Renungan

Kamis, 09 November 2023

Carter (sewa) dan mawah kebun dalam pandangan Islam

 

Hukum carter (sewa) kebun untuk memiliki buahnya.

Carter (sewa) kebun untuk memiliki buahnya, hukumnya tidak sah.

Alasannya sebagai berikut :

1.  Dari Abu Hurairah r.a, berbunyi :

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ، وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Rasulullah SAW melarang jual beli al-hashaah dan gharar. (H.R. Muslim)

 

Berdasarkan hadits ini, sebuah akad dalam tidak boleh mengandung kemungkinan gharar (tipuan). Ketika misalnya, ketika pohon ini disewakan selama dua tahun  dan dalam kondisi normal, kita tidak bisa memastikan hasilnya. Apakah nanti akan berbuah setiap tahun atau sebaliknya, sering gagal panen. Lain halnya ketika ada pohon yang disewakan untuk sesuatu yang manfaat  yang bukan dalam bentuk benda, misalnya untuk hiasan dekorasi walimah pernikahan atau untuk tempat berteduh. Ini jelas manfaatnya jelas dan terukur. Hal yang sama juga berlaku pada kasus menyewa kolam untuk memancing ikan. Karena mengambil ikan yang diqashad dalam akad sewa belum tentu bisa terwujud karena tergantung keadaan, apakah ikan tersebut bisa bisa ditangkap dengan pancing pada ketika itu atau tidak.

2. Dalam kitab Fathul Muin, Zainuddin al-Malibari mengatakan :

ورؤيته أي المعقود عليه إن كان معينا فلا يصح بيع معين لم يره العاقدان أو أحدهما كرهنه وإجارته للغرر المنهي عنه وإن بالغ في وصفه.

Dan melihatnya, yakni melihat barang yang diakadkan seandainya barangnya tertentu. Maka tidak sah jual beli barang yang tertentu selama tidak dilihat oleh dua pihak yang melakukan akad atau salah satunya. Sama juga hukumnya ini akad gadai dan sewa,meskipun disifatinya secara sempurna, karena ada gharar yang terlarang padanya.(Fathul Mu’in, (dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin): III/9-10)

 

2.  Akad sewa diperuntukan mengambil manfaat yang bukan dalam bentuk benda seperti mendiami rumah yang disewa, tidak dalam bentuk benda seperti mengambil buah dari kebun yang disewa. Zainuddin al-Malibari mengatakan :

فلا يصح اكتراء بستان لثمرته لأن الأعيان لا تملك بعقد الإجارة قصدا.ونقل التاج السبكي في توشيحه اختيار والده التقي السبكي في آخر عمره صحة إجارة الأشجار لثمرها وصرحوا بصحة استئجار قناة أو بئر للانتفاع بمائها للحاجة.

Maka tidak sah menyewa kebun untuk buahnya, karena benda tidak dapat dimiliki dengan qashad akad sewa. Namun dalam kitab Tausyihnya, al-Taj al-Subki pernah mengutip pilihan bapaknya, al-Taqy al-Subki pada akhir umurnya sah sewa pohon untuk buahnya dan para ulama telah menjelaskan sah sewa terusan air atau sumur untuk mengambil manfaat airnya karena hajad.(Fathul Mu’in, (dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin): III/114)

 

Namun menurut keterangan pengarang I’anah al-Thalibin, pendapat al-Taqy al-Subki di atas adalah dhaif. (I’anah al-Thalibin: III/114)

3.  Imam al-Nawawi mengatakan :

الخامسة: لا يحوز أن يستأجر بركة ليأخذ منها السمك فلو استأجرها ليحبس فيها الماء حتى يجتمع فيها السمك جاز على الصحيح

Yang kelima : Tidak boleh menyewa kolam supaya mengambil ikan darinya. Karena itu, seandainya seseorang menyewa kolam untuk menahan air dalamnya sehingga terkumpul ikan di dalamnya, maka ini boleh berdasarkan pendapat shahih. (Al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin: V/256)

 

4.  Dalam kitab Asnaa al-Mathalib disebut :

(وَتَصِحُّ إجَارَةُ مُصْحَفٍ وَكِتَابٍ) لِمُطَالَعَتِهِمَا وَالْقِرَاءَةِ مِنْهُمَا.(لَا) إجَارَةُ (بِرْكَةٍ لِصَيْدِ سَمَكٍ) مِنْهَا فَلَا تَصِحُّ كَاسْتِئْجَارِ الْأَشْجَارِ لِلثِّمَارِ (وَتَصِحُّ) إجَارَتُهَا (لِحَبْسِ مَا فِيهَا) حَتَّى يَجْتَمِعَ فِيهِ السَّمَكُ ثُمَّ (يَصْطَادَ مِنْهُ) .

Sah sewa mashaf al-Qur’an dan kitab untuk muthala’ah dan membaca keduanya, tidak sah menyewa kolam untuk berburu ikan darinya, maka tidak sah menyewa pohon untuk buahnya, akan tetapi sah menyewa kolam untuk menahan air di dalamnya sehingga berkumpul ikan di dalamnya, kemudian memburunya. (Zakariya al-Anshari, Asnaa al-Mathalib: II/435)

 

Mawah kebun

Mawah adalah aqad perjanjian antara dua orang (pemilik harta dan pengelola harta) untuk mengelola terhadap suatu harta dimana pengelola akan mendapatkan sebagian dari hasil yang didapati dari usaha tersebut yang jumlahnya  berdasarkan perjanjian antara keduanya,

Mawah yang sering berlaku dalam masyarakat Aceh ada beberapa macam ;

1.      Mawah binatang ternak.

2.      Mawah kebun palawija.

3.      Mawah kebun tanaman keras.

4.      Mawah tanah, (memawahkan tanah yang belum sepenuhnya menjadi lahan bercocok tanam, sasarannya untuk menjadi lahan pertanian)

5.      Mawah usaha (mawah yang terjadi pada para nelayan dan usaha lainnya)

6.      Mawah kerja, seperti mawah on meria (daun sagu) untuk dijadikan atap rumah, daun atap rumbia biasanya dibagi dua.

(Mawah dalam Masyarakat Aceh oleh Tgk. Abuyazid Al-Yusufie: 1-2)

 

Dalam tulisan ini, mengkhususkan pembahasan mawah pada tanaman keras dengan harapan menjadi solusi hukum terhadap tradisi carter (sewa) kebun untuk memiliki buahnya.yang dinyatakan tidak sah dalam mazhab Syafi’i. Dalam fiqh ada kajian hukum musaaqaah. Ibnu Hajar al-Haitami mendevinsikan musaaqaah:

)الْمُسَاقَاةِ) هِيَ مُعَامَلَةٌ عَلَى تَعَهُّدِ شَجَرٍ بِجُزْءٍ مِنْ ثَمَرَتِهِ مِنْ السَّقْيِ الَّذِي هُوَ أَهَمُّ أَعْمَالِهَا

Musaaqaah adalah akad muamalah untuk melakukan pengelolaan tumbuh-tumbuhan berupa menyiram yang merupakan yang terpenting dari bentuk pengelolaan lainnya dengan imbalan separuh buahnya (Tuhfah al-Muhtaj VI/106)

 

Dengan kata lain, musaaqaah adalah aqad perjanjian antara dua orang (pemilik kebun dan pengelola kebun) untuk mengelola sebidang kebun dimana pengelola akan mendapatkan sebagian dari hasil yang didapati dari usaha tersebut yang jumlahnya  berdasarkan perjanjian antara keduanya

Kemudian beliau menjelaskan objek musaaqaah menurut qaul jadid:

)وَمَوْرِدُهَا النَّخْلُ وَالْعِنَبُ) لِلنَّصِّ فِي النَّخْلِ وَأُلْحِقَ بِهِ الْعِنَبُ بِجَامِعِ وُجُوبِ الزَّكَاةِ وَإِمْكَانِ الْخَرْصِ

Objek musaaqaah adalah kurma dan anggur karena ada nash dalam hal kurma. Adapun anggur disamakan dengan kurma dengan persamaannya sama-sama wajib zakat memungkinkan perkiraannya.(Tuhfah al-Muhtaj VI/107)

 

Berdasarkan ini, maka musaaqaah ini identik dengan akad mawah kebun tanaman keras yang sudah menjadi tradisi di Aceh sebagaimana dalam penjelasan Tgk. Abuyazid Al-Yusufie di atas.

Dalam qaul qadim musaaqah ini dibolehkan pada semua tumbuh-tumbuhan yang ada pohonnya dan berbuah :

)وَجَوَّزَهَا الْقَدِيمُ فِي سَائِرِ الْأَشْجَارِ الْمُثْمِرَةِ (لِقَوْلِهِ فِي الْخَبَرِ السَّابِقِ مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ وَلِعُمُومِ الْحَاجَةِ وَاخْتِيرَ وَالْجَدِيدُ الْمَنْعُ؛ لِأَنَّهَا رُخْصَةٌ فَتَخْتَصُّ بِمَوْرِدِهَا

Pendapat qadim membolehkan musaaqaah pada semua tumbuh-tumbuhan yang berbuah. Karena hadits sebelumnya, yaitu buah dan zuru’ dan karena umum hajat. Pendapat ini ada yang memilihnya. Pendapat jadid, terlarang, karena musaaqaah rukhsah. Karena itu, hanya berlaku pada yang ada nashnya. (Tuhfah al-Muhtaj VI/107-108)

 

Penjelasan lebih lanjut terkait makna tumbuh-tumbuhan yang berbuah.dapat diperhatikan pada kutipan di bawah ini;

قَوْلُ الْمَتْنِ (فِي سَائِرِ الْأَشْجَارِ الْمُثْمِرَةِ) احْتَرَزَ بِالْأَشْجَارِ عَمَّا لَا سَاقَ لَهُ كَالْبِطِّيخِ وَقَصَبِ السُّكَّرِ وَبِالْمُثْمِرَةِ عَنْ غَيْرِهَا كَالتُّوتِ الذَّكَرِ وَمَا لَا يُقْصَدُ ثَمَرُهُ كَالصَّنَوْبَرِ فَلَا تَجُوزُ الْمُسَاقَاةُ عَلَيْهِمَا عَلَى الْقَوْلَيْنِ اهـ مُغْنِي

Perkataan matan: (pada semua pohon yang berbuah), pada perkataan pohon tidak termasuk di dalamnya tumbuh-tumbuhan yang tidak mempunyai pohonnya seperti semangka dan tebu. Pada perkataan berbuah tidak termasuk di dalamnya yang tidak berbuah seperti murbei jantan dan tumbuhan yang memang tidak diqashad buahnya seperti cemara. Maka tidak boleh musaaqah pada keduanya berdasarkan kedua qaul. Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj: VI/107-108)

 

Pendapat qadim ini sebagai penjelasan Tuhfah al-Muhtaj di atas ada ulama pengikuti Syafi’i yang memilihnya. Diantara ulama yang memilih pendapat qadim ini adalah Imam al-Nawawi. Pendapat qadim ini juga merupakan pendapat Malik dan Ahmad sebagaimana penjelasan di bawah ini.

)وَجَوَّزَهَا الْقَدِيمُ فِي سَائِرِ الْأَشْجَارِ الْمُثْمِرَةِ) كَتِينٍ وَتُفَّاحٍ لِوُرُودِهِ فِي الْخَبَرِ مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ وَلِعُمُومِ الْحَاجَةِ، وَاخْتَارَهُ الْمُصَنِّفُ فِي تَصْحِيحِ التَّنْبِيهِ

Pendapat qadim membolehkan musaaqaah pada semua tumbuh-tumbuhan yang berbuah.seperti tin, apel karena datang pada hadits yaitu buah dan zuru’ dan juga karena umum hajat. Pendapat qadim ini telah dipilih oleh pengarang (Imam al-Nawawi) dalam tashih al-Tanbih (Nihayah al-Muhtaj: V/246)

 

Zainuddin al-Malibari mengatakan,

وجوزها القديم في سائر الاشجار، وبه قال مالك وأحمد، واختاره جمع من أصحابنا

Pendapat qadim membolehkan musaaqaah pada semua tumbuh-tumbuhan. Pendapat ini merupakan pendapat Malik dan Ahmad. Sekelompok pengikut Syafi’I telah memilih pendapat ini. (Hasyiah I’anah al-Thalibin ‘ala Fathul Muin : III/125)

 

Alhasil, menurut hemat kami carteran kebun untuk memiliki buahnya yang sudah kita nyatakan tidak sah menurut mazhab Syafi’i karena mengandung gharar dapat ganti akadnya dengan melakukan akad musaaqaah (dalam tradisi di Aceh biasanya disebut dengan mawah) dengan berpegang pada qaul qadim Imam Syafi’i dengan memperhatikan catatan/pertimbangan berikut ini.

1.  Qaul qadim ini tidak terlalu dhaif. Buktinya qaul qadim ini juga merupakan pendapat Malik dan Ahmad

2.  Qaul qadim ini telah dipilih minhaitsu dalil, tidak minhaitsu mazhab oleh sekelompok ulama Syafi’iyah (di dalamnya termasuk Imam al-Nawawi)

3.  Qaul qadim ini merupaka solusi untuk ummat dalam meningkatkan taraf hidupnya. Ini merupakan hajat yang sifatnya umum

4.  Karena ini merupakan pendapat dhaif dalam mazhab, maka tidak boleh menjadi fatwa. Akan tetapi boleh di amalkan untuk diri sendiri. Kepada orang alim dibolehkan menyampaikan cara pengamalan ini dengan jalan irsyad, tidak dengan jalan fatwa.

Syeikh Ahmad al-Khathib mengatakan,

قال في الفوائد وكذا يجوز الأخذ والعمل لنفسه بالأقوال والطرق والوجوه الضعيفة الا بمقابل الصحيح فان الغالب فيه انه فاسد و يجوزالافتاء به للغير بمعنى الارشاد وبه قال الشيخ ابن حجر في الفتاوي

Pengarang al-Fawaid mengatakan, demikian juga boleh mengambil dan beramal untuk diri sendiri qaul, thuruq-thuruq dan wajh dhaif kecuali lawan dari pendapat shahih, karena ghalibnya fasid dan boleh juga berfatwa dengannya untuk orang lain dengan makna irsyad (memberikan bimbingan). Penjelasan ini juga telah dikemukakan oleh Syeikh Ibnu Hajar dalam al-Fatawa. (Hasyiah al-Nufahaat ‘ala Syarah al-Warqaat: 170)

 

Muhammad bin Sulaiman al-Kurdiy mengatakan dalam al-Fawaid al-Madaniyah sebagai berikut :واما اذا افتاه بالضعيف على طريق التعريف بحاله وانه يجوز للعامي تقليده بالنسبة للعمل به فغير الممتنع كما سنبينه لك ان شاء الله تعالى

Adapun apabila seseorang berfatwa dengan pendapat dha’if atas jalan memberitahukan keadaan dhaifnya, maka itu tidak terlarang sebagaimana akan kami jelaskan kepadamu Insya Allah Ta’ala dan boleh bagi orang awam taqlidnya dinisbahkan untuk beramal. (al-Fawaid al-Madaniyah: 58)

1 komentar: