Salah satu doktrin yang sangat sering muncul dalam dakwah sebagian umat Islam dewasa ini adalah “tidak ada qiyas dalam ibadah”, bahkan pernyataan tersebut seperti sudah dianggap sebagai sebuah qaidah yang baku yang tidak dapat dibantah lagi. Yang lebih parah lagi, dengan pernyataan tersebut, mereka menuduh golongan mayoritas muslim lainnya yang tidak sesuai dengan paham mereka sebagai pelaku bid’ah yang sesat. Untuk itu, penulis berkeinginan membahas masalah ini dengan merujuk kepada keterangan-keterangan para ulama Islam yang tidak diragukan lagi keilmuannya dan tentunya dengan mengikutinya dengan argumentasi-argumentasi yang diakui dalam Islam.
Qiyas dan kedudukannya dalam penetapan hukum
Qiyas adalah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang sudah ada nashnya karena adanya persamaan ‘illat hukumnya dari kedua peristiwa itu. Misalnya, penetapan padi sebagai jenis riba karena dipersamakan hukumnya dengan hukum gandum, karena persamaan ‘illatnya, yaitu sama-sama jenis makanan. Sedangkan gandum dihukum sebagai jenis riba berdasarkan sabda Nabi SAW :
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
Artinya : Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, hendaklah sama banyaknya dan tunai. Apabila berlainan jenisnya, maka juallah sekehendak hatimu asal dengan jalan tunai (H.R. Muslim)[1]
Para ulama (kecuali kelompok syaz/ganjil) berpendapat bahwa qiyas dengan syarat-syaratnya merupakan salah satu sumber hukum dalam Islam dengan argumentasi, antara lain :
1. Firman Allah Q.S. al-Nisa’ : 59, berbunyi :
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
Artinya : Apabila kamu berbeda pendapat tentang suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (al-Sunnah) (Q.S. al-Nisa’ :59)
Dalam ayat di atas diperintahkan apabila terjadi perselisihan pendapat mengenai suatu hukum terhadap suatu peristiwa supaya dikembalikan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Cara mengembalikan ini dengan merujuk kepada nash-nash dari al-Qur’an dan al-Sunnah apabila ada nash yang jelas menerangkannya, sehingga dengan sebab itu dapat menghilangkan perbedaan tersebut. Namun apabila terjadi perbedaan pendapat tersebut justru terjadi karena berbeda pendapat dalam memahami nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah, karena tidak ada nash yang jelas yang dapat menghilangkan perbedaan pendapat itu, maka tentunya, cara mengembalikan kepada nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah adalah dengan cara menyamakan hukum peristiwa yang tidak ada nashnya dengan hukum peristiwa yang ada nashnya. Tindakan penyamaan ini disebut dengan qiyas dalam istilah ushul fiqh.
2. Rasululah SAW sendiri memerintah seseorang untuk membayar haji nazar ibunya yang sudah meninggal dunia dengan berargumentasi, diqiyaskan kepada kewajiban membayar hutang ibunya yang sudah meninggal dunia. Kasus tersebut dapat disimak dalam hadits dari Ibnu Abbas, beliau berkata :
أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ
Artinya : Seorang perempuan dari Juhainah, menghadap Rasulullah SAW seraya berkata : “Sesungguhnya ibuku pernah bernazar melakukan haji, tetapi dia tidak sempat melakukannya sehingga dia meninggal dunia, apakah aku dapat melakukan haji untuknya ?” Rasulullah SAW menjawab : “Ya, lakukan haji untuknya. Tahukah kamu, seandainya ibumu mempunyai hutang, apakah kamu melunasinya ?. Tunaikanlah hutang-hutang Allah, sebab hutang Allah lebih patut dipenuhi (H.R. Bukhari)[2]
Kehujjahan qiyas pada ibadah
Apabila kita menerima qiyas sebagai salah satu sumber hukum dalam menetapkan hukum syara’, maka tentunya tidak dapat dikecualikan suatu perkara hukum syara’ dari kebolehan menjadikan qiyas dalam penetapan hukumnya kecuali ada dalilnya. Kita tidak menemukan dalil yang dapat mengecualikan perkara-perkara ibadah dari kebolehan qiyas padanya. Karena itu, kehujjahan qiyas juga berlaku pada perkara ibadah sebagaimana berlaku pada perkara syara’ lainnya. Setiap perkara syara’ yang dapat diketahui ‘illah-nya dan memenuhi persyaratan lainnya pada qiyas dapat diberlakukan qiyas padanya, dalam hal ini tidak terkecuali perkara ibadah. Oleh karena itu, Imam Syafi’i dalam kitab beliau, al-Um menolak qiyas serban, kelubung dan sarung tangan kepada menyapu sepatu sehingga hukumnya, boleh menyapu saja sebagai ganti membasuh anggota wudhu’ sebagaimana hukum menyapu dua sepatu. Penolakan Syafi’i ini bukan karena menyapu sepatu dalam bab wudhu’ ini merupakan perkara ibadah, tetapi hanya karena ia merupakan perkara ta’abudi, yaitu sesuatu yang tidak dapat dipahami ‘illah-nya, dengan demikian qiyasnya tidak sah karena ‘illah hukum yang menjadi persyaratan qiyas tidak terpenuhi. Pernyataan Imam Syafi’i dimaksud adalah :
“Kami mengatakan mengenai menyapu dua sepatu tidak dapat diqiyas atasnya serban, kelubung dan dua sarung tangan. Demikian kami katakan tentangnya, karena ia merupakan fardhu wudhu’ yang dikhususkan dua sepatu secara khusus. Karena itu, ia merupakan ta’abudi yang tidak ada qiyas padanya.”[3]
Sedangkan perkara-perkara ibadah yang dapat dipahami ‘illah-nya, boleh saja dilakukan qiyas padanya sebagaimana Imam Syafi’i melakukan qiyas pada ibadah, beliau mengqiyaskan masalah najis babi kepada anjing dalam hal kewajiban membasuh bekas jilatannya tujuh kali, salah satunya dicampur dengan tanah.[4] Padahal sebagaimana dimaklumi kewajiban membasuh najis termasuk perkara ibadah.
Perlu dicatat bahwa perkara-perkara ibadah ada yang bersifat ta’abudi sebagaimana masalah menyapu sepatu pada bab wudhu’ diatas dan ada juga yang bukan ta’abudi (dapat diketahui ‘illah-nya) sebagaimana contoh-contoh qiyas pada perkara ibadah yang dikemukakan oleh para ulama sesudah ini.
Dalil lain yang mendukung bahwa qiyas pada ibadah dapat menjadi hujjah dapat diperhatikan pada point-point berikut ini, antara lain :
1. Rasulullah SAW mewajibkan membayar haji nazar seseorang yang sudah meninggal dunia atas ahli warisnya dengan mengqiyaskan kepada kewajiban membayar hutang orang yang sudah meninggal dunia, sesuai dengan hadits dari Ibnu Abbas diatas. sedangkan amalan haji tersebut merupakan suatu ibadah
2. Rasulullah SAW pernah mengatakan bahwa menciumi isteri tidak membatalkan puasa dengan mengqiyaskan kepada kepada berkumur-kumur, sedangkan puasa adalah ibadah. Peristiwa ini tergambar dalam hadits riwayat Umar bin Khatab, beliau berkata :
هششت يوما فقبلت وأنا صائم فأتيت النبي صلى الله عليه و سلم فقلت صنعت اليوم أمرا عظيما فقبلت وأنا صائم فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم أرأيت لو تمضمضت بماء وأنت صائم قلت لا بأس بذلك فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم ففيم
Artinya : Pada suatu hari aku terpesona, lalu aku mencium isteriku, padahal aku dalam keadaan berpuasa. Kemudian aku menghadap Nabi SAW, terus bertanya : “Hari ini aku telah melakukan perkara yang besar, yakni aku mencium isteriku, padahal aku berpuasa.” Lalu Rasulullah SAW bersabda : “Bagaimana pendapatmu andai kata kamu berkumur-kumur, padahal kamu berpuasa ?” “Hal itu tidak mengapa,” sahutku. Maka kenapa (kamu menanyakannya) ? jawab Rasulullah SAW lebih lanjut. (H.R. Ahmad )[5]
Al-Hakim juga meriwayatkan hadits ini dalam al-Mustadrak, kemudian beliau berkata :
“Hadits ini shahih atas syarat syaikhaini, tetapi keduanya tidak mentakhrijnya.”[6]
Berdasarkan uraian di atas, maka umumnya ulama terkenal tempo dulu dan sering menjadi rujukan dalam bidang ushul fiqh atau fiqh berpendapat qiyas pada ibadah dibolehkan dan dapat dijadikan hujjah selama qiyas tersebut memenuhi persyaratannya. Kesimpulan ini dapat pahami dari keterangan-keterangan sebagai berikut, antara lain :
1. Zakariya al-Anshari mengatakan :
“Qiyas merupakan hujjah pada urusan duniawi, demikian juga pada selainnya, seperti urusan syar’iyah menurut pendapat yang lebih shahih kecuali urusan ‘adat, khalqiah, tentang hukuman dan qiyas atas nash yang mansukh”[7]
Zakariya al-Anshari dalam kitab beliau, Ghayatul Wushul yang cukup terkenal di Indonesia itu mengatakan qiyas menjadi hujjah dalam semua urusan syara’ dengan mengecualikan urusan ‘adat, khalqiah, tentang hukuman dan qiyas atas nash yang mansukh. Beliau tidak mengecualikan urusan ibadah. Dengan demikian, beliau termasuk ulama yang memboleh qiyas pada ibadah.
2. Al-Subky, setelah menyebutkan bahwa ada sekelompok orang yang melarang qiyas pada pokok-pokok ibadah, beliau mengatakan :
“Menurut pendapat yang shahih, qiyas merupakan hujjah kecuali pada urusan ‘adat, khalqiah dan tentang hukuman.”[8]
3. Imam al-Ghazali mengatakan :
“Setiap hukum syar’i yang mungkin ta’lil-nya (diketahui ‘illah-nya), maka qiyas berlaku padanya.”[9]
4. Imam al-Nawawi, salah seorang ulama terkenal bermazhab Syafi’i pernah mengqiyaskan shalat Jum’at kepada shalat Dhuhur dalam hal sunnat shalat qabliyah, beliau mengatakan :
“Adapun shalat sunnat sebelum Jum’at, yang menjadi pegangannya adalah hadits Abdullah bin Maghfal yang telah disebutkan pada furu’ sebelumnya ; “Pada setiap dua azan itu adalah shalat” dan dengan mengqiyaskan kepada shalat dhuhur.”[10]
5. Ibnu al-Rusyd, tokoh ulama dari Mazhab Maliki menjelaskan bahwa jumhur ulama berpendapat bahwa aib seperti buta dan pecah betis tidak memadai untuk binatang qurban dengan mengqiyaskan kepada aib-aib yang disebut dalam hadits, yaitu pincang, buta sebelah, sakit berat dan sangat kurus,[11] sedangkan qurban sebagaimana dimaklumi merupakan ibadah.
6. Imam Malik berpendapat diulangi kembali shalat wajib yang telah dilakukan dalam Ka’bah apabila masih dalam waktunya dengan mengqiyaskan kepada shalat ke arah bukan qiblat[12]
7. Ahmad bin Hanbal telah mengqiyaskan masalah memandikan dan shalat jenazah atas orang yang mati dibunuh pencuri kepada orang yang mati syahid.[13]
8. Imam al-Nawawi mengatakan telah terjadi ijmak ulama wajib qadha shalat yang ditinggalkan dengan cara sengaja. Sandaran ijmak ini menurut beliau adalah dengan mengqiyaskan kepada kewajiban qadha puasa Ramadhan yang ditinggalkan dengan sebab sengaja bersetubuh dan juga mengqiyaskan kepada qadha shalat yang ditinggalkannya secara lupa. Logikanya, kalau secara lupa wajib qadha, tentu yang secara sengaja lebih patut diwajibkannya.[14]
9. Qiyas dalam bidang ibadah dalam Mazhab Abu Hanifah merupakan metode pendalilian yang sangat populer dibanding mazhab lain. Karena itu, Dr Mahmud Ahmad Zain seorang pakar fiqh kontemporer dari Timur Tengah mengatakan tidak diperlukan memberi contohnya karena semua orang memakluminya.[15]
[1] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 44, No. Hadits : 4147
[2] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 22, No. Hadits : 1852
[3] Imam Syafi’i, al-Um, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 186
[4] Imam Syafi’i, al-Um, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 6
[5] Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 21, No. Hadits : 138
[7] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 110-111
[8] Al-Subky, Jam’ul Jawami’, dicetak bersama syarahnya dalam Hasyiah al-Banany ‘ala Syarh Jam’il Jawami’, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 206-210
[9] Al-Ghazali, al-Mushtashfa, al-Mathba’ah al-Amiriyah, Mesir, Juz. II, Hal. 332
[10] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, juz. IV, Hal. 9
[11] Ibnu al-Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Usaha Keluarga, Semarang, Juz. I, Hal. 315-316
[12] Malik bin Anas, al-Mudawanah al-Kubra, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 183
[13] Abdullah bin Ahmad, Masail al-Imam Ahmad bin Hanbal, al-Maktab al-Islamy, Beirut, Hal. 135
[14] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. III, Hal. 76
[15] Dr. Mahmud Ahmad Zain, al-Bayan al-Nabawi ‘an fadhl al-Ihtifal bi Maulid al-Nabi SAW, Dar al-Buhuts li Diratsaat al-Islamiyah wa Ihya al-Turatsi, Dubai, Hal. 52