Renungan

Minggu, 05 Juni 2011

Hadits dha’if dan pengamalannya

Hadits dha’if adalah hadits yang tidak ada syarat shahih dan hasan padanya. Syarat itu seperti bersambung sanad, ‘adalah, zhabith, tidak ada syaz, tidak ada ‘illat qaadih dan tidak ‘azhid pada ketika memerlukannya.1

Al-Baihaqi melakukan pembagian hadits dha’if secara garis besar kepada dua pembagian, yaitu :
1.Hadits yang diriwayat oleh orang-orang yang sudah dikenal sebagai pemalsu dan pendusta hadits. Pembagian pertama ini disepakati tidak boleh digunakan sebagai dalil dalam semua urusan agama. Kalaupun diriwayatkannya itu hanyalah untuk menjelaskan kepalsuannya.
2.Hadits yang diriwayat oleh orang-orang yang tidak dituduh sebagai pemalsu hadits, tetapi ia dikenal buruk hafalannya, banyak salah pada hafalannya atau ia tidak dikenal, sehingga keadaannya tidak memenuhi persyaratan diterima sebuah hadits darinya. Pembagian kedua ini tidak dapat digunakan sebagai dalil dalam penetapan hukum. Namun kadang-kadang dapat saja digunakan untuk dakwah, targhib, tarhib, tafsir dan mengenai suatu peperangan.2

Pendapat ulama lain mengenai pengamalan hadits dha’if, antara lain :
1. Qalyubi menerangkan bahwa beramal dengan hadits dha’if dibenarkan dengan tiga syarat, yaitu sebagai berikut :
1.tidak terlalu lemah
2.termasuk dibawah asal yang umum
3.yang mengamalkannya tidak mengi’tiqadkan sunnah perbuatan itu diitsbat dengan sebab hadits tersebut.3

2.Berkata Imam ar-Ramli :
“An-Nawawi telah menceritakan dalam beberapa buah karangannya, ijmak ahlu hadits terhadap beramal dengan hadits dha’if khusus pada fadhailul amal dan yang seumpama dengannya”.

Kemudian setelah mengutip beberapa buah pendapat ulama, Imam ar-Ramli menyimpulkan :
“dimaklumi pula bahwa yang dimaksud dengan fadhailul amal adalah targhib (menggemarkan amalan yang baik) dan tarhib (nasehat menjauhi suatu larangan). Yang semakna dengannya adalah kisah-kisah dan seumpamanya”. 4

3.Imam Nawawi dalam kitab al-Azkaar berkata :
“Ulama ahli hadits, para fuqaha dan lainnya berkata : “boleh dan disunatkan mengamalkan hadits dha’if pada fadhailul amal, targhib dan tarhib selama hadits itu tidak mauzhu’. Adapun pada hukum seperti halal dan haram, jual beli, nikah, thalaq dan lainnya, maka tidak boleh diamalkan kecuali dengan hadits shahih atau hasan kecuali untuk ihtiyath (hati-hati) dalam hal sesuatu, seperti terdapat hadits dha’if yang memakruhkan sebagian akad jual beli atau pernikahan, maka yg disukai bahwa menjauhinya tetapi tidak wajib.”5

Kesimpulan
1. Hadits dha’if boleh diamalkan dengan syarat-syarat sebagai berikut :
a.tidak terlalu lemah dan bukan diriwayat oleh orang-orang sudah dikenal sebagai pendusta dan pemalsu hadits
b.termasuk dibawah asal yang umum
c.berkenaan dengan fadhailul amal
d.tidak dii’tiqad itsbat hukum dengannya

2.Dalam bidang hukum tidak boleh ditetapkan dengan hadits dha’if kecuali untuk ikhtiyath (hati-hati)

3.Fadhailul amal adalah adalah targhib (menggemarkan amalan yang baik) dan tarhib (nasehat menjauhi suatu larangan). Semakna dengannya adalah kisah-kisah dan seumpamanya.

DAFTAR PUSTAKA
1.Muhammad al-Zarqany, Syarah al-Baiquniyah, dicetak pada hamisy Hasyiah al-Athiyah al-Ajhury, al-Haramain, Hal. 30
2.Al-Baihaqi, Dalail al-Nubuwah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz I, Hal. 32-33
3.Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa ‘Umairah, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiah, Indonesia, Juz. I, Hal.56)
4.Imam ar-Ramli, Fatawa Imam ar-Ramli, dicetak pada hamisy Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 383.
5.An-Nawawi, Al-Azkar, al-Haramain, Indonesia, Hal. 7-8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar