Tgk, 1 lagi ya...
Na'at nabi lamyahtalim tu punya nabi muhammad ato smua nabi masuk...
Trus kpn kita di suruh bc na'at nabi tu, Pa emang cuma di waktu magrib, ato boleh uga di baca di waktu zuhur,ashar.. dll? Dan apa sj hikmah kita membc na'at nabi trsbut...!
Trus atu lagi,,
boleh Gak kita sholat ikut imam beda mazhab? Misalnya kita syafe'i ikut mazhab maliki ato yg lain...?
Ma'af tgk... udah banyak2.
Makasih lagi...
Na'at nabi lamyahtalim tu punya nabi muhammad ato smua nabi masuk...
Trus kpn kita di suruh bc na'at nabi tu, Pa emang cuma di waktu magrib, ato boleh uga di baca di waktu zuhur,ashar.. dll? Dan apa sj hikmah kita membc na'at nabi trsbut...!
Trus atu lagi,,
boleh Gak kita sholat ikut imam beda mazhab? Misalnya kita syafe'i ikut mazhab maliki ato yg lain...?
Ma'af tgk... udah banyak2.
Makasih lagi...
Jawab :
1.
Sya’ir lam
yahtalim tersebut hanya menyebut kelebihan-kelebihan Nabi Muhammad SAW, jadi
gak masuk nabi selainnya.
2.
Boleh baca kapan
saja, insya Allah memberikan pahala dan rahmat karenanya
3.
Dalam al-Qur’an
Surat al-Qalam: 4 , Allah memuji Muhammad SAW dengan friman-Nya :
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya : Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar di
atas budi pekerti yang agung.”
وَعَنْ أَبِيْ
عُثْمَانَ أَنَّهُ قَالَ ِلأَبِيْ جَعْفَرِ بْنِ حَمْدَانَ أَلَسْتُمْ تَرْوُوْنَ
أَنَّ عِنْدَ ذِكْرِ الصَّالِحِيْنَ تَنْزِلُ الرَّحْمَةُ قَالَ بَلَى قَالَ
فَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيِّدُ الصَّالِحِيْنَ (، سير
أعلام النبلاء ج. 14 ص. 64
Artinya
: Dan dari Abi Utsman bahwasanya ia berkata kepada Abu Ja’far bin Hamdan,
“Bukankah kalian meriwayatkan bahwa ketika disebut orang-orang shaleh akan
turun rahmat?” Abu Ja’far menjawab, “Benar”. Abu Utsman berkata, “ Maka Rasulullah Saw. adalah pemimpin orang-orang shaleh“ (Sirul A’laam an-Nubala’,
adz-Dzahabi, juz 14, hal. 64)
4.
Berikut
pendapat ulama tentang hukum mengikuti imam yang berbeda mazhab dalam furu’
fiqh
a.
Berkata
Zainuddin al-Malibary :
“Tidak sah mengikuti imam yang di i’tiqadkan batal shalatnya,
artinya imam mendatangkan perbuatan yang membatalkan shalat pada i’tiqad
makmum, misalnya pengikut Syafi’i mengikuti imam yang bermazhab Hanafi yang
menyentuh kemaluannya (sesudah wudhu’, pen.)[1]
b.
‘Ibarat
Nihayah :
“Kalau imam meninggalkan basmalah, maka pengikut Syafi’i tidak sah
mengikutinya”.[2]
c.
Berkata
An-Nawawi :
“Kalau pengikut Syafi’i berjama’ah mengikuti imam yang bermazhab
Hanafi yang menyentuh kemaluannya (sesudah berwudhu’, pen.) atau
berbekam, menurut pendapat al-ashah (pendapat yang kuat) sah jama’ahnya dalam
hal berbekam dan tidak sah dalam hal
menyentuh kemaluan, karena i’tibar i’tiqad makmum.” Selanjutnya Jalaluddin
al-Mahalli mengatakan bahwa pendapat yang kedua (muqabil ashah, pen.)
adalah sebaliknya (yaitu tidak sah dalam berbekam dan sah dalam menyentuh
kemaluan, pen.) karena i’tibar i’tiqad imam yang diikutinya, yaitu
berbekam dapat meruntuhkan wudhu’ dan menyentuh kemaluan tidak meruntuhkannya.[3]
d.
Berkata Umairah :
“Pendapat muqabil ashah adalah pendapat yang telah dikemukakan
oleh al-Qufal. Al-Qufal mengemukakan alasannya bahwa imam yang bermazhab Hanafi
tala’ub (bermain-main) dalam hal berbekam dan seumpamanya, maka tidak terjadi
padanya niat yang benar, berbeda halnya dengan kasus menyentuh kemaluan.
Berkata al-Asnawi mudah-mudahan ini adalah yang benar”. [4]
e.
Berkata
pengarang Ghayatul Talkhis al-Murad min Fatawa Ibnu Ziyad :
“Sah mengikuti imam yang berbeda mazhab, apabila makmum
mengetahui bahwa imam mendatangkan hal-hal yang wajib di sisi makmum, demikian
juga jika ia tidak tahu. Oleh karena itu, kalau imam meninggalkan sesuatu yang
wajib pada i’tiqad makmum, maka makmum tersebut tidak sah mengikutinya menurut
pendapat Syaikhaini (Nawawi dan Rafi’i, pen.). menurut Al-Qufal sah.
Berkata Imam Subki; pendapat yang di tashih oleh Syaikhain adalah pendapat kebanyakan
ulama, tetapi pendapat Al-Qufal lebih dekat kepada dalil dan perbuatan Salaf”.
[5]
f.
Berkata
Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi al-Madni :
“Namun demikian, kalau imam itu orang yang punya wilayat, maka
dalam at-Tuhfah berpendapat sah mengikutinya karena kuatir terjadi fitnah, tetapi bukan pada Shalat Jum’at”.[6]
g.
Berkata
Imam An-Nawawi dalam Majmu’ :
“Dhabitnya adalah shalat imam sah pada i’tiqadnya, tidak sah
pada i’tiqad makmum atau sebaliknya (sah pada i’tiqad makmum, tidak sah pada
i’tiqad imam, pen.), karena berbeda pendapat pada furu’. Dalam hal ini
ada empat pendapat, pertama pendapat al-Qufaal, sah secara mutlaq, karena i’tibar
i’tiqad imam. Kedua pendapat Abu Ishaq al-Asfirayaini, tidak sah secara mutlaq,
karena meskipun didatangkan apa yang kita syaratkan dan wajibkan, toh imam
tidak mengi’tiqadkan wajib, maka sama seperti tidak mendatangkannya. Ketiga :
kalau imam mendatangkan syarat-syarat yang kita i’tibar untuk sah shalat, maka
sah mengikutinya. Kalau imam meninggalkan salah satunya atau kita meragukannya,
maka tidak sah. Keempat kalau dipastikan imam meninggalkan sesuatu yang kita
syaratkan, maka tidak sah mengikutinya dan kalau dipastikan atau diragukan imam
mendatangkan semuanya, maka sah. Pendapat terakhir ini adalah yang lebih sahih
dan pendapat ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Maruzy, Syaikh Abu Hamid
al-Asfirayaini, al-Bandaniji, al-Qadhi Abu at-Thaib dan kebanyakan ulama”.[7]
Kesimpulan
1.
kalau
dipastikan imam shalat itu meninggalkan sesuatu yang i’tiqad wajib oleh makmum,
maka makmum tersebut tidak sah mengikutinya dan kalau dipastikan atau diragukan
imam mendatangkan semuanya, maka makmum sah mengikutinya. Pendapat ini adalah
pendapat yang dikuatkan oleh Imam Nawawi
2.
boleh
mengikuti imam yang meninggalkan sesuatu yang kita i’tiqad wajib pada bukan shalat
jum’at apabila imam itu seorang yang mempunyai wilayat, karena kuatir timbul
fitnah
3.
Ada
pendapat dikalangan mazhab Syafi’i yaitu pendapat al-Quufal dan didukung oleh
al-Subki yang membolehkan mengikuti imam yang berbeda mazhab meskipun imam itu
meninggalkan salah satu yang wajib menurut i’tiqad makmum.
[1]
. Zainuddin
al-Malibary, Fathul Muin, dicetak pada hamisy I’anah at-Thalibin,
Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 41
[2]. Al-Bakry
ad-Dimyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II,
Hal. 41
[3].
Jalaluddin al-Mahalli, Al-Mahalli, dicetak pada hamisy Qalyubi wa
Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 229)
[4] .
Umairah, Qalyubi wa ‘Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah,
Indonesia, Juz. I, 229
[5]
.Ibnu Ziyad, Ghayatul Talkhis al-Murad min Fatawa Ibnu Ziyad, dicetak
pada hamisy Bughyatul Murtasyidin, Usaha keluarga, Hal. 99
[6] .
Sayyed Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawy, Bughyatul Murtasyidin, Usaha
Keluarga, Semarang ,
Hal. 70
[7] .
An-Nawawi, al-Majmu’ al-Syarah al-Muhazzab, Dar al-Fikri, Beirut , Juz. IV, Hal. 248
Salam 'alaikum tgk...
BalasHapusSaya ingin bertanya pada tgk...
Apa perbedaan antara:
a. Sifat ma'ani dan ma'nawiyah
b. Dhiddain dan naqidhain
c. Mafhum muwafaqah dan mukhalafah
d. Apa yg dimaksud dgn 'adam wal malakah?
Terimakasih yg sebesar2nya.
Wassalam.
jawabannya dapat diikuti pada :
Hapushttp://kitab-kuneng.blogspot.com/2013/04/menjawab-beberapa-pertanyaan-beberapa.html
Tgk,, Sering di sebut dlm kitab tu kata:
BalasHapusMahar misiL dan Mahar musamma...
Apa maksud dari keduanya? dan apa perbedaannya?.. Begitu juga Ujrah misil...!
Trims.
Jawab :
Hapusa.Mahar misl adalah mahar yang tidak disebut dalam aqad. Apabila seseorang tidak menyebut qadar mahar dalam akad nikah, maka qadar mahar yang wajib dibayar oleh suami adalah kembali kepada beberapa biasanya kalau misal perempuan tersebut dibayar maharnya. Demikian juga ujrah misl adalah biaya sewa/ongkos sesuatu yang tidak disebut dalam akad.
b.Mahar musamma adalah qadar mahar yang disebut dalam akad nikah
kalau kita pergi ke mekkah saat haji, kan imam salatnya bukan mazhab syaf'ie,, boleh gak kita ikutnya???
BalasHapustrus 1 lagi gmn kalau kita bersentuhan lawan jenis saat melakukan ibadah haji,, padahal sangat rawan terjadi bersentuhan dengan lawan jenis karena orangnya banyak dan berdesakan...???
trims....
1. bagi yang bermazhab syafi'i boleh saja mengikuti imam yang bermazhab lain dengan rincian yang kami jelaskan pada kesimpulan tulisan di atas.
BalasHapus2. ada dua solusi yang sering ditawarkan ulama Aceh dan lainnya dalam menghadapi kasus pada pertanyaan yg kedua :
a. bertaqlid kpd pendapat mazhab hanafi yang berpendapat bersentuhan kulit laki2 dan perempuan tidak meruntuhkan wudhu'. taqlid ini didasarkan karena faktor dharurat.
b. berpegang kpd qaul qadim mazhab syafi'i, yg berpendapat bahwa kalau bersentuhan yg runtuh wudhu' hanya pihak yang menyentuh, sedangkan pihak yg disentuh tidak runtuh wudhu'. berdasarkan ini, kita hanya wajib menjaga supaya tidak menyentuh orang lain, tetapi kalau disentuh, maka tidak apa-apa.
wassalam
wassalam