Renungan

Kamis, 26 Desember 2013

Nikah Misyar (Nikah Wisata) dan nikah Mut’ah



Assalamua'alaikum warahmatullah wabarakatuh
1. bagaimana status (sah atau tidak), dan hukum (haram, makruh, dll) nikah misyar, yg mana sang suami tidak diwajibkan menafkahi istri karena kerelaan sang istri ?
2. bagaimana status (sah atau tidak), dan hukum (haram, makruh, dll) nikah MUT'ah?
jika mungkin mohon Teungku Nukil pendapat Ulama atapun Dalilnya

Jawabnya :
A. Nikah Misyar
Belakangan ini istilah nikah misyar begitu merebak di Indonesia. Dari berbagai media dan situs yang kami baca, istilah nikah misyar ini merebak di Indonesia seiring dengan menjamur model praktek nikah yang dilakukan orang-orang Arab kaya yang suka melancong ke manca negara, semisal Indonesia. Biasanya dalam prakteknya, nikah model ini dilakukan sebagaimana layaknya sebuah pernikahan biasanya, yaitu pernikahan yang memenuhi segala rukun dan syaratnya, dilakukan karena suka sama suka, ada walinya, ada saksinya, dan ada maharnya. Hanya saja, sang istri merelakan beberapa haknya tidak dipenuhi oleh suaminya, misalnya hak nafkah, atau hak gilir, atau tempat tinggal. Ada juga mengistilahkan nikah misyar ini dengan “nikah dengan niat talak” (al-nikâh bi-niyyah al-thalâq). Disebut dengan nikah dengan niat talak, karena biasanya pria yang melakukan praktek nikah ini tidak ada tujuan pernikahan yang lestari dan untuk waktu selamanya, tetapi hanya untuk tempo tertentu saja seperti satu malam, seminggu dan sebagainya, tetapi keinginan mentalaq dalam tempo tertentu tersebut tidak diucapkan secara verbal dalam akad nikah. Biasanya mereka melakukan kesepakatan dulu sebelum akad, tetapi kesepakatan yang telah dibuat tersebut tidak disebut dalam akad nikah.
Untuk menjawab apakah nikah misyar ini sah atau tidak ?, mari kita simak keterangan para ulama berikut ini :
1.        Imam al-Nawawi mengatakan dalam Syarah Muslim :
وَأَمَّا شَرْطٌ يُخَالِفُ مُقْتَضَاهُ كَشَرْطِ أنْ لَا يَقْسِمَ لَهَا وَلَا يَتَسَرَّى عَلَيْهَا وَلَا يُنْفِقُ عَلَيْهَا وَلَا يُسَافِرُ بِهَا وَنَحْوِ ذَلِكَ فَلَا يَجِبُ الْوَفَاءُ بِهِ بَلْ يَلْغُو الشَّرْطُ وَيَصِحُّ النِّكَاحُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ
“Adapun syarat yang menyalahi kehendaki akad nikah seperti syarat tidak memberikan jatah pembagian malam bagi isteri, tidak mengunjungi pada waktu malam, tidak memberikan nafkah atau tidak melakukan musafir bersamanya ataupun lainnya, maka tidak wajib memenuhinya, bahkan lagha (ada penyebutannya seperti tidak ada) syarat tersebut dan sah nikahnya dengan mahar mitsil, karena sabda Nabi SAW : “Setiap syarat yang tidak pada kitab Allah, maka itu adalah batal.”[1]

2.        Syeikh Syairazi mengatakan dalam kitabnya, al-Muhazzab sebagai berikut :
وان شرط أن لا يتسرى عليها أو لا ينقلها من بلدها بطل الشرط لانه يخالف مقتضى العقد ولا يبطل العقد لانه لا يمنع مقصود العقد وهو الاستمتاع، فإن شرط أن لا يطأها ليلا بطل الشرط لقوله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (الْمُؤْمِنُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إلَّا شَرْطًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حلالا) فإن كان الشرط من جهة المرأة بطل العقد، وان كان من جهة الزوج لم يبطل، لان الزوج يملك الوطئ ليلا ونهارا وله أن يترك، فإذا شرط أن لا يطأها فقد شرط ترك ماله تركه والمرأة يستحق عليها الوطئ ليلا ونهارا، فإذا شرطت أن لا يطأها فقد شرطت منع الزوج من حقه، وذلك ينافى مقصود العقد فبطل.
"Seandainya disyaratkan (dalam akad nikah) tidak mengunjungi isterinya pada waktu malam hari atau tidak memindahkan isterinya dari negerinya, maka syaratnya itu batal, karena syarat tersebut menyalahi kehendaki akad dan tidak batal akad nikah, karena tidak mencegah maksud akad, yaitu bermesraan dengan isteri. Karena itu, seandainya disyaratkan tidak menyetubuhinya pada waktu malam, maka batal syaratnya, karena sabda Nabi SAW : “Orang-orang beriman atas syarat mereka kecuali syarat yang menghalalkan yang haram dan yang mengharamkan yang halal.” Maka jika syarat itu dari pihak isteri, maka batal akadnya dan jika dari pihak suami, maka tidak batal akadnya, karena suami memiliki hak menyetubuhi pada waktu malam dan siang, sedangkan suami boleh meninggalkan haknya itu, karena itu jika suami mensyaratkan tidak menyetubuhi isterinya, maka suami tersebut mensyaratkan meninggalkan sesuatu yang boleh baginya meninggalkannya. Adapun si isteri berkewajiban atasnya untuk menerima disetubuhi pada waktu malam dan siang, karena itu jika isteri mensyaratkan tidak menyetubuhinya, maka isteri tersebut sudah mensyaratkan mencegah suami dari haknya, sedangkan yang demikian itu menafikan maksud akad, karena itu batal akadnya.”[2]

Hadits yang dikutip Syeikh Syairazi di atas riwayat Abu Daud dan  al-Hakim dari Abu Hurairah dan riwayat al-Hakim dari Anas, Thabrani dari Aisyah dan Rafi’ bin Khadij.[3]
3.        Dalam Bughyatul Mustarsyidin disebutkan :
“Masalah ش : Apabila seorang perempuan menikah dengan syarat suaminya tidak mengeluarkannya dari rumah ayahnya, jika syarat tersebut bukan dalam diri akad, maka tidak ada pengaruh apapun, baik syaratnya itu disebut sebelum akad ataupun sesudahnya. Maka tidak melazimkan sesuatupun. Atau syarat tersebut disebut dalam akad, seperti “Aku kawinkan kamu dengan anakku dengan syarat tidak kamu keluarkannya dari rumahku, maka sah akad nikah dan lagha syaratnya, tetapi fasid musamma maharnya (penyebutan maharnya), karena itu lazim mahar mitsil. Hal ini juga berlaku sama pada setiap syarat yang tidak mencederai maksud nikah.”[4]

4.    Imam al-Nawawi  berkata :
قَالَ الْقَاضِي وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ مَنْ نَكَحَ نِكَاحًا مُطْلَقًا وَنِيَّته أَلَّا يَمْكُث مَعَهَا إِلَّا مُدَّة نَوَاهَا فَنِكَاحه صَحِيح حَلال ، وَلَيْسَ نِكَاح مُتْعَة ، وَإِنَّمَا نِكَاح الْمُتْعَة مَا وَقَعَ بِالشَّرْطِ الْمَذْكُور ، وَلَكِنْ قَالَ مَالِك : لَيْسَ هَذَا مِنْ أَخْلَاق النَّاس ، وَشَذَّ الْأَوْزَاعِيُّ فَقَالَ : هُوَ نِكَاح مُتْعَة ، وَلَا خَيْر فِيهِ . وَاَللَّه أَعْلَم .
“Al-Qaadli berkata : Para ulama telah bersepakat bahwa siapa saja yang melakukan nikah secara mutlaq dengan niat (dalam hati) hanya akan bersamanya dalam waktu terbatas, maka nikahnya sah dan halal. Ini bukan nikah mut’ah. Nikah mut’ah adalah nikah yang dilaksanakan disertai syarat yang disebutkan. Akan tetapi Malik berkata : ‘Ini tidak termasuk akhlaq manusia (generasi salaf)’. Sedangkan Al-Auza’i mempunyai pendapat yang berbeda, dimana ia berkata : ‘Hal itu adalah nikah mut’ah dan tidak ada kebaikan di dalamnya’. Wallaahu a’lam” [5]

5.        Berkata ‘Ali Syibran al-Malusi :
Adapun jika bersepakat keduanya sebelum melaksanakan akad untuk bercerai dalam dalam waktu tertentu dan tidak disebut dalam akad, maka tidak mengapa tetapi sepatutnya makruh”. [6]
 
Berdasarkan keterangan-keterangan ulama di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Apabila dalam sebuah akad nikah disebut syarat, tetapi penyebutannya dilakukan di luar akad, baik sebelum atau sesudah akad, maka syarat tersebut tidak mengikat siapapun dan tidak ada dampak hukumnya. Karena syarat yang disebut di luar sebuah akad tidak lazim dipenuhi.
2.      Apabila syarat tersebut disebut dalam diri akad, maka ini ada tafsilnya, yakni apabila syarat yang disebutkan itu menyalahi maqtazha akad, tetapi tidak menafikan maksud akad, seperti suami tidak boleh membawa isteri meninggalkan rumah ayahnya, maka lagha syaratnya, namun sah akadnya. Adapun apabila syaratnya menafikan maksud akad seperti bermesraan atau bersetubuh dengan isteri, maka tidak sah akadnya. Namun demikian apabila persyaratan tidak bermesraan atau bersetubuh dengan isteri dilakukan oleh pihak suami, maka akadnya sah, karena bermesraan atau bersetubuh merupakan hak suami, karena itu suami boleh menggunakan haknya dan boleh juga meninggalkannya. Adapun apabila dilakukan oleh pihak isteri, maka akadnya tidak sah. Karena isteri tidak boleh mencegah hak suami.
3.      Sebuah akad nikah dengan niat (dalam hati) hanya akan bersamanya dalam waktu terbatas, maka nikahnya sah dan halal. Demikian juga sah akad nikah apabila bersepakat keduanya sebelum melaksanakan akad untuk bercerai dalam dalam waktu tertentu, namun kesepakatan tersebut tidak disebut dalam akad
Sesuai  dengan kesimpulan di atas, maka di sini dapat dijawab hukum nikah misyar sebagai berikut :
a.       Nikah misyar selama dengan pengertiannya yang kami sebutkan di atas, maka sah akadnya. Kalau persyaratan yang dibuat itu disebut di luar akad, maka persyaratan tersebut tidak wajib dipenuhi. Kalau disebut di dalam akad, maka persyaratan tersebut lagha (sia-sia, adanya persyaratan tersebut seperti tidak ada) dan akadnya tetap sah. Mahar pernikahan itu kembali kepada mahar mitsil (bukan mahar yang disebut dalam akad, tetapi kembali kepada jenis dan ukuran yang sesuai dengan status dan kedudukan isteri)
b.      Kalau nikah misyar dimaknai dengan nikah dengan niat talaq, maka pernikahan dengan makna ini juga sah juga, karena niat saja tidak memberi pengaruh terhadap keabsahan suatu pernikahan
c.       Nikah misyar bukanlah nikah mut’ah yang disepakati ulama keharaman dan tidak sahnya. Karena nikah mut’ah adalah nikah yang dalam akadnya disebut batasan waktu berlakunya pernikahan sebagaimana banyak dijelaskan ulama.
Catatan
Meskipun demikian,menurut hemat kami apabila pernikahan misyar ini banyak mendatangkan kemudharatan, karena dalam prakteknya banyak orang memanfaatkan nikah misyar ini hanya sekedar menggumbar nafsu syahwatnya dan ujung-ujungnya yang menjadi korban adalah pihak perempuan, maka pihak pemerintah harus melarangnya. Qaidah fiqh mengatakan :
تصرف الامام على رعيته منوط بالمصلحة
”Kebijakan pemerintah kepada rakyatnya berdasar kemaslahatan”[7]

B. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah nikah yang dibatasi jangka waktunya. Pembatasan ini disebut dalam akad. Karena kalau tidak sebut pembatasannya dalam akad tidak disebut dengan nikah mut’ah sebagaimana dijelaskan al-Nawawi dalam Syarh Muslim di atas. Adapun pengharaman nikah mut’ah berdasarkan hadis shahih antara lain :
1.      Diriwayatkan bahwa sahabat Salamah bin al-Akwa' berkata :
"Rasulullah SAW memperbolehkan nikah mut'ah selama tiga hari pada tahun Ausath (ketika ditundukannya Makkah, fathu Makkah) kemudian (setelah itu) melarangnya. " (HR. Muslim)

2. Diriwayatkan dari Rabi' bin Sabrah r.a. sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda :
" Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengijinkan nikah mut'ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut'ah maka segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut,ah. " (HR. Abu Dawud, Muslim, an-Nasai, Ahmad, dan Ibnu Hibban)

3. Imam Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan :
" Telah terjadi ijmak atas haram nikah mut’ah dan tidak ada yang menyalahinya kecuali satu kelompok ahli bid’ah”[8]


[1].  Al-Nawawi, Syarah Muslim, Cet. Muasisah Qurthubah, Juz. IX, Hal. 288
[2] Syairazi, Muhazzab, dicetak dalam  Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Cet. Maktabah Irsyad, Jeddah, Juz. XVII, Hal. 357
[3] . Muhammad Najib al-Muthi’i, Tukmalah Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Cet. Maktabah Irsyad, Jeddah, Juz. XVII, Hal. 357
[4] Sayyed Abdurrahman Ba’Alawi, Bughyatul Mustarsyidin, Cet. Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 200
[5].  Al-Nawawi, Syarah Muslim, Cet. Muasisah Qurthubah, Juz. IX, Hal. 258-259
[6]. Al-Bakry ad-Dimyathy, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 278
[7] . Al-Suyuthi, al-Asybah wan-Nadhair, Cet. Al-Haramain, Singapura, Hal. 83
[8] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Cet. Muasisah Qurthubah, Juz. IX, Hal. 255

Sabtu, 21 Desember 2013

Hadits Rasulullah SAW Memercik Air Ketika Perkawinan Ali dan Fatimah binti Rasulullah.

Dari Anas, beliau berkata :
 قَالَ: جَاءَ أَبُو بَكْرٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَعَدَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ! قَدْ عَلِمْتَ مُنَاصَحَتِي وَقِدَمِي فِي الإِسْلامِ، وَإِنِّي وَإِنِّي، قَالَ:وَمَا ذَلِكَ؟قَالَ: تُزَوِّجْنِي فَاطِمَةَ، فَسَكَتَ عَنْهُ، أَوْ قَالَ: فَأَعْرَضَ عَنْهُ، فَرَجَعَ أَبُو بَكْرٍ إِلَى عُمَرَ، فَقَالَ: هَلَكْتُ وَأَهْلَكْتَ، قَالَ: وَمَا ذَلِكَ؟ قَالَ: خَطَبْتُ فَاطِمَةَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْرَضَ عَنِّي، فَقَالَ: مَكَانَكَ حَتَّى آتِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَطْلُبُ مِثْلَ الَّذِي طَلَبْتَ، فَأَتَى عُمَرُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَعَدَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ! قَدْ عَلِمْتَ مُنَاصَحَتِي وَقِدَمِي فِي الإِسْلامِ، وَإِنِّي وَإِنِّي، قَالَ:وَمَا ذَاكَ؟قَالَ: تُزَوِّجْنِي فَاطِمَةَ، فَأَعْرَضَ عَنْهُ فَرَجَعَ عُمَرُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ، فَقَالَ: إِنَّهُ يَنْتَظِرُ أَمْرَ اللَّهِ فِيهَا، انْطَلِقْ بنا إِلَى عَلِيٍّ حَتَّى نَأْمُرَهُ أَنْ يَطْلُبَ مِثْلَ الَّذِي طَلَبْنَا، قَالَ عَلِيٌّ: فَأَتَيَانِي وَأَنَا فِي سَبِيلٍ، قَالا: بنتُ عَمِّكَ تُخْطَبُ، فَنَبَّهَانِي لأَمْرٍ، فَقُمْتُ أَجُرُّ رِدَائِي طَرَفٌ عَلَى عَاتِقِي، وَطَرَفٌ آخَرُ فِي الأَرْضِ حَتَّى أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَعَدْتُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ! قَدْ عَلِمْتَ قِدَمِي فِي الإِسْلامِ وَمُنَاصَحَتِي، وَإِنِّي وَإِنِّي، قَالَ:وَمَا ذَاكَ يَا عَلِيُّ؟قُلْتُ: تُزَوِّجْنِي فَاطِمَةَ، قَالَ:وَمَا عِنْدَكَ، قُلْتُ: فَرَسِي وَبُدْنِي، يَعْنِي دِرْعِي، قَالَ:أَمَّا فَرَسُكَ، فَلا بُدَّ لَكَ مِنْهُ، وَأَمَّا دِرْعُكَ فَبِعْهَا، فَبِعْتُهَا بِأَرْبَعَ مِائَةٍ وَثَمَانِينَ فَأَتَيْتُ بِهَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَضَعْتُهَا فِي حِجْرِهِ، فَقَبَضَ مِنْهَا قَبْضَةً، فَقَالَ:يَا بِلالُ، ابْغِنَا بِهَا طِيبًا، ومُرْهُمْ أَنْ يُجَهِّزُوهَا، فَجَعَلَ لَهَا سَرِيرًا مُشَرَّطًا بِالشَّرَيطِ، وَوِسَادَةً مِنْ أَدَمٍ، حَشْوُهَا لِيفٌ، وَمَلأَ الْبَيْتَ كَثِيبًا، يَعْنِي رَمَلا، وَقَالَ:إِذَا أَتَتْكَ فَلا تُحْدِثْ شَيْئًا حَتَّى آتِيَكَ، فَجَاءَتْ مَعَ أُمِّ أَيْمَنَ فَقَعَدَتْ فِي جَانِبٍ الْبَيْتِ، وَأَنَا فِي جَانِبٍ، فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ:هَهُنَا أَخِي، فَقَالَتْ أُمُّ أَيْمَنَ: أَخُوكَ قَدْ زَوَّجْتَهُ بنتَكَ، فَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لِفَاطِمَةَ:ائْتِينِي بِمَاءٍ، فَقَامَتْ إِلَى قَعْبٍ فِي الْبَيْتِ فَجَعَلَتْ فِيهِ مَاءً فَأَتَتْهُ بِهِ فَمَجَّ فِيهِ ثُمَّ قَالَ لَهَا:قَوْمِي، فَنَضَحَ بَيْنَ ثَدْيَيْهَا وَعَلَى رَأْسِهَا، ثُمَّ قَالَ:اللَّهُمَّ أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، ثُمَّ قَالَ لَهَا:أَدْبِرِي، فَأَدْبَرَتْ فَنَضَحَ بَيْنَ كَتِفَيْهَا، ثُمَّ قَالَ:اللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، ثُمَّ قَالَ:ائْتِينِي بِمَاءٍ، فَعَمِلْتُ الَّذِي يُرِيدُهُ، فَمَلأْتُ الْقَعْبَ مَاءً فَأَتَيْتُهُ بِهِ فَأَخَذَ مِنْهُ بِفِيهِ، ثُمَّ مَجَّهُ فِيهِ، ثُمَّ صَبَّ عَلَى رَأْسِي وَبَيْنَ يَدَيْ، ثُمَّ قَالَ:اللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهُ وَذُرِّيَّتَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، ثُمَّ قَالَ:ادْخُلْ عَلَى أَهْلِكَ بِسْمِ اللَّهِ وَالْبَرَكَةِ.
Artinya: Abu Bakar datang kepada Nabi SAW dan duduk dihadapan beliau dan berkata, “Wahai Rasulallah engkau telah mengajarkanku dan engkau menasehatiku dan lantas aku dulu masuk Islam dan seterusnya. Lalu Nabi SAW berkata, lantas ada apa? Abu Bakar berkata, nikahilah aku dengan Fathimah, lantas beliau diam (atau berkata perawi) beliau berpaling darinya, maka Abu Bakar kembali kepada Umar dan berkata kepadanya, celaka aku dan celaka aku, Umar berkata, kenapa demikian? Abu Bakar berkata, aku meminang Fatimah kepada Nabi SAW, dan Nabi SAW Berpaling dariku. Umar berkata, tetaplah ditempatmu, aku akan menemui Nabi SAW dan memintakan hal serupa. maka datanglah Umar kepada Nabi SAW dan duduk dihadapan Nabi SAW dan berkata, Wahai Rasulullah, Engkau telah mengajarkanku dan engkau menasehatiku dan lantas aku dulu masuk Islam, Beliau berkata, lantas ada apa? Umar berkata, nikahi saya dengan Fathimah, Rasulullah SAW-pun berpaling darinya, lalu kembalilah Umar kepada Abu Bakar dan berkata kepadanya bahwa Rasulullah menunggu perintah Allah, mari kita pergi kepada Ali sehingga ia meminta hal serupa. Ali berkata, keduanya mendatangiku, padahal aku sedang berada di jalan. Keduanya berkata, kamu harus  meminang anak perempuan pamanmu, maka keduanya memberitahukan kepadaku suatu hal, lalu aku berdiri menjulur ujung rida’ku atas bahuku dan ujung satu lagi atas tanah sehingga aku menemui Nabi SAW dan aku duduk dihadapan Rasulullah SAW, maka aku katakan, Wahai Rasulallah engkau telah mengajarkanku dan engkau menasehatiku dan lantas aku dulu masuk Islam dan seterusnya. Lalu Nabi SAW berkata, lantas ada apa? Lalu aku mengatakan, nikahilah aku dengan Fathimah. Lantas Rasulullah SAW berkata, apa yang ada di sisimu ?Aku menjawab, kuda dan badanku (baju besi), Rasulullah SAW  berkata, Adapun kudamu suatu yang sangat penting. Karena itu, juallah baju besimu. Maka aku menjualnya dengan harga empat ratus delapan puluh. Kemudian aku menemui Nabi SAW kembali dan meletakkan harga baju besi tadi pada pangkuan Nabi SAW, lalu beliau mengambilny, kemudian mengatakan, Ya Bilal !, Carilah untuk Fatimah wewangian dan suruh mereka menyiapkan segala sesuatu. Maka dibuatlah tempat tidur yang diikat dengan pita dan bantal dari kulit yang tepinya dipenuhi serabut serta membuat rumah dari pasir. Rasulullah SAW  berkata, apabila dia datang kepadamu, maka jangan kamu bilang sesuatupun sehingga aku datang memenuhimu. Kemudian datanglah Fatimah bersama Ummul Aiman yang duduk pada satu sisi rumah dan aku duduk pada sisi lain. Nabi SAW pun muncul dan berkata, Ke sini! Hai saudaraku. Ummul Aiman menyela, saudaramu ingin kamu kawinkan dengan anakmu. lalu Rasulullah kemudian masuk kedalam rumah dan berkata kepada Fatimah, bawakan saya air ! maka Fatimah bangkit mengambil mangkok dalam rumah dengan mengisikan air dalamnya, lalu memberikan kepada Nabi SAW, kemudian beliau meludahi air itu dan berkata kepada Fatimah, Berdirilah! Maka Nabi SAW memercik  dengan air antara hadapan dan atas kepalanya dengan mengatakan,
اللَّهُمَّ أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
                Kemudian berkata, Membelakanglah, maka Fatimah membelakang, lalu Nabi SAW memercik air di antara dua bahunya dengan mengatakan,
اللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
             Setelah itu, Nabi SAW berkata kepadaku, bawakan aku air. Aku sudah mengerti maksud beliau, maka aku isi mangkok dengan air dan berikan kepada beliau. Beliau mengambil, kemudian meludahinya, lalu memercik air itu atas kepalaku dan di antara hadapanku. Kemudian beliau mengatakan,
اللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهُ وَذُرِّيَّتَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
             Setelah selesai semua, Nabi SAW berkata, Temuilah isterimu dengan nama Allah dan keberkahan (H.R. al-Thabrany)[1]

            Menurut al-Haitsamy, salah seorang ahli hadits dalam kitab beliau , al-Majma’ al-Zawaid, hadits ini telah diriwayat oleh al-Thabrany dan dalam sanadnya terdapat Yahya bin Ya’la al-Aslami, sedangkan dia ini dha’if.[2] Hadits di atas juga diriwayat oleh Ibnu Hibban yang sanadnya juga berujung kepada Yahya bin Ya’la al-Aslami[3] Zainuddin al-‘Iraqi juga mengatakan bahwa Yahya bin Ya’la al-Aslami adalah dha’if.[4]


Mau tahu hukum tepung tawar/peusijuk dalam Islam, kunjungi :
Tepung tawar/peusijeuk menurut hukum Islam, Bag. 1




[1] Al-Thabrany, al-Mu’jam al-Kabir, Maktabah Syamilah, Juz. XVI, Hal. 263-264. No. Hadits : 18454
[2] Nuruddin Ali al-Haitsamy, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, IX, Hal. 331, No. Hadits : 15210
[3] Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, Maktabah Syamilah, Juz. XV, Hal. 393-395, No. Hadits : 6944
[4] Zainuddin al-‘Iraqi, Takhrij Ahadits al-Ihya, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 123