Renungan

Sabtu, 21 Juli 2012

Masalah-masalah yang mu’tamad menurut pengarang Minhaj al-Thalibin yang difatwa dha’if oleh fuqaha Syafi’iyah sesudahnya.(bag. 1)


Berikut ini merupakan masalah-masalah  yang mu’tamad menurut pengarang Minhaj al-Thalibin yang difatwa dha’if oleh fuqaha Syafi’iyah sesudahnya, yakni :
 
1.        Mengekalkan niat mulai dari memindahkan tanah sehingga sampai menyapu sesuatu dari wajah dalam bab tayamum.
Imam al-Nawawi mengatakan dalam al-Minhaj :
“Wajib menyertai niat pada ketika memindah tanah dan demikian juga mengekalkannya sehingga sampai kepada menyapu sesuatu dari muka berdasarkan pendapat yang shahih.”[1]

Argumentasi pendapat ini karena rukun pertama dari tayamum, yakni memindahkan tanah bukan yang diqashad pada dirinya, tetapi hanya diqashad untuk lainnya. Maksudnya, memindah tanah hanya sebagai wasilah menyapu wajah.
Tarjih menurut al-Nawawi ini ditolak fuqaha sesudahnya seperti al-Ziyadi, al-Syihab al-Ramli, al-Khatib Syarbaini, Qalyubi dan al-Bujairumi. Argumentasi mereka ini, karena mengekalkan niat sesudah awal dari memindah tanah sampai sebelum menyapu wajah hanyalah wasilah muqaranah niat pada ketika menyapu wajah. Karena itu, kalau wujud niat pada ketika awal memindah tanah dan pada ketika menyapu wajah, maka itu memadai, meskipun hilang niatnya di antara keduanya.[2] Namun Ibnu Hajar al-Haitamy tetap menganggap pendapat al-Nawawi di atas sebagai pendapat yang mu’tamad. Ini dipahami dari perkataan beliau dalam Tuhfah al-Muhtaj :
“Sehinggga seandainya hilang niat sebelum menyapu sesuatu dari wajah, maka batal niat tayamumnya.”[3]


2.        Jumlah sebanyak-banyak raka’at shalat Dhuha.
Al-Nawawi mengatakan :
“Minimal raka’at shalat Dhuha dua raka’at dan sebanyak-banyaknya dua belas raka’at.”[4]

Dalil sebanyak-banyak raka’at shalat Dhuha adalah dua belas raka’at adalah hadits riwayat Baihaqi dari Abu Zar, sesungguhnya Nabi SAW bersabda :
وَإِنْ صَلَّيْتَهَا عَشْرًا لَمْ يُكْتَبْ لَكَ ذَلِكَ الْيَوْمَ ذَنْبٌ ، وَإِنْ صَلَّيْتَهَا ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً بَنَى اللَّهُ لَكَ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ
Artinya : Jika kamu melaksanakan shalat Dhuha sepuluh raka’at, maka tidak ditulis pada hari tersebut dosa kamu, dan jika kamu melaksanakannya dua belas raka’at, maka Allah akan membangun sebuah rumah untukmu dalam syurga kelak. (H.R. Baihaqi).

Baihaqi mengomentari hadits ini dengan mengatakan, isnadnya ada tinjauan. Imam al-Nawawi sendiri telah mendha’ifkannya dalam kitabnya, Majmu’ Syarah al-Muhazzab dan beliau mengatakan, sebanyak-banyak raka’at shalat Dhuha adalah dua belas raka’at di sisi kebanyakan ulama.[5]
Khatib Syarbaini mengatakan ;
“Dalam kitab al-Majmu’, al-Nawawi telah mengutip dari kebanyakan ulama, bahwa sebanyak-banyak raka’at shalat Dhuha adalah delapan raka’at dan beliau telah menshahihkannya dalam al-Tahqiq. (Khatib Syarbaini mengatakan) Ini merupakan pendapat yang mu’tamad sebagaimana pendapat Ibnu al-Muqri. Al-Asnawi, setelah mengutip yang di atas, mengatakan, maka nyatalah yang terdapat dalam Raudhah dan al-Minhaj adalah dha’if, menyalahi dengan pendapat kebanyakan ulama.”[6]

Qalyubi juga mengatakan, bahwa yang mu’tamad, jumlah raka’atnya adalah delapan sesuai dengan pendapat kebanyakan ulama.[7] Ibnu Hajar al-Haitami tidak mempertentangkan antara pernyataan al-Nawawi dalam al-Minhaj dan Raudhah dengan pernyataan beliau dalam al-Majmu’ dan al-Tahqiq dengan mengkompromikan keduanya dengan menempat jumlah delapan raka’at merupakan jumlah raka’at shalat Dhuha yang afdhal, karena shahih haditsnya, meskipun sebanyak-banyaknya adalah sebelas raka’at, karena ada haditsnya tentang itu, meskipun dha’if,  karena boleh mengamalkan hadits dha’if dalam masalah seperti ini.[8]
Dalil sebanayak-sebanyak raka’at shalat Dhuha adalah delapan raka’at adalah hadits riwayat Abu Daud, Ummu al-Hani’ berkata :
صَلَّى النبي صلعم سُبْحَةَ الضُّحَى ثَمَانِىَ رَكَعَاتٍ يُسَلِّمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ.
Artinya : Nabi SAW shalat Dhuha delapan raka’at yang melakukan salam pada setiap dua raka’at. (H.R. Abu Daud).

Hadits ini diriwayat oleh Abu Daud dengan isnad atas syarat Bukhari sebagaimana disebut dalam al-Majmu’.[9]

3.    Tentang qadha shalat al-khauf (shalat dalam keadaan ketakutan) apabila seseorang dalam keadan mengharuskan memegang senjata yang dalam keadaan berdarah
Berkata Imam al-Nawawi :
“Dibuang senjatanya apabila berdarah, dan jika ia dalam keadaan lemah (keadaan mengharuskannya memegang senjata), maka ia tetap mempertahankan senjatanya dan tidak qadha menurut pendapat azhhar (yang lebih dhahir).[10]

Argumentasi pendapat ini, karena berlumuran senjata dengan darah merupakan ‘uzur yang umum terjadi dalam peperangan, karena itu dia serupa dengan kasus perempuan berdarah istihadhah.[11]
Menurut Qalyubi pendapat wajib qadha merupakan nash imam Syafi’i dan naqal dari ashhabnya dan pendapat ini mu’tamad. ‘Umairah mengatakan, pendapat Nawawi di atas, bertentangan dengan yang al-manshus dan yang dinaqal dari ashhab.[12] Hal senada juga dikemukakan oleh Khatib Syarbaini.[13] Ibnu Hajar al-Haitami juga menolak pendapat al-Nawawi di atas, beliau mengatakan :
“Yang mu’tamad dalam Syarhaini, Raudhah, al-Majmu’ yang dinaqal dari ashhab, wajib qadha. Al-Asnawi dan lainnya juga mengatakan ini yang mu’tamad.”[14]

Imam al-Ramli juga mengatakan pendapat wajib qadha merupakan pendapat yang mu’tamad.[15]



[1] Al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa ‘Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 89
[2] Lihat Qalyubi, Hasyiah Qalyubi, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 89 dan Khatib Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. I, Hal. 156, Sayyed al-Bakri, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 57, Bujairumi, Hasyiah al-Bujairumi ‘ala al-Khatib,  Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 424
[3] Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. I, Hal. 359
[4] Al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa ‘Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 214
[5] Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Mahalli ‘ala al-Minhaj, dicetak pada hamisy Qalyubi wa ‘Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 214
[6] Khatib Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. I, Hal. 340
[7] Qalyubi, Hasyiah Qalyubi,  Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 214
[8] Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 232
[9] Khatib Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. I, Hal. 340
[10] Al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa ‘Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 300
[11] Khatib Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. I, Hal. 455
[12] Qalyubi dan ‘Umairah, Hasyiah Qalyubi wa ‘Umairah,  Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 300-301
[13] Khatib Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. I, Hal. 455
[14] Ibnu Hajar al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. III, Hal. 14
[15] Al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, dicetak bersama Hasyiahnya ,karya Ali Syibran al-Malusi, Juz. II, Hal. 92-93

Tidak ada komentar:

Posting Komentar