Renungan

Minggu, 17 November 2013

Tafsir Q.S. al-Maidah : 6

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu sudah mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Q.S. al-Maidah : 6)

Tafsirnya :
1.        “Apabila kamu sudah mengerjakan shalat” maksudnya apabila kamu hendak mengerjakan shalat. Ini sama dengan firman Allah Ta’ala, berbunyi :
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Apabila kamu membaca al-Qur’an, maka berlindunglah dari syaithan yang terkutuk.”(Q.S. al-Nahl : 98)

2.        Dhahir ayat wajib berwudhu’ pada setiap shalat yang hendak dilakukan meskipun tidak berhadats, namun al-sunnah menunjukkan memadai dengan satu wudhu’ berdasarkan hadits Nabi SAW dari Amr bin Amiir,  berbunyi :
عَنْ أنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قالَ: كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَتَوَضَّأ عِنْدَ كُلِّ صَلاةٍ. قُلْتُ: كَيْفَ كُنْتُمْ تَصْنَعُون؟ قال: يُجْزِئُ أحَدَنَا الوُضُوءُ مَا لَمْ يُحْدِثْ.
“Dari Anas r.a. berkata, Nabi SAW berwudhu’ pada setiap shalat, Aku (Amr bin Amiir mengatakan, kalau kalian bagaimana melakukannya, Anas mengatakan, memadai wudhu’ salah seorang dari kami selama tidak berhadats.” (H.R. al-Bukhari).[1]

3.        “Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku” , maksudnya mengalirkan air atas keduanya. Tidak wajib menggosoknya karena beramal dengan dhahir ayat. Imam Malik mengatakan wajib.[2]Sampai dengan siku” maksudnya siku termasuk dalam anggota yang wajib dibasuh. Dalilnya ijmak ulama dan hadits Abu Hurairah :

أَنَّهُ تَوَضَّأَ فَغََسَلَ يَدَيهِ حتَّى أَشْرَعَ فِي العَضدَيْنِ، وَغَسَلَ رِجْلَيهِ حتَّى أَشْرَعَ فِي السَّاقَيْنِ، ثُمَّ قَالَ: هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُول الله - صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم - يَتَوَضَّأ
“Sesungguhnya Abu Hurairah berwudhu’ dengan membasuh dua tangannya sehingga masuk pada dua lengan atasnya dan membasuh dua kakinya sehingga masuh dua betisnya, kemudian beliau berkata, “Seperti ini saya melihat Rasulullah SAW berwudhu’.” (H.R. Muslim)[3]
4.        “dan sapulah kepalamu” Dhahir ayat ini, perintah menyapu kepala secara mutlaq tanpa dikaidkan dengan ukuran tertentu. Ini merupakan pendapat golongan Syafi’iyah. Malikiyah dan Hanabilah berpendapat disapu semua kepala, karena ihtiyath. Sedangkan Hanafiyah mengatakan, qadar wajib sapu kepala adalah seperempat kepala dengan argumentasi mengikuti perbuatan Nabi SAW yang menyapu pada ubun-ubunnya,[4] padahal tidak ada ulama yang berpendapat ada kewajiban menyapu khusus pada ubun-ubun.[5]
5.        “dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,” Qadar yang dibasuh di sini adalah seluruh kakinya, termasuk mata kaki sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih Muslim di atas.
6.        Menyelangi penyebutan antara kaki dan tangan yang sama-sama dibasuh dengan kepala yang disapu mengindikasikan adanya kewajiban tertib antara anggota wudhu’.
7.        “dan jika kamu junub maka mandilah” maksudnya junub dengan sebab bersetubuh atau lainnya. اطَّهَّرُوا di sini dimaknai dengan mandi sekalian tubuh, karena mandi merupakan makna yang dipahami secara mutlaq dari lafazh اطَّهَّرُوا . adapun berwudhu’ hanya membasuh sebagian anggota tubuh.
8.        “dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah”,  dari penggalan ayat ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.       maksud sakit di sini adalah sakit yang dapat memudharatkan tubuh apabila disentuh air.
b.      maksud dalam perjalanan adalah perjalanan yang mubah, baik perjalanan panjang atau pendek. Disyaratkan perjalanan mubah berdasarkan qaidah fiqh :
الرخصة لا تناط بالمعصية
“ Rukshah tidak boleh digantungkan atas maksiat.”
c.       kembali dari tempat buang air merupakan isyarat melakukan buang air.
d.      menyentuh perempuan di sini berkemungkinan bermakna menyentuh kulit sebagaimana Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar dan al-Sya’bi. Ini merupakan mazhab Syafi’i atau juga dapat bermakna bersetubuh sebagaimana pendapat Ali, Ibnu Abbas dan al-Hasan. Ini merupakan mazhab Hanafi. Para fuqaha berbeda pendapat apakah bersentuhan dengan perempuan meruntuhkan wudhu’?,  :
-          mazhab Hanafi : tidak runtuh wudhu’, baik secara syahwat atau tidak
-          mazhab Syafi’i : runtuh wudhu’, baik secara syahwat atau tidak
-          mazhab Malik : runtuh wudhu’ apabila dengan syahwat dan tidak runtuh apabila tidak dengan syahwat.[6]
e.       Perkara-perkara dalam penggalan ayat ini menjadi sebab berhadats, buktinya ada perintah tayammum apabila wujud perkara-perkara tersebut apabila tidak ada air. Jadi apabila ada air, maka wajib berwudhu’. Namun khusus sakit tetap menjadi sebab berhadats, meskipun ada air.
9.        “maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.”
Berdasarkan penggalan ayat ini, rukun tayammum adalah menyapu muka dan dua tangan. Dan tentunya niat tayamum menjadi rukunnya berdasarkan dalil lain, yaitu hadits Nabi SAW.
10.    Allah tidak hendak menyulitkan kamu,” menunjukkan bahwa tayamum merupakan rukhsah (hukum karena faktor keringanan), bukan ‘azimah (hukum asal).
Firman Allah yang lain yang menjelaskan masalah tayammum adalah Q.S. al-Nisa’ : 43, berbunyi :
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf dan Pengampun “ (Q.S. Al-nisa’: 43)





[1] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 53
[2] Syarbaini, Tafsir Sirajul Munir, Juz. I, Hal. 357
 [3] Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 672
[4] Ali Shabuni, Rawi’ al-Bayan, Maktabah al-Ghazali, Damsyiq, Juz. I, Hal. 538
[5] Syarbaini, Tafsir Sirajul Munir, Juz. I, Hal. 357
  [6] Ali Shabuni, Rawi’ al-Bayan, Maktabah al-Ghazali, Damsyiq, Juz. I, Hal. 487

Tidak ada komentar:

Posting Komentar