Renungan

Senin, 17 Oktober 2011

Mandi dalam air yang tenang

-وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم لَا يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِي اَلْمَاءِ اَلدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ - أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَلِلْبُخَارِيِّ: - لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي اَلْمَاءِ اَلدَّائِمِ اَلَّذِي لَا يَجْرِي, ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ -.وَلِمُسْلِمٍ: "مِنْهُ" وَلِأَبِي دَاوُدَ: - وَلَا يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ اَلْجَنَابَةِ

Artinya : Dari Abu Hurairah r.a. beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda : “Janganlah salah seorang dari kalian mandi di air yang diam dalam keadaan junub.” (Dikeluarkan oleh Muslim). Dan menurut riwayat Bukhari : “Janganlah salah seorang dari kalian kencing di air yang diam yang tidak mengalir kemudian mandi di dalamnya”. Riwayat Muslim : “(mandi) darinya”. Dan riwayat Abu Daud : “Janganlah mandi di dalamnya karena janabah”[1]

Al-Ahkam

1. Imam al-Nawawi dalam Syarah Muslim dalam mensyarah hadits “Janganlah salah seorang dari kalian mandi di air yang diam dalam keadaan junub” mengatakan :

- Ulama dari kalangan Syafi’iyah berpendapat makruh mandi dalam air yang diam, baik sedikit maupun banyak dan demikian juga pada air yang mengalir

- Imam Syafi’i dalam al-Buwaithi mengatakan makruh atas orang yang berjunub mandi dalam sumur, baik sumur yang berbentuk mata air maupun yang tetap dan mandi dalam air yang diam yang tidak mengalir, baik sedikit maupun banyak

- Menurut kalangan Syafi’iyah, air tersebut tidak menjadi musta’mal apabila jumlah airnya sampai dua qullah, meskipun mandi di dalamnya orang ramai dalam waktu yang berulang-ulang. Adapun apabila tidak sampai dua qullah, apabila menyelam orang berjunub dengan tanpa niat dan manakala berada di dalam air melakukan niat, maka terangkatlah janabahnya dan kemudian jadilah air tersebut sebagai air musta’mal.[2]

2. Dalam mensyarah hadits “Janganlah salah seorang dari kalian kencing di air yang diam yang tidak mengalir kemudian mandi di dalamnya”, Ibnu Hajar al-Asqalany menjelaskan sebagai berikut :

- Sebagian ulama Hanafiyah menjadikan hadits ini sebagai dalil atas bernajisnya air musta’mal, karena kencing dapat menajiskan air, maka demikian juga mandi, karena kedua-duanya sama-sama dilarang dengan larangan haram. Karena itu, ditunjuki kepada najis pada dua hal tersebut.

- Pendapat di atas dibantah, bahwa dalalah iqtiran (disebut bersamaan) adalah dha’if. Seandainya pun diterima, maka tidak lazim sama pada hukumnya, karena larangan kencing supaya tidak bernajis air dan sedangkan larangan mandi supaya tidak menghilangkan sifat menyucikannya.

- Lafazh “fihi” pada hadits di atas, menunjukkan kepada larangan menyelam dalam air tersebut dengan nash dan larangan menyentuh air tersebut dengan cara istimbath. Sedangkan lafazh “minhu” menunjukkan sebaliknya.[3]


[1] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Juz. I, Hal. 24

[2] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, hal. 457

[3] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barri, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 375

Tidak ada komentar:

Posting Komentar