Renungan

Selasa, 01 November 2011

menghilangkan najis kencing yang ada di tanah

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ - رضي الله عنه - قَالَ: - جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ اَلْمَسْجِدِ, فَزَجَرَهُ اَلنَّاسُ, فَنَهَاهُمْ اَلنَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ اَلنَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ; فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ. - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Artinya : Dari Anas bin Malik r.a. beliau berkata : “Ada seorang Badui Arab datang, lalu kencing disalah satu bagian mesjid. Orang-orangpun menghardiknya, maka Nabi SAW pun melarang mereka. Ketika ia telah selesai kencing, Nabi SAW menyuruh membawa seember air, lalu diguyur ketempat yang dikencinginya.” (Muttafaqun ‘alaihi)[1]


Ibnu Hajar al-Asqalany menarik beberapa kesimpulan berdasarkan hadits di atas, antara lain :

1. Memelihara najis merupakan sikap yang telah melekat dalam jiwa para sahabat Nabi SAW, sehingga mereka tanpa menunggu, langsung saja mengingkari perbuatan Badui Arab tersebut tanpa terlebih dahulu minta izin pada Nabi SAW, padahal Nabi SAW hadir bersama mereka. Hal ini, juga karena telah melekat pada hati mereka ajaran amar ma’ruf dan nahi mungkar.

2. Boleh beramal dengan umum selama tidak nyata dalil yang mengkhususkannya. Ibnu Hajar mengutip perkataan Ibnu Daqiq al-‘Id :

Menurut pendapat yang dhahir, berpegang dengan dalil yang bersifat umum wajib pada ketika masih ihtimal (boleh jadi) ada dalil yang mengkhususkannya di sisi seorang mujtahid dan tidak wajib menahan diri dari beramal dengan umum, karena para ulama senantiasa berfatwa dengan dalil-dalil yang sampai kepada mereka tanpa menahan diri dari mengamalkannya demi membahas dalil-dalil yang mengkhususkannya.”

Karena itu, dalam kisah hadits di atas, Nabi SAW tidak mengingkari perbuatan sahabat, beliau tidak mengatakan kepada mereka : “Kenapa kalian larang Badui itu.” Tetapi beliau memerintah mereka untuk menahan diri dengan alasan kemaslahatan yang lebih zhahir, yaitu menolak mafsadah yang lebih besar dengan menanggung yang lebih ringan dan menghasilkan kemaslahatan yang lebih besar dengan meninggalkan kemaslahatan yang lebih kecil.

3. Disyariatkan supaya menyegerakan menghilangkan mafsadah pada ketika sudah hilang penghalangnya, karena Nabi SAW sendiri sebagaimana kisah pada hadits diatas, memerintah dengan segera mengguyur air pada ketika Badui Arab tersebut selesai buang air kecil.

4. Untuk menghilangkan najis hanya dapat dilakukan dengan air, karena kalau kering dengan tiupan angin atau panas matahari memadai untuk menghilangkan najis, maka tentu Nabi SAW tidak perlu membebani para sahabat dengan membawa ember air.

5. Apabila tanah yang disiram air tersebut suci, maka air yang masih melekat pada tanah tersebut juga suci dan suci juga air yang dipisah dari air yang melekat dengan tanah itu.[2]



[1] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Juz. I, Hal. 25

[2] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 348

Tidak ada komentar:

Posting Komentar