Renungan

Minggu, 30 Oktober 2011

Kucing adalah binatang suci dan suci sisa makanannya

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ - رضي الله عنه - أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ -فِي اَلْهِرَّةِ-: - إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ, إِنَّمَا هِيَ مِنْ اَلطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ - أَخْرَجَهُ اَلْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ. وَابْنُ خُزَيْمَةَ

Artinya : Dari Abu Qutadah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda tentang kucing, sesungguhnya ia tidak najis, ia hanyalah binatang yang suka keluar masuk rumah kalian. (Dikeluarkan oleh Imam yang empat dan telah dishahihkan oleh Turmidzi dan Ibnu Khuzaimah)[1]


Dalam Majmu’ Syarah al-Muhazzab,[2] Imam Nawawi dalam mengomentari hadits di atas, menjelaskan sebagai berikut :

1. Kucing adalah binatang yang suci dan sisa makanan atau minumannya juga suci serta tidak makruh menggunakannya. Alasan lain adalah karena kucing merupakan binatang yang boleh memeliharanya dengan tanpa hajad, berarti sama dengan binatang ternak. Karena itu, sisa makanan dan minumanya suci dan tidak makruh menggunakannya.

2. Abu Hanifah berpendapat makruh menggunakan sisa makanan atau minumannya. Pendapat beliau ini didasarkan kepada hadits riwayat Abu Hurairah r.a. yang berbunyi :

عن النبي صلى الله عليه وسلم قال يغسل الاناء من ولوغ الكلب سبعا ومن ولوغ الهرة مرة

Artinya : Dari Nabi SAW bersabda : “Dibasuh bejana dari jilatan anjing tujuh kali dan dari jilatan kucing satu kali.”(H.R. Darulquthni dan Baihaqi)[3]


Alasan lain adalah karena kucing biasanya tidak menjauhi najis. Karena itu, makruh sisa makanan dan minumannya.


3. Adapun dalil yang dikemukakan Abu Hanifah diatas dibantah dengan argumentasi sebagai berikut :

a. Perkataan “dari jilatan kucing satu kali” bukanlah merupakan perkataan Nabi SAW, tetapi merupakan disisip dalam hadits dari perkataan Abu Hurairah sendiri. Keterangan ini telah dijelaskan oleh para Hafizh. Baihaqi dan lainnya telah menjelaskannya dengan menyebut dalil-dalilnya dan perkataan para hafizh mengenai ini.


b. Baihaqi mengatakan :


“Hadits yang diriwayat dari Abu Shaleh dari Abu Hurairah ; “Dibasuh bejana dari kucing sebagaimana dibasuh dari anjing” Merupakan hadits tidak mahfuzh (tidak terpelihara).”


c. Imam Syafi’i mengatakan :


Kucing tidaklah najis dan kita boleh berwudhu’ dengan sisa kucing. Memadai untuk kita hadits dari Nabi SAW dan pendapat seseorang yang berbeda dengan perkataan Nabi SAW tidak boleh menjadi hujjah.”


d. Berkata ulama dari kalangan Syafi’i :


Seandainya hadits Abu Hurairah tersebut shahih, maka juga tidak dapat menjadi dalil. Karena dhahir hadits tersebut disepakati ditinggalkan. Alasannya, dhahir hadits tersebut wajib basuh bejana karena jilatan kucing, padahal ijmak ulama hal itu tidak wajib secara ijmak.



[1] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Juz. I, Hal. 25

[2] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 175

[3] Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 569

Tidak ada komentar:

Posting Komentar