r.a. mempunyai anak dari perkawinannya dengan Ali bin Abi Thalib lima orang, tiga laki-laki dan dua perempuan. Laki-laki bernama Hasan, Husein dan Muhsin. Namun Muhsin wafat ketika usianya masih kecil. Sedangkan dua anak perempuan beliau bernama Ummi Kaltsum dan Zainab. (Al-Mawahib al-Laduniyah bi Manhi al-Muhammadiyah, karya Syihabuddin al-Qisthalaniy: I/478-479). Karena mempunyai sejarah khusus dan istimewa, Hasan dan Husein lebih populer dan sering disebut dalam sejarah dan sepertinya dikalangan umat Islam nyaris tidak ada yg tidak mengenalnya. Kemudian anak dan cucu-cucu dari Hasan dan Husein inilah oleh masyarakat Asia Tenggara dan Indonesia pada umumnya menisbah panggilan kepada mereka dengan label Habib atau Sayyid untuk yang laki-laki dan Syarifah untuk yang perempuan, yang diyakini sebagai keturunan nasab Nabi SAW. Pertanyaannya, apakah sah nisbah tersebut, mengingat Hasan r.a. dan Husein r.a. bukan keturunan Nabi SAW dari jalur laki-laki?.

Jawabannya, tidak diragukan lagi bahwa Hasan dan Husein merupaka cucu Rasulullah SAW dari anak perempuan beliau, Fathimah r.a. Adapun penisbatan kedua beliau ini dalam garis nasab Rasulullah SAW tidak sebagaimana lazimnya umat manusia lainnya merupakan hak istimewa dan kekhususan Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda :

إنَّ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ

Sesungguhnya anakku ini adalah pemimpin (H.R. Bukhari)

 

Ibnu Hajar al-Asqalaniy mengatakan, maksudnya adalah al-Hasan bin ‘Ali (al-Talkhis al-Habiir: III/303). Dalam hadits ini, Rasulullah SAW menyebut Hasan r.a. sebagai anak. Ini mengisyaratkan bahwa Hasan r.a. merupakan garis keturunan nasab beliau. Pemahaman ini didukung lagi oleh sabda Rasulullah SAW :

كل بني آدم ينتمون إلى عصبة أبيهم إلا ولد فاطمة؛ فإني أنا أبوهم وأنا عصبتهم

Setiap anak Adam bersambung kepada pewaris ‘ashabah ayahnya kecuali anak Fathimah, sesungguhnya aku ini adalah bapak dan pewaris ‘ashabah mereka (H.R. al-Thabraniy)

 

Kandungan hadits ini juga datang dalam beberapa jalur yang berbeda. Karenanya, sebagian jalurnya menguatkan jalur yang lain. Selain itu, hadits ini juga didukung (syawahid) hadits riwayat al-Thabaraniy secara marfu’:

أن الله جعل ذرية كل نبي في صلبه وإن الله جعل ذريتي في صلب علي

Sesungguhnya Allah telah menjadikan keturunan setiap nabi dalam sulbinya dan sesunggugnya Allah telah menjadikan keturunanku dalam sulbi ‘Ali. (H.R. al-Thabraniy)

(Kasyf al-Khufaa: II/141)

 

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Habib/Sayyid dan Syarifah merupakan cucu-cucu nasab Rasulullah SAW melalui dua putra Fathimah binti Rasulullah SAW, yaitu Hasan r.a. dan Husein r.a,

Wallahu a’lam bisshawab