Renungan

Kamis, 27 September 2012

Hukum Menjadi Imam Shalat Hari Raya Dua Kali


Kadang-kadang Hari Raya terjadi perbedaan tanggal sehingga terjadi shalat Hari Raya dua kali, sampai-sampai ada seorang imam yang shalat dua kali. Pertanyaannya, Bagaimana hukumnya seorang imam atau bukan imam melakukan shalat Hari Raya dua kali ?
Jawab :  Shalat yang ke dua tidak sah, karena shalat yang kedua tersebut tidak termasuk mu’adah (shalat i’adah) ataupun qadha.

            Zakariya al-Anshari, salah seorang ulama terkenal dalam mazhab Syafi’i, mengatakan :
“ Qadha adalah melakukan ibadah semuanya atau kecuali dibawah satu raka’at sesudah waktu ada’ (tunai) karena niat mendapatkannya kembali (yang tertinggal) yang dahului oleh yang menghendaki pelaksanaannya. Sedangkan i’adah adalah melakukan ibadah dalam waktu ada’nya (tunai) untuk kedua kalinya.”[1]

            Syekh al-Syarqawi dalam mengomentari penjelasan zakariya al-Anshari di atas, mengatakan :
“Dengan kata pensyarah (dalam devinisi qadha) “karena niat mendapatkannya kembali (yang tertinggal)” maka tidak termasuklah ibadah yang dilakukan sesudah waktu ada’ (tunai) dengan tidak mengqashadkan mendapatkannya kembali yang tertinggal, seperti orang yang sudah melakukan shalat secara benar dalam waktu, kemudian menginginkan melakukannya lagi di luar waktu secara berjama’ah, maka shalat tersebut tidak dinamakan qadha dan tidak juga i’adah, karena syarat shalat yang dii’adah adalah dilakukan dalam waktu ada’. Karena itu, shalat tersebut batal.”[2]




[1] Zakariya al-Anshari, Syarah al-Tahrir, dicetak pada hamisy Hasyiah al-Syarqawi ‘ala Syarh al-Tahrir, Juz I, Hal. 303-304
[2] Al-Syarqawi, Hasyiah al-Syarqawi ‘ala Syarh al-Tahrir, Juz I, Hal. 304

15 komentar:

  1. Assalamu'alaikum Teungku, Nama saya Ihsan..
    saya ingin bertanya, apakah kasus diatas termasuk bagi org yg berada pada dua daerah yg berbeda mathali'..

    misalnya: pada daerah "A" terlihat hilal pada hari senin dan daerah "B" terlihat hilal pada hari selasa..
    org tersebut tinggal di daerah "A" dan sudah shalat hari raya pada daerah "A" secara sendiri, kemudian ia berkunjung ke daerah "B" karena suatu kegitan. dan pada hari selasa, ia shalat hari raya pada daerah "B" secara berjamaah..
    apakah shalatnya yg kedua itu sah ??

    saya juga ingin bertanya, namun tidak terkait dgn permasalahan di atas..
    Bolehkan umat Islam yg tinggal di negara yg mayoritas penduduknya muslim_ memilih pemimpin dari kalangan non-muslim baik karena calon pemimpin yg muslim sering berbuat zalim ataupun tidak???

    Terima Kasih, Teungku
    wassalam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Untuk Yth : Tgk Ihsan..
      -Jawaban untuk no 1 : menurut hemat kami tetap shalat yang kedua tidak sah, karena baginya sudah ada shalat yang pertama dengan sebab terlihat hilal pada hari senin. Dengan demikian hari Selasa bukan waktu shalat hari raya baginya

      -Jawaban no 2 adalah haram, karena orang kafir tidak akan pernah secara suka rela membantu kaum yang beriman dan selalu berupaya menghancurkannya. Alasan calon pemimpin dari muslim dhalim, tidak menjadi alasan boleh lari memilih non muslim. Memilih pemimpin non muslim, itu berarti lari kepada pemimpin yang lebih dhalim. Ini sesuai dengan firman Allah berikut ini :
      يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
      Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (Q.S. al-Maidah : 51)

      وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
      Artinya : Yahudi dan Nashara tidak pernah senang kepadamu sehingga kamu mengikuti agama mereka (Q.S. al-baqarah : 120)

      wassalam

      Hapus
  2. Syukran Katsira, jawabannya Teungku sangat bermanfaat bagi saya...

    saya juga ingin menanyakan kasus yg lainnya utk menambah ilmu saya..
    Teungku, saya pernah mendengar satu qaidah, kalau tidak salah, kira-kira seperti ini bunyinya:
    تحصيل الشيء الحاصل عبث
    artinya: melakukan sesuatu yg sudah hasil itu adalah main2.
    dan qaidah tsb berlaku selama tidak qarinah yg khilaf dgnnya..

    yg ingin saya tanyakan:

    seseorang yg sudah shalat fardhu dhuhur(misalnya)secara sah, lengkap syarat2 dan rukun2 nya, dan ia melakukannya dgn cara berjamaah. lalu tanpa ada alasan yg jelas, ia shalat dhuhur lagi sendirian dalam waktu dhuhur tsb..

    1. apakah perbuatan mengulang shalat tanpa alasan yg jelas seperti itu diharamkan ?
    2. apakah perbuatan seperti itu dikategorikan sebagai perbuatan main2 (mempermainkan shalat)?
    3. apakah shalat kedua tersebut sah ?
    4. jik sah, apakah pahala shalat kedua tsb dianggap sebagai pahala shalat sunat muthlaq ?

    sebelum dan sesudahnya, saya ucapkan terima kasih banyak.
    Wassalamu'alaikum.

    BalasHapus
    Balasan
    1. I’adah sunnat dilakukan karena mengharap pahala yang tidak didapati pada shalat pertama, meskipun secara umum kadang2 pahala shalat pertama lebih utama dari shalat kedua, sebagaimana hadits dibawah ini yang menceritakan Rasulullah SAW melihat seseorang ingin melakukan shalat secara sendiri, (Rasulullah SAW sudah melakukan shalat berjama’ah bersama sahabat), lalu beliau bertanya kepada sahabat yang sudah shalat berjama’ah bersama beliau, apakah ada seseorang yang mau bersedeqah kepada laki-laki tersebut (yakni bersembahyang berjama’ah bersama laki-laki tersebut, yakni I’adah shalat dengan berjama’ah bersama laki-laki yang ingin shalat sendiri tadi.) .
      Shalat pertama yang dilakukan sahabat bersama Rasulullah tentu lebih utama dari shalat kedua yang dilakukan satu sahabat bersama laki2 yang datang sendirian tersebut, karena shalat pertama, imamnya Rasulullah dan juga jama’ahnya lebih banyak. Namun Rasululullah tetap meminta kepada salah seorang sahabat untuk mau shalat berjama’ah bersama laki-laki yang terlambat tersebut dengan alasan supaya laki2 yang terlambat tersebut dapat pahala jama’ah.
      Hadits tersebut yaitu :
      عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْصَرَ رَجُلًا يُصَلِّي وَحْدَهُ فَقَالَ أَلَا رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيَ مَعَهُ
      (H.R. abu daud)

      Dalam tuhfah al-muhtaj dalam bab jama’ah disebutkan dengan kesimpulan sebagai berikut :
      I’adah sunnah dilakukan pada :
      -Shalat pertama mumfarid, dan kedua jama’ah
      -Shalat pertama jama’ah , dan kedua jama’ah
      -Shalat pertama mumfarid dan kedua mumfarid
      -shalat pertama jama'ah dan kedua mumfarid

      Namun semua katagori tersebut dilakukan karena mengharap pahala yang tidak didapati pada shalat pertama.

      dengan demikian pertanyaan tgk di atas, dapat kami jawab sebagai berikut :
      1. i'adah tanpa alasan (bukan karena mengharap pahala yang tidak didapati pada shalat pertama) tidak di tuntutkan, karena itu tidak sah, karena i'adah apabila tidak dituntutkan tidak ter'akad (tuhfah al-muhtaj, bab jama'ah). beribadah tidak sah kalau dilakukan juga tentu haram hukumnya, seandainya orang yang melakukannya tersebut tidak bodoh yang dimaafkan
      2. kalau tidak sah, maka shalat tersebut masuk katagori mempermain2 shalat kalau dilakukan dengan sengaja dan mengetahui tidak sahnya
      3. melakukan shalat pertama lengkap syarat dan rukun serta dengan berjama'ah, bukan berarti tidak ada maksud apa2 dengan mengulangi lagi secara mumfarid, karena bisa jadi dia ingin mendapatkan fadhilah yang tidak didapati pada shalat pertama, seperti khusyu'

      wallahu a'lam

      terima kasih

      Hapus
  3. Assalamu'alaikum

    Teungku, kalau boleh saya mau minta tolong kpd Teungku..
    kalau Teungku ada kesempatan, mohon Teungku buatkan artikel tentang:
    1.fidyah shalat untuk org yg sudah meninggal dunia,
    2.fidyah puasa,
    3.kifarat ta'khir qadha puasa,
    4.kifarat jima' bagi org sedang berpuasa Ramadhan,
    5.kifarat sumpah,

    yakni membahas tata caranya dan dalil-dalilnya...

    email saya : enjellsan@gmail.com
    Wassalam

    BalasHapus
    Balasan
    1. khusus mengenai pidyah shalat sudah dibahas dalam blog ini dengan judul "Fidyah shalat" pada label : "shalat" atau klik langsung http://kitab-kuneng.blogspot.com/2011/05/fidyah-shalat.html

      wassalam

      Hapus
  4. Teungku, saya ada pertanyaan lagi..

    apakah benar alkohol tidak murni atau alkohol sudah dicampur itu boleh di konsumsi krn sudah dikategorikan sebagai najis ma'fu (najis yg dimaafkan).. artinya, alkohol yg dicampur dgn parfum itu sah dipakai pada pakaian utk shalat, dan alkohol yg bercampur dgn obat maka boleh di minum??

    dan apakah zat2 yg memabukkan lainnya, kalau dicampur dgn zat lain maka juga boleh di konsumsi ??

    Seseorang mengatakan bahwa hal demikian ada dlm Raudhah hal 14. namun saya tidak memiliki kitab Raudhah, selain itu ilmu arabiah saya juga masih sangat terbatas utk menelaah hal demikian. hehe

    kalau Teungku merasa pertanyaan ini tidak patut dipublikasikan karena tdk sesuai dgn tema pembahasan, mohon Teungku mengirim jawabannya ke email saja (enjellsan@gmail.com)

    Atas bantuan Teungku, saya ucapkan terima kasih banyak
    wassalam

    BalasHapus
    Balasan
    1. insya Allah kita coba bahas dalam posting yang khusus untuk itu

      wassalam

      Hapus
    2. masalah menggunakan parfum yang mengandung alkohol dapat tgk baca pada tulisan blog ini pada judul "Hukum memakai parfum yang mengandung alkohol" pada label "Bersuci" atau klik pada link : http://kitab-kuneng.blogspot.com/2012/10/hukum-memakai-parfum-yang-mengandung.html

      Hapus
    3. 1. sebagaimana sudah kami jelaskan dalam blog ini (http://kitab-kuneng.blogspot.com/2012/10/hukum-memakai-parfum-yang-mengandung.html), bahwa alkohol yang terkandung dalam parfum tidaklah najis, karena ia bukan benda musykir (memabukkan), tetapi hanya sebagian dari unsur benda yang memabukkan (ada unsur lain selain alkohol,sesuatu benda dapat dikatakan memabukkan).

      2. seandainya kita berpendapat bahwa alkohol adalah benda yang memabukkan (ini sekali lagi seandainya), kami belaum menemukan keterangan yang menyatakan bahwa kalau alkohol itu sudah bercampur dengan benda lain menjadi di maafkan. setahu kami alasan dimaafkan sesuatu najis adalah karena faktor kesukaran, umum balaa, darurat, bukan karena faktor bercampur dengan lainnya, bukankah air najis kalau bercampur dengan makanan, kopi, tetap najis.

      3. adapun keterangan dalam Raudhah, (mungkin yang dimaksud adalah Raudhah karya imam al-Nawawi), kami sudah memeriksa dalam bab najis, namun kami tidak menemukannya, tidak tahu dalam bab lain. wallahu a'lam

      4. demikian, terima kasih

      wassalam

      Hapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  6. Syukran katsira, Teungku...

    sebelumnya saya beranggapan bahwa setiap shalat iadah itu wajib berjamaah ??

    mengenai shalat iadah yg dikerjakan secara munfarid, apakah ada syarat-syarat khusus, Teungku ??

    saya juga ingin bertanya mengenai org memiliki luka di badannya, ketika ia sedang shalat, tiba tiba mengalir darah dari luka tsb dan mengotori badan dan pakaiannya.. apa yg harus dilakukannya, dan apakah shalatnya tsb sah ??

    wassalam

    BalasHapus
    Balasan
    1. 1. mengenai shalat i'adah yg dikerjakan secara munfarid, menurut hemat kami tidak mempunyai syarat khusus,cuma yang penting i'adah itu dilakukan dalam waktunya juga dan dilakukan karena ada harap pahala yang tidak ada pada shalat pertama
      2. mengenai org memiliki luka di badannya, ketika ia sedang shalat, tiba tiba mengalir darah dari luka tsb dan mengotori badan dan pakaiannya, itu artinya darahnya banyak, maka tidak dapat dimaafkan. dgn demikian shalatnya batal dgn sendirinya. yang dilakukan adalah mengulangi lagi shalatnya dengan keadaan suci tanpa darah

      wassalam

      Hapus