1.
Dalam kitab Zakat, pada
masalah zakat harta bercampur disebutkan ada tujuh syarat binatang ternak yang
bercampur antara dua orang atau lebih pemiliknya, dibayar zakatnya seperti
zakat satu orang pemilik, salah satunya adalah :
والحالب واحدا
Artinya : dan adalah
yang memerah susunya satu (tidak dibedakan)[1]
Pernyataan pengarang bahwa tukang perah susunya satu (tidak
dibedakan) merupakan salah satu syarat zakat
binatang ternak yang bercampur antara dua orang atau lebih pemiliknya dibayar seperti
zakat satu orang pemiliknya adalah dha’if
sebagaimana keterangan ulama di bawah ini :
a. Ibnu Qasim al-Ghazi dalam kitab Fath al-Qarib
al-Mujibi dalam mengometari pernyataan
pengarang al-Ghayah wa al-Taqrib tersebut,
mengatakan :
قوله
والحالب واحدا
هو أحد
الوجهين في
المسألة والأصح
عدم الاتحاد
في الحالب
Artinya
: Perkataan pengarang, tukang perah susunya satu merupakan salah satu pendapat
dalam masalah ini. Menurut pendapat yang lebih shahih tidak disyaratkan satu tukang
perah susunya.[2]
b.
Jalaluddin al-Mahalli
mengatakan :
ولا يشترط الاشتراك في
الحالب والمحلب بكسر الميم اي الاناء الذي يحلب فيه في الاصح
فيهما
Artinya :
Tidak disyaratkan berkongsi pada tukang perah susu dan bejana tempat susu
perahan menurut pendapat yang lebih shahih, dibaca al-mihlab dengan kasrah mim[3]
c.
Zakariya al-Anshari
mengatakan :
لا حالب فلا يشترط اتحاده
Artinya :
Tidak tukang perah susunya, karena itu, maka tidak disyaratkan satu tukang
susunya.[4]
2.
Dalam kitab Puasa, disebutkan :
ويكره صوم يوم الشك
Artinya :
Makruh puasa pada hari syak (ragu-ragu)[5]
Ibnu Qasim al-Ghazi dalam
mensyarahkan pernyataan pengarang, beliau menafsirkan sebagai makruh tahrim.[6]
Penafsiran ini tentu kurang tepat, karena pengarang, sebelumnya sudah
menyebutkan lima hari yang diharamkan puasa, yaitu dua hari raya dan tiga hari
tasyrik, sehingga mengeluarkan puasa hari syak dari kelompok hari-hari yang
diharamkan puasa menjadi tidak bermakna seandainya makruh itu dimaknai dengan
makruh tahrim. Oleh karena itu, patut diduga kuat bahwa maksud pengarang adalah
makruh tanzih, bukan makruh tahrim, meskipun memaknainya dengan makruh tanrim
juga dimungkinkan. Keterangan seperti ini telah dikemukan oleh Ibrahim
al-Bajuri dalam Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib.[7]
Pendapat yang mengatakan
puasa pada hari syak makruh adalah dha’if, berdasarkan keterangan ulama di bawah
ini :
a.
Al-Bakri al-Damyathi
mengatakan :
وما ذكر من تحريم صوم يوم
الشك هو المعتمد في المذهب
Artinya : Yang
disebutkan bahwa haram puasa pada hari syak adalah pendapat yang mu’tamad dalam
mazhab.[8]
b.
Khatib Syarbaini
mengatakan :
والمعتمد في المذهب تحريمه كما في الروضة والمنهاج والمجموع
Artinya : Pendapat
yang mu’tamad dalam mazhab adalah haram puasa pada hari syak sebagaimana dalam al-Raudhah,
al-Minhaj dan al-Majmu’.[9]
3.
Dalam kitab Puasa
disebutkan :
ومن
مات وعليه صيام
من رمضان أُطعِم عنه
لكل يومٍ
مدّ
Artinya : Barangsiapa
yang meninggal dunia, atasnya ada kewajiban puasa bulan Ramadhan, maka
diberikan makanan sebagai gantinya, untuk setiap hari satu mud.[10]
Pernyataan pengarang, tertentu
memberikan makanan satu mud untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan oleh si
mati adalah dha’if, sebagaimana keterangan ulama di bawah ini :
a. Ibnu Qasim al-Ghazi dalam kitab Fath al-Qarib
al-Mujibi dalam mengometari pernyataan
pengarang al-Ghayah wa al-Taqrib tersebut,
mengatakan :
وما ذكره
المصنف هو
القول الجديد
والقديم لا
يتعين الإطعام
بل يجوز
للولي أيضا
أن يصوم
عنه بل
يُسن له
ذلك كما
في شرح
المهذب وصوَّبَ
في الروضة
الجزم بالقديم
.
Artinya : Apa yang disebut pengarang itu adalah qaul jadid,
sedangkan qaul qadim tidak tertentu memberikan makanan saja, tetapi boleh juga bagi
wali berpuasa sebagi gantinya, bahkan disunnatkan yang demikian itu sebagaimana
dalam Syarah al-Muhazzab dan telah dibenarkan dengan memastikan dengan qaul qadim
dalam al-Raudhah.[11]
b.
Dalam
Minhaj al-Thalibin disebutkan :
وان مات بعد
التمكن لم يصم عنه وليه في الجديد بل يخرج من تركته لكل يوم مد طعام وكذا النذر
والكفارة قلت القديم هنا الاظهر
Artinya : Apabila seseorang mati
sesudah memungkinkan qadha puasa yang ditinggalkannya (dia tidak mengqadhanya),
maka walinya tidak berpuasa sebagai gantinya menurut qaul jadid, tetapi
dikeluarkan dari peninggalannya, untuk setiap hari satu mud makanan, demikian
juga puasa nazar dan kifarat. Saya (al-Nawawi) mengatakan : qaul qadim di sini (qaul
yang menyatakan berpuasa oleh walinya sebagai gantinya) lebih zhahir.[12]
(bersambung..................)
tgk alizar usman
[1]
Abu Syuja’, al-Ghayah
wa al-Taqrib, Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, Mesir, Hal. 17
[2]
Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath
al-Qarib al-Mujib, al-Ma’arif, Bandung, Hal. 24
[3]
Jalaluddin
al-Mahalli, Syarah al-Mahalli ‘ala al-Minhaj, dicetak pada
hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 12
[4]
Zakariya
al-Anshari, Fath al-Wahab, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 18
[5]
Abu Syuja’, al-Ghayah
wa al-Taqrib, Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, Mesir, Hal. 19
[6]
Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath
al-Qarib al-Mujib, al-Ma’arif, Bandung, Hal. 26
[7]
Ibrahim
al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramian,
Singapura, Juz. I, Hal. 294-295
[8]
Al-Bakri al-Damyathi, I’anah
al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 273
[9]
Khatib
Syarbaini, al-Iqna’ ‘ala Halli Alfazh Abi
Syuja’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
Beirut, Juz. III, Hal. 123
[10]
Abu Syuja’, al-Ghayah
wa al-Taqrib, Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, Mesir, Hal. 19
[11]
Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath
al-Qarib al-Mujib, al-Ma’arif, Bandung, Hal. 26
[12]
Imam al-Nawawi, Minhaj
al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar al-Kutub
al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 66
Tidak ada komentar:
Posting Komentar