Renungan

Senin, 10 Desember 2012

Waqaf dan Hibbah pada saat sakit berat (sakit kematian)

Ihsan908 Desember 2012 09:04
saya ingin bertanya, 
1. bagaimanakah perbedaan Hibah dan wakaf ??
2. adakah perbedaan antara jumlah maksimal harta yg boleh di wakafkan dan yg jumlah maksimal harta yg boleh dihibahkan, baik ketika sehat ataupun ketika sakit menjelang kematian si pemilik harta ?
3. saya pernah membaca di dalam dua buku, dlm salah satu buku dikatakan bahwa jumlah harta yg boleh dihibahkan adalah bebas yakni tidak ditentukan batas maksimalnya. sedangkan dalam kitab yg lain disebutkan bahwa, seseorang yg berada dalam keadaan maridhil mawt tidak boleh menghibahkan hartanya melebihi sepertiga hartanya, saya mengartikan maridhil mawt sebagai sakit menjelang kematian pemilik harta.. Bagaimana sebenarnya permasalahan ini, Teungku??

terima kasih atas penjelasan, Teungku..
Wassalam

jawaban :
1.        Waqaf adalah menahan harta yang mungkin dimanfaatkan serta kekal ‘ainnya, menahan itu dengan cara mencegah dari segala bentuk tasarruf pada harta itu (tindakan yang berhubungan dengan harta tersebut) dimana kemudian harta tersebut hanya ditasharruf untuk  hal yang mubah. (Fath al-Mu’in, dalam hamisy I’anah Juz. III, Hal. 157)

2.        Hibah adalah memberikan kepemilikan kepada seseorang tanpa ada imbalan apapun dan tanpa dikaid dengan sesuatu. (Fath al-Mu’in, dalam hamisy I’anah Juz. III, Hal. 142-145)

Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dibedakan sebagai berikut :
a.       Waqaf bukanlah memberi kepemilikan harta kepada seseorang, tetapi hanya memberi manfaat harta kepada orang lain, sedangkan hibah merupakan pemberian kepemilikan, sehingga seseorang yang menerima hibbah berarti harta itu menjadi miliknya.
b.      Harta Waqaf tidak boleh diperjual beli, dihibah dan tindakan memindah kepemilikan lainnya kepada orang lain, baik oleh yang mewaqafkan atau yang menerima waqaf, sedang hibbah bebas digunakan oleh penerima hibbah, baik dijual atau lainnya.

3.        Seseorang yang dianggap cakap (rusyd) bebas mengunakan hartanya selama itu digunakan dalam jalan mubah, banyak atau sedikit, baik itu dalam bentuk waqaf atau hibah, kecuali apabila ia dalam keadaan sakit mati, maka baginya berlaku hukum seperti wasiat, artinya waqaf dan hibah hanya sah dan boleh 1/3 hartanya saja. Dalam kitab Fath al-Mu’in disebutkan :
ويعتبر منه أي الثلث أيضا عتق علق بالموت في الصحة أو المرض وتبرع نجز في مرضه كوقف وهبة وإبراء.
Artinya : Dii’tibar sepertiga pula memerdekakan hamba sahaya yang dita’liq dengan mati pada saat sehat dan sakit, tabarru’ (melakukan perbuatan yang baik) yang dilakukan pada waktu sakit mati, seperti waqaf, hibah dan ibra’.[1]

Fatwa ini berdasarkan hadits shahih dari ‘Amir ibn Sa’ad dari bapaknya sebagai berikut, berkata :
عادني رسول الله صلى الله عليه وسلم. في حجة الوداع، من وجع أشفيت منه على الموت. فقلت: يا رسول الله! بلغني ما ترى من الوجع. وأنا ذو مال. ولا  يرثني إلا ابنة لي واحدة. أفأتصدق بثلثي مالي؟ قال (لا) قلت: أفأتصدق بشطره؟ قال (لا. الثلث. والثلث كثير. إنك إن تذر ورثتك أغنياء، خير من أن تذرهم عالة يتكففون الناس.
Artinya : Pada waktu Haji Wada, Rasulullah صلى الله عليه وسلم. menjengukku karena menderita penyakit yang hampir menyebabkan kematianku. Lalu aku berkata: Wahai Rasulullah, penyakitku sangat parah seperti yang engkau lihat, sedangkan aku adalah seorang hartawan dan tidak ada yang mewarisiku kecuali putriku satu-satunya. Apakah aku bersedekah dengan dua pertiga hartaku? Beliau menjawab: Tidak boleh. Aku bertanya lagi: Dengan setengahnya? Beliau menjawab: Tidak boleh, dengan sepertiga saja. Dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang akan meminta-minta kepada manusia. (H.R.Muslim)[2]

4.   Menurut hemat kami, mengartikan maridhil mawt sebagai sakit menjelang kematian pemilik harta, itu sudah benar, dalam arti sakit tersebut adalah sakit berat yang biasanya sakit seperti itu hanya menunggu kematian saja.








[1] Zainuddin al-Malibary, Fath al-Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha putra, semarang, Juz. III, Hal. 211 dan 212
[2] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 71, no. Hadits : 4296

2 komentar:

  1. جَزَاكَ اللهُ خَيْرًا كَثِيْرًا يا شيخي وَجَزَاكَ اللهُ اَحْسَنَ الْجَزَاء

    BalasHapus

  2. جَزَاكَ اللهُ خَيْرًا كَثِيْرًا يا شيخي وَجَزَاكَ اللهُ اَحْسَنَ الْجَزَاء

    BalasHapus