Renungan

Senin, 17 September 2012

Ghayatul Wushul (Terjemahan dan Penjelasannya), Masalah pembagian al-kalam al-nafsi fi al-azal, Hal. 21


)وَالْكَلاَمُ ) النفسى ( فِيْ الأَزَلِ يُسَمَّى خِطَابًا ) حقيقة فى الأصح بتنزيل المعدوم الذى سيوجد منزلة الموجود وقيل لايسماه حقيقة لعدم من يخاطب به اذ ذاك وانما يسماه حقيقة فيما لايزال عند وجود من يفهم واسماعه إياه اما بلفظ كالقرأن أوبلا لفظ كما وقع لموسى عليه الصلاة والسلام خرقا للعادة وقيل سمعه بلفظ من جميع الجهات لذلك ( وَ ) الكلام النفسى فى الأزل ( يَتَنَوَّعُ ) الى امر ونهى وخبر وغيرها ( فِيْ الأَصَحِّ ) بالتنزيل السابق وقيل لايتنوع اليها لعدم من تتعلق به هذه الاشياء اذ ذاك وانما يتنوع اليها فيما لايزال عند وجود من يتعلق به فتكون الأنواع حادثة مع قدم المشترك بينها وهذا يلزمه محال وهو وجود الجنس مجردا عن أنواعه الا ان يراد انها أنواع اعتبارية  أى عوارض له يجوز خلوه عنها تحدث بحسب التعلقات كما ان تنوعه اليها على الأول بحسب التعلقات أيضا لكونه صفة واحدة كالعلم وغيره من الصفات فمن حيث تعلقه فى الأزل أوفيما لايزال بشئ على وجه الإقتضاء لفعله يسمى أمرا أو لتركه يسمى نهيا وعلى هذا القياس واخرت كالأصل هاتين المسئلتين عن الدليل لأن موضوعهما مدلوله فى الجملة والمدلول متأخر عن الدليل وانما قدمتا على النظر المتعلق بالدليل أيضا لأن موضوعهما أشد ارتباطا منه بالدليل لأنه مقصود من الدليل والنظر من آلات تحصيله
(Dan al-kalam) al-nafsi(1) (pada azal(2) dinamakan dengan khithab) secara hakikat menurut pendapat yang lebih shahih dengan jalan mempertempatkan yang tidak ada, tetapi akan ada pada tempat ada. Ada yang mengatakan, tidak dinamakannya secara hakikat, karena tidak ada orang yang dikhithab pada ketika itu, hanya dinamakannya secara hakikat pada maa laa yazaal(3) pada ketika wujud orang yang memahaminya. Memperdengarkannya adakala dengan lafazh seperti al-Qur’an atau dengan tanpa lafazh seperti yang terjadi pada Musa a.s. karena kharq ‘adat. Ada yang mengatakan, dengan lafazh pada semua keadaan pada demikian. (Dan) al-kalam al-nafsi pada azal (terbagi) kepada perintah, larangan, khabar dan lainnya (menurut pendapat yang lebih shahih) dengan i’tibar penempatan yang telah lalu.(4) Ada yang mengatakan, tidak terbagi kepada pembagian-pembagian tersebut, karena tidak ada orang yang ta’alluq dengannya hal-hal ini pada ketika itu. Hanya saja terbagi kepada pembagian-pembagian tersebut pada maa laa yazal ketika wujud orang-orang yang ta’alluq dengannya. Karena itu, pembagian-pembagian itu adalah baharu serta qadim yang musytarak antara pembagian-pembagian itu. Ini melazimkan mustahil, yaitu wujud jenis tanpa ada pembagian-pembagiannya, kecuali yang dimaksud adalah pembagian i’tibariyah, artinya ‘awarizh(5) yang boleh ada al-kalam al-nafsi tanpa ada pembagian dimana kemudian datang dengan i’tibar ta’alluq, sebagaimana terbagi-bagi al-kalam al-nafsi kepada pembagaian-pembagiannya berdasarkan pendapat pertama dengan i’tibar ta’alluq juga, karena al-kalam al-nafsi merupakan sifat yang satu seperti ilmu dan sifat-sifat lainnya. Berdasarkan itu, maka dari sisi ta’alluqnya pada azal(6) atau maa laa yazal(7) dengan sesuatu atas jalan tuntutan melaksanakannya dinamakan dengan perintah, atau tuntutan meninggalkannya dinamakan larangan. Berdasarkan ini qiyaskan yang lain.(8) Aku kemudiankan sama seperti Ashal, dua masalah ini dari masalah dalil, karena objek keduanya adalah madlul dalil secara jumlah, sedangkan madlul dalil dikemudiankan dari dalil. Sesungguhnya didahulukan kedua masalah ini dari masalah nadhar yang berhubungan dengan dalil pula, karena objek kedua masalah ini lebih berat hubungannya dengan dalil daripada nadhar, karena objek kedua masalah ini merupakan maksud dari dalil, sedangkan nadhar salah satu alat menghasilkan dalil.

Penjelasan
(1). Pengertian kalam nafsi adalah madlul (makna yang yang ditunjuki) oleh kalam lafzhi. Jadi,  kalau kalam nafsi disebut sebagai hukum, maka kalam lafzhi adalah (daal) yang menunjuki kepada hukum[1]
(2). Azali adalah nisbah kepada azal, yaitu tidak ada permulaan. Azal lebih umum dari qadim, karena qadim adalah tidak ada permulaan bagi wujud sesuatu, maka qadim khusus pada wujudi, berbeda dengan azal. Azal mencakup wujudi dan ‘adami.[2]
(3). Yaitu lawan azal, artinya bersifat dengan baharu, mempunyai ruang dan waktu.
(4). dengan jalan mempertempatkan yang tidak ada, tetapi akan ada pada tempat ada.
(5). Sifat yang datang kemudian.
(6). Berdasarkan pendapat pertama
(7). Berdasarkan pendapat kedua
(8). Seperti iktiyar (ibahah), kabar dan lainnya. Maka dari sisi ta’alluq kalam nafsi pada azal atau maa laa yazal dengan sesuatu atas jalan memberitahukan suatu berita, dinamakan dengan kabar dan dari sisi ta’alluq kalam nafsi pada azal atau maa laa yazal dengan sesuatu atas jalan ikhtiyar (memilih) dinamakan dengan ibahah.




[1] Abdrrahman al-Syarbaini, Taqrir al-Syarbaini, dicetak pada hamisy Hasyiah al-Banany, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 47
[2] Al-Banany, Hasyiah al-Banany, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 48

Tidak ada komentar:

Posting Komentar