Renungan

Jumat, 20 Juli 2012

Istilah –istilah yang digunakan dalam Minhaj al-Thalibin (bag. 3)


7. Al-Manshus, maksudnya adalah pendapat yang rajih di sisi al-Nawawi, baik pendapat tersebut berupa al-nash, qaul Syafi’i maupun wajh (pendapat sahabat Syafi’i)[1] Contohnya, seperti perkataan al-Nawawi, yang menjadi al-ashah al-manshus, tayamum itu wajib dengan dua kali pukul tanah. Maksud perkataan al-Nawawi ini adalah pendapat sahabat Syafi’i (wajh) yang rajih di sisi beliau adalah pendapat yang mengatakan wajib memukul tanah dengan dua kali pukul. Pentarjihan ini berdasarkan hadits riwayat Abu Daud berbunyi :
          أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَيَمَّمَ بِضَرْبَتَيْنِ مَسَحَ بِإِحْدَاهُمَا وَجْهَهُ
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW bertayamum dengan dua kali pukul, beliau menyapu muka dengan salah satunya (H.R. Abu Daud)

dan riwayat al-Hakim, berbunyi :
التَّيَمُّمُ ضَرْبَتَانِ : ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ ، وَضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إلَى الْمِرْفَقَيْنِ
Artinya : Tayamum adalah dua kali pukul, satu kali untuk muka dan satu kali lagi untuk dua tangan sehingga dua siku-siku (H.R. al-Hakim)[2]

8. Qaul mukharraj, yakni qaul yang ditakhrij dari nash Imam Syafi’i pada masalah yang menyerupai dengan masalah yang ada nash.[3] Dalam Mughni al-Muhtaj, Khatib Syarbaini menyebutkan :
“Takhrij adalah jawaban Syafi’i dengan dua hukum yang berbeda pada dua kasus yang saling menyerupai, namun tidak dhahir sifat yang dapat membedakan antara keduanya, sehingga sahabat Syafi’i menaqal jawaban Syafi’i tersebut pada setiap kasus kepada kasus yang lain. Maka muncullah pada setiap kasus, dua qaul, yakni manshus dan mukharraj. Yang menjadi manshus pada kasus ini menjadi mukharraj pada kasus itu dan yang menjadi manshus pada kasus itu menjadi mukharraj pada kasus ini. Dan dikatakan pada manshus dan mukharraj dua qaul dengan naqal dan takhrij.”[4]

Salah satu contoh takhrij yang dikemukakan pengarang al-Minhaj adalah masalah ijtihad tentang air dalam kasus terjadi kesamaran antara dua air dimana salah satunya bernajis, lalu seseorang berijtihad yang hasil ijtihadnya dengan kesimpulannya bejana A (misalnya) suci, sedangkan bejana B najis, tetapi tetap membiarkan air dalam bejana B tanpa ditumpahkan. Kemudian ijtihadnya itu berubah dengan kesimpulan yang berbeda dengan yang ijtihad pertama (sekarang bejana B yang suci, sedangkan bejana A najis). Dalam kasus ini, berdasarkan nash Imam Syafi’i tidak boleh beramal dengan ijtihad kedua, supaya tidak gugur dhan dengan dhan yang lain atau dengan kata lain, tidak gugur ijtihad dengan ijtihad, tetapi seandainya memang tidak ada air suci yang lain, maka beralih kepada tayamum. Namun Ibnu Suraij, salah seorang ashab Syafi’i mengatakan beramal dengan ijtihad kedua pada kasus berubah ijtihad tentang air di atas dengan mentakhrijkan dari nash Syafi’i tentang arah qiblat, yang mengatakan beramal dengan ijtihad kedua apabila berubah ijtihad.[5] Berdasarkan pengertian takhrij yang disebut oleh Khatib Syarbaini di atas, maka dalam contoh di atas dapat dijelaskan bahwa dalam kasus berubah ijtihad tentang air, muncul dua qaul, yakni manshus yakni tidak beramal dengan ijtihad kedua dan mukharraj, yakni beramal dengan ijtihad kedua. Demikan juga dalam kasus berubah ijtihad arah qiblat, yakni manshus : beramal dengan ijtihad kedua dan mukharraj : tidak beramal dengan ijtihad kedua.
      Terjadi perbedaan pendapat dalam penisbatan qaul mukharraj ini kepada Imam Syafi’i. Qalyubi mengatakan tidak boleh dinisbahkan kepada Syafi’i kecuali dengan muqayyid. Sedangkan ‘Umairah mengatakan boleh.[6] Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan, menurut pendapat yang lebih shahih, tidak boleh dinisbah kepada Syafi’i.[7]


9. Qadim dan Jadid, Qadim adalah pendapat Syafi’i di Iraq atu sesudah keluar beliau dari Iraq, namun sebelum memasuki Mesir dan beliau tidak lagi mempertahankan pendapat itu di Mesir. Menurut Al-Imam, tidak halal menganggapnya sebagai mazhab selama tidak didukung oleh nash atau ditarjih oleh ashab ahli tarjih. Perawi Qadim yang masyhur ada empat orang, yakni al-Kurabisi, al-Za’farany, Abu Tsur dan Ahmad bin Hanbal. Sedangkan jadid adalah pendapat Imam Syafi’i di Mesir atau pendapat yang tetap beliau pertahankan di Mesir, meskipun pendapat tersebut pernah beliau kemukakan di Iraq. Perawi qaul jadid ini antara lain al-Muzani, al-Buwaithi, al-Rabi’ al-Muradi, al-Rabi’ al-Jaizi, Harmalah, Yunus bin Abd al-A’la, Abdullah bin Zubair al-Makki dan Muhammad bin Abdullah bin Abd al-Hakam.[8] Qaul jadid ini merupakan qaul Syafi’i yang dianggap sebagai mazhab dan diamalkan kecuali dalam beberapa kasus yang dianggap marjuh (dha’if).[9]
Perawi qaul qadim dan jadid di atas merupakan thabaqat pertama ulama-ulama Syafi;iyah.

10. Al-Qaul atau al-aqwal, maksudnya pendapat Imam Syafi’i.[10]

11. Al-Wajh atau al-aujah, pendapat sahabat Syafi’i yang di isttikhraj dari kalam Syafi’i. namun kadang-kadang wajh tersebut merupakan ijtihad sahabat Syafi’i tanpa memperhatikan kalam Syafi’i.[11]
       Sahabat Syafi’i yang mengistikhrajkan wajh ini dengan jalan istinbath, tafri’, taujih dari nash imam Syafi’i dinamakan dengan Ashab al-Wujuh. Ahmad bin Abu Bakar Ibnu Sumaith al-‘Alawi al-Hazharamy al-Syafi’i telah menyebut nama-nama yang diangap sebagai Ashab al-Wujuh dalam mazhab Syafi’i,[12]  antara lain :
       Thabaqat kedua :
1). Ahmad bin Yasar,
2). Muhammad bin Nashr al-Murawazy
Thabaqat ketiga :
3). Abu al-Thaib bin Salamah
4). Abu Abdullah al-Zabiry
5). Ibnu Harbawih
6). Abu Hafash al-Babasyami
7). Abu ‘Ali bin Khairan
8). Abu Bakar al-Naisaburi
9). Abu Sa’id al-Ashthakhri
10). Abu Bakar al-Shairufi
11). Ibnu al-Qash
12). Abu Ishaq al-Murawazi
13). Abu Bakar al-Shabghi
14). Abu Ali bin Abi Hurairah
15). Ibnu al-Hadad
16). Abu ‘Ali al-Thabari
17). Abu Bakar al-Mahmudy
18). Abu Hasan al-Shabuni
19). Ibnu al-Qithan
20). Al-Qufal al-Syasyi
21). Ibnu al-Ifris
22). Ibnu Sahl al-Sha’luki
23). Ibnu Zaid al-Murawazi
24). Abu Ahmad al-Jurjani
25). Al-Maasarjasi
26). Abu al-Qasim al-Shaimiri
27). Zahir al-Sarkhasi
28). Ibnu Laal
29). Al-Khuzhari
30). Abu Hasan al-Juri
31). Abu Abdullah al-Hanathi
Thabaqat keempat :
32). Abu Thahir al-Ziyadi
33). Abu Ishaq al-Asfiraini
34). Abu Bakar al-Buqani
35). Abu Hatim al-Quzwaini
36). Al-Syarif Nashir al-Umari
37). Abu Abdullah al-Qithan
38). Abu Abdurrahman al-Quzazi
39). Abu ‘Ashim al-Ubadi
40). Al-Syalusyi
41). Abu Khalaf al-Thabari

Kemudian datang lagi dari satu generasi kegenerasi berikutnya, sehingga muncullah Abu Hamid Ahmad al-Asfirayaini yang merupakan tokoh besar mazhab Syafi’i di Baghdad yang pengajiannya dihadiri oleh ulama-ulama besar mazhab Syafi’i lainya, diantaranya : Qadhi Abu Hasan al-Mawardi (W. 450 H), Qadhi Abu al-Thaib al-Thabari (W. 450 H), Qadhi Abu Ali al-Bandiji, Abu Hasan Ahmad bin Muhammad al-Muhamili (W. 450 H), dan Salim al-Razi. Mereka ini mengikuti manhaj Abu Hamid Ahmad al-Asfirayaini dalam pembukuan mazhab Syafi’i. Manhaj mereka ini dikenal dengan Thariqat al-Iraqiyun.
Disamping itu muncul pula al-Qufal al-Murawazi, yang diikuti oleh Abdullah bin Yusuf al-Naisaburi yang dikenal dengan al-Juwaini (W. 438 H), Abu al-Qasim Abdurahman bin Muhammad al-Murawazi (W. 461 H), Qadhi Husain bin Muhammad al-Murwazi (W. 462 H), Abu Ali al-Sanji dan al-Mas’udi. Manhaj mereka ini dikenal dengan Thariqat al-Khurasaniyun atau disebut juga dengan nama Muraawazah.
Kemudian setelah muncul kelompok al-Iraqiyun dan al-Khurasaniyun di atas, muncullah kelompok yang menaqal kedua-dua thariqat di atas (dengan mengkompromikan atau mentarjih salah satunya). Nama-nama kelompok ini, antara lain : Abu Abdullah al-Hulaimy, al-Ruyani (W. 502 H), Qadhi Abu al-Ma’ali (W. 505 H), Abu Ishaq al-Syairazi (W. 476 H), Imam al-Haramain al-Juwaini (W. 478 H), al-Mutawalli al-Naisaburi (W. 478 H) dan Imam al-Ghazali.

12. Qiila dan Fi qaul, yang maksud dengan qiila adalah wajh dha’if, yakni pendapat sahabat Syafi’i yang dianggap dha’if. Lawan pendapat ini adakalanya wajh shahih dan adakalanya wajh al-al-ashah. Sedangkan fi qaul, maksudnya adalah qaul dhaif.[13]







[1] Qalyubi, Hasyiah Qalyubi, dicetak bersama Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 13
[2] Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 91
 [3] Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 13
[4] Khatib Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. I, Hal. 37
[5] Lihat al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 26
[6] Qalyubi dan ‘Umairah, Hasyiah Qalyubi  wa ‘Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 13
[7] Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Mutaj, dicetak pada hamisy Hawasy Syarwani, Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. I, Hal. 53
[8] Qalyubi, Hasyiah Qalyubi, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 13-14
[9] Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Mahalli ala al-Minhaj, dicetak pada hamisy Hasyiah Qalyubi, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 14
[10] Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 12
[11] Jalaluddin al-Mahalli dan Qalyubi, Syarah al-Mahalli ala al-Minhaj dan Hasyiah Qalyubi,   Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 13
[12] Ahmad bin Abu Bakar Ibnu Sumaith al-‘Alawi al-Hazharamy al-Syafi’i, al-Ibtihaj fi Bayani Isthilah al-Minhaj, dicetak bersama kitab Minhaj al-Thalibin,  Darul Minhaj, Hal. 671-673
[13] Al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin,  dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 13

2 komentar:

  1. penjelasan ttg istilah mazhab dimana tgk ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. baca : http://kitab-kuneng.blogspot.com/2011/06/istilah-istilah-yang-digunakan-dalam_15.html

      Hapus