Renungan

Selasa, 18 September 2012

Ghayatul Wushul (Terjemahan dan Penjelasannya), Pengertian Nadhar, Hal. 21


( وَالنَّظَرُ ) لغة يقال لمعان منها الإعتبار والرؤية واصطلاحا ( فِكْرٌ ) وتقدم تفسيره ( يُؤَدِّىْ ) أى يوصل ( إِلَى عِلْمٍ  أَوِْ اعْتِقَادٍ  ) والتصريح به من زيادتى ( أَوْ ظَنٍّ ) بمطلوب خبرى فيها أوتصورى فى العلم والإعتقاد فخرج الفكر غير المؤدى الى ذلك كأكثر حديث النفس فليس بنظر وشمل التعريف النظر الصحيح من قطعى وظنى والفاسد فإنه يؤدى الى ذلك بواسطة اعتقاد أوظن كما مر بيانه وان لم يستعمل بعضهم التأدية الا فيما يؤدى  بنفسه كذا قيل وظاهر انه خاص بتأديته الى الإعتقاد أوالظن لا الى العلم لما مر فى تعريف الدليل
(Dan nadhar) secara bahasa dikatakan ada beberapa makna, diantaranya i’tibar dan melihat dan menurut istilah (adalah pikir) - penafsirannya sudah ada sebelumnya- (yang mengantarkan) artinya menyampaikan (kepada ilmu atau i’tiqad) – menyebutnya merupakan tambahanku(1) – (ataupun dhan) kesimpulan yang bersifat khabar pada ilmu, i’tiqad dan dhan atau tasawwur(2) pada ilmu dan i’tiqad saja(3). Tidak termasuk nadhar, pikir yang yang tidak mengantarkan kepada demikian itu, seperti kebanyakan bisikan jiwa, maka hal itu bukanlah nadhar. Devinisi tersebut mencakup nadhar yang shahih, yang qath’i dan dhanni serta nadhar yang fasid. Nadhar yang fasid mengantarkan kepada kesimpulan dengan perantaraan i’tiqad atau dhan sebagaimana yang telah lalu penjelasannya, meskipun sebagian ulama tidak menggunakan lafazh ta’diyah kecuali dalam hal-hal yang mengantarkannya dengan sendirinya(4) sebagaimana dikatakan. Dhahirnya sesungguhnya nadhar yang fasid, khusus mengantarkannya kepada i’tiqad atau dhan, bukan kepada ilmu(5) karena hal yang telah lalu pada devinisi dalil.

Penjelasan
(1). Tambahan dengan menyebut “i’tiqad”. Ashal hanya mengatakan, “nadhar adalah  pikir yang mengantarkan kepada ilmu atau dhan”. [1]
(2). Tasawwur adalah memahami makna suatu lafazh yang tunggal, bukan yang yang tersusun, seperti memahami seseorang yang tertentu dari lafazh “Muhammad” sebagai namanya. Muhammad adalah lafazh tunggal.
(3). Tidak ada dhan di sini, karena dhan adalah hukum, karena itu dhan tidak berhubungan dengan kesimpulan yang bersifat tasawwur.[2]
(4), Lafazh ta’diyah di sini adalah lafazh “yuaddi” pada devinisi nadhar.
(5). Karena ilmu hanya berasal dari nadhar yang shahih.




[1] Ibnu al-Subki, Jam’u al-Jawami’. Dicetak dalam Hasyiah al-Banany ‘ala Syarh Jam’u al-Jawami’,  Dar Ihya al-Kutub al-Arabiah, Indonesia, Juz. I, Hal. 141-143
[2] Abdrrahman al-Syarbaini, Taqrir al-Syarbaini, dicetak pada hamisy Hasyiah al-Banany, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 144


Tidak ada komentar:

Posting Komentar