Renungan

Senin, 28 April 2014

Hadits perintah memberi mahar dalam perkawinan


1.        Dari Aisyah r.a, beliau mengatakan,  Rasulullah SAW bersabda :
أَيُّمَا اِمْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا, فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ, فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا اَلْمَهْرُ بِمَا اِسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا, فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
Artinya : Perempuan yang nikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil. Jika sang laki-laki telah mencampurinya, maka ia wajib membayar maskawin untuk kehormatan yang telah dihalalkan darinya, dan jika mereka bertengkar maka penguasa dapat menjadi wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali. (Dikeluarkan oleh Imam Empat kecuali al-Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Uwanah, Ibnu Hibban, dan al-Hakim.)[1]

2.        Dari ‘Uqbah bin ‘Amir r.a. , beliau mengatakan, Rasulullah SAW bersabda :
إِنَّ أَحَقَّ اَلشُّرُوطِ أَنْ يُوَفَّى بِهِ  مَا اِسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ اَلْفُرُوجَ 
Artinya : Sesungguhnya syarat yang paling berhak ditunai adalah mahar untuk menghalalkan kehormatan isteri. (muttafaqun ‘alaihi)[2]

Berdasarkan dua hadits di atas disimpulkan bahwa :
a.    Suami berkewajiban membayar mahar kepada isterinya apabila sudah menggaulinya.
b.    Mahar bukanlah salah satu rukun nikah, tetapi merupakan sebuah kewajiban. Karena itu, apabila terjadi akad pernikahan tanpa penyebutan mahar, nikahnya tetap sah. Ukuran maharnya dikembalikan kepada mahar mitsil. Keabsahan suatu pernikahan tanpa penyebutan mahar dalam akadnya juga didukung oleh firman Allah Ta’ala berbunyi :
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً
Artinya : Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. (Q.S. Al-Baqarah : 236)

3.        Dari Sahal bin Sa’d r.a., mengatakan :
جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي , فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَصَعَّدَ اَلنَّظَرَ فِيهَا , وَصَوَّبَهُ , ثُمَّ طَأْطَأَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم رَأْسَهُ , فَلَمَّا رَأَتْ اَلْمَرْأَةُ أَنَّهُ لَمْ يَقْضِ فِيهَا شَيْئًا جَلَسَتْ , فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ. فَقَالَ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكَ بِهَا حَاجَةٌ فَزَوِّجْنِيهَا. قَالَ : فَهَلْ عِنْدكَ مِنْ شَيْءٍ ? فَقَالَ : لَا , وَاَللَّهِ يَا رَسُولَ اَللَّهِ. فَقَالَ : اِذْهَبْ إِلَى أَهْلِكَ , فَانْظُرْ هَلْ تَجِدُ شَيْئًا ? فَذَهَبَ , ثُمَّ رَجَعَ  فَقَالَ : لَا , وَاَللَّهِ يَا رَسُولَ اَللَّهِ، مَا وَجَدْتُ شَيْئًا. فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم انْظُرْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ، فَذَهَبَ، ثُمَّ رَجَعَ. فَقَالَ : لَا وَاَللَّهِ , يَا رَسُولَ اَللَّهِ , وَلَا خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ , وَلَكِنْ هَذَا إِزَارِي - قَالَ سَهْلٌ : مَالُهُ رِدَاءٌ - فَلَهَا نِصْفُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَا تَصْنَعُ بِإِزَارِكَ ? إِنْ لَبِسْتَهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا مِنْهُ شَيْءٌ، وَإِنْ لَبِسَتْهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ شَيْءٌ فَجَلَسَ اَلرَّجُلُ , وَحَتَّى إِذَا طَالَ مَجْلِسُهُ قَامَ ; فَرَآهُ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مُوَلِّيًا , فَأَمَرَ بِهِ , فَدُعِيَ لَهُ , فَلَمَّا جَاءَ. قَالَ : مَاذَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ? قَالَ : مَعِي سُورَةُ كَذَا , وَسُورَةُ كَذَا , عَدَّدَهَا فَقَالَ : تَقْرَؤُهُنَّ عَنْ ظَهْرِ قَلْبِكَ ? قَالَ : نَعَمْ , قَالَ : اِذْهَبْ , فَقَدَ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
Artinya : Ada seorang wanita menemui Rasulullah SAW dan berkata: Wahai Rasulullah, aku datang untuk menghibahkan diriku pada baginda. Lalu Rasulullah SAW memandangnya, kemudian menaikkan pandangannya dan memperhatikannya, kemudian beliau menunduk kepalanya. Ketika perempuan itu mengerti bahwa beliau tidak menghendakinya sama sekali, ia duduk. Berdirilah seorang shahabat dan berkata: "Wahai Rasulullah, jika baginda tidak menginginkannya, nikahkanlah aku dengannya. Beliau bersabda: "Apakah engkau mempunyai sesuatu?" Dia menjawab: Demi Allah tidak, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: "Pergilah ke keluargamu, lalu lihatlah, apakah engkau mempunyai sesuatu." Ia pergi, kemudian kembali dam berkata: Demi Allah, tidak, aku tidak mempunyai sesuatu. Rasulullah SAW bersabda: "Carilah, walaupun hanya sebuah cincin dari besi." Ia pergi, kemudian kembali lagi dan berkata: Demi Allah tidak ada, wahai Rasulullah, walaupun hanya sebuah cincin dari besi, tetapi ini kainku -Sahal berkata: Ia mempunyai selendang -yang setengah untuknya (perempuan itu). Rasulullah SAW bersabda: "Apa yang engkau akan lakukan dengan kainmu? Jika engkau memakainya, Ia tidak kebagian apa-apa dari kain itu dan jika ia memakainya, engkau tidak kebagian apa-apa." Lalu orang itu duduk. Setelah duduk lama, ia berdiri. Ketika Rasulullah SAW melihatnya berpaling, beliau memerintah untuk memanggilnya. Setelah ia datang, beliau bertanya: "Apakah engkau mempunyai hafalan Qur'an?" Ia menjawab: Aku hafal surat ini dan itu. Beliau bertanya: "Apakah engkau menghafalnya di luar kepala?" Ia menjawab: Ya. Beliau bersabda: "Pergilah, aku telah berikan wanita itu padamu dengan hafalan Qur'an yang engkau miliki."(Muttafaqun ‘alaihi)[3]

Berdasarkan hadits ini, dalam Syarah Muslim Imam al-Nawawi menyimpulkan sebagai berikut :
a.    Khusus kepada Nabi SAW dibolehkan seorang perempuan menghibbahkan dirinya untuk dinikahi tanpa mahar. Ini juga sesuai dengan firman Allah Ta’ala, berbunyi :
وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya : Dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin.(Q.S. Al-Ahzab : 50.)

b.    Boleh memandang seorang perempuan yang ingin dipinangnya sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan
c.    Mahar yang diwajibkan dalam suatu pernikahan adalah sesuatu yang berharga, baik sedikit maupun banyak sesuai dengan kesepakatan pihak-pihak, karena cincin dari besi mengisyarahkan kepada benda yang sedikit harganya. Ini merupakan pendapat Syafi’i dan jumhur ulama dari kalangan salaf dan khalaf. Malik mengatakan, sekurang-kurangnya seperempat dinar sama dengan nisab pencurian. Abu Hanifah dan pengikutnya mengatakan, sekurang-kurangnya sepuluh dirham. Ibnu Syibramah mengatakan, sekurang-kurangnya lima dirham i’tibar nisab pencurian disisinya. Murrah mengatakan sepuluh dirham.
d.   Boleh menjadikan mengajarkan al-Qur’an sebagai mahar pernikahan dan boleh mengambil upah mengajarkan al-Quran. Ini merupakan pendapat Syafi’i, ‘Itha’, Hasan bin Shaleh, Malik, Ishaq dan lainnya. Sekelompok ulama tidak membolehkannya, yaitu al-Zuhri dan Abu Hanifah.[4]

4.        Dari Anas bin Malik berkata :
عَنِ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم  أَنَّهُ أَعْتَقَ صَفِيَّةَ , وَجَعَلَ عِتْقَهَا صَدَاقَهَا
Artinya : Bahwa Nabi SAW memerdekakan Shafiyyah dan menjadikan kemerdekaannya sebagai maskawinnya. (Muttafaqun ‘Alaihi.)

Menurut pendapat yang shahih yang dipilih ulama muhaqqiqun, dalam hadits ini Nabi SAW menikah dengan Shafiyah tanpa mahar dengan keredhaan Shafiyah sendiri dimana sebelumnya Nabi SAW telah memerdekakannya tanpa syarat dan imbalan apapun. Nabi SAW boleh menikah dengan penyerahan diri seorang perempuan tanpa mahar sebagaimana hadits nomor tiga di atas. Sa'id bin al-Musayyab, Hasan, al-Nakha’i, al-Zuhri, al-Tsuri, al-Auza’i, Abu Yusuf, Ahmad dan Ishaq mengatakan, dalam hadits di atas Nabi SAW telah menjadikan kemerdekaan seorang perempuan sebagai mahar pernikahannya. Ini bukan hanya berlaku khusus kepada Nabi SAW, tetapi juga dibolehkan kepada ummatnya, karena beramal dengan dhahir hadits di atas.[5]









[1] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, (Taqiq oleh Samir bin Amin al-Zahiry), Hal. 297
[2] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, (Taqiq oleh Samir bin Amin al-Zahiry), Hal. 302
[3] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, (Taqiq oleh Samir bin Amin al-Zahiry), Hal. 295
[4] Imam al-Nawawi, Syarah Muslim, Penerbit : Muassiah Qurthubah, Juz. IX, Hal. 302-305
[5] Imam al-Nawawi, Syarah Muslim, Penerbit : Muassiah Qurthubah, Juz. IX, Hal. 314-315

Minggu, 27 April 2014

Istilah-istilah dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj, karangan Ibnu Hajar al-Haitamy.(Bag.2)

Dalam kitab Sulam al-Muta’allimin,[1] karya Sayyed Ahmad Miiqary Syamilah al-Ahdal dijelaskan beberapa istilah lain dalam al-Tuhfah, al-Nihayah dan al-Mughni yang tidak dijelaskan dalam pembahasan di atas, yaitu :
1.        Apabila mereka mengatakan :
القاضيان
Maka maksudnya adalah al-Rauyani dan al-Mawardi.
2.        Apabila mereka mengatakan :
الشيخان
Maka maksudnya : al-Rafi’i dan al-Nawawi.
3.        Apabila mereka mengatakan :
الشيوخ
Maka maksudnya : al-Rafi’i, al-Nawawi dan al-Subki
4.        Apabila al-Haitamy mengatakan :
على ما شمله كلامهم
Maka beliau terlepas dari pendapat tersebut atau pendapat tersebut ada isykal. Yang sama dengan ini perkataan beliau :
كذا قالوه atau   كذا قاله فلان
5.        Apabila al-Haitamy mengatakan :
وإن صح هذا فكذا
            Maka ini menunjukkan bahwa beliau tidak sependapat dengannya.
6.        Apabila al-Haitamy mengatakan :
على المعتمد
Maka ini merupakan pendapat yang lebih dhahir (al-azhhar) dari aqwal Syafi’i.
7.        Apabila al-Haitamy mengatakan :
على الأوجه
Maka maksudnya pendapat yang lebih shahih (al-ashah) dari pendapat-pendapat (al-Wujuh) pengikut Syafi’i.
8.        Apabila al-Haitamy mengatakan :
والذي يظهر
Maka maksudnya adalah yang dipahami secara terang (wazhih) dari kalam yang bersifat umum dari kalangan pengikut Syafi’i yang dikutip dari dari empunya mazhab dengan kutipan yang bersifat umum pula.
9.        Apabila al-Haitamy mengatakan :
لم نر فيه نقلاً
Maka dimaksud dengannya kutipan yang khusus.
10.    Apabila al-Haitamy mengatakan :
هو محتمل
Maka apabila didhabith dengan fatah mim yang kedua, maka itu merupakan pendapat yang rajih. Adapun apabila didhabith dengan kasrah mim yang kedua, maka itu merupakan pendapat marjuh (lemah). Apabila tidak didhabit dengan sesuatupun, maka diharuskan rujuk kepada kitab-kitab mutaakhirin sesudah beliau. Namun apabila perkataan tersebut jatuh sesudah sebab-sebab tarjih, maka pendapat itu rajih dan apabila perkataan tersebut jatuh sesudah sebab-sebab tazh’if, maka pendapat itu marjuh.
11.    Apabila al-Haitamy mengatakan :
على المختار
Apabila pendapat tersebut dinisbahkan kepada bukan al-Nawawi, maka pendapat tersebut keluar dari empunya mazhab, karena itu, tidak boleh dijadikan pegangan. Adapun apabila dinisbahkan kepada al-Nawawi dalam al-Raudhah, maka bermakna lebih shahih dalam mazhab (al-ashah), bukan dengan makna istilah kecuali ikhtiyar al-Nawawi pada masalah tidak makruh air yang dipanasi terik matahari, maka bermakna dha’if.
12.    Apabila al-Haitamy mengatakan :
وقع لفلان كذا
Maka bermakna dha’if kecuali diiringi dengan tarjih, maka ketika itu merupakan pendapat rajih.
13.    Apabila al-Haitamy mengatakan :
في أصل الروضة
Maka maksudnya perkataan al-Nawawi dalam al-Raudhah yang diringkas dari lafazh kitab al-Aziz.
14.    Apabila al-Haitamy mengatakan :
في زوائد الروضة
Maka maksudnya perkataan al-Nawawi dalam al-Raudhah tambahan dari kitab al-Aziz.


(Bersambung bag. 3)


[1] Sayyed Ahmad Miiqary Syamilah al-Ahdal, Sulam al-Muta’allimin, Hal. 87-92