Renungan

Senin, 23 Januari 2012

Ikhtiyar pengikut Syafi’i (Fatwa Pengikut Syafi’i yang berbeda dengan imamnya, Syafi’i) dalam bidang Fiqh Oleh : Tgk Alizar Usman, S.Ag, M. Hum

A. Pengertian Ikhtiyar

Pengertian ikhtiyar (memilih) dalam tulisan ini adalah penetapan hukum yang merupakan hasil istinbath seseorang yang melakukan ikhtiyar berdasarkan dalil-dalil ushuliyah dengan cara ijtihad dan bukan karena menyandarkan kepada kutipan imam mazhabnya, sedangkan yang melakukan ikhtiyar ini adalah orang yang masih bernaung dalam suatu mazhab. Pengertian ini pada umumnya mencakup semua istilah ikhtiyar dalam kitab-kitab Syafi’iyah kecuali dalam kitab al-Raudhah karangan al-Nawawi. Ikhtiyar dalam al-Raudhah adalah bermakna al-Ashah (pendapat yang lebih shahih).[1]

Ikhtiyar yang berbeda dengan apa yang akui sebagai Mazhab Syafi’i yang menjadi pembahasan dalam tulisan ini terjadi adakalanya karena :

1. berdasarkan istinbathnya terhadap dalil-dalil sehingga melahirkan kesimpulan bahwa pendapat tersebut lebih rajih di sisinya

2. berdasarkan qiyas yang melahirkan kesimpulan yang berbeda dengan pendapat imamnya

3. ikhtiyar tersebut berdasarkan qaidah mazhabnya

4. mendasarkan kepada qaul qadim

5. berdasarkan dalil yang shahih, dimana Imam Syafi’i pernah mengatakan :

اذا صح الحديث فهو مذهبي

Artinya : Apabila shahih hadits, maka itu adalah mazhabku[2]


Ikhtiyar dengan pengertian di atas, menurut hemat kami termasuk dalam katagori ijtihad. Perbedaannya dengan ijtihad yang dilakukan oleh mujtahid mutlaq sekaliber imam mazhab empat dan yang setingkat dengan mereka dapat diperhatikan dari dua sisi, yaitu :

  1. Mujtahid mutlaq melakukan ijtihad secara istiqlal (mandiri), artinya berijtihad berdasarkan qawaid ijtihad yang merupakan hasil rumusan sendiri. Ijtihad dalam ikhtiyar ini tidak secara mandiri, tetapi mendasarkan kepada qawaid hasil rumusan imam mazhabnya, seperti al-Nawawi berijtihad berdasarkan qawaid ijtihad Imam Syafi’i. Dalam kajian mazhab, ulama yang melakukan ijtihad dengan mendasarkan kepada qawaid imam mazhabnya disebut sebagai mujtahid muntasib (dinisbah kepada imam mazhabnya). Dalam Mazhab Syafi’i, orangnya antara lain seperti al-Muzny)

b. Mujtahid mutlaq mempunyai kemampuan berijtihad dalam semua bidang fiqh tanpa pengecualian. Sedangkan ijtihad dalam bentuk ikhtiyar ini, umumnya hanya dilakukan dalam masalah tertentu dari masalah-masalah fiqh. Ijtihad hanya pada sebagian masalah ini dilakukan karena ulama tersebut mempunyai kemampuan ijtihad terbatas hanya dalam bidang tertentu saja. Dalam ushul fiqh, ijtihad seperti ini disebut dengan ijtihad juz’i. Sehingga tidak heran, ulama sekaliber al-Nawawi dan al-Suyuthi meskipun mempunyai ijtihad sendiri dalam masalah tertentu, namun pada umumnya, kedua beliau ini tetap berpegang dengan Mazhab Syafi’i.

Para ulama ushul berbeda pendapat mengenai kebolehan melakukan ijtihad juz’i ini. Al-Subki telah mentarjihkan pendapat yang mengatakan boleh ijtihad juz’i.[3] Zakariya al-Anshari yang datang kemudian, mengikuti tarjih al-Subki di atas dalam kitab beliau, Ghayatul Wushul. [4]

B. Contoh-Contoh Ikhtiyar dalam Mazhab Syafi’i

Berikut contoh-contoh ikhtiyar pengikut Syafi’i yang berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i sendiri, antara lain :

1). Air apabila jatuh najis dalamnya, hukumnya tidak bernajis secara mutlaq, baik air itu sedikit maupun banyak kecuali apabila berubah menurut Malik dan Mazhab Zhahiri. Syafi’i mengatakan apabila air tersebut sedikit, maka hukumnya adalah bernajis, meskipun tidak berubah.[5] Dalam Ihya, Al-Ghazali (salah seorang mujtahid mazhab dalam Mazhab Syafi’i) setelah menyebut pendapat Syafi’i sebagaimana disebut di atas, beliau lebih memilih pendapat Malik. Ini dapat diperhatikan pada perkataan beliau :

“Saya lebih menyenangi mazhab Syafi’i seperti Mazhab Malik r.a. , sesungguhnya air itu, meskipun sedikit tidak bernajis kecuali karena berubah”.


Disamping sejumlah dalil-dalil yang beliau kemukakan, kesukaran mengamalkan Mazhab Syafi’i juga merupakan alasan mengapa beliau memilih pendapat Malik di atas.[6]

2). Dalam Mazhab Syafi’i, wajib muqaranah (menyertai) niat dengan takbiratul ihram. Muqarah tersebut dilakukan dengan memunculkan gambaran shalat dengan segala rukunnya secara tafshil dan lainnya (yang wajib didatangkan) dalam pikiran mulai dari membaca awal takbiratul ihram sampai kepada ‘ra’. Ini disebut sebagai al-muqaranah al-hakiki dan al-istihzhar al-hakiki.[7] Namun Imam Haramain dan al-Ghazali, dengan alasan bahwa pendapat di atas sukar diamalkan, memilih pendapat yang mengatakan memadai al-istihzhar al-urfiah dan al-muqaranah al-‘urfiah, yaitu memunculkan gambaran shalat secara global dan lainnya (yang wajib didatangkan) dalam pikiran dan di-muqaranah-kan dalam salah satu juzu’ takbiratul ihram.[8]

3). Berkata Imam Mazhab Syafi’i :

Tidak boleh mengeluarkan zakat dari baladnya, sedangkan dalam balad tersebut ada yang berhak atas zakat itu. Nabi SAW bersabda kepada Mu’az bin Jabal r.a. pada ketika beliau mengutusnya:

فَإِنْ أَجَابُوكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ .

Artinya : Apabila mereka menerimamu, maka ajarkanlah bahwa atas mereka shadaqah yang diambil dari orang-orang kaya mereka, kemudian diberikan kepada fakir miskin mereka[9]


Ahmad bin Musa, Syaikh Abu Ishaq, Syaikh Yahya bin Abu al-Khair dan lainnya dari kalangan tokoh Syafi’iyah telah memberi fatwa yang berbeda dengan pendapat Syafi’i di atas. Beliau-beliau ini memberi fatwa dalam bab zakat sesuai dengan Mazhab Hanafi, yaitu boleh memindah zakat dari balad, memberi zakat hanya kepada satu senif dan kepada hanya satu orang. [10]

4). Yang masyhur dalam Mazhab Syafi’i, jual beli dengan mu’athah (jual beli tanpa ijab dan qabul) tidak sah sebagai jual beli.[11] Namun al-Nawawi, al-Mutawally dan al-Baghwi memilih sah jual beli tersebut pada setiap yang dianggap sebagai jual beli oleh manusia, karena tidak ada ketentuan persyaratan lafazh, maka dikembalikan kepada ’uruf. Ibnu Suraij dan al-Ruyani mengkhususkan kebolehan jual beli secara mu’athah hanya pada muhaqqaraat (suatu yang kecil) yang berlaku kebiasaan jual beli padanya secara mu’athah seperti satu rithal roti.[12]

Namun demikian, dihikayah dari Ibnu Suraij bahwa bagi Syafi’i mempunyai qaul lain yaitu yang menyatakan sah jual beli secara mu’athah benda-benda kecil, namun tidak masyhur darinya[13]

5). Dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, al-Nawawi menjelaskan telah terjadi khilaf dalam menghikayahkan qaul Syafi’i mengenai tata cara menghilangkan najis babi. Thariq (jalur) pertama ada dua qaul, yaitu pertama memadai membasuh satu kali dengan tanpa tanah seperti membasuh najis lainnya dan qaul kedua wajib membasuh tujuh kali dengan disertai tanah. Sedangkan thariq kedua, Syafi’i hanya mengatakan wajib membasuh tujuh kali dengan dengan disertai tanah. Thariq kedua ini merupakan thariq yang dipegang oleh jumhur ulama Syafi’iyah. Ini merupakan pembahasan dari aspek riwayat mazhab, namun dari aspek pendalilian, al-Nawawi berpendapat lain, beliau berkata :

Ketahuilah bahwa pendapat yang rajih dari sudut pandang dalil adalah memadai membasuh satu kali dengan tanpa tanah. Pendapat ini telah dikatakan oleh kebanyakan ulama yang berpendapat najis babi. Ini merupakan pendapat yang terpilih, karena yang menjadi asal adalah tidak wajib sehingga datang syara’ yang menjelaskannya, lebih-lebih lagi masalah ini dibangun atas ta’abudi (sesuatu yang tidak dapat dirasionalkan)[14]


Adapun dalil Imam Syafi’i berpendapat bahwa najis babi tidak suci kecuali dengan dibasuh tujuh kali dengan disertai tanah adalah dengan diqiyas kepada anjing. Karena babi lebih keji dari anjing dalam dua hal, yaitu pertama najis babi dijelaskan dengan nash al-Qur’an, yaitu :

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

Artinya : .Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu najis - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.”(Q.S. al-An’am : 145)


Sedangkan najis anjing dengan cara istidlal (pendalilian). Kedua keharaman memanfa’atkan babi secara umum, sedangkan anjing hanya secara khusus.[15]

6). Al-Syafi’i berpendapat bahwa suami tidak boleh berlezat-lezat dengan bagian tubuh isterinya yang ada di antara pusar dan lutut.[16] Qaul ini merupakan qaul yang dinash oleh Syafi’i dalam al-Um, al-Buwaithi dan Ahkam al-Qur’an.[17] Abu Ishaq al-Maruzy mengatakan boleh suami berlezat-lezat dengan bagian tubuh isterinya yang ada di antara pusar dan lutut. Melihat dari aspek dalil, al-Nawawi lebih memilih pendapat ini dengan beralasan kepada hadits Anas yang secara sharih menjelaskan kebolehannya. Sedangkan mubasyarah (bersentuhan kulit) Nabi SAW di atas kain sarungnya diposisikan kepada sunnat, karena mengkompromikan antara perkataan dan perbuatan Nabi SAW.[18]

Perkataan Nabi SAW tersebut yaitu hadits riwayat dari Anas :

اصْنَعُوا كُلَّ شَىْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ

Artinya : Lakukan apa saja kecuali nikah (bersetubuh)(H.R. Muslim)[19]


Dalam riwayat Ibnu Majah berbunyi :

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ : اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ الْجِمَاعَ.

Artinya : Bersabda Rasulullah SAW, lakukan apa saja kecuali bersetubuh (H.R. Ibnu Majah) [20]


Sedangkan Perbuatan Nabi SAW adalah hadits riwayat dari Maimunah :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُبَاشِرُ نِسَاءَهُ فَوْقَ الإِزَارِ وَهُنَّ حُيَّضٌ

Artinya : Rasulullah SAW senantiasa mubasyarah dengan isteri-isterinya di atas kain sarung. Sedangkan mereka dalam keadaan berhaidh.(H.R. Muslim)[21]


7). Menurut pendapat Imam Syafi’i yang dinash dalam kitab al-Um, Shalat Jum’at wajib dan sah apabila cukup bilangannya, yaitu empat puluh orang.[22] Pendapat Syafi’i ini berdasarkan dalil antara lain hadits riwayat Abdurrahman bin Ka’ab bin Malik dari bapaknya Ka’ab bin Malik,

أنه كان إذا سمع النداء يوم الجمعة ترحم على أسعد بن زرارة فقلت له إذا سمعت النداء ترحمت لأسعد قال لأنه أول من جمّع بنا في هزم النَبيتِ من حَرّة بني بَياضةَ في نَقيع يقال له نقيع الخَضِمات قلت له كم كنتم يومئذ قال أربعون

Artinya : Sesungguhnya Ka’ab bin Malik apabila mendengar azan pada hari Jum’at, mendo’akan rahmat untuk As’ad bin Zararah. Karena itu, aku bertanya kepadanya : “Apabila mendengar azan, mengapa engkau mendo’akan rahmat untuk As’ad ? Ka’ab bin Zararah menjawab : “As’ad adalah orang pertama yang mengumpulkan kami shalat Jum’at di sebuah perkebunan di Desa Hurah Bani Bayadhah pada sebuah lembah yang disebut dengan Naqi’ al-Khashimaat. Aku bertanya padanya : “Kalian berapa orang pada saat itu ?” Beliau menjawab : “Empat puluh orang.” (H.R. Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim. Berkata Baihaqi : hadits hasan dengan isnad sahih)[23]


Namun demikian al-Suyuthi, salah seorang ulama Syafi’iyah yang termasuk dalam golongan muta-akhirin berpendapat lain. Beliau berpendapat sah dan wajib shalat Jum’at dengan bilangan empat orang, salah satunya imam. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, al-Tsury, al-Laits, al-Auza’i, Abu Tsur, Muhammad dan al-Muzni. Menurut pengarang al-Talkhis dan Syarah al-Muhazzab, ini juga merupakan qaul qadim Syafi’i. Pada ujung penjelasan ini dalam kitab al-Hawy al-Fatawa, al-Suyuthi mengatakan :

Pendapat tersebut adalah pilihanku”.[24]


Dalam al-Hawi al-Fatawa, al-Suyuthi telah menyebut argumentasi pendapat ini secara panjang lebar. Argumentasi yang beliau kemukakan adalah hadits-hadits riwayat Darulquthni yang semuanya adalah dha’if. Menurut beliau, hadits-hadits tersebut meskipun dha’if, namun karena datang dari jalur yang berbeda, maka sebagian hadits tersebut menguatkan yang lain.[25] Adapun hadits tersebut antara lain :

الجمعة واجبة على كل قرية وإن لم يكن فيها إلا أربعة

Artinya : Jum’at wajib atas setiap penduduk qaryah, meskipun tidak ada padanya kecuali empat orang (H.R. Darulquthni, beliau mengatakan : Ini tidak sah dari al-Zuhry)[26]


8). Menurut Imam Syafi’i jumlah raka’at tarawih adalah dua puluh raka’at. Dalam al-Hawi al-Kabir disebutkan :

“Syafi’i r.a. mengatakan, aku melihat mereka melaksanakannya di Madinah dengan tiga puluh sembilan raka’at. Tetapi aku lebih menyukai dua puluh raka’at, karena itu telah diriwayat dari ‘Umar bin Khatab r.a. dan penduduk Makkah juga melaksanakan seperti itu dan melakukan witir tiga raka’at.”[27]


Namun al-Suyuthi berpendapat lain, Beliau mengatakan dalam kitabnya, al-Hawi lil Fatawa :

Alhasil bahwa dua puluh raka’at tidak itsbat (positif) dari perbuatan Nabi SAW. Apa yang dikutip dari Ibnu Hibban sesuai dengan pendapat kami dengan berpegang kepada hadits riwayat Bukhari dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW tidak melebihi pada Ramadhan dan lainnya atas sebelas raka’at. Keterangan ini sesuai dengan keterangan Ibnu Hubban dari sisi Nabi SAW bahwa beliau melakukan Shalat Tarawih delapan raka’at kemudian witir dengan tiga raka’at, maka jumlahnya sebelas raka’at.[28]


Pendapat ini juga didukung oleh riwayat Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Sa-ib bin Yazid, beliau berkata :

أمر عمر بن الخطاب أبي بن كعب وتميما الداري أن يقوما للناس بإحدى عشرة ركعة قال وقد كان القارئ يقرأ بالمئين حتى كنا نعتمد على العصي من طول القيام وما كنا ننصرف إلا في فروع الفجر

Artinya : Umar bin Khatab telah memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim ad-Dary agar shalat dengan manusia dengan sebelas raka’at. Dia (perawi) berkata: "Ada imam yang membaca 200 ayat sampai kami bersandar di atas tongkat karena lamanya berdiri dan kami tidak selesai kecuali pada saat terbitnya fajar (H.R. Malik) [29]


9). Apabila pemilik tanah bekerja sama dengan seorang pekerja atau lebih dalam menggarap tanahnya menanam tanaman muda, sedangkan benihnya juga dari pemilik tanah, maka mu’amalah ini disebut muzara’ah. Adapun apabila benihnya berasal dari sipekerja, maka disebut mukhabarah.[30] Kedua akad ini dalam Mazhab Syafi’i merupakan akad yang tidak sah.[31] Ketentuan ini berdasarkan larangan yang disebut dalam hadits shahih, yaitu :

a. Hadits dari ’Itha’, mendengar Jabir bin Abdullah r.a. berkata :

نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنِ الْمُخَابَرَةِ

Artinya : Nabi SAW telah melarang akad mukhabarah (H.R. Bukhari)[32]


b. Hadits ;

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ الْمُزَارَعَةِ

Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang akad muzara’ah (H.R. Muslim)[33]


Makna larangan ini adalah memungkinkan didapati manfa’at bumi dengan cara akat sewa, maka tidak boleh bermu’amalah pada bumi dengan imbalan sebagian hasil darinya, hal ini sama dengan ternak. Berbeda halnya dengan tanaman tua, maka dibolehkan akad musaqah karena ada kebutuhannya.[34]

Ibnu Subki, al-Nawawi dan satu jama’ah lain mengatakan sah akad keduanya. Mereka ini mengatakan bahwa kedua akad ini telah dilakukan Umar dan penduduk Madinah.[35]

10). Wali merupakan salah satu rukun nikah. Dalam Mazhab Syafi’i seorang wali nikah disyaratkan bersifat ’adil. Dengan demikian, dalam pernikahan tidak ada wilayah bagi sifasiq.[36] Ketetapan ini berdasarkan hadits Nabi SAW :

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ مُرْشِدٍ

Artinya : Tidak ada nikah kecuali dengan wali yang adil (H.R. Baihaqi)[37]


Hadits ini telah diriwayat oleh Syafi’i dalam musnadnya dengan sanad yang shahih[38]

Al-Nawawi, Ibnu Shalah dan al-Subky memilih pendapat al-Ghazali, yaitu wali yang fasiq tetap dapat menjadi wali nikah kalau mengakibatkan berpindah hak wilayahnya kepada hakim fasiq[39]

11). Islam mensyaratkan adanya saksi dalam beberapa akad dan perkara lainnya, seperti nikah, wujud hilal untuk penentuan awal Ramadhan dan lain-lain. Mazhab Syafi’i mensyaratkan saksi tersebut harus mempunyai sifat ‘adil. Oleh karena itu, tidak sah kesaksian seorang yang fasiq.[40] Dalil pendapat ini adalah Q.S. al-Thalaq : 2, yaitu :

وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ

Artinya : Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu (Q.S. al-Thalaq : 2)


Al-Azra’i, al-Ghazy dan lainnya memilih pendapat sebagian ulama Malikiyah dengan mengatakan apabila tidak wujud saksi yang adil dan sudah umum kefasikan, maka hakim boleh memutuskan hukum dengan kesaksian al-amtsal-fa al-amtsal (yang lebih ringan fasiqnya dibanding lainnya) karena faktor dharurat. Ikhtiyar ini ditolak oleh Izzuddin Abdussalam, beliau berargumentasi, kemaslahatannya hanya kepada pihak yang diuntungkan dengan sebab kesaksiannya. Sebaliknya akan muncul mafsadah apabila kesaksian tersebut merugikan pihak-pihak. Maka di sini munculnya pertentangan antara kemashlahatan dan mafsadah.[41]

12). Yang menjadi Mazhab Syafi’i, apabila ahli waris, baik laki-laki maupun perempuan tidak ada sama sekali adalah dzawil-arham tidak dapat mewarisinya, tetapi semua harta warisan tersebut diserahkan untuk baitulmaal. Demikian juga apabila harta warisan tidak habis dibagi kepada ahli al-fardh (yang mendapat harta warisan dalam ukuran yang sudah ditentukan), yang menjadi Mazhab Syafi’i adalah harta warisan tersebut tidak dapat di-radd (dikembalikan) kepada ahli al-Fardh, tetapi sisa warisan tersebut diserahkan kepada baitulmaal. Namun demikian, al-Muzni dan Ibnu Suraij berpendapat beda, beliau mengatakan pada masalah pertama, bahwa harta warisan tersebut diwarisi oleh dzawil arham dan pada masalah kedua, sisa warisan tersebut dikembalikan kepada ahli al-fardh selain suami dan isteri.[42]

Dzawil arham adalah yang tidak mempunyai bagian warisan tertentu dan tidak juga dengan jalan ‘ashabah, jumlahnya sepuluh orang yaitu ayah ibu dan kakek dan nenek yang gugur dari warisan, anak dari anak perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki, anak dari saudara perempuan, anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, paman (saudara ayah) seibu, anak perempuan paman, bibi pihak ayah, paman pihak ibu dan bibi pihak ibu serta yang berhubungan dengan masing-masing mereka tersebut di atas.[43]

Dalam menguatkan Mazhab Syafi’i pada masalah pertama di atas, ‘Umairah menyebut dalilnya, antara lain :

  1. kewarisan zawil arham tidak disebut dalam al-Qur’an
  2. Nabi SAW pernah berkenderaan berangkat ke Quba’ memohon kepada Allah perihal bibi pihak ayah dan bibi pihak ibu. Maka Allah menurunkan bahwa tidak warisan bagi keduanya. Hadits ini diriwayat oleh Abu Daud secara mursal. Namun hadits ini tetap menjadi hujjah karena datang hadits ini secara bersambung sanadnya dari jalur lain.
  3. kalau dzawil arham mendapatkan warisan, maka para mantan tuannya yang memerdekakannya (kalau dia pernah menjadi hamba sahaya) tidak akan didahului atas mereka.

Sedangkan dalil Mazhab Syafi’i pada masalah kedua, Umairah mengambil contoh apabila simati tidak meninggalkan ayah dan anak, maka seorang saudara perempuan mendapatkan setengah dari warisan, berdasarkan firman Allah SWT :

فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ

Artinya : Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya (Q.S. al-Nisa’ : 176)


Maka bagaimana saudara perempuan dapat mengambil semuanya.[44]

13). Syafi’i berpendapat harta seseorang yang belum baligh dan al-rasyid, maka di-al-hajr. (tidak diserah kepadanya, tetapi ditahan pada tangan walinya) Pengertian al-rasyid adalah shilah al-din wa shilah al-maal (cakap pada agama dan cakap menjaga harta)[45] Dalil pendapat ini adalah :

إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ

Artinya : Anak yatim itu jika telah sampai cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah rusyd (cakap pada agama dan cakap menjaga harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. (Q.S. al-Nisa’ : 6)


Al-Mawardi mengatakan :

Pada ’Uruf, al-Rusyd bermakna shilah al-din wa shilah al-maal”[46]


Mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali berpendapat al-rusyd adalah shilah al-maal saja. Ibnu Abdussalam lebih cenderung kepada pendapat ini. Al-‘Imrany, Ibnu ‘Ajil, al-Hazramy dan al-Azraq telah berfatwa dengannya.[47] Yang berpendapat dengan pendapat ini mengatakan bahwa perkataan “rusyd” pada ayat di atas adalah nakirah pada siyaq al-itsbat, maka tidak bermakna umum.[48]

14).Al-Mufakhazah atau al-Munatsarah adalah penyerahan sebidang tanah mati kepada seseorang untuk dihidupkannya dan mengolahnya sehingga tanah tersebut layak ditanam dengan imbalan sebagian dari tanah tersebut. Orang-orang Hazhramaut telah mengamalkannya berdasarkan fatwa`ulama mereka (Hazhramaut terkenal sebagai penganut Mazhab Syafi’i pada zamannya) dengan mengqiyaskan kepada ikhtiyar kebolehan akad al-Mukhabarah.[49] Akad ini sebagaimana akad al-Mukhabarah yang telah dijelaskan hukumnya sebelum ini, tidak dikenal dalam Mazhab Syafi’i. Alwi bin Ahmad al-Saqaf, dalam kitab Fawaid al-Makkiyah telah memasukkan kebolehan akad al-Mufakhazah atau al-Munatsarah ini sebagai ikhtiyar sebagian pengikut Syafi’i.[50]

15). Berkata Imam al-Nawawi :

“Tidak makruh sikat gigi pada setiap keadaan atas seseorang kecuali atas orang yang berpuasa setelah tergelincir matahari. Maka atas yang berpuasa, makruh sikat gigi setelah tergelincir matahari. Pendapat ini telah di-nash-kan oleh Syafi’i dalam al-Um dan dalam Kitab Puasa dari Mukhtashar al-Muzny dan lainnya.”[51]


Dalil fatwa ini adalah hadits Nabi SAW :

والذي نفس محمد بيده لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك.

Artinya : Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut tidak enak orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada bau minyak kasturi. (Bukhari [52] dan Musllim [53] )


An-Nawawi mengatakan :

“Ashab kita (ulama Syafi’iyah) telah menjadikan hadits ini sebagai dalil makruh bersiwak sesudah tergelincir matahari bagi orang yang berpuasa, karena hal itu dapat menghilangkan bau mulut dengan ini sifat dan keutamaannya. Meskipun bersiwak juga utama, tetapi bau mulut orang berpuasa lebih utama”. [54]


Namun demikian, Imam an-Nawawi sendiri, seorang ulama mujtahid tarjih dalam Mazhab Syafi’i telah memilih pendapat yang berbeda dengan Mazhab Syafi,i, mazhab yang dianutnya sendiri, mengenai hukum sikat gigi pada saat tergelincir matahari bagi orang yang berpuasa. Beliau berpendapat tidak makruh sikat gigi bagi orang orang puasa, baik sebelum atau sesudah tergelincir matahari.[55]



[1] Alwi bin Ahmad al-Saqaf, Fawaid al-Makkiyah, dicetak dalam Sab’ah al-Kutub al-Mufidah, Usaha Keluarga, Semarang, Hal.50

[2] Alwi bin Ahmad al-Saqaf, Fawaid al-Makkiyah, dicetak dalam Sab’ah al-Kutub al-Mufidah, Usaha Keluarga, Semarang, Hal.70

[3] Al-Subki, Jam’ul Jawami’, dicetak bersama Syarahnya dalam Hasyiah al-Banany ‘ala Syarah Jamul Jawami’, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 386

[4] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 148

[5] Ibnu Rusd, Bidayah al-Mujtahid, Usaha Keluarga, Semarang, Juz. I, Hal. 17

[6] Al-Ghazali, Ihya-u al-Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, hal. 128-129. Lihat juga Alwi bin Ahmad al-Saqaf, Fawaid al-Makkiyah, dicetak dalam Sab’ah al-Kutub al-Mufidah, Usaha Keluarga, Semarang, Hal.70

[7] Zainuddin al-Malibary dan Abu Bakar al-Damyathi, Fath al-Mu’in dan Hasyiahnya, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 130-131

[8] Zainuddin al-Malibary dan Abu Bakar al-Damyathi, Fath al-Mu’in dan Hasyiahnya, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 131. Lihat juga Alwi bin Ahmad al-Saqaf, Fawaid al-Makkiyah, dicetak dalam Sab’ah al-Kutub al-Mufidah, Usaha Keluarga, Semarang, Hal.70

[9] Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Maktabah Syamilah, Juz. VIII, Hal. 1217 dan al-Syafi’i, al-Um, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 83

[10] Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 75-76. Lihat juga Alwi bin Ahmad al-Saqaf, Fawaid al-Makkiyah, dicetak dalam Sab’ah al-Kutub al-Mufidah, Usaha Keluarga, Semarang, Hal.70.

[11] Al-Rafi’i, Syarh al-Kabir, Maktabah Syamilah, Juz. VIII, Hal. 99

[12] Zakariya al-Anshari, Asnaa al-Mathalib, Maktabah Syamilah, Juz. VII, 372. Lihat juga : Khatib Syarbaini Mughni, Maktabah Syamilah, Juz VI, Hal. 217-218

[13] Abu Hasan al-’Imrany al-Syafi’i al-Yamani, Bayan fi Mazhab Syafi’i, Dar al-Minhaj, Juz. VI, Hal. 13

[14] Al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 586

[15] Al-Mawardi, al-Hawy al-Kabir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 617

[16] Al-Syafi’i, al-Um, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 94

[17] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazab, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 362

[18] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazab, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 363

[19] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 169, No. Hadits : 720

[20] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 410, No. Hadits : 644

[21] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 167, No. Hadits : 707

[22] Syafi’i, al-Um, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 190

[23] Ibnu Mulaqqan, Tuhfah al-Muhtaj ila adallah al-Minhaj, Juz. I, Hal. 494. Lihat juga Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Dar al-Baz, Makkah, Juz. III, Hal. 177, No. Hadits : 5396

[24] Al-Suyuthi, al-Hawy lil Fatawa, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 66

[25] Al-Suyuthi, al-Hawy lil Fatawa, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 67

[26] Darulquthni, Sunan Darulquthni, Maktabah Syamilah, Juz. II, hal. 7, No. Hadits 1

[27] Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 290

[28] As-Suyuthi, al-Hawy lil Fatawa, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 349

[29] Imam Malik, al-Muwatha’, Dar Ihya al-Turatsi Al-Araby, Mesir, Juz. I, Hal. 115, No. Hadits : 251

[30] Zainuddin al-Malibary, Fathul Mu’in , dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 126

[31] Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 872 dan al-Syafi’i, al-Um, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 12

[32] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 151, No. Hadits : 151

[33] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 24, No. Hadits : 4037

[34] Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 126

[35] Zainuddin al-Malibary dan al-Bakri al-Dimyathy, Fathul Mu’in dan Hasyiahnya, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 126

[36] Zainuddin al-Malibary, Fathul Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 305

[37] Baihaqi, Sunan Baihaqi, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 112, No. Hadits : 14021

[38] Khatib Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Maktabah Syamilah, Juz. XII, Hal. 157

[39] Zainuddin al-Malibary, Fathul Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 305-306

[40] Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. XVII, Hal. 148

[41] Zainuddin al-Malibary dan al-Bakri al-Dimyathy, Fathul Mu’in dan Hasyiahnya, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 278

[42] Al-Jalaluddin al-Mahalli, Syarh al-Mahalli, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. III, Hal. 137

[43] Al-Jalaluddin al-Mahalli, Syarh al-Mahalli, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. III, Hal. 138

[44] Umairah, Hasyiah ‘Umairah, dicetak dalam Hasyiah Qalyubi wa ‘Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. III, Hal. 137

[45] Al-Mawardi, al-Hawi al-KJabir, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 765

[46] Al-Mawardi, al-Hawi al-KJabir, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 766

[47] Abdurrahman Ba’lawy, Bughyatul Murtasyidin, Maktabah Syamilah, Hal. 286

[48] Khatib Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Maktabah Syamilah, Juz. VIII, Hal. 37

[49] Abdurrahman Ba’lawy, Bughyatul Murtasyidin, Maktabah Syamilah, Hal. 339-340

[50]Alwi bin Ahmad al-Saqaf, Fawaid al-Makkiyah, dicetak dalam Sab’ah al-Kutub al-Mufidah, Usaha Keluarga, Semarang, Hal.70

[51] Al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 275

[52] Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. III, Hal. 26, No. Hadits : 1904

[53] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 806, No. Hadits : 1151

[54] Imam an-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya at-Turatsi al-Araby, beirut, Juz. VIII, Hal. 30

[55] Ibnu Qasim al-Ghazy, Fath al-Qarib, dicetak pada hamisy Hasyiah al-Bajury, al-Haramain, Juz. I, Hal. 44

Tidak ada komentar:

Posting Komentar