Renungan

Senin, 03 Oktober 2011

Meninggalkan shalat atau ibadah lainnya karena mendakwakan dirinya sudah menduduki maqam tertentu di hadapan Allah

Kaum muslimin sepakat bahwa shalat lima kali dalam sehari semalam adalah wajib ‘ain atas setiap mukallaf, baligh dan berakal. Kewajiban shalat ini termasuk dalam katagori maklum min ad-din bil dharurah (diketahui dengan mudah dari keterangan agama)[1], Oleh karena itu barangsiapa yang mengingkarinya dapat dianggap sebagai kafir. Dalil-dalil wajib shalat, antara lain :

1. Firman Allah :

Artnya : Dan Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. (Q.S. Al-Baqarah : 110)

2. Firman Allah :

Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.(Q.S. Al-Baqarah : 277)

2. Sabda Rasulullah SAW :

وقال ابن عباس: حدثني أبو سفيان في حديث هرقل فقال: يأمرنا - يعني النبي صلى الله عليه وسلم - بالصلاة والصدق والعفاف.

Artinya : Berkata Ibnu Abbas : telah mengabari kepadaku oleh Abu Sufyan pada hadits Heraqlu, beliau berkata : Nabi SAW memerintahkan kami shalat, sadaqah dan memelihara diri dari yang haram. (H.R. Bukhari)[2]

Namun demikian, ada sekelompok kecil orang yang mengaku dirinya sebagai umat Islam, meninggalkan shalat karena mendakwakan dirinya sudah menduduki maqam tertentu di hadapan Allah, sehingga dapat menggugurkan kewajiban shalat atasnya. Orang seperti ini menjadi kafir karena dakwaannya itu. Berikut keterangan ulama mengenai i’tiqad orang seperti ini, yakni antara lain :

1. Berkata Imam an-Nawawi :

“Jika meninggalkan shalat dengan sebab mengingkari kewajibannya, maka dia jadi kafir”.[3]

2. Berkata Al-Ghazali :

Barangsiapa yang mendakwakan bahwa dirinya dihadapan Allah ada suatu keadaan yang menggugurkan seumpama shalat atau haram seumpama minum khamar darinya, maka wajib dibunuh”. [4]

3. Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin berkata :

Barangsiapa yang berkata sesungguhnya hakikat menyalahi syari’at atau bathin bertentangan dengan dhahir, maka dia lebih dekat kepada kufur dibandingkan kepada iman”. [5]

4. Al-Qurthubi mengatakan :

Mereka mengatakan hukum syari’at ini yang bersifat umum, hanya berlaku atas orang-orang bodoh dan ‘awam. Adapun para aulia dan ahli khusus, mereka ini tidak memerlukan nash-nash itu. Telah datang kutipan perkataan mereka : “Mintalah fatwa kepada hatimu, meskipun telah difatwa oleh para mufti”. Mereka berargumentasi untuk ini dengan peristiwa al-Khizhir bahwa al-Khizhir dengan sebab ilmu-ilmu yang tajalli kepadanya tidak membutuhkan pemahaman-pemahaman yang ada pada Musa. Perkataan ini adalah zindiq dan kufur, dibunuh yang mengatakannya dan tidak diminta taubat serta tidak perlu dilakukan soal dan jawab. Karena darinya lazim ini hukum dan mengitsbat nabi sesudah Nabi Muhammad SAW. [6]



[1] . Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Mahalli, dicetak pada hamisy Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 110

[2] . Mushtafa Muhammad Imarah, Jawahir Bukhary, al-Haramain, Singapura, Hal. 92-93

[3] . Imam an-Nawawi, Minhaj at-Thalibin, dicetak pada hamisy Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 319

[4] .Al-Bakri Ad-Dimyathi, I’anah At-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 139

[5] . Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal.100

[6] Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Dar Alim al-Kutub, Riyadh, Juz. VII, Hal. 39

Tidak ada komentar:

Posting Komentar