Renungan

Selasa, 05 Maret 2013

Masalah-masalah dha’if dalam Matan al-Ghayah wa al-Taqrib (bag.5 : Kitab Jual Beli dan Mu'amalat lainnya)


1.        Dalam kitab Jual beli dan Mu’amalat lainnya, pada masalah perkongsian disebutkan :
وللشركة خمس شرائط أن تكون على ناض من الدراهم والدنانير
Artinya : Bagi akad perkongsian ada lima syarat : pertama perkongsian itu atas mata uang, dirham dan dinar.[1]

Pernyataan pengarang menjadikan perkongsian atas mata uang dirham dan dinar sebagai syarat akad perkongsian adalah dha’if, berdasarkan keterangan ulama di bawah ini :
a.    Ibrahim al-Bajuri dalam mengometari pernyataan pengarang al-Ghayah wa al-Taqrib tersebut, mengatakan :
والأول منها على وجه ضعيف فترجع الشروط إلى أربعة فقط
Artinya : Yang pertama dari yang lima itu berdasarkan pendapat dha’if, maka dikembalikan syarat-syarat itu kepada empat saja.[2]

b.    Khatib Syarbaini mengatakan :
والاصح صحتها في كل مثلي
Artinya : Menurut pendapat yang lebih shahih sah perkongsian pada setiap yang ada misal.[3]
c.    Dalam Syarah al-Mahalli disebutkan :
(وتصح) الشركة (في كل مثلي) نقد وغيره
Artinya : Sah perkongsian pada setiap yang ada misal, naqd (mata uang dirham dan dinar) dan lainnya.[4]

2.        Dalam kitab Jual Beli dan Mu’amalat lainnya, pada masalah wakalah disebutkan :
ولا يقر على موكله إلا بإذنه
Artinya : Tidak dapat berikrar seorang wakil atas nama muwakilnya (yang membuat wakalah) kecuali dengan izin muwakil.[5]

Pengecualian dengan ada izin muwakil oleh pengarang dalam hal ikrar seorang wakil atas nama muwakil adalah dha’if. Hal ini sesuai dengan keterangan ulama berikut :
a.    Ibnu Qasim al-Ghazi dalam kitab Fath al-Qarib al-Mujibi dalam mengometari pernyataan pengarang al-Ghayah wa al-Taqrib tersebut, mengatakan :
والأصح أن التوكيل في الإقرار لا يصح
Artinya : Menurut pendapat yang lebih shahih, bahwasanya mewakilkan dalam hal ikrar tidak sah.[6]

b.    Dalam al-Iqna’ disebutkan :
(ولا) يجوز له ان (يقر على موكله) بما يلزمه (الا بإذنه) على وجه ضعيف والأصح عدم صحة التوكيل في الإقرار مطلقا
Artinya : Dan tidak boleh bagi seseorang mengikrar atas nama muwakilnya dengan hal-hal yang dilazimkannya kecuali dengan ada izin muwakil berdasarkan pendapat yang lemah. Adapun pendapat yang lebih shahih tidak sah mewakilkan dalam hal ikrar secara mutlaq.[7]

3.        Dalam kitab Jual Beli dan Mu’amalat lainnya, pada masalah waqaf disebutkan :
وأن يكون على أصل موجود وفرع لا ينقطع
Artinya : Keadaan waqaf itu atas asal yang maujud dan furu’ yang tidak terputus.[8]

Pernyataan pengarang mensyaratkan waqaf atas furu’ yang tidak terputus adalah dha’if, berdasarkan keterangan ulama di bawah ini :
a.       Ibnu Qasim al-Ghazi dalam kitab Fath al-Qarib al-Mujibi dalam mengometari pernyataan pengarang al-Ghayah wa al-Taqrib tersebut, mengatakan :
وفيه طريقان أحدهما أنه باطل كمنقطع الأول وهو الذي مشى عليه المصنف لكن الراجح الصحة
Artinya : Pada masalah tersebut ada dua jalur, salah satunya sesungguhnya hal itu adalah batal waqaf, sama halnya dengan masalah munqathi’ awal (terputus pada awal). Pendapat itu adalah pendapat pengarang, tetapi menurut pendapat yang kuat adalah sah.[9]

b.      Al-Bujairumi mengatakan :
قوله (فرع لا ينقطع ) هو مبني على ان منقطع الوسط والاخر باطل وهو مرجوح
Artinya : Perkataan pengarang : “Furu’ yang tidak terputus” didasarkan atas sesungguhnya munqathi’ tengah dan akhir adalah batal, sedangkan pendapat ini lemah.[10]

c.       Dalam Syarah al-Mahalli ‘ala al-Minhaj disebutkan :
(ولو قال وقفت على اولادي او على زيد ثم نسله ولم يزد فالاظهر صحة الوقف) ويسمى منقطع الاخر
Artinya : Apabila seseorang mengatakan, “Aku waqafkan atas anak-anakku atau atas si Zaid kemudian keturunannya, tidak melebihkan dari itu, maka menurut pendapat yang lebih zhahir sah waqaf. Ini dinamakan dengan munqathi’ akhir.[11]





 (bersambung....)
Tgk Alizar Usman




[1] Abu Syuja’, al-Ghayah wa al-Taqrib, Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, Mesir, Hal. 24
[2] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramian, Singapura, Juz. I, Hal. 383
[3] Khatib Syarbaini, al-Iqna’ ‘ala Halli Alfazh Abi Syuja’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. III, Hal. 448
[4] Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Mahalli ‘ala al-Minhaj, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 334
[5] Abu Syuja’, al-Ghayah wa al-Taqrib, Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, Mesir, Hal. 25
[6] Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib al-Mujib, al-Ma’arif, Bandung, Hal. 35
[7] Khatib Syarbaini, al-Iqna’ ‘ala Halli Alfazh Abi Syuja’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. III, Hal. 468
[8] Abu Syuja’, al-Ghayah wa al-Taqrib, Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, Mesir, Hal. 27
[9] Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib al-Mujib, al-Ma’arif, Bandung, Hal. 39
[10] Al-Bujairumi, Hasyiah ‘ala al-Iqna’ ‘ala Halli Alfazh Abi Syuja’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. III, Hal. 621
[11] Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Mahalli ‘ala al-Minhaj, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. III, Hal. 102

Tidak ada komentar:

Posting Komentar