Renungan

Jumat, 10 Februari 2012

Qiyas pada Ibadah, oleh Tgk Alizar Usman, S.Ag. M. Hum


Salah satu doktrin yang sangat sering muncul dalam dakwah sebagian umat Islam dewasa ini adalah “tidak ada qiyas dalam ibadah”, bahkan pernyataan tersebut seperti sudah dianggap sebagai sebuah qaidah yang baku yang tidak dapat dibantah lagi. Yang lebih parah lagi, dengan pernyataan tersebut, mereka menuduh golongan mayoritas muslim lainnya yang tidak sesuai dengan paham mereka sebagai pelaku bid’ah yang sesat. Untuk itu, penulis berkeinginan membahas masalah ini dengan merujuk kepada keterangan-keterangan para ulama Islam yang tidak diragukan lagi keilmuannya dan tentunya dengan mengikutinya dengan argumentasi-argumentasi yang diakui dalam Islam.
Qiyas dan kedudukannya dalam penetapan hukum
Qiyas adalah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang sudah ada nashnya karena adanya persamaan ‘illat hukumnya dari kedua peristiwa itu. Misalnya, penetapan padi sebagai jenis riba karena dipersamakan hukumnya dengan hukum gandum, karena persamaan ‘illatnya, yaitu sama-sama jenis makanan. Sedangkan gandum dihukum sebagai jenis riba berdasarkan sabda Nabi SAW :
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
Artinya : Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, hendaklah sama banyaknya dan tunai. Apabila berlainan jenisnya, maka juallah sekehendak hatimu asal dengan jalan tunai (H.R. Muslim)[1]

Para ulama (kecuali kelompok syaz/ganjil) berpendapat bahwa qiyas dengan syarat-syaratnya merupakan salah satu sumber hukum dalam Islam dengan argumentasi, antara lain :
1. Firman Allah Q.S. al-Nisa’ : 59, berbunyi :
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
Artinya : Apabila kamu berbeda pendapat tentang suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (al-Sunnah) (Q.S. al-Nisa’ :59)

Dalam ayat di atas diperintahkan apabila terjadi perselisihan pendapat mengenai suatu hukum terhadap suatu peristiwa supaya dikembalikan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Cara mengembalikan ini dengan merujuk kepada nash-nash dari al-Qur’an dan al-Sunnah apabila ada nash yang jelas menerangkannya, sehingga dengan sebab itu dapat menghilangkan perbedaan tersebut. Namun apabila terjadi perbedaan pendapat tersebut justru terjadi karena berbeda pendapat dalam memahami nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah, karena tidak ada nash yang jelas yang dapat menghilangkan perbedaan pendapat itu, maka tentunya, cara mengembalikan kepada nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah adalah dengan cara menyamakan hukum peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum peristiwa yang ada nashnya. Tindakan penyamaan ini disebut dengan qiyas dalam istilah ushul fiqh.
2. Rasululah SAW sendiri memerintah seseorang untuk membayar haji nazar ibunya yang sudah meninggal dunia dengan berargumentasi, diqiyaskan kepada kewajiban membayar hutang ibunya yang sudah meninggal dunia. Kasus tersebut dapat disimak dalam hadits dari Ibnu Abbas, beliau berkata :
أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ
Artinya : Seorang perempuan dari Juhainah, menghadap Rasulullah SAW seraya berkata : “Sesungguhnya ibuku pernah bernazar melakukan haji, tetapi dia tidak sempat melakukannya sehingga dia meninggal dunia, apakah aku dapat melakukan haji untuknya ?” Rasulullah SAW menjawab : “Ya, lakukan haji untuknya. Tahukah kamu, seandainya ibumu mempunyai hutang, apakah kamu melunasinya ?. Tunaikanlah hutang-hutang Allah, sebab hutang Allah lebih patut dipenuhi (H.R. Bukhari)[2]

Kehujjahan qiyas pada ibadah
Apabila kita menerima qiyas sebagai salah satu sumber hukum dalam menetapkan hukum syara’, maka tentunya tidak dapat dikecualikan suatu perkara hukum syara’ dari kebolehan menjadikan qiyas dalam penetapan hukumnya kecuali ada dalilnya. Kita tidak menemukan dalil yang dapat mengecualikan perkara-perkara ibadah dari kebolehan qiyas padanya. Karena itu, kehujjahan qiyas juga berlaku pada perkara ibadah sebagaimana berlaku pada perkara syara’ lainnya. Setiap perkara syara’ yang dapat diketahui ‘illah-nya dan memenuhi persyaratan lainnya pada qiyas dapat diberlakukan qiyas padanya, dalam hal ini tidak terkecuali perkara ibadah. Oleh karena itu, Imam Syafi’i dalam kitab beliau, al-Um menolak qiyas serban, kelubung dan sarung tangan kepada menyapu sepatu sehingga hukumnya, boleh menyapu saja sebagai ganti membasuh anggota wudhu’ sebagaimana hukum menyapu dua sepatu. Penolakan Syafi’i ini bukan karena menyapu sepatu dalam bab wudhu’ ini merupakan perkara ibadah, tetapi hanya karena ia merupakan perkara ta’abudi, yaitu sesuatu yang tidak dapat dipahami ‘illah-nya, dengan demikian qiyasnya tidak sah karena ‘illah hukum yang menjadi persyaratan qiyas tidak terpenuhi. Pernyataan Imam Syafi’i dimaksud adalah :
“Kami mengatakan mengenai menyapu dua sepatu tidak dapat diqiyas atasnya serban, kelubung dan dua sarung tangan. Demikian kami katakan tentangnya, karena ia merupakan fardhu wudhu’ yang dikhususkan dua sepatu secara khusus. Karena itu, ia merupakan ta’abudi yang tidak ada qiyas padanya.”[3]

Sedangkan perkara-perkara ibadah yang dapat dipahami ‘illah-nya, boleh saja dilakukan qiyas padanya sebagaimana Imam Syafi’i melakukan qiyas pada ibadah, beliau mengqiyaskan masalah najis babi kepada anjing dalam hal kewajiban membasuh bekas jilatannya tujuh kali, salah satunya dicampur dengan tanah.[4] Padahal sebagaimana dimaklumi kewajiban membasuh najis termasuk perkara ibadah.
Perlu dicatat bahwa perkara-perkara ibadah ada yang bersifat ta’abudi sebagaimana masalah menyapu sepatu pada bab wudhu’ diatas dan ada juga yang bukan ta’abudi (dapat diketahui ‘illah-nya) sebagaimana contoh-contoh qiyas pada perkara ibadah yang dikemukakan oleh para ulama sesudah ini.
Dalil lain yang mendukung bahwa qiyas pada ibadah dapat menjadi hujjah dapat diperhatikan pada point-point berikut ini, antara lain :
1. Rasulullah SAW mewajibkan membayar haji nazar seseorang yang sudah meninggal dunia atas ahli warisnya dengan mengqiyaskan kepada kewajiban membayar hutang orang yang sudah meninggal dunia, sesuai dengan hadits dari Ibnu Abbas diatas. sedangkan amalan haji tersebut merupakan suatu ibadah
2. Rasulullah SAW pernah mengatakan bahwa menciumi isteri tidak membatalkan puasa dengan mengqiyaskan kepada kepada berkumur-kumur, sedangkan puasa adalah ibadah. Peristiwa ini tergambar dalam hadits riwayat Umar bin Khatab, beliau berkata :
هششت يوما فقبلت وأنا صائم فأتيت النبي صلى الله عليه و سلم فقلت صنعت اليوم أمرا عظيما فقبلت وأنا صائم فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم أرأيت لو تمضمضت بماء وأنت صائم قلت لا بأس بذلك فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم ففيم
Artinya : Pada suatu hari aku terpesona, lalu aku mencium isteriku, padahal aku dalam keadaan berpuasa. Kemudian aku menghadap Nabi SAW, terus bertanya : “Hari ini aku telah melakukan perkara yang besar, yakni aku mencium isteriku, padahal aku berpuasa.” Lalu Rasulullah SAW bersabda : “Bagaimana pendapatmu andai kata kamu berkumur-kumur, padahal kamu berpuasa ?” “Hal itu tidak mengapa,” sahutku. Maka kenapa (kamu menanyakannya) ? jawab Rasulullah SAW lebih lanjut. (H.R. Ahmad )[5]

Al-Hakim juga meriwayatkan hadits ini dalam al-Mustadrak, kemudian beliau berkata :
“Hadits ini shahih atas syarat syaikhaini, tetapi keduanya tidak mentakhrijnya.”[6]

Berdasarkan uraian di atas, maka umumnya ulama terkenal tempo dulu dan sering menjadi rujukan dalam bidang ushul fiqh atau fiqh berpendapat qiyas pada ibadah dibolehkan dan dapat dijadikan hujjah selama qiyas tersebut memenuhi persyaratannya. Kesimpulan ini dapat pahami dari keterangan-keterangan sebagai berikut, antara lain :
1. Zakariya al-Anshari mengatakan :
Qiyas merupakan hujjah pada urusan duniawi, demikian juga pada selainnya, seperti urusan syar’iyah menurut pendapat yang lebih shahih kecuali urusan ‘adat, khalqiah, tentang hukuman dan qiyas atas nash yang mansukh”[7]

Zakariya al-Anshari dalam kitab beliau, Ghayatul Wushul yang cukup terkenal di Indonesia itu mengatakan qiyas menjadi hujjah dalam semua urusan syara’ dengan mengecualikan urusan ‘adat, khalqiah, tentang hukuman dan qiyas atas nash yang mansukh. Beliau tidak mengecualikan urusan ibadah. Dengan demikian, beliau termasuk ulama yang memboleh qiyas pada ibadah.
2. Al-Subky, setelah menyebutkan bahwa ada sekelompok orang yang melarang qiyas pada pokok-pokok ibadah, beliau mengatakan :
“Menurut pendapat yang shahih, qiyas merupakan hujjah kecuali pada urusan ‘adat, khalqiah dan tentang hukuman.”[8]

3. Imam al-Ghazali mengatakan :
Setiap hukum syar’i yang mungkin ta’lil-nya (diketahui ‘illah-nya), maka qiyas berlaku padanya.”[9]

4. Imam al-Nawawi, salah seorang ulama terkenal bermazhab Syafi’i pernah mengqiyaskan shalat Jum’at kepada shalat Dhuhur dalam hal sunnat shalat qabliyah, beliau mengatakan :
“Adapun shalat sunnat sebelum Jum’at, yang menjadi pegangannya adalah hadits Abdullah bin Maghfal yang telah disebutkan pada furu’ sebelumnya ; “Pada setiap dua azan itu adalah shalat” dan dengan mengqiyaskan kepada shalat dhuhur.”[10]

5. Ibnu al-Rusyd, tokoh ulama dari Mazhab Maliki menjelaskan bahwa jumhur ulama berpendapat bahwa aib seperti buta dan pecah betis tidak memadai untuk binatang qurban dengan mengqiyaskan kepada aib-aib yang disebut dalam hadits, yaitu pincang, buta sebelah, sakit berat dan sangat kurus,[11] sedangkan qurban sebagaimana dimaklumi merupakan ibadah.
6. Imam Malik berpendapat diulangi kembali shalat wajib yang telah dilakukan dalam Ka’bah apabila masih dalam waktunya dengan mengqiyaskan kepada shalat ke arah bukan qiblat[12]
7. Ahmad bin Hanbal telah mengqiyaskan masalah memandikan dan shalat jenazah atas orang yang mati dibunuh pencuri kepada orang yang mati syahid.[13]
8. Imam al-Nawawi mengatakan telah terjadi ijmak ulama wajib qadha shalat yang ditinggalkan dengan cara sengaja. Sandaran ijmak ini menurut beliau adalah dengan mengqiyaskan kepada kewajiban qadha puasa Ramadhan yang ditinggalkan dengan sebab sengaja bersetubuh dan juga mengqiyaskan kepada qadha shalat yang ditinggalkannya secara lupa. Logikanya, kalau secara lupa wajib qadha, tentu yang secara sengaja lebih patut diwajibkannya.[14]
9. Qiyas dalam bidang ibadah dalam Mazhab Abu Hanifah merupakan metode pendalilian yang sangat populer dibanding mazhab lain. Karena itu, Dr Mahmud Ahmad Zain seorang pakar fiqh kontemporer dari Timur Tengah mengatakan tidak diperlukan memberi contohnya karena semua orang memakluminya.[15]


[1] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 44, No. Hadits : 4147
[2] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 22, No. Hadits : 1852
[3] Imam Syafi’i, al-Um, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 186
[4] Imam Syafi’i, al-Um, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 6
[5] Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 21, No. Hadits : 138
[6] Al-Hakim, al-Mustadrak, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 431, No. Hadits : 1572
[7] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 110-111
[8] Al-Subky, Jam’ul Jawami’, dicetak bersama syarahnya dalam Hasyiah al-Banany ‘ala Syarh Jam’il Jawami’, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 206-210
[9] Al-Ghazali, al-Mushtashfa, al-Mathba’ah al-Amiriyah, Mesir, Juz. II, Hal. 332
[10] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, juz. IV, Hal. 9
[11] Ibnu al-Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Usaha Keluarga, Semarang, Juz. I, Hal. 315-316
[12] Malik bin Anas, al-Mudawanah al-Kubra, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 183
[13] Abdullah bin Ahmad, Masail al-Imam Ahmad bin Hanbal, al-Maktab al-Islamy, Beirut, Hal. 135
[14] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. III, Hal. 76
[15] Dr. Mahmud Ahmad Zain, al-Bayan al-Nabawi ‘an fadhl al-Ihtifal bi Maulid al-Nabi SAW, Dar al-Buhuts li Diratsaat al-Islamiyah wa Ihya al-Turatsi, Dubai, Hal. 52

Jumat, 03 Februari 2012

Mereka Menghapus pusaka dan warisan Islam yang masih tersisa agar kaum Muslim terputus dari sejarah Islam

(Tulisan ini dicopi paste dari http://ibnu-alkatibiy.blogspot.com/2011/12/mereka-menghapus-pusaka-dan-warisan.html)


Penghancuran di pemakaman Baqi'

Dengan alasan pemurnian tauhid dari bentuk kesyirikan, pemakaman Baqi menjadi korban penghancuran oleh kaum wahhabi salafi. Dengan alasan dangkal dan tidak masuk akal tersebut, mereka dengan bangga membongkar dan merusak peninggalan-peninggalan Nabi Muhammad Saw, rumahnya, kamarnya bahkan berencana ingin memindahkan makam dan menghancurkan kubahnya (Inna lillahi, kebodohan yang memuncak). Pemakaman para sahabat Nabi Saw di Baqi pun juga ikut diratakan dan dihancurkan kubah-kubahnya oleh mereka.
Berikut foto-foto pemakaman Baqi sebelum dihancurkan. Foto-foto ini diambil dari buku album foto-foto pribadi Sultan Abdul Hamid Utsmani tentang Mekkah dan Madinah sebelum dihancurkan. Terbit tahun 2006 di Turki. Dalam buku ini dimuat sekitar 130 foto-foto indah dan bersejarah dari tanah Arafah, Kabah, Masjidun Nabi, Kuburan Abu Thalib, kota Madinah dan Mekkah :
Rabu 8 Syawal 1345 Hijriah bertepatan dengan 21 April 1925 mausoleum (kuburan besar yang amat indah) di Jannatul al-Baqi di Madinah diratakan dengan tanah atas perintah Raja Ibnu Saud. Di tahun yang sama pula Raja Ibnu Saud yang Wahabi itu menghancurkan makam orang-orang yang disayangi Rasulullah Saw (ibunda, istri, kakek dan keluarganya) di Jannat al-Mala (Mekah). Meskipun ada bantahan keras dari ulama-ulama di seluruh dunia waktu itu, mereka tetap tidak mengindahkannya.
Penghancuran situs bersejarah dan mulia itu oleh Keluarga al-Saud yang Wahabi itu terus berlanjut hingga sekarang. Menurut beberapa ulama apa yang terjadi di tanah Arabia itu adalah bentuk nyata konspirasi Yahudi melawan Islam, di bawah kedok Tauhid. Sebenarnya, tujuan utamanya adalah secara sistematis ingin menghapus pusaka dan warisan Islam yang masih tersisa agar Kaum Muslim terputus dari sejarah Islam.

Dan berikut foto-foto pemakaman Baqi setelah diratakan dan dihancurkan :




Generasi yang akan datang tidak akan mendapatkan bukti sejarah. Anak cucu kita, generasi mendatang tidak akan pernah dapat menyaksikan prasasti-prasasti, bukti-bukti, dan saksi-saksi bisu perjuangan para sahabat ra. Bahkan generasi sekarang (termasuk penulis) sudah tidak dapat menyaksikannya, kecuali dari buku-buku. Sedangkan buku-buku sejarah mudah sekali dimanipulasi. Jika buku-buku pun sudah ada yang dimanipulasi.. maka musnahlah sudah bukti sejarah semuanya. Wahaby sudah melakukannya untuk kitab-kitab klasik.
Alasan dan argumentasi mereka meratakan dan menghancurkan pemakaman di Baqi’ adalah bahwa sebagian orang menjadikan tempat-tempat tersebut sebagai lokasi perayaan dan mempersekutukan Allah dengan menyembahnya, mengelilinginya, mengikat tali, menaburkan dedaunan atau menyembelih binatang sebagai persembahan kepadanya.
Maka kita jawab ; bahwa semua tindakan tersebut tidak kami restui dan tidak kami setujui. Justru kami melarang aktivitas tersebut dan memperingatkan orang agar menjauhi hal tersebut. Praktek-praktek tersebut adalah termasuk kebodohan yang wajib diperangi. Sebab mereka yang melakukannya adalah orang-orang yang beriman kepada Allah, mengakui keesaan-Nya, dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Dia. Hanya saja mereka melakukan perbuatan yang salah dan tidak mengetahuai cara yang benar. Maka adalah sebuah kewajiban mengajarkan dan membimbing mereka. Hanya saja semua praktek-praktek keliru tersebut tidak membuat tempat-tempat itu ditelantarkan, dilenyapkan dan dihapus eksistensinya.

Berargumentasi dengan praktek-praktek menyimpang di atas adalah argumentasi tabu dan alasan yang lemah yang tidak bisa diterima di mata kalangan ulama dan cendikiawan. Karena hal itu bisa dihilangkan dengan larangan, pengawasan, amar ma`ruf nahi munkar, dan dakwah karena Allah dengan cara yang bijak, tutur kata yang baik dan perilaku terpuji dengan tetap mempertahankan jejak-jejak peninggalan kita, melestarikannya, dan memberikan perhatian kepadanya semata-mata untuk menjaga orisinalitas ummat, menunaikan hak sejarah dan melaksanakan amanah yang dibebankan kepada kita dan yang tidak lain adalah bagian orisinil dari sejarah kita yang agung dan sejaran Nabi Muhammad Saw.

PERHATIAN AL-QURAN TERHADAP PENINGGALAN-PENINGGALAN PARA NABI DAN ORANG-ORANG SHOLIH

Dalam Al-Quran Allah menyebutkan kisah tabut bani Israil yang Dia jadikan pertanda
akan keabsahan Thalut sebagai raja mereka :

وَقَالَ لَهُمْ نِبِيُّهُمْ إِنَّ آيَةَ مُلْكِهِ أَن يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِّمَّا تَرَكَ آلُ مُوسَى وَآلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ
الْمَلآئِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لَّكُمْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

"Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka : "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun ; tabut itu dibawa oleh malaikat…."
Tabut ini memiliki kedudukan yang tinggi dan status yang mulia. Ia berada di tangan mereka dan ditempatkan di depan saat mereka mengadakan peperangan. Dengan keberkahan tawassul kepada Allah dengannya dan dengan isinya mereka mendapat kemenangan. Mereka selalau membawa tabut saat memerangi musuh manapun.

Baqiyyah ini adalah harta peninggalan Nabi Harun yaitu tongkat Nabi Musa, tongkat dan pakaian Nabi Harun, sepasang sandal dan dua papan Taurat. Demikian informasi yang bersumber dari tafsir Ibnu Katsir jilid I hlm. 313. Dalam tabut itu juga terdapat mangkok emas yang fungsinya untuk membasuh dada para nabi sebagaimana dikutip dari Al-Bidayah wan-Nihayah jilid 2 hlm. 8.

Berkat peninggalan-peninggalan agung yang dinisbatkan kepada para hamba Allah terpilih ini, Allah meninggikan status tabut, meluhurkan derajatnya, menjaga dan merawatnya secara khusus saat bani Israil kalah akibat kemaksiatan dan pelanggaran yang mereka lakukan. Kekalahan ini karena mereka tidak mementingkan menjaga tabut.

Maka Allah menghukum mereka dengan mencabut tabut dari tangan mereka lalu Dia menjaga dan mengembalikan kembali kepada mereka agar menjadi bukti keabsahan Thalut sebagai raja mereka. Allah telah mengembalikan tabut kepada mereka dengan penuh kemuliaan dan penghargaan saat ia datan dibawa para malaikat. Adakah perhatian yang lebih besar melebihi perhatian terhadap peninggalan tersebut, pelestarian terhadapnya dan mengingatkan akal terhadap urgensi perkara tersebut, keagungan dan nilai kesejarahan, keagamaan dan peradabannya.
Allah Swt berfirman :
وَكَذَلِكَ أعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أنَّ وَعْدَ اللّهِ حَقٌّ وَأنَّ السّاعَةَ لاَ رَيبَ فيها إذْ يَتنازَعُونَ بَيْنَهُم أمْرَهُم فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِم بُنْيَاناً رَبُّهُم أعْلَمُ بِهِم قَالَ الّذينَ غَلَبُوا عَلَى أمْرِهِم لَنَتَّخِذَنّ عَلَيْهِم مَسْجداً

“ Dan demikianlah Kami perlihatkan (manusia) dengan mereka agar mereka tahu bahwa janji Allah benar dan bahwa hari kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika mereka berselisih tentang urusan mereka, maka mereka berkata “ Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka “. Orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata “ Kami pasti akan mendirikan masjid di atas kuburan mereka “. (Al-Kahfi : 21)
Ayat ini jelas menceritakan dua kaum yang sedang berselisih mengenai makam ashabul kahfi. Kaum pertama berpendapat agar menjadikan sebuah rumah di atas kuburan mereka. Sedangkan kaum kedua berpendapat agar menjadikan masjid di atas kuburan mereka.
Kedua kaum tersebut bermaksud menghormati sejarah dan jejak mereka menurut manhajnya masing-masing. Para ulama Ahli Tafsir mengatakan bahwa kaum yang pertama adalah orang-orang msuyrik dan kaum yang kedua adalah orang-orang muslim yang mengesakan Allah Swt.

Lihat bagaimana Allah Swt mengabadikan tindakan para pecinta Ashabul Kahfi dan menjaga sejarah tersebut dengan membangunkan masjid di goa Kahfi tersebut ??

Allah tidak menegor atau mencelanya dan menjelaskan larangan tindakan tersebut padahal al-Quran adalah sebagai petunjuk dan penjelas kebenaran dari kebatilan, itu artinya Allah merekomendasikan tindakan mereka yang pertama membangun masjid di atas goa ashabul akhfi dan kedua tindakan mereka di dalam melestaraikan dan menjaga sejarah penting dan mulia tersebut agar menjadi pelajaran bagi umat muslim dan bukti akan kekuasaan Allah Swt.

PELESTARIAN KHULAFAURRASYIDIN TERHADAP CINCIN NABI SAW

Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Ibnu `Umar Ra, ia berkata :

اتخذ رسول الله صلى اله عليه وآله وسلم خاتماً من ورق وكان في يده ثم كان بعد في يد أبي بكر ثم كان بعد في يد عثمان حتى وقع بعد في بئر أريس نقشه محمد رسول الله .

"Rasulullah Saw memakai cincin dari perak yang dikenakan di tangan. Selanjutnya sepeninggal beliau cincin itu melekat pada tangan Abu Bakar kemudian `Umar lalu di tangan `Utsman sampai cincin itu jatuh di sumur Ariis. Pada cincin itu terdapat ukiran bertuliskan Muhammad Rasulullah."
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Kitabullibas bab Khatamul Fidldlah. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata,
جاء في رواية النسائي : أنه التمس فلم يوجد ، وجاء في رواية ابن سعد : أنه كان في يد عثمان ست سنين . اهـ

“Dalam riwayat Al Nasa’i terdapat redaksi : “Sesungguhnya ‘Utsman mencari cincin itu namun tidak menemukannya.” Dalam riwayat Ibnu Sa’d terdapat redaksi : “Sesungguhnya cincin itu melekat di tangan ‘Utsman selama 6 tahun.”
(Fathul Bari jilid X hlm. 313)

PELESTARIAN KHULAFAURRASYIDIN TERHADAP TOMBAK MILIK NABI SAW

Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya kepada Az-Zubair, ia berkata :

لقيت يوم بدر عبيدة بن سعيد بن العاص وهو مدجج لا يرى منه إلا عيناه وهو يكنى أبا ذات الكرش فقال : أنا أبو ذات الكرش فحملت عليه بالعنزة فطعنته في عينه فمات ، قال هشام : فأخبرت أن الزبير قال : لقد وضعت رجلي عليه ثم تمطأت فكان الجهد أن نزعتها وقد انثنى طرفاها ، قال عروة : فسأله إياها رسول الله فأعطاه ، فلما قبض رسول الله أخذها ثم طلبها أبو بكر فأعطاه إياها ،فلما قبض أبو بكر سأله إياها عمر ، فأعطاه إياها ، فلما قبض عمر أخذها ، ثم طلبها عثمان منه فأعطاه إياها ، فلما قتل عثمان وقعت عند آل علي فطلبها عبد الله ابن الزبير ، فكانت عنده حتى قتل .

“Pada saat perang Badar saya bertemu dengan ‘Ubaidah ibnu Sa’id ibnu Al-’Ash yang mengenakan pakaian tempur lengkap hingga yang terlihat Cuma matanya. ‘Ubaidah memiliki julukan Abu Djatil Kirsy. “Saya Abu Djatil Kirsy,” katanya. Lalu saya menyerang dia dengan tombak dan berhasil menusuk matanya hingga ia pun tewas.” Hisyam berkata, “Saya dikabari bahwa Az-Zubair berkata,”Sungguh saya telah menginjakan kaki saya di atas tubuh Abu Djatil Kirsy lalu saya berjalan dengan angkuh. Kemudian dengan susah payah saya mencabut tombak dari tubuh Abu Djatil Kirsy yang ternyata telah bengkok kedua sisinya.” Urwah berkata, “Rasulullah meminta tombak tersebut kepada Az-Zubair dan dia pun menyerahkannya. Sepeninggal beliau, Az-Zubair mengambil kembali tombak itu. Abu Bakar kemudian meminta tombak itu dan Az-Zubair pun memberikannya. Saat Abu Bakar meninggal, ‘Umar memintanya dan Az-Zubair pun mengabulkannya. Wakti ‘Umar meninggal dunia tombak itu diambil oleh Az-Zubair lalu diminta oleh ‘Utsman dan Az-Zubair pun menyerahkannya. Ketika ‘Utsman terbunuh tombak itu jatuh ke tangan keluarga Ali dan Abdullan ibnu Az-Zubair memintanya. Akirnya tombak itu berada di tangan Az-Zubair sampai ia meninggal dunia.”
(HR Al-Bukhari dalam kitab Al-Maghazi Bab Syuhudu Al-Malaikat Badran)

Ada apa di balik perhatian besar terhadap tombak tersebut ? bukankah banyak tombak-tombak lainnya yang barangkali lebih baik dan lebih bagus?? Dari siapakah perhatian besar ini? Sesungguhnya perhatian ini berasal dari empat figur khulafa’ yang bijak yang menjadi pemimpin agama, pilar-pilar tauhid dan sosok-sosok terpercaya dalam aspek agama.

Jika kepada sosok ulama bernama Utsaimin saja mereka buatkan gedung mewah dan megah dan dibuatkan museum peninggalannya seperti pena, kacamata dan arlojinya serta mereka jaga dengan baik, maka bagaimana dengan peninggalan-peninggalan para manusia mulia, sahabat-sahabat Nabi Saw dan terlebih lagi makhluyk termulia baginda Nabi Muhammad Saw, seharusnya mereka lebih menjaga dan melestarikannya ???