Berikut pendapat ulama mengenai bersentuhan dengan isteri dapat membatalkan wudhu’, antara lain :
1.Berkata Imam Syafi’i :
“Apabila seorang laki-laki memegang isterinya atau bersentuhan sebagian tubuhnya dengan sebagian tubuh isterinya, tanpa dinding kain, dengan syahwat atau tidak dengan syahwat, maka wajib atasnya dan isterinya berwudhu’.1
2.Berkata Imam an-Nawawi :
“Yang membatalkan wudhu’ yang ketiga adalah bersentuhan kulit laki-laki dengan kulit perempuan kecuali mahram ”.
Selanjutnya al-Mahalli dalam mensyarah pernyataan an-Nawawi tersebut, menyebut dalilnya, yaitu firman Allah : أو لامستم النساء dan makna dari hukum runtuh wudhu’ dengan sebab bersentuhan kulit laki-laki dengan perempuan adalah bersentuhan itu merupakan madhannah (diduga berpotensi) kelezatan yang dapat mengarah kepada syahwat.2
Seorang isteri tentunya berpotensi syahwat bagi seorang suami, karena isteri bukan mahram bagi seorang suami. Kalau seorang isteri menjadi mahram bagi suaminya, tentunya suami tersebut tidak boleh nikah dengannya. Oleh karena itu, bersentuhan tubuh isteri dengan suami dapat membatalkan wadhu’, sama seperti bersentuhan dengan wanita lain.
Ayat di atas, lengkapnya adalah sebagai berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. (Q.S. An-Nisa’ : 43)
Penafsiran لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ dengan arti bersentuhan didukung oleh hadits Ibnu Umar, yaitu :
عن سالم بن عبد الله عن أبيه عبد الله بن عمر أنه كان يقول قبلة الرجل امرأته وجسها بيده من الملامسة فمن قبل امرأته أو جسها بيده فعليه الوضوء
Artinya : Dari Salim bin Abdullah, dari bapaknya, Abdullah bin Umar, beliau berkata, Ciuman laki-laki atas isterinya dan memenyentuh dengan tangannya adalah termasuk “mulamasah”. Maka barangsiapa mencium isterinya atau menyentuh dengan tangannya, maka wajib ia berwudhu’(H.R. Malik).3
Al-Nawawi mengatakan tentang hadits di atas :
“Isnad ini sangat shahih sebagaimana kamu perhatikan”. 4
Sebagian umat Islam berpendapat tidak membatalkan wudhu’ karena bersentuhan antara kulit suami dan isteri. Mereka berargumentasi dengan antara lain :
1. Hadits dari Aisyah r.a. ;
ان النبي صلعم قبل بعض نسائه ثم خرج الى الصلاة ولم يتوضأ
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW pernah mencium isterinya, kemudian keluar melaksanakan shalat dan beliau tidak berwudhu’ lagi.(H.R. Ahmad) 5
Hadits ini telah dinyatakan dha’if oleh Bukhari, 6 Sufyan al-Tsury, Yahya bin Sa’id al-Quthan, Ahmad bin Hanbal, Abu Daud, Abu Bakar al-Naisabury, Darulquthny, Baihaqi dan lainnya. Ahmad bin Hanbal, Abu Bakar al-Naisabury dan lainnya mengatakan :
“Hubaib tersalah dari ciuman orang berpuasa kepada ciuman orang berwudhu’.7
Imam al-Nawawi mengatakan :
“Yang shahih dari hadits Aisyah hanyalah “Sesungguhnya Nabi SAW mencium isterinya dan beliau dalam keadaan berpuasa”.8
Hal senada juga disampaikan oleh Baihaqi. Beliau mengatakan :
“Hadits yang shahih dari Aisyah hanyalah tentang ciuman orang berpuasa. Perawi-perawi dha’if yang mempertempatkan kepada meninggalkan wudhu’ dari ciuman”.9
Dengan demikian, maka hadits ini tidak tepat dijadikan sebagai hujjah tidak membatalkan wudhu’ bersentuhan antara kulit suami dan isteri.
2.Hadits dari Abu Rauq dari Ibrahim al-Taimy dari Aisyah ;
ان النبي صلى الله عليه وسلم كان يقبل بعد الوضوء ثم لا يعيد الوضوء
Artinya : : Sesungguhnya Nabi SAW pernah mencium isterinya sesudah berwudhu’ , kemudian beliau tidak mengulangi wudhu’ lagi (H.R. Baihaqi 10 dan Darulquthny 11)
Menurut Baihaqi, hadits ini mursal, karena Ibrahim al-Taimy tidak mendengar riwayat dari Aisyah. Lagi pula Abu Rauq dalam sanad tersebut menurut Abu Daud adalah lemah. Yahya bin Mu’in dan lainnya telah melemahkannya. 12
3.Hadits dari Abu Qutadah al-Anshary ;
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي وَهْوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW shalat sambil mengendong Umamah binti Zainab, cucu beliau sendiri.(H.R. Bukhari)13
Imam al-Nawawi menyebut beberapa jawaban terhadap argumentasi dengan hadits ini, yaitu antara lain :
a.mengendong tidak berarti bersentuhan kulit.
b.Umamah pada waktu itu masih anak-anak. Kalaupun bersentuhan kulit, tetap tidak membatalkan wudhu’, karena anak-anak tidak membatalkan wudhu’
c.Umamah adalah cucu Rasulullah sendiri dari anak beliau, Zainab. Dengan demikian masih muhrim Rasulullah SAW. Bersentuhan kulit dengan muhrim tidak membatalkan wudhu’ 14
4.Hadits dari Aisyah ;
لَقَدْ رَأَيْتُنِي وَرَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي وَأَنَا مُضْطَجِعَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَسْجُدَ غَمَزَ رِجْلَيَّ فَقَبَضْتُهُمَا.
Artinya : Sesungguhnya aku melihat Rasulullah SAW melakukan shalat, sedangkan aku berbaring diantara beliau dan qiblat. Apabila beliau ingin sujud, beliau mengisyaratkan kepada dua kakiku, maka aku menarik keduanya (H.R.Bukhari)15
Dalam riwayat al-Nisa’i, hadits ini dengan redaksi :
إن كان رسول الله صلى الله عليه و سلم ليصلي وأني لمعترضة بين يديه اعتراض الجنازة حتى إذا أراد أن يوتر مسني برجله
Artinya : Jika Rasulullah SAW melakukan shalat, sedangkan aku berbaring di antara hadapannya seperti jenazah sehingga apabila beliau merencanakan witir, beliau menyentuhku dengan kakinya (H.R. al-Nisa’i)16
Menurut al-Nawawi kedua hadits di atas ihtimaal (boleh jadi) mengisyarat dengan menyentuh dengan ada lapiknya. Bahkan dhahirnya, bersentuhan tersebut adalah dengan lapik, karena Aisyah r.a. pada saat itu dalam keadaan berbaring di atas tempat tidur, biasanya tentu dalam keadaan berselimut 17. Sedangkan dalil yang ihtimal, sebagaimana dimaklumi menggugurkannya sebagai dalil, apalagi apabila diperhatikan konteks hadits ini, maka dhahirnya, bersentuhan tersebut adalah dengan ada lapik. Maka dengan demikian, kedua hadits di atas tidak dapat menjadi dalil tidak membatalkan wudhu’ bersentuhan kulit suami dan isteri.
DAFTAR PUSTAKA
1.Syafi’i, Al-Umm, Juz I, Hal 14
2.Jalaluddin al-Mahalli, al-Mahalli, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Juz. I, Hal. 32.
3.Imam Malik, al-Muwatha’, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Mesir, Juz. I, Hal. 43
4.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 30-31
5.Ibnu Hajar al-Asqalany, B ulughul Maram, al-Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 37
6.Ibnu Hajar al-Asqalany, B ulughul Maram, al-Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 37
7.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 32
8.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 32
9.Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Syamilah, Juz I, Hal. 126
10.Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Syamilah, Juz I, Hal. 126, No. Hadits : 624
11.Darulquthny, Sunan Darulquthny, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 256, No. Hadits : 501
12.Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Syamilah, Juz I, Hal. 126, No. Hadits : 624
13.Bukahri, Shahih Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 137, No. Hadits : 516
14.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 33
15.Bukhari, Shahih Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 138, No. Hadits : 519
16Al-Nisa’i, Sunan al-Nisa’i, Maktabah Syamilah, Juz. I, No. Hadits : 101, No. Hadits : 166
17.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 33
mari kita pelajari Alquran dan Sunnah Nabi dengan penjelasan konkretnya melalui para Ulama.
BalasHapusterima kasih atas komentarnya
BalasHapuswassalam
yang wajib dalam keadaan berwudhu' hanya pada thawaf. menurut hemat kami bisa saja diusahakan untuk tidak tersentuh. namun kalau memang tidak memungkinkan juga, para ulama syafi'yah biasanya memberi solusi untuk berpegang kepada pendapat syafi'i yang lain, yaitu yang runtuh wudhu' kalau menyentuh, tidak runtuh wudhu' kalau disentuh atau solusi lain berpegang kepada mazhab hanafi yang berpendapat tidak runtuh wudhu' secara mutlaq apabila bersentuhan laki2 dengan perempuan
BalasHapuswassalam
Inya'alloh lebih tepat lagi dhorurot " Adhorurotu tubihul mahhurot"
BalasHapusInya'alloh lebih tepat lagi dhorurot " Adhorurotu tubihul mahhurot"
BalasHapusUntuk seorang awam yang biasa bersandar pada madzhab Syafi'i dalam semua hal, apakah boleh tidak mengikuti pendapat satu ini saja karena timbul keraguan? Misalnya dia memandang pendapat yang mengatakan ayat أو لامستم النساء berarti jima' dan bukan bersentuhan. Apakah ini termasuk talfiq yang tidak diperbolehkan?
BalasHapuspendapat yang mengatakan tidak runtuh wudhu' dengan sebab bersentuh merupakan pendapat mazhab hanafi. boleh saja mengikutinya pedapat ini asalkan dalam bab wudhu' melakukannya dengan sempurna secaara mazhab hanafi sehingga tidak tejadi talfiq. tapi kalau berwudhu' secaara syafi'i kecuali masalah bersentuhan dgn perempuan, maka ini talfiq. coba perhatikan, misalnya kita berwudhu' dengan menyapu sedikit kepala, lalu bersentuhan dgn perempuan. maka wudhu' kita ini batal berdasarkan mazhab syafi'i dan hanafi. batal menurut syafi'i, karena bersentuhan dgn perempuan. batal menurut hanafi karena tidak disapu kepala 1/4 kepala. (mazhab hanafi wajib menyapu 1/4 kepala). beramal denganmazhab2 berbeda, memang susah. kita harus mengetahui seluk beluk mazhab tersebut. maka hal2 seperti, ibnu hajar mengatakan, utk orang alim saja susah melakukannya, apalagi bagi orang awam
Hapuswassalam
Saya minta ibarat pendapat syafi'iyah, yang tidak batal jika disentuh. Ada di kitab mana, halaman berapa? Trims
BalasHapusyakni pendapat muqabil al-azhhar, al-mahalli, juz. I, hal. 32
BalasHapus(وَالْمَلْمُوسُ) وَهُوَ مَنْ وَقَعَ عَلَيْهِ اللَّمْسُ رَجُلًا كَانَ أَوْ امْرَأَةً (كَلَامِسٍ) فِي انْتِقَاضِ وُضُوئِهِ (فِي الْأَظْهَرِ) لِاشْتِرَاكِهِمَا فِي لَذَّةِ اللَّمْسِ كَالْمُشْتَرَكِينَ فِي لَذَّةِ الْجِمَاعِ، وَالثَّانِي لَا يَنْقُضُ وُقُوفًا مَعَ ظَاهِرِ الْآيَةِ فِي اقْتِصَارِهِ عَلَى اللَّامِسِ.
pendapat azhhar adalah qaul syafi'i yg dianggap lebih rajih. sedangkan pendapat muqabilnya (lawannya),di atas disebut dgn al-tsaani....., merupakan qaul syafi'i yg lain, namun pendapat ini oleh al-Nawawi dianggap lemah.
BalasHapus