Renungan

Jumat, 05 April 2013

Masalah menyanjung Nabi SAW dan berjama’ah mengikuti imam yang berbeda mazhab


Tgk, 1 lagi ya...
Na'at nabi lamyahtalim tu punya nabi muhammad ato smua nabi masuk...
Trus kpn kita di suruh bc na'at nabi tu, Pa emang cuma di waktu magrib, ato boleh uga di baca di waktu zuhur,ashar.. dll? Dan apa sj hikmah kita membc na'at nabi trsbut...!

Trus atu lagi,,
boleh Gak kita sholat ikut imam beda mazhab? Misalnya kita syafe'i ikut mazhab maliki ato yg lain...?

Ma'af tgk... udah banyak2.
Makasih lagi...
Jawab :
1.        Sya’ir lam yahtalim tersebut hanya menyebut kelebihan-kelebihan Nabi Muhammad SAW, jadi gak masuk nabi selainnya.
2.        Boleh baca kapan saja, insya Allah memberikan pahala dan rahmat karenanya
3.        Dalam al-Qur’an Surat al-Qalam: 4 , Allah memuji Muhammad SAW dengan friman-Nya :
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya : Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar di atas budi pekerti yang agung.”


وَعَنْ أَبِيْ عُثْمَانَ أَنَّهُ قَالَ ِلأَبِيْ جَعْفَرِ بْنِ حَمْدَانَ أَلَسْتُمْ تَرْوُوْنَ أَنَّ عِنْدَ ذِكْرِ الصَّالِحِيْنَ تَنْزِلُ الرَّحْمَةُ قَالَ بَلَى قَالَ فَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيِّدُ الصَّالِحِيْنَ (، سير أعلام النبلاء ج. 14 ص. 64

Artinya : Dan dari Abi Utsman bahwasanya ia berkata kepada Abu Ja’far bin Hamdan, “Bukankah kalian meriwayatkan bahwa ketika disebut orang-orang shaleh akan turun rahmat?” Abu Ja’far menjawab, “Benar”. Abu Utsman berkata,  Maka Rasulullah Saw. adalah pemimpin orang-orang shaleh (Sirul A’laam an-Nubala’, adz-Dzahabi, juz 14, hal. 64)


4.        Berikut pendapat ulama tentang hukum mengikuti imam yang berbeda mazhab dalam furu’ fiqh
a.         Berkata Zainuddin al-Malibary :
Tidak sah mengikuti imam yang di i’tiqadkan batal shalatnya, artinya imam mendatangkan perbuatan yang membatalkan shalat pada i’tiqad makmum, misalnya pengikut Syafi’i mengikuti imam yang bermazhab Hanafi yang menyentuh kemaluannya (sesudah wudhu’, pen.)[1]
b.        ‘Ibarat Nihayah :
Kalau imam meninggalkan basmalah, maka pengikut Syafi’i tidak sah mengikutinya”.[2]
c.        Berkata An-Nawawi :
Kalau pengikut Syafi’i berjama’ah mengikuti imam yang bermazhab Hanafi yang menyentuh kemaluannya (sesudah berwudhu’, pen.) atau berbekam, menurut pendapat al-ashah (pendapat yang kuat) sah jama’ahnya dalam hal berbekam dan  tidak sah dalam hal menyentuh kemaluan, karena i’tibar i’tiqad makmum.” Selanjutnya Jalaluddin al-Mahalli mengatakan bahwa pendapat yang kedua (muqabil ashah, pen.) adalah sebaliknya (yaitu tidak sah dalam berbekam dan sah dalam menyentuh kemaluan, pen.) karena i’tibar i’tiqad imam yang diikutinya, yaitu berbekam dapat meruntuhkan wudhu’ dan menyentuh kemaluan tidak meruntuhkannya.[3]
d.       Berkata Umairah :
Pendapat muqabil ashah adalah pendapat yang telah dikemukakan oleh al-Qufal. Al-Qufal mengemukakan alasannya bahwa imam yang bermazhab Hanafi tala’ub (bermain-main) dalam hal berbekam dan seumpamanya, maka tidak terjadi padanya niat yang benar, berbeda halnya dengan kasus menyentuh kemaluan. Berkata al-Asnawi mudah-mudahan ini adalah yang benar”. [4]

e.       Berkata pengarang Ghayatul Talkhis al-Murad min Fatawa Ibnu Ziyad :
Sah mengikuti imam yang berbeda mazhab, apabila makmum mengetahui bahwa imam mendatangkan hal-hal yang wajib di sisi makmum, demikian juga jika ia tidak tahu. Oleh karena itu, kalau imam meninggalkan sesuatu yang wajib pada i’tiqad makmum, maka makmum tersebut tidak sah mengikutinya menurut pendapat Syaikhaini (Nawawi dan Rafi’i, pen.). menurut Al-Qufal sah. Berkata Imam Subki; pendapat yang di tashih oleh Syaikhain adalah pendapat kebanyakan ulama, tetapi pendapat Al-Qufal lebih dekat kepada dalil dan perbuatan Salaf”. [5]
f.       Berkata Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi al-Madni :
Namun demikian, kalau imam itu orang yang punya wilayat, maka dalam at-Tuhfah berpendapat sah mengikutinya karena kuatir terjadi  fitnah, tetapi bukan pada Shalat Jum’at”.[6]
g.      Berkata Imam An-Nawawi dalam Majmu’ :
Dhabitnya adalah shalat imam sah pada i’tiqadnya, tidak sah pada i’tiqad makmum atau sebaliknya (sah pada i’tiqad makmum, tidak sah pada i’tiqad imam, pen.), karena berbeda pendapat pada furu’. Dalam hal ini ada empat pendapat, pertama pendapat al-Qufaal, sah secara mutlaq, karena i’tibar i’tiqad imam. Kedua pendapat Abu Ishaq al-Asfirayaini, tidak sah secara mutlaq, karena meskipun didatangkan apa yang kita syaratkan dan wajibkan, toh imam tidak mengi’tiqadkan wajib, maka sama seperti tidak mendatangkannya. Ketiga : kalau imam mendatangkan syarat-syarat yang kita i’tibar untuk sah shalat, maka sah mengikutinya. Kalau imam meninggalkan salah satunya atau kita meragukannya, maka tidak sah. Keempat kalau dipastikan imam meninggalkan sesuatu yang kita syaratkan, maka tidak sah mengikutinya dan kalau dipastikan atau diragukan imam mendatangkan semuanya, maka sah. Pendapat terakhir ini adalah yang lebih sahih dan pendapat ini adalah pendapat Abu Ishaq al-Maruzy, Syaikh Abu Hamid al-Asfirayaini, al-Bandaniji, al-Qadhi Abu at-Thaib dan kebanyakan ulama”.[7]

Kesimpulan
1.        kalau dipastikan imam shalat itu meninggalkan sesuatu yang i’tiqad wajib oleh makmum, maka makmum tersebut tidak sah mengikutinya dan kalau dipastikan atau diragukan imam mendatangkan semuanya, maka makmum sah mengikutinya. Pendapat ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Nawawi
2.        boleh mengikuti imam yang meninggalkan sesuatu yang kita i’tiqad wajib pada bukan shalat jum’at apabila imam itu seorang yang mempunyai wilayat, karena kuatir timbul fitnah
3.        Ada pendapat dikalangan mazhab Syafi’i yaitu pendapat al-Quufal dan didukung oleh al-Subki yang membolehkan mengikuti imam yang berbeda mazhab meskipun imam itu meninggalkan salah satu yang wajib menurut i’tiqad makmum.








[1] . Zainuddin al-Malibary, Fathul Muin, dicetak pada hamisy I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 41
[2]. Al-Bakry ad-Dimyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 41
[3]. Jalaluddin al-Mahalli, Al-Mahalli, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 229)
[4] . Umairah, Qalyubi wa ‘Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, 229
[5] .Ibnu Ziyad, Ghayatul Talkhis al-Murad min Fatawa Ibnu Ziyad, dicetak pada hamisy Bughyatul Murtasyidin, Usaha keluarga, Hal. 99
[6] . Sayyed Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawy, Bughyatul Murtasyidin, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 70
[7] . An-Nawawi, al-Majmu’ al-Syarah al-Muhazzab, Dar al-Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 248

6 komentar:

  1. Salam 'alaikum tgk...
    Saya ingin bertanya pada tgk...
    Apa perbedaan antara:
    a. Sifat ma'ani dan ma'nawiyah
    b. Dhiddain dan naqidhain
    c. Mafhum muwafaqah dan mukhalafah
    d. Apa yg dimaksud dgn 'adam wal malakah?

    Terimakasih yg sebesar2nya.
    Wassalam.

    BalasHapus
    Balasan
    1. jawabannya dapat diikuti pada :
      http://kitab-kuneng.blogspot.com/2013/04/menjawab-beberapa-pertanyaan-beberapa.html

      Hapus
  2. Tgk,, Sering di sebut dlm kitab tu kata:
    Mahar misiL dan Mahar musamma...
    Apa maksud dari keduanya? dan apa perbedaannya?.. Begitu juga Ujrah misil...!
    Trims.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jawab :
      a.Mahar misl adalah mahar yang tidak disebut dalam aqad. Apabila seseorang tidak menyebut qadar mahar dalam akad nikah, maka qadar mahar yang wajib dibayar oleh suami adalah kembali kepada beberapa biasanya kalau misal perempuan tersebut dibayar maharnya. Demikian juga ujrah misl adalah biaya sewa/ongkos sesuatu yang tidak disebut dalam akad.

      b.Mahar musamma adalah qadar mahar yang disebut dalam akad nikah

      Hapus
  3. kalau kita pergi ke mekkah saat haji, kan imam salatnya bukan mazhab syaf'ie,, boleh gak kita ikutnya???
    trus 1 lagi gmn kalau kita bersentuhan lawan jenis saat melakukan ibadah haji,, padahal sangat rawan terjadi bersentuhan dengan lawan jenis karena orangnya banyak dan berdesakan...???
    trims....

    BalasHapus
  4. 1. bagi yang bermazhab syafi'i boleh saja mengikuti imam yang bermazhab lain dengan rincian yang kami jelaskan pada kesimpulan tulisan di atas.

    2. ada dua solusi yang sering ditawarkan ulama Aceh dan lainnya dalam menghadapi kasus pada pertanyaan yg kedua :
    a. bertaqlid kpd pendapat mazhab hanafi yang berpendapat bersentuhan kulit laki2 dan perempuan tidak meruntuhkan wudhu'. taqlid ini didasarkan karena faktor dharurat.

    b. berpegang kpd qaul qadim mazhab syafi'i, yg berpendapat bahwa kalau bersentuhan yg runtuh wudhu' hanya pihak yang menyentuh, sedangkan pihak yg disentuh tidak runtuh wudhu'. berdasarkan ini, kita hanya wajib menjaga supaya tidak menyentuh orang lain, tetapi kalau disentuh, maka tidak apa-apa.

    wassalam

    wassalam

    BalasHapus