Renungan

Minggu, 17 November 2013

Talqin Mayat

Talqin mayat ada dua macam, yaitu :
1. talqin sebelum peguburan, yaitu dimana seseorang sedang menghadapi maut.
2. talqin mayat sesudah penguburan.
Yang banyak timbul polemik di tengah masyarakat kita adalah talqin setelah penguburan. Berikut keterangan para ulama mengenai talqin mayat setelah penguburan, antara lain :
1.      Dalam al-Fatawa karangan an-Nawawi, disebutkan :
Adapun talqin sesudah penguburan yang sudah menjadi kebiasaan di negeri Syam, menurut pendapat yang terpilih adalah mustahab (dianjurkan). Diantara yang menganjurkan dari kalangan ashhab kita adalah al-Qadhi Husain, Abu Sa’id  al-Mutawalli, Syaikh Abu al-Fath Nashr al-Muqaddisy al-Zahid, Abu Qasim al-Rafi’i dan lainnya.” [1]

2.      Berkata Zainuddin al-Malibary :
Sunat talqin mayat yang sudah baligh, meskipun dia orang syahid sesudah sempurna penguburan[2]

3.      Muhammad ar-Ramli dalam Fatawanya, beliau berkata :
Talqin mayat yang bukan anak-anak dan seumpamanya adalah sunat dan itu setelah dikebumikan” [3]

4.      Sayyed al-Bakri al-Damyathi berkata [4]:
Aku telah melihat dalam Hasyiah Barmawi ala Sinmim: disunatkan talqin mayat sesudah dikebumikan dan meratakan tanah”.

5.      Al-Shakawy, salah seorang tokoh Mazhab Syafi’i mengatakan :
Sesungguhnya kalangan Mazhab Maliki sepakat dengan kita juga mengenai dianjurkan talqin sesudah mati. Diantara yang menerangkannya dari kalangan mereka adalah Qadhi Abu Bakar bin al-Arabi. Beliau mengatakan, ”Itu merupakan perbuatan penduduk Madinah, orang-orang shalih dan pilihan dan di sisi kita berlaku amalan tersebut di Qurthubah. Adapun dikalangan Mazhab Hanafi, maka terjadi perbedaan pendapat dikalangan tokoh-tokoh mereka sebagaimana dalam sebagian kitab mereka, yaitu al-Muhith. Demikian juga terjadi perbedaan pendapat dikalangan Mazhab Hanbali.[5]


Berdasarkan keterangan di atas, nampak jelas bahwa pendapat disunnatkan talqin orang yang sudah meninggal dunia tersebar dalam mazhab yang empat. Berikut dalil-dalil yang menyatakan sunat talqin orang sudah meninggal dunia atau sesudah penguburan antara lain :
1.      Firman Allah Ta’ala
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya : Dan berikanlah peringatan! Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang mukmin”. (Q.S. al-Zariyaat : 55)

Memberi peringatan kepada orang mukmin tidak dibatasi hanya pada orang masih hidup, tetapi juga berlaku bagi orang yang sudah meninggal
2.      Hadits Nabi :

ﺇﻥﺍﻠﻌﺒﺩ ﺇﺫﺍﻭﻀﻊ ﻔﻰﻗﺒﺭﻩ ﻭﺘﻭﻠﻰﻋﻨﻪ ﺃﺼﺤﺎﺒﻪ ﺃﻨﻪ ﻴﺴﻤﻊ ﻗﺭﻉ ﻨﻌﺎﻠﻬﻡ ﻓﺄﺫﺍﺍﻨﺼﺭﻓﻭﺍ ﺃﺘﺎﻩ ﻤﻠﻜﺎﻥ
Artinya : Seorang hamba apabila diletak dikuburnya, berpaling dan pergi sahabat-sahabatnya sehingga dia mendengar suara sandal mereka maka datang dua orang malaikat (H.R. Muslim) .[6]

Berdasarkan hadits ini, orang yang sudah meninggal dunia dapat mendengar suara yang berasal dari manusia yang masih hidup. Dengan demikian, maka peringatan dalam bentuk talqin juga dapat didengar dan bermanfaat bagi yang sudah meninggal dunia

3.      Hadits Nabi Riwayat Thabrani dari Abu Umamah, beliau berkata :
إذا أنا مت فاصنعوا بي كما أمر رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال إذا مات أحد من إخوانكم فسويتم التراب على قبره فليقم أحدكم على رأس قبره ثم ليقل : يا فلان بن فلانة . فإنه يسمعه ولا يجيب . ثم يقول : يا فلان بن فلانة . فإنه يستوي قاعدا . ثم يقول : يا فلان بن فلانة . فإنه يقول : أرشدنا رحمك الله - ولكن لا تشعرون - فليقل : اذكر ما خرجت عليه من الدنيا شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله وأنك رضيت بالله ربا وبالإسلام دينا وبمحمد نبيا وبالقرآن إماما فإن منكرا ونكيرا يأخذ كل واحد منهما بيد صاحبه ويقول : انطلق بنا ما نقعد عند من لقن حجته فيكون الله حجيجه دونهما فقال رجل : يا رسول الله فإن لم يعرف أمه ؟ قال فينسبه إلى حواء يا فلان بن حواء
Artinya : Apabila aku meninggal dunia, maka lakukanlah atasku sebagaimana perintah Rasulullah SAW. Rasulullah bersabda :Apabila mati seseorang dari saudara kamu, ratakanlah tanah atas kuburannya. Berdirilah salah seorang kamu atas kuburannya. Kemudian berkatalah : hai pulan bin pulanah, maka sesungguhnya dia mendengar tetapi tidak dapat menjawab. Kemudian berkatalah : hai pulan bin pulanah, maka sesungguhnya dia duduk dengan bersela. Kemudian berkatalah : hai pulan bin pulanah, maka dia berkata : berikanlah petunjuk untukku, mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepadamu, tetapi kamu tidak mengetahuinya. Maka katakanlah : Ingatlah keadaan kamu ketika keluar dari dunia, yaitu : syahadah bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul Allah. Dan sesungguhnya kamu redha Allah sebagai tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi dan Al-Qur’an sebagai ikutan. Sesungguhnya Munkar dan Nakir saling berpegang tangan satu sama lain berkata : mari kita pergi!, apa kita duduk di sisi orang yang diperingatkan hujjahnya. Allah menjadi hujjahnya bukan kedua malaikat itu. Seorang laki-laki berkata :Ya Rasul Allah!, Bagaimana jika tidak diketahui nama ibunya ?. Rasul Allah menjawab : bangsakan kepada Hawa dan katakan Pulan bin Hawa”(H.R. Thabrany) [7]

            Mengenai kedudukan hadits ini dalam pendalilian, berikut kutipan ulama ahlussunnah wal jama’ah mengenai hal tersebut, yaitu :
a.       Syaikh al-Imam Abu Amr bin al-Shalah r.h.m. pernah ditanyai mengenai talqin, beliau menjawab dalam fatawanya :
Kami memilih dan mengamalkan talqin. Pendapat ini juga telah disebut oleh satu jama’ah  ashhab kita (Syafi’iyah) dari Khurasan. Kami meriwayat satu hadits tentangnya dari hadits Abu Umamah, tetapi sanadnya tidak kuat. Namun demikian, hadits tersebut disokong dengan beberapa penyokong dan amalan penduduk negeri Syam tempo dulu.[8]

b.      Berkata Imam Nawawi dalam al-Raudhah :

Hadits tersebut (hadits sebagaimana disebut di atas ) meskipun dha’if, tetapi didukung oleh beberapa penyokong dari hadits-hadits shahih dan senantiasa manusia mengamalkannya mulai masa awal pada zaman orang-orang yang diikuti.[9]

c.       Al-Hafidh al-Sakhawy telah menulis pembahasan talqin yang didalamnya berisi kutipan-kutipan dari imam empat yang menyatakan dianjurkan talqin. Beliau melakukan pembahasan secara panjang lebar tentang hadits talqin dan syawahid (penyokongnya). Dalam kitab tersebut beliau menyebut lebih sepuluh syawahid hadits talqin.[10]
d.      Imam Nawawi dalam al-Fatawa mengatakan :
Hadits ini (hadits sebagaimana disebut di atas) diriwayat oleh Thabrany dalam Mu’jamnya dan berpredikat hadits dha’if, tetapi ditoleransikan pengamalannya. Para ulama hadits dan lainnya telah sepakat adanya toleransi mengamalkan hadits-hadits fadhail, targhib dan tarhib. Aku telah membahas ini  dengan dalil-dalil berupa hadits yang telah aku jelaskan dalam Syarah al-Muhazzab. Dan senantiasa penduduk negeri Syam dengan amalan ini mulai zaman ulama-ulama yang sering diikuti sampai dengan sekarang”.[11]

4.      Hadits riwayat dari Abu Said al-Khudry, Rasulullah SAW berkata :

لقنوا موتاكم لا إله إلا اللّه
Artinya : Talqinlah orang meninggal diantara kamu dengan Laa ilaha illallah (H.R. Muslim)[12]

            Kalangan Syafi’i menjadikan dhahir hadits ini menjadi dalil sunat talqin sesudah mati.[13] Sebagian ulama mengatakan :
 ”Sabda Nabi SAW : ”Laqinuu mautakum La ilaha illallah” merupakan dalil atas talqin sesudah mati, karena hakikat mayit adalah orang yang sudah mati”[14]








[1] An-Nawawi, al-Fatawa, Hal. 42. Pernyataan serupa  ini, juga beliau sebutkan dalam Kitab al-Azkar, al-Haramain, Singapura, Hal. 148
                [2] .Zainuddin al-Malibary,  Fathul Muin, dicetak pada Hamisy I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz II, Hal. 140
                [3] .Muhammad ar-Ramli, Fatawa ar-Ramli, dicetak pada hamisy al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Juz. II, Hal. 38
                [4] Sayyed al-Bakri al-Damyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz II, Hal. 140
[5] Ibnu Alan, Darul Falihin, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 214
                [6] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. IV,  Hal. 2200
[7] Al-Haitsamy, Majma’ al-Zawaid, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 163, No. Hadits : 4248
[8] An-Nawawi,  al-Azkar, al-Haramain, Singapura, Hal. 148
[9] Bujairumi, Hasyiah al-Bujairumi ‘ala Khathib, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 195
[10] Muhammad bin Alan al-Shadiqi al-Syafi’i, Futuhah al-Rabbaniyah, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. IV, Hal. 194
[11] An-Nawawi, al-Fatawa, Hal. 43
[12] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 37
[13] Al-‘Aini, Syarah Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 65
[14] Zakariya al-Anshari, Asnaa al-Mathalib, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 329

Tidak ada komentar:

Posting Komentar