Renungan

Senin, 19 September 2011

Ghayatul Wushul (terjemahan & penjelasannya), pengertian syarat, hal.13

( وَالشَّرْطُ مَا يَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ الْعَدَمُ ) للمشروط ( وَلاَ يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِهِ وُجُوْدٌ وَلاَ عَدَمٌ ) له خرج بالقيد الأول المانع اذ لايلزم من عدمه شئ وبالثانى السبب اذ يلزم من وجوده الوجود وزاد الأصل ككثير فى تعريفه لذاته ليدخل الشرط المقارن للسبب فيلزم الوجود كوجود الحول الذى هو شرط لوجوب الزكاة مع النصاب الذى هو سبب للوجوب والمقارن للمانع كالدين على القول بأنه مانع من وجوب الزكاة فيلزم العدم فلزوم الوجود والعدم فى ذلك لوجود السبب والمانع لا لذات الشرط وحذفه لعدم الاحتياج اليه فيما ذكر اذ المقتضى للزوم الوجود والعدم انما هو السبب والمانع لا الشرط ثم هو عقلى كالحياة للعلم وشرعى كالطهارة للصلاة وعادى كنصب السلم لصعود السطح ولغوى كما فى أكرم فلانا ان جاء أى الجائى وسيأتى فى مبحث التخصيص وتعريفى هنا للشرط بما ذكر وان شمل اللغوى أنسب من تأخير الأصل له الى مبحث المخصص

(Dan syarat adalah sesuatu yang tidak adanya melazimkan tidak ada) bagi yang disyaratkan (dan tidak dari wujudnya melazimkan ada dan tidak juga melazimkan tidak ada) bagi yang disyaratkan.(1) Dengan qaid pertama, keluarlah al-maani’, karena tidak adanya tidak melazimkan apapun.(2) Dan dengan qaid kedua, mengeluarkan sebab, karena adanya melazimkan ada musabbab. Asal, sebagaimana halnya kebanyakan ulama melebihkan dalam devinisi syarat perkataan “lizatihi” supaya masuk syarat yang menyertai sebab bersamanya, dimana syarat ini melazimkan adanya yang disyaratkan, seperti wujud haul yang merupakan syarat wajib zakat bersamaan dengan adanya nisab yang merupakan sebab wajib zakat dan masuk syarat yang menyertai al-maani’ bersamanya, seperti hutang berdasarkan pendapat yang menyatakannya sebagai al-maani’ wajib zakat, dimana al-maani’ ini melazimkan tidak ada. Maka melazimkan ada dan tidak ada pada hal-hal itu adalah karena wujud sebab dan al-maani’ , bukan karena zat syarat. Membuangnya karena tidak diperlukannya pada masalah tersebut, karena yang mengakibatkan melazimkan ada dan tidak ada hanyalah sebab dan al-maani’, bukan syarat. Kemudian syarat itu ada yang ‘aqli(3) seperti hidup untuk mendengar, ada yang syar’i (4) seperti suci untuk shalat, ada ‘adiy(5) seperti mendirikan tangga untuk naik tempat yang tinggi dan ada yang lughawi(6) seperti perkataan “Aku memuliakan si pulan jika dia datang.” artinya yang datang. Pembahasan ini nantinya dalam pembahasan takhshis. Devisiku di sini adalah untuk syarat yang didevinisi dengan yang telah disebutkan, meskipun mencakup syarat lughawi, ia lebih sesuai dari pada diletakkan oleh Asal kepada pembahasan al-mukhashshish

Penjelasannya

(1). Contohnya suci merupakan syarat sah shalat, ia disebut syarat, karena tidak adanya melazimkan tidak ada shalat (tidak sah shalat), namun adanya suci belum tentu akan wujud shalat atau tidak wujudnya, karena ada orang bersuci yang tidak shalat dan mengerjakan ibadah lain dengan sucinya itu.

(2). Seperti haid pada perempuan yang menjadi maani’ shalat (penghalang shalat), dimana tidak ada haid pada perempuan tidak melazimkan wujud atau tidak wujud shalat.

(3). Hubungan syarat dan masyruth berdasarkan penetapan aqal

(4). Hubungan syarat dan masyruth berdasarkan penetapan syara’

(5). Hubungan syarat dan masyruth berdasarkan kejadian yang biasa terjadi

(6). Hubungan syarat dan masyruth berdasarkan qaidah lughat.

1 komentar: