Renungan

Jumat, 01 Maret 2013

Masalah-masalah dha’if dalam Matan al-Ghayah wa al-Taqrib (bag.3 : kitab zakat dan puasa)


1.        Dalam kitab Zakat, pada masalah zakat harta bercampur disebutkan ada tujuh syarat binatang ternak yang bercampur antara dua orang atau lebih pemiliknya, dibayar zakatnya seperti zakat satu orang pemilik, salah satunya adalah :
والحالب واحدا
Artinya : dan adalah yang memerah susunya satu (tidak dibedakan)[1]

Pernyataan pengarang bahwa tukang perah susunya satu (tidak dibedakan) merupakan  salah satu syarat zakat binatang ternak yang bercampur antara dua orang atau lebih pemiliknya dibayar seperti zakat satu orang pemiliknya adalah  dha’if sebagaimana keterangan ulama di bawah ini :
a.    Ibnu Qasim al-Ghazi dalam kitab Fath al-Qarib al-Mujibi dalam mengometari pernyataan pengarang al-Ghayah wa al-Taqrib tersebut, mengatakan :
قوله والحالب واحدا هو أحد الوجهين في المسألة والأصح عدم الاتحاد في الحالب
Artinya : Perkataan pengarang, tukang perah susunya satu merupakan salah satu pendapat dalam masalah ini. Menurut pendapat yang lebih shahih tidak disyaratkan satu tukang perah susunya.[2]

b.    Jalaluddin al-Mahalli mengatakan :
ولا يشترط الاشتراك في الحالب والمحلب  بكسر الميم اي الاناء الذي يحلب فيه في الاصح فيهما
Artinya : Tidak disyaratkan berkongsi pada tukang perah susu dan bejana tempat susu perahan menurut pendapat yang lebih shahih, dibaca al-mihlab dengan kasrah mim[3]

c.    Zakariya al-Anshari mengatakan :
لا حالب فلا يشترط اتحاده
Artinya : Tidak tukang perah susunya, karena itu, maka tidak disyaratkan satu tukang susunya.[4]

2.        Dalam kitab Puasa, disebutkan :
ويكره صوم يوم الشك
Artinya : Makruh puasa pada hari syak (ragu-ragu)[5]

Ibnu Qasim al-Ghazi dalam mensyarahkan pernyataan pengarang, beliau menafsirkan sebagai makruh tahrim.[6] Penafsiran ini tentu kurang tepat, karena pengarang, sebelumnya sudah menyebutkan lima hari yang diharamkan puasa, yaitu dua hari raya dan tiga hari tasyrik, sehingga mengeluarkan puasa hari syak dari kelompok hari-hari yang diharamkan puasa menjadi tidak bermakna seandainya makruh itu dimaknai dengan makruh tahrim. Oleh karena itu, patut diduga kuat bahwa maksud pengarang adalah makruh tanzih, bukan makruh tahrim, meskipun memaknainya dengan makruh tanrim juga dimungkinkan. Keterangan seperti ini telah dikemukan oleh Ibrahim al-Bajuri dalam Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib.[7]
Pendapat yang mengatakan puasa pada hari syak makruh adalah dha’if, berdasarkan keterangan ulama di bawah ini :
a.       Al-Bakri al-Damyathi mengatakan :
وما ذكر من تحريم صوم يوم الشك هو المعتمد في المذهب
Artinya : Yang disebutkan bahwa haram puasa pada hari syak adalah pendapat yang mu’tamad dalam mazhab.[8]

b.      Khatib Syarbaini mengatakan :
والمعتمد في المذهب تحريمه كما في الروضة والمنهاج والمجموع
Artinya : Pendapat yang mu’tamad dalam mazhab adalah haram puasa pada hari syak sebagaimana dalam al-Raudhah, al-Minhaj dan al-Majmu’.[9]

3.        Dalam kitab Puasa disebutkan :
ومن مات وعليه صيام من رمضان أُطعِم عنه لكل يومٍ مدّ
Artinya : Barangsiapa yang meninggal dunia, atasnya ada kewajiban puasa bulan Ramadhan, maka diberikan makanan sebagai gantinya, untuk setiap hari satu mud.[10]

Pernyataan pengarang, tertentu memberikan makanan satu mud untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan oleh si mati adalah dha’if, sebagaimana keterangan ulama di bawah ini :
a.    Ibnu Qasim al-Ghazi dalam kitab Fath al-Qarib al-Mujibi dalam mengometari pernyataan pengarang al-Ghayah wa al-Taqrib tersebut, mengatakan :
وما ذكره المصنف هو القول الجديد والقديم لا يتعين الإطعام بل يجوز للولي أيضا أن يصوم عنه بل يُسن له ذلك كما في شرح المهذب وصوَّبَ في الروضة الجزم بالقديم .
Artinya : Apa yang disebut pengarang itu adalah qaul jadid, sedangkan qaul qadim tidak tertentu memberikan makanan saja, tetapi boleh juga bagi wali berpuasa sebagi gantinya, bahkan disunnatkan yang demikian itu sebagaimana dalam Syarah al-Muhazzab dan telah dibenarkan dengan memastikan dengan qaul qadim dalam al-Raudhah.[11]

b.    Dalam Minhaj al-Thalibin disebutkan :
وان مات بعد التمكن لم يصم عنه وليه في الجديد بل يخرج من تركته لكل يوم مد طعام وكذا النذر والكفارة قلت القديم هنا الاظهر
Artinya : Apabila seseorang mati sesudah memungkinkan qadha puasa yang ditinggalkannya (dia tidak mengqadhanya), maka walinya tidak berpuasa sebagai gantinya menurut qaul jadid, tetapi dikeluarkan dari peninggalannya, untuk setiap hari satu mud makanan, demikian juga puasa nazar dan kifarat. Saya (al-Nawawi) mengatakan : qaul qadim di sini (qaul yang menyatakan berpuasa oleh walinya sebagai gantinya) lebih zhahir.[12]


(bersambung..................)
tgk alizar usman
[1] Abu Syuja’, al-Ghayah wa al-Taqrib, Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, Mesir, Hal. 17
[2] Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib al-Mujib, al-Ma’arif, Bandung, Hal. 24
[3] Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Mahalli ‘ala al-Minhaj, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 12
[4] Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahab, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 18
[5] Abu Syuja’, al-Ghayah wa al-Taqrib, Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, Mesir, Hal. 19
[6] Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib al-Mujib, al-Ma’arif, Bandung, Hal. 26
[7] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramian, Singapura, Juz. I, Hal. 294-295
[8] Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 273
[9] Khatib Syarbaini, al-Iqna’ ‘ala Halli Alfazh Abi Syuja’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. III, Hal. 123
[10] Abu Syuja’, al-Ghayah wa al-Taqrib, Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, Mesir, Hal. 19
[11] Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib al-Mujib, al-Ma’arif, Bandung, Hal. 26
[12] Imam al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 66

Tidak ada komentar:

Posting Komentar