Renungan

Jumat, 27 Oktober 2023

Hukum berdoa dalam shalat menggunakan selain Bahasa Arab

 

Dalam sebuah hadits riwayat Muslim, Mu’awiyah bin Hakam al-Sulamiy, beliau  berkata :

بَيْنَا أَنَا أُصَلِّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذْ عَطَسَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ فَقُلْتُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ. فَرَمَانِى الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ فَقُلْتُ وَاثُكْلَ أُمِّيَاهْ مَا شَأْنُكُمْ تَنْظُرُونَ إِلَىَّ. فَجَعَلُوا يَضْرِبُونَ بِأَيْدِيهِمْ عَلَى أَفْخَاذِهِمْ فَلَمَّا رَأَيْتُهُمْ يُصَمِّتُونَنِى لَكِنِّى سَكَتُّ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَبِأَبِى هُوَ وَأُمِّى مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ وَلاَ بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ فَوَاللَّهِ مَا كَهَرَنِى وَلاَ ضَرَبَنِى وَلاَ شَتَمَنِى قَالَ إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيهَا شَىْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هيَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ

Ketika saya shalat bersama Rasulullah SAW ada seorang laki-laki yang bersin, lantas saya mendo`akannya dengan mengucapkan yarhamukallah. Semua orang yang shalat lantas melihat kepadaku dan aku menjawab: "Celaka kedua orangtua kalian beranak kalian, ada apa kalian melihatku seperti itu?" Kemudian mereka memukulkan tangan mereka ke paha-paha mereka. Aku tahu mereka memintaku untuk diam, maka akupun diam. Ketika telah selesai Rasulullah SAW menunaikan shalat, demi ayah dan ibuku, aku tidak pernah melihat sebelum dan sesudahnya seorang guru yang lebih baik cara mendidiknya daripada Rasulullah. Demi Allah, beliau tidak mencemberutkanku, tidak memukulku, dan juga tidak mencelaku. Beliau hanya berkata: "Sesungguhnya shalat ini tidak boleh ada perkataan manusia di dalamnya. Di dalam shalat hanyalah terdiri dari tasbih, takbir dan bacaan al- Qur`an. (H.R. Muslim)


Berdasarkan hadits di atas, pengikut Syafi’i (Ashhabinaa) mengatakan, kalam yang membatalkan shalat adalah selain al-Qur’an, zikir, do’a dan seumpamanya. Adapun al-Qur’an, zikir, do’a dan seumpamanya, maka tidak batal shalat dengan tanpa khilaf di sisi ulama Syafi’iyah. Kemudian al-Nawawi menjelaskan kepada kita bahwa do’a dalam Bahasa Arab tidak membatalkan shalat, baik do’a itu ma’tsur (do’a yang syari’at membacanya dalam shalat) ataupun bukan ma’tsur. (al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab: IV/14)

Menambah zikir ataupun doa dalam shalat (zikir tidak ma’tsur) pada tempatnya selama tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur dapat dibenarkan. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Rifa’ah bin Rafi’ al-Zarqy, beliau berkata

كنا يوما نصلي وراء النبي صلى الله عليه وسلم، فلما رفع رأسه من الركعة، قال: سمع الله لمن حمده. قال رجل وراءه ربنا ولك الحمد، حمدا طيبا مباركا فيه. فلما انصرف، قال: من المتكلم قال أنا، قال: رأيت بضعة وثلاثين ملكا يبتدرونها، أيهم يكتبها أول

Dari Rifa’ah bin Raafi’ al-Zarqi, beliau berkata : “Pada suatu hari, kami shalat dibelakang Nabi SAW. Manakala Rasulullah mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau berkata : “Sami’allahu liman hamidah, lalu berkata seorang laki-laki di belakang beliau : “Rabbana wa lakalhamdu hamdan thaiban mubarakan fiihi. Tatkala Rasulullah selesai (dari shalatnya) bertanya : “Siapa yang berkata tadi ?. Laki-laki itu menjawab : “Saya”. Rasulullah bersabda : “Aku melihat tiga puluh orang lebih malaikat yang berebutan pertama kali menulis amalnya. (H.R. Bukhari)

 

Berkata Ibnu Hajar al-Asqalany, dijadikan dalil dengan hadits tersebut, kebolehan mengihdats (mendatangkan dengan tanpa ada dalil) zikir yang tidak ma’tsur dalam shalat apabila zikir itu tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur. (Fathul Barri, Darul Fikri: II/287)

Doa dan zikir dalam selain Bahasa Arab

Penjelasan di atas berkaitan dengan zikir dan doa dalam Bahasa Arab. Adapun zikir dan doa dalam bahasa selain Bahasa Arab dapat dijelaskan sebagai berikiut :

1.  Doa dan zikir ma’tsur (do’a yang syari’at membacanya dalam shalat)

Adapun jika doa dan zikirnya itu ma’tsur, maka ada tiga pendapat dalam masalah ini di kalangan ulama Syafi’iyah. Pendapat pertama (pendapat yang kuat), bagi yang tidak mampu membaca dalam Bahasa Arab, maka ia boleh membaca terjemah dari doa dan zikir tersebut. Jika ia mampu dalam Bahasa Arab dan tetap memakai terjemah, shalatnya batal. Pendapat kedua, boleh membaca terjemah bagi yang mampu dalam Bahasa Arab ataupun tidak. Pendapat ketiga, tidak dibolehkan membaca terjemah baik yang mampu  dalam Bahasa Arab ataupun tidak, karena pada saat itu tidak darurat. Al-Khatib al-Syarbaini mengatakan,

وَيُتَرْجِمُ لِلدُّعَاءِ) الْمَنْدُوبِ (وَالذِّكْرِ الْمَنْدُوبِ) نَدْبًا كَالْقُنُوتِ وَتَكْبِيرَاتِ الِانْتِقَالَاتِ وَتَسْبِيحَاتِ الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ (الْعَاجِزُ) لِعُذْرِهِ (لَا الْقَادِرُ) لِعَدَمِ عُذْرِهِ (فِي الْأَصَحِّ) فِيهِمَا كَالْوَاجِبِ لِحِيَازَةِ الْفَضِيلَةِ. وَالثَّانِي: يَجُوزُ لِلْقَادِرِ أَيْضًا لِقِيَامِ غَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ مَقَامَهَا فِي أَدَاءِ الْمَعْنَى. وَالثَّالِثُ: لَا يَجُوزُ لَهُمَا، إذْ لَا ضَرُورَةَ إلَيْهِمَا، بِخِلَافِ الْوَاجِبِ،

Dianjurkan bagi yang tidak mampu dalam Bahasa Arab menterjemahkan doa dan zikir yang sunnah seperti qunut, takbir intiqalat, tasbih rukuk dan sujud, karena keuzurannya, tidak boleh bagi yang mampu, karena tidak ada uzur menurut pendapat yang lebih shahih, sama halnya seperti doa dan zikir wajib, guna memperoleh fadhilah. Pendapat kedua, boleh bagi yang mampu juga, karena diposisikan selain Bahasa Arab pada posisi Bahasa Arab dalam penngungkapan makna. Pendapat ketiga, tidak boleh sama sekali, baik bagi yang mampu maupun yang tidak mampu, karena tidak dharurat, berbeda dengan doa dan zikir wajib.

 

Kemudian al-Khatib al-Syarbaini menjelaskan,

فَإِنَّ الْخِلَافَ الْمَذْكُورَ مَحَلُّهُ فِي الْمَأْثُورِ.أَمَّا غَيْرُ الْمَأْثُورِ بِأَنْ اخْتَرَعَ دُعَاءً أَوْ ذِكْرًا بِالْعَجَمِيَّةِ فِي الصَّلَاةِ فَلَا يَجُوزُ

Sesungguhnya khilafiyah tersebut, posisinya pada yang ma’tsur. Adapun yang tidak ma’tsur dengan mengada-ada doa atau zikir dalam bahasa ‘ajamiyah (bukan Bahasa Arab) dalam shalat adalah tidak boleh. (Mughni al-Muhtaj I/384-385)

 

Penjelasan yang sama juga telah dikemukakan oleh Imam al-Ramli dalam Nihayah al-Muhtaj: I/534-535.

Setelah mengemukakan khilafiyah ulama Syafi’iyah dalam hal menterjemahkan zikir da doa yang ma’tsur dalam shalat, Jalaluddin al-Mahalli menegaskan,

ثُمَّ الْمُرَادُ الدُّعَاءُ وَالذِّكْرُ الْمَأْثُورَانِ، فَلَا يَجُوزُ اخْتِرَاعُ دَعْوَةٍ أَوْ ذِكْرٍ بِالْعَجَمِيَّةِ فِي الصَّلَاةِ قَطْعًا

Kemudian yang menjadi maksud dalam khilafiyah diatas adalah doa dan zikir yang ma’tsur. Karena itu, tidak boleh membuat-buat doa dan zikir (yang tidak ma’tsur) dalam bahasa ‘ajamiah (selain Bahasa Arab) dalam shalat tanpa khilaf. (Syarah al-Mahalli 1/192)

 

2.  Doa dan zikir tidak ma’tsur

Untuk doa dan zikir yang tidak ma’tsur dengan menggunakan selain bahasa Arab, maka tidak dibolehkan dan ini tidak ada khilaf dalam mazhab Syafi’i dan shalatnya menjadi batal sebagaimana dijelaskan dalam keterangan di atas.

 

 



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar