m saumi3 Maret 2013 05.16
syukran
katsiran tgk... jazakumullah khair jaza'... wa nafa'ani bikum wa bi'ulumikum
insya allah....
saya boleh tanya lagi tgk...? saya ingin tanya tentang masalah:
saya boleh tanya lagi tgk...? saya ingin tanya tentang masalah:
1.bagaimana
hukum memegang al qur'an yg ada terjemahannya tanpa berwudhuk...?
2.bagaimana hukum menulis al qur'an/ayat al qur'an dengan bahasa 'ajam/bahasa latin...?
3.bagaimana kedudukan khutbah jum'at,, bila antara khutbah yg pertama dan yg kedua di selangi oleh nasehat yg panjang... contoh:
setelah azan yg kedua,khatib langsung membaca khutbah yg pertama,, kemudian menyampaikan nasehat selama 20 menit, dan lalu membaca barakallahu li wa lakum fil qur'anil....dst.. dan lalu duduk, dan bangun untuk membaca khutbah yg kedua... pu na sah khutbah lagenyan tgk...?
2.bagaimana hukum menulis al qur'an/ayat al qur'an dengan bahasa 'ajam/bahasa latin...?
3.bagaimana kedudukan khutbah jum'at,, bila antara khutbah yg pertama dan yg kedua di selangi oleh nasehat yg panjang... contoh:
setelah azan yg kedua,khatib langsung membaca khutbah yg pertama,, kemudian menyampaikan nasehat selama 20 menit, dan lalu membaca barakallahu li wa lakum fil qur'anil....dst.. dan lalu duduk, dan bangun untuk membaca khutbah yg kedua... pu na sah khutbah lagenyan tgk...?
Jawab
1.
Sebagaimana dimaklumi
bahwa dalam mazhab Syafi’i, haram menyentuh al-Qur’an apabila seseorang itu
dalam keadaan berhadats alias tidak berwudhu’ sebagiamana pernyataan al-Nawawi
dalam al-Minhaj :
“Haram hukumnya bagi orang yang berhadats mengerjakan shalat,
thawaf, memegang mashaf dan menyentuh lembaran kertasnya. Begitu juga kulitnya
berdasarkan pendapat sahih”. [1]
Fatwa ini berdasarkan firman Allah berbunyi :
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ
(77) فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ (78) لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ (79)
تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ (80)
Artinya : Sesungguhnya
Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada Kitab yang terpelihara
(mashaf). Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci, yang diturunkan
dari Rabbil 'alamiin.(Q.S. al-Waqi’ah : 77-80)
Adapun hukum memegang al-Qur'an yg ada
terjemahannya tanpa berwudhu’ , dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Apabila terjemahan itu diduga atau ragu-ragu lebih banyak dari ayat al-Qur’an,
maka boleh menyentuhnya
b. Apabila terjemahannya kurang atau sama dengan al-qur’an, maka haram
menyentuhnya.
Dalam Fath al-Mu’in disebutkan :
ولا مع تفسير زاد ولو احتمالا
Artinya : Tidak
haram menyentuh kertas mashaf yang ikut bersamanya tafsir yang lebih banyak,
meskipun lebih banyak itu diragukan.[2]
Menurut hemat kami, hukum terjemahan sama dengan tafsir, karena sama-sama
tidak dapat dikatagorikan sebagai al-Qur’an.
2.
Tgk M. Saumi menulis
: “bagaimana hukum menulis al qur'an/ayat al qur'an dengan bahasa 'ajam/bahasa
latin...?” Mungkin yang tgk maksudkan adalah menulis dengan huruf ‘ajam/latin. Kalau
ini benar, maka jawabannya adalah tidak boleh/haram.
Pengarang I’anah
al-Thalibin berkata :
”Aku pernah melihat dalam al-Fatawa Alamah
Ibnu Hajar, beliau ditanyai, apakah haram menulis Qur’an yang mulia dengan
tulisan ’ajam sebagaimana membacanya ?. Beliau menjawab : ”Dipahami dari apa
yang ada al-Majmu’ dari ashhab adalah haram.” [3]
Keharaman itu antara lain disebabkan huruf-huruf ’ajam
dipastikan tidak mampu mengakomodir lafazh-lafazh arab sebagaimana mestinya,
disamping itu penulisan al-Quran dengan huruf arab yang ada pada mashaf utsmani
merupakan ijmak para sahabat nabi. Jadi menggantikan huruf-huruf tersebut dengan
huruf Arab lainnya adalah tindakan menyalahi ijmak , apalagi kalau dirubah
dengan huruf bukan Arab/ajam.
3. Adapun pertanyaan ke tiga, dapat tgk ikuti tilisan dalam blog ini via link
:
syukran tgk atas jawabannya..
BalasHapustentang terjemahan Al-Qur'an, sebenarnya sya juga berpendapat begitu,,tetapi tgk, ada sebuah ibarat dalam kitab nihaayatuzzain hal 33 yang berbunyi:
أما ترجمة المصحف المكتوب تحت سطوره، فلا تعطى حكم التفسير بل تبقى للمصحف حرمة مسه و حمله كما أفتى به السيد محمد دحلان
bagaimana tanggapan tgk tentang nas ini??
kemudian masalah menulis Al-Qur'an dengan huruf latin, saya sangat sepakat dengan jawaban tgk yang mengatakan keharaman menulis Al-Qur'an dengan huruf latin dan hal itu sesuai dengan nas kitab mu'tabar dan bahkan, kh sirajuddin abbas dalam buku beliau 40 masalah agama beliau menguraikan dengan sangat jelas tentang haram hukumnya menulis Al-Qur'an dengan huruf latin...tapi tgk dalam hasyih qalyubi hal 36, ada sebuah nas:
ويجوز كتابته لا قراءته بغير العربية ولها حكم المصحف في المس والحمل
bagaimana tanggapan tgk??mohon penjelasannya,,syukrannn
jawaban ;
Hapus1.Setelah kami memperhatikan keterangan dikemukakan dalam I’anah al-Thalibin, juz I dan taqrirnya pada perkataan “qauluhu mahsyii ilakh….”, pada halaman 67, maka kami memahami bahwa :
a.Terjadi khilaf ulama dalam menanggapi mengenai mashaf-mashaf yang berisi hasyiah (komentar2) yang terletak pada pinggir-pinggir mashaf atau di antara baris-baris al-Qur’an.
-Dalam Hasyiah ‘ala Fath al-Jawad disebutkan bahwa mashaf seperti itu tetap bukan tafsir atau seperti hukum tafsir, tetap atasnya nama mashaf. Pendapat ini dikemukakan juga oleh al-‘Alqamy dengan alasan sebelum mashaf tersebut dibubuhi dengan komentar2 (hasyiah), ia bernama mashaf, maka demikian juga tetap bernama mashaf sesudah ada komentar2 itu. Oleh karena itu haram menyentuhnya secara mutlaq. Pendapat ini diamini oleh pengarang I’anah.
-Pendapat yang kedua, mashaf-mashaf yang berisi hasyiah (komentar2) yang terletak pada pinggir-pinggir mashaf atau di antara baris-baris al-Qur’an dianggap sama dengan tafsir, maka hukumnya seperti hukum kitab tafsir, tidak lagi dihukum dengan mashaf. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Jamal al-Ramli dan Ibnu Hajar dalam al-I’ab.
Berdasarkan keterangan di atas, kami memahami bahwa perbedaan pendapat tersebut terjadi karena berbeda dalam melihat, apakah mashaf-mashaf berisi komentar-komentar tersebut dapat disamakan dengan tafsir atau tidak?, ulama yang berpendapat itu dinamakan dengan tafsir atau seperti tafsir, maka hukumnya adalah seperti hukum kitab tafsir. Adapun ulama yang berpendapat nama mashaf tetap berlaku atasnya, maka hukumnya tidak sama dengan tafsir, tetapi tetap berlaku hukum mashaf.
Sekarang mari kita memperhatikan fatwa yang dikemukakan oleh Sayyed Muhammad Dahlan yang sebut oleh pengarang Nihatulzain di atas. Menurut pemahaman kami yag dha’if ilmu ini, kami menduga bahwa pendapat beliau tersebut didasarkan kepada pendapat pertama, karena menurut beliau terjemahan yang diletak pada bawah baris-baris ayat al-Qur’an tidak merubah nama mashaf menjadi bukan mashaf lagi, yaitu menjadi terjemah al-Qur’an. Namun apabila kita mendasarkan masalah terjemahan ini kepada pendapat kedua (yang dikemukakan oleh al-Ramli dan Ibnu Hajar), maka menurut hemat kami, maka terjemahan tersebut dapat disamakan dengan hukum tafsir. Dalam hal ini kami lebih cenderung kepada bahwa terjemahan al-Qur’an yang dicetak bersama al-Qur’an seperti terjemahan2 dewasa ini seperti terjemahan Depag RI, hukumnya sama seperti hukum tafsir dengan jalan mendasarkan pendapat ini kepada fatwa Ibnu Hajar dan al-Ramli di atas, apalagi mashaf yang ada komentar2 yang dibahas di atas (yang terjadi khilaf), duluan ada mashaf, kemudian baru di tulis komentar2nya, sedangkan terjemahan yang ada pada zaman sekarang, dicetak bersamaan dengan ayat al-Qur’annya, sehingga dari awal cetaknya memang tidak dihukum sebagai mashaf murni, tetapi lebih sering disebut dengan nama terjemahan al-Qur’an. Wallahua’lam..
2.Dengan adanya pendapat yang dikemukakan oleh Qalyubi di atas, maka dapat dimaklumi bahwa masalah menulis al-Qur’an dengan huruf non Arab merupakan masalah khilafiyah dikalangan ulama syafi’iyah. Namun bukankah untuk zaman sekarang, bagi yang tidak mampu melakukan tarjih, maka pendapat Ibnu Hajar al-Haitami lebih didahulukan dibandingkan Qalyubi misalnya. Apalagi menurut Ibnu Hajar pendapatnya tersebut didasarkan kepada pemahaman beliau terhadap pendapat ashab2 yang disebut dalam al-Majmu’.
3. wassalam
syukran jaziila tgk,,atas bimbingan dan arahannya..saya adalah pengikut setia blog tgk,,dan blog tgk sangat bermanfaat buat saya khususnya, yang masih belajar dan minim ilmu agama,,dan bgi para pembaca lain umumnya,,,
BalasHapusnafa'ani bikum wa bi 'ulumikum insyaALLAH..wassalam.
terima kasih, mudah2an ini menjadi amalan shalihah bagi kita semua, amin
Hapuswassalam
assalamu'alaikum tgk. sya sngat senang sekali setelah mendapat blog ini sya byak mndapatkan ilmu dengan tgk..
BalasHapusmohon izinnya tgk untuk terus bisa membaca blog ini
terima kasih atas kunjungannya, blog ini memang dibuat untuk menjadi bahan bacaan, semoga bermanfaat untuk dakwah, aminnn.
BalasHapusassalamu'alaikum...Tgk
BalasHapusBagaimanakah pemahaman QASHAD.TA'RAF dan TA'YIM dalam niat shalat.misalnya sengaja aku shalat fardhu subuh dua rakaat menghadap kiblat makmuman karna allahutaala...wassalam
assalamu'alaikum...Tgk
BalasHapusMohon maaf,apakah ada yg salah pertanyaan saya di atas.??
Wassalam
1. tidak ada yg salah dgn bertanya.
Hapus2. kami mohon maaf kalau terlambat menjawab sehingga mendatangkan pertanyaan lain dari sdr. hal ini karena kealpaan dari kami.
3. adapun jawabannya adalah sebagai berikut:
a.Istilah yang benar pada disekitar masalah niat adalah qashad, ta’arrudh dan ta’yin. Ketiga unsur ini wajib dilakukan pada sebuat shalat fardhu. (Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, I/145)
b.Pengertian qashad adalah sengaja melakukan shalat, dan pengertian ta’arrudh adalah meniatkan fardhu, sedangkan ta’yin bermakna menentukan waktunya seperti magrib dan dsb. Adapun meniatkan selainnya tidak wajib seperti niat menghadap kiblat, jumlah raka’at dll. Jadi minimal niat shalat fardhu magrib adalah “sengaja saya shalat fardhu magrib” memadai dengan niat minimal ini karena sudah menggambarkan shalat yang akan kita lakukan dan sudah membedakan dengan shalat lain.
wassalam
Assalamu'alaikum teungku kami yang mulia...bagaimana hukumya berniat shalat diluar takbiratul ihram? apakah shalatnya sah? karena ada mazhab diluar Asy-syafi'ie mengatakan sah,,mohon bantuan pengajaran dari teungku,,,terimakasih
BalasHapuskalau anda bermazhab syafi'i, maka tentu tidak sah
Hapuskalau shalat secara maazhab syafi'i, maka niatnya harus dalam takbiratul ihram. kalau bercampur2 mazhab maka terjadi talfiq yang tidak di boleh kan, sehingga shalatnya tidak sah.
jadi shalat yang telah dilakukan sebelumnya harus diqadha semuanya ya teungku?? bisa kita temukan di kitab mana tentang hal ini teungku??
BalasHapuskalau kita mengatakan shalat itu tidak sah, maka konsekwensinya tentu harus di qadha
Hapuswassalam
Berarti Wajib diqadha bagi orang yang tidak sedang menuntut ilmu agama ya tgku? mohon jwabannya..
HapusTrima kasih banyak teungku....
BalasHapusAsalamualaikum. Sayah adnan mau nanya apakah boleh membaca dua kalimat sahadat di potong di trngah dengan kalimat yang lain
BalasHapustlg jelaskan contohnya gimana, di potong dibagian mana. dan disambung dgn apa?
HapusAssalamualaikum ..
BalasHapusBagaimana hukum mengikuti imam yang berbeda mazhab?
http://kitab-kuneng.blogspot.co.id/2015/08/berjamaah-mengikuti-imam-yang-berbeda.html
Hapussdh pernah dibahas dlm link di atas