Renungan

Rabu, 30 November 2011

Ulama Maroko dan Wahhabi Tuna Netra

Berikut saya tampilkan dialog menarik yang dicuplik dari buku “Buku Pintar Berdebat Dengan Wahhabi” Saya pikir ini menarik untuk dibaca dan dimengerti. Bahasanya lugas dan mengena. Semoga dapat memberi pencerahan buat mereka yang mendambakan kebenaran. Selamat menyimak :


Al-Hafizh Ahmad bin Muhammad bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani adalah ulama ahli hadits yang terakhir menyandang gelar al-hafizh (gelar kesarjanaan tertinggi dalam bidang ilmu hadits). Ia memiliki kisah perdebatan yang sangat menarik dengan kaum Wahhabi. Dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar, sebuah autobiografi yang melaporkan perjalanan hidupnya, beliau mencatat kisah berikut ini.

“Pada tahun 1356 H ketika saya menunaikan ibadah haji, saya berkumpul dengan tiga orang ulama Wahhabi di rumah Syaikh Abdullah al-Shani’ di Mekkah yang juga ulama Wahhabi dari Najd. Dalam pembicaraan itu, mereka menampilkan seolah-olah mereka ahli hadits, amaliahnya sesuai dengan hadits dan anti taklid. Tanpa terasa, pembicaraan pun masuk pada soal penetapan ketinggian tempat Allah subhanahu wa ta‘ala dan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala itu ada di atas ‘Arasy sesuai dengan ideologi Wahhabi. Mereka menyebutkan beberapa ayat al-Qur’an yang secara literal (zhahir) mengarah pada pengertian bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala itu ada di atas ‘Arasy sesuai keyakinan mereka.


Akhirnya saya (al-Ghumari) berkata kepada mereka: “Apakah ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi termasuk bagian dari al-Qur’an?” Wahhabi menjawab: “Ya.” Saya berkata: “Apakah meyakini apa yang menjadi maksud ayat-ayat tersebut dihukumi wajib?” Wahhabi menjawab: “Ya.” Saya berkata: “Bagaimana dengan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:

وَهُوَ مَعَكُمۡ أَيۡنَ مَا كُنتُمۡ‌ۚ

“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. al-Hadid : 4).


Apakah ini termasuk al-Qur’an?” Wahhabi tersebut menjawab: “Ya, termasuk al- Qur’an.” Saya berkata: “Bagaimana dengan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:

مَا يَڪُونُ مِن نَّجۡوَىٰ ثَلَـٰثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمۡ

Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya….” (QS. al-Mujadilah : 7).


Apakah ayat ini termasuk al-Qur’an juga?” Wahhabi itu menjawab: “Ya, termasuk al-Qur’an.” Saya berkata: “(Kedua ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit). Mengapa Anda menganggap ayat-ayat yang Anda sebutkan tadi yang menurut asumsi Anda menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit lebih utama untuk diyakini dari pada kedua ayat yang saya sebutkan yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit? Padahal kesemuanya juga dari Allah subhanahu wa ta‘ala?” Wahhabi itu menjawab: “Imam Ahmad mengatakan demikian.”

Saya berkata kepada mereka: “Mengapa kalian taklid kepada Ahmad dan tidak mengikuti dalil?” Tiga ulama Wahhabi itu pun terbungkam. Tak satu kalimat pun keluar dari mulut mereka.

Sebenarnya saya menunggu jawaban mereka, bahwa ayat-ayat yang saya sebutkan tadi harus dita’wil, sementara ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit tidak boleh dita’wil. Seandainya mereka menjawab demikian, tentu saja saya akan bertanya kepada mereka, siapa yang mewajibkan menta’wil ayat-ayat yang saya sebutkan dan melarang menta’wil ayat-ayat yang kalian sebutkan tadi?


Seandainya mereka mengklaim adanya ijma’ ulama yang mengharuskan menta’wil ayat-ayat yang saya sebutkan tadi, tentu saja saya akan menceritakan kepada mereka informasi beberapa ulama seperti al-Hafizh Ibn Hajar tentang ijma’ ulama salaf untuk tidak menta’wil semua ayat-ayat sifat dalam al-Qur’an, bahkan yang wajib harus mengikuti pendekatan tafwidh (menyerahkan pengertiannya kepada Allah subhanahu wa ta‘ala).” Demikian kisah al-Imam al- Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari dengan tiga ulama terhebat kaum Wahhabi.


(Sumber : https://jerman90.wordpress.com/2011/09/15/ulama-maroko-dan-wahhabi-tuna-netra/)

Senin, 28 November 2011

Cara menyucikan Kencing Anak Laki-Laki

-وَعَنْ أَبِي اَلسَّمْحِ - رضي الله عنه - قَالَ: قَالَ اَلنَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - - يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ اَلْجَارِيَةِ, وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ اَلْغُلَامِ - أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِم ُ

Artinya : Dari Abu al-Samh r.a., beliau berkata : Nabi SAW bersabda : “Dibasuh kencing anak perempuan dan dipercik kencing anak laki-laki”. (Dikeluarkan oleh Abu Daud, al-Nisa-i dan menshahihkannya oleh al-Hakim)[1]


Menurut keterangan Imam Nawawi dalam Syarah Muslim mengenai cara bersuci dari kencing anak kecil dijelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat tentangnya dalam tiga mazhab yang juga merupakan pendapat-pendapat yang muncul dikalangan ulama Syafi’iyah, yaitu sebagai berikut :

1. Pendapat yang shahih yang masyhur dan terpilih : memadai dipercik pada bersuci kencing anak laki-laki dan tidak memadai pada kencing anak perempuan. Pada anak perempuan wajib dibasuh seperti najis lainnya. (Dalil pendapat ini adalah dhahir hadits di atas. Pen.)

2. Memadai dipercik pada keduanya

3. Tidak memadai dipercik pada keduanya.


Diantara ulama yang berpendapat sebagaimana pendapat pertama adalah Ali bin Abi Thalib, ‘Itha’ bin Abu Rabah, Hasan Basri, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih, sekelompok Salaf, Ahli Hadits, Ibnu Wahab dari kalangan Malikiyah dan diriwayat Abu Hanifah juga berpendapat seperti ini. Ulama yang berpendapat wajib basuh keduanya antara lain : Abu Hanifah, Malik menurut pendapat yang masyhur dari beliau dan Ahli Kuffah.

Yang tersebut di atas merupakan khilaf mengenai cara menyucikan kencing anak laki-laki, sedangkan mengenai najisnya, para ulama tidak berbeda pendapat mengenainya. Karena itu, sebagian kalangan Syafi’iyah mengutip telah terjadi ijmak ulama atas najis kencing anak laki-laki dan tidak ada yang menyalahinya kecuali Daud Dhahiri. Adapun yang dihikayah Abu Hasan bin Bathal dan Qadhi ‘Iyadh dari Syafi’i dan lainnya bahwa mereka mengatakan kencing anak laki-laki adalah suci, karena itu maka dapat dipercik saja, maka hikayah ini adalah bathil secara pasti.

Catatan

Percik yang memadai di sini adalah apabila pada kencing anak laki-laki yang hanya minum susu ibunya. Adapun apabila anak laki-laki tersebut sudah makan makanan yang mengenyangkan, maka kencingnya itu wajib dibasuh tanpa khilaf. [2]



[1] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 28-29

[2] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 195

Minggu, 27 November 2011

Mengenai Kesucian Air Mani

-وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا, قَالَتْ: - كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَغْسِلُ اَلْمَنِيَّ, ثُمَّ يَخْرُجُ إِلَى اَلصَّلَاةِ فِي ذَلِكَ اَلثَّوْبِ, وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى أَثَرِ اَلْغُسْلِ فِيهِ - مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ وَلِمُسْلِمٍ: - لَقَدْ كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبٍ رَسُولِ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَرْكًا, فَيُصَلِّي فِيهِ -.وَفِي لَفْظٍ لَهُ: - لَقَدْ كُنْتُ أَحُكُّهُ يَابِسًا بِظُفُرِي مِنْ ثَوْبِهِ

Artinya : Dari Aisyah r.a., beliau berkata : Rasulullah SAW pernah mencucikan mani, kemudian keluar untuk shalat dengan memakai pakaian tersebut dan aku melihat bekas cuciannya (Muttafaqun ‘alaihi). Dalam riwayat Muslim : Sungguh aku pernah mengerik mani dari baju Rasulullah SAW, lalu beliau shalat dengan memakainya. Dan dalam lafazh Muslim juga : Sungguh aku mengeriknya dalam keadaan kering dengan kukuku dari baju beliau.[1]


Dalam Syarah Muslim, Imam Nawawi menjelaskan bahwa telah terjadi khilaf ulama mengenai kesucian air mani manusia, yaitu sebagai berikut :

1. Malik dan Abu Hanifah berpendapat kepada najis mani, kecuali Abu Hanifah dalam mensucikannya berpendapat memadai dengan mengeriknya saja apabila mani tersebut kering. Ini juga merupakan salah satu riwayat dari Ahmad. Sedangkan Malik berpendapat harus dengan membasuhnya, baik mani tersebut dalam keadaan basah maupun kering.

2. Al-Laits mengatakan mani manusia adalah najis dan shalat tidak sah dengan sebabnya.

3. Al-Hasan mengatakan shalat tidak sah apabila ada mani pada pakaian meskipun banyak dan sah apabila mani tersebut pada tubuh jika sedikit

4. Kebanyakan ulama berpendapat mani manusia adalah suci. Pendapat ini diriwayat dari Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu Umar, Aisyah, Daud dan Ahmad dalam salah satu riwayat yang lebih shahih darinya. Ini juga Mazhab Syafi’i dan Ahli Hadist.

5. Dikalangan ulama Syafi’iyah ada pendapat syaz (aneh) dan dha’if, yaitu mani perempuan najis, tidak najis mani laki-laki. Ada juga pendapat yang lebih dha’if lagi, yaitu mani perempuan dan laki-laki adalah najis


Catatan

Argumentasi yang dikemukakan oleh ulama yang berpendapat najis air mani manusia adalah hadits yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW membasuh air mani yang melekat pada baju beliau. Sedangkan argumentasi yang dikemukakan oleh ulama yang berpendapat suci air mani manusia adalah hadits yang menceritakan bahwa Rasulullah SAW memakai baju yang kena air mani untuk shalat, dimana Aisyah r.a. sebelumnya sudah mengerik mani tersebut. Jalan pendalilian hadits ini adalah apabila mani tersebut najis, maka tentu tidak memadai hanya dengan dikerik sebagaimana halnya darah dan lainnya. Adapun riwayat Rasulullah SAW membasuh mani dipertempatkan sebagai sunnat dan hanya untuk kebersihan saja.

Adapun mengenai hukum makan air mani yang suci ada dua pendapat. Pendapat yang kuat adalah tidak halal, karena ia masuk dalam katagori kelompok benda yang jorok yang diharamkan.

Adapun hukum mani hewan selain manusia terpilah dalam beberapa katagori, yaitu :

1. Mani anjing, babi dan hewan yang lahir dari perkawinan salah satunya dengan hewan suci. Katagori ini, maninya adalah najis tanpa khilaf

2. Yang selain katagori di atas, menurut pendapat yang lebih shahih, semuanya suci, baik yang dimakan dagingnya atau lainnya. Pendapat yang kedua najis. Pendapat ketiga, mani hewan yang dimakan adalah suci dan mani lainnya adalah najis.[2]



[1] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 28

[2] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 467