1.
Dari Aisyah r.a, beliau mengatakan, Rasulullah SAW bersabda :
أَيُّمَا اِمْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا,
فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ, فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا اَلْمَهْرُ بِمَا اِسْتَحَلَّ
مِنْ فَرْجِهَا, فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
Artinya : Perempuan yang nikah tanpa izin walinya, maka
nikahnya batil. Jika sang laki-laki telah mencampurinya, maka ia wajib membayar
maskawin untuk kehormatan yang telah dihalalkan darinya, dan jika mereka
bertengkar maka penguasa dapat menjadi wali bagi wanita yang tidak mempunyai
wali. (Dikeluarkan oleh Imam Empat kecuali al-Nasa'i. Hadits shahih menurut
Ibnu Uwanah, Ibnu Hibban, dan al-Hakim.)[1]
2.
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir r.a. , beliau mengatakan, Rasulullah SAW
bersabda :
إِنَّ أَحَقَّ اَلشُّرُوطِ أَنْ يُوَفَّى بِهِ مَا اِسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ اَلْفُرُوجَ
Artinya
: Sesungguhnya syarat yang paling berhak ditunai adalah mahar untuk
menghalalkan kehormatan isteri. (muttafaqun ‘alaihi)[2]
Berdasarkan dua hadits di atas disimpulkan bahwa :
a.
Suami berkewajiban membayar mahar kepada isterinya apabila sudah
menggaulinya.
b.
Mahar bukanlah salah satu rukun nikah, tetapi merupakan sebuah
kewajiban. Karena itu, apabila terjadi akad pernikahan tanpa penyebutan mahar,
nikahnya tetap sah. Ukuran maharnya dikembalikan kepada mahar mitsil. Keabsahan
suatu pernikahan tanpa penyebutan mahar dalam akadnya juga didukung oleh firman
Allah Ta’ala berbunyi :
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً
Artinya : Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum
kamu menentukan maharnya. (Q.S. Al-Baqarah :
236)
3.
Dari Sahal bin Sa’d r.a., mengatakan :
جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه
وسلم فَقَالَتْ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! جِئْتُ أَهَبُ لَكَ نَفْسِي , فَنَظَرَ
إِلَيْهَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَصَعَّدَ اَلنَّظَرَ فِيهَا ,
وَصَوَّبَهُ , ثُمَّ طَأْطَأَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم رَأْسَهُ ,
فَلَمَّا رَأَتْ اَلْمَرْأَةُ أَنَّهُ لَمْ يَقْضِ فِيهَا شَيْئًا جَلَسَتْ ,
فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ. فَقَالَ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! إِنْ لَمْ
يَكُنْ لَكَ بِهَا حَاجَةٌ فَزَوِّجْنِيهَا. قَالَ : فَهَلْ عِنْدكَ مِنْ شَيْءٍ ?
فَقَالَ : لَا , وَاَللَّهِ يَا رَسُولَ اَللَّهِ. فَقَالَ : اِذْهَبْ إِلَى
أَهْلِكَ , فَانْظُرْ هَلْ تَجِدُ شَيْئًا ? فَذَهَبَ , ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ : لَا , وَاَللَّهِ يَا رَسُولَ
اَللَّهِ، مَا وَجَدْتُ شَيْئًا. فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
انْظُرْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ، فَذَهَبَ، ثُمَّ رَجَعَ. فَقَالَ : لَا
وَاَللَّهِ , يَا رَسُولَ اَللَّهِ , وَلَا خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ , وَلَكِنْ
هَذَا إِزَارِي - قَالَ سَهْلٌ : مَالُهُ رِدَاءٌ - فَلَهَا نِصْفُهُ. فَقَالَ
رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَا تَصْنَعُ بِإِزَارِكَ ? إِنْ لَبِسْتَهُ
لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا مِنْهُ شَيْءٌ، وَإِنْ لَبِسَتْهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ
شَيْءٌ فَجَلَسَ اَلرَّجُلُ , وَحَتَّى إِذَا طَالَ مَجْلِسُهُ قَامَ ; فَرَآهُ
رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مُوَلِّيًا , فَأَمَرَ بِهِ , فَدُعِيَ لَهُ
, فَلَمَّا جَاءَ. قَالَ : مَاذَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ? قَالَ : مَعِي سُورَةُ
كَذَا , وَسُورَةُ كَذَا , عَدَّدَهَا فَقَالَ : تَقْرَؤُهُنَّ عَنْ ظَهْرِ
قَلْبِكَ ? قَالَ : نَعَمْ , قَالَ : اِذْهَبْ , فَقَدَ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا
مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
Artinya
: Ada seorang wanita menemui Rasulullah SAW dan berkata: Wahai Rasulullah, aku
datang untuk menghibahkan diriku pada baginda. Lalu Rasulullah SAW memandangnya,
kemudian menaikkan pandangannya dan memperhatikannya, kemudian beliau menunduk
kepalanya. Ketika perempuan itu mengerti bahwa beliau tidak menghendakinya sama
sekali, ia duduk. Berdirilah seorang shahabat dan berkata: "Wahai
Rasulullah, jika baginda tidak menginginkannya, nikahkanlah aku dengannya.
Beliau bersabda: "Apakah engkau mempunyai sesuatu?" Dia menjawab:
Demi Allah tidak, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: "Pergilah ke
keluargamu, lalu lihatlah, apakah engkau mempunyai sesuatu." Ia pergi,
kemudian kembali dam berkata: Demi Allah, tidak, aku tidak mempunyai sesuatu. Rasulullah
SAW bersabda: "Carilah, walaupun hanya sebuah cincin dari besi." Ia
pergi, kemudian kembali lagi dan berkata: Demi Allah tidak ada, wahai
Rasulullah, walaupun hanya sebuah cincin dari besi, tetapi ini kainku -Sahal
berkata: Ia mempunyai selendang -yang setengah untuknya (perempuan itu).
Rasulullah SAW bersabda: "Apa yang engkau akan lakukan dengan kainmu? Jika
engkau memakainya, Ia tidak kebagian apa-apa dari kain itu dan jika ia
memakainya, engkau tidak kebagian apa-apa." Lalu orang itu duduk. Setelah
duduk lama, ia berdiri. Ketika Rasulullah SAW melihatnya berpaling, beliau
memerintah untuk memanggilnya. Setelah ia datang, beliau bertanya: "Apakah
engkau mempunyai hafalan Qur'an?" Ia menjawab: Aku hafal surat ini dan
itu. Beliau bertanya: "Apakah engkau menghafalnya di luar kepala?" Ia
menjawab: Ya. Beliau bersabda: "Pergilah, aku telah berikan wanita itu
padamu dengan hafalan Qur'an yang engkau miliki."(Muttafaqun ‘alaihi)[3]
Berdasarkan
hadits ini, dalam Syarah Muslim Imam al-Nawawi menyimpulkan sebagai berikut :
a.
Khusus kepada Nabi SAW dibolehkan seorang perempuan menghibbahkan
dirinya untuk dinikahi tanpa mahar. Ini juga sesuai dengan firman Allah Ta’ala,
berbunyi :
وَامْرَأَةً
مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ
يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya : Dan perempuan
mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya,
sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin.(Q.S. Al-Ahzab : 50.)
b.
Boleh memandang seorang perempuan yang ingin dipinangnya sebagai
bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan
c.
Mahar yang diwajibkan dalam suatu pernikahan adalah sesuatu yang
berharga, baik sedikit maupun banyak sesuai dengan kesepakatan pihak-pihak, karena
cincin dari besi mengisyarahkan kepada benda yang sedikit harganya. Ini merupakan
pendapat Syafi’i dan jumhur ulama dari kalangan salaf dan khalaf. Malik
mengatakan, sekurang-kurangnya seperempat dinar sama dengan nisab pencurian.
Abu Hanifah dan pengikutnya mengatakan, sekurang-kurangnya sepuluh dirham. Ibnu
Syibramah mengatakan, sekurang-kurangnya lima dirham i’tibar nisab pencurian disisinya.
Murrah mengatakan sepuluh dirham.
d.
Boleh menjadikan mengajarkan al-Qur’an sebagai mahar pernikahan
dan boleh mengambil upah mengajarkan al-Quran. Ini merupakan pendapat Syafi’i, ‘Itha’,
Hasan bin Shaleh, Malik, Ishaq dan lainnya. Sekelompok ulama tidak
membolehkannya, yaitu al-Zuhri dan Abu Hanifah.[4]
4.
Dari Anas bin Malik berkata :
عَنِ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ أَعْتَقَ صَفِيَّةَ , وَجَعَلَ
عِتْقَهَا صَدَاقَهَا
Artinya
: Bahwa Nabi SAW memerdekakan Shafiyyah dan menjadikan kemerdekaannya sebagai
maskawinnya. (Muttafaqun ‘Alaihi.)
Menurut pendapat yang shahih yang dipilih ulama muhaqqiqun, dalam hadits
ini Nabi SAW menikah dengan Shafiyah tanpa mahar dengan keredhaan Shafiyah
sendiri dimana sebelumnya Nabi SAW telah memerdekakannya tanpa syarat dan
imbalan apapun. Nabi SAW boleh menikah dengan penyerahan diri seorang perempuan
tanpa mahar sebagaimana hadits nomor tiga di atas. Sa'id bin al-Musayyab, Hasan, al-Nakha’i,
al-Zuhri, al-Tsuri, al-Auza’i, Abu Yusuf, Ahmad dan Ishaq mengatakan, dalam hadits di atas Nabi SAW telah menjadikan
kemerdekaan seorang perempuan sebagai mahar pernikahannya. Ini bukan hanya berlaku khusus
kepada Nabi SAW, tetapi juga dibolehkan kepada ummatnya, karena beramal dengan
dhahir hadits di atas.[5]
[1]
Ibnu Hajar
al-Asqalany, Bulughul Maram, (Taqiq oleh Samir bin Amin al-Zahiry), Hal. 297
[2]
Ibnu Hajar
al-Asqalany, Bulughul Maram, (Taqiq oleh Samir bin Amin al-Zahiry), Hal. 302
[3]
Ibnu Hajar
al-Asqalany, Bulughul Maram, (Taqiq oleh Samir bin Amin al-Zahiry), Hal. 295
[4]
Imam al-Nawawi,
Syarah Muslim, Penerbit : Muassiah Qurthubah, Juz. IX, Hal.
302-305
[5]
Imam al-Nawawi,
Syarah Muslim, Penerbit : Muassiah Qurthubah, Juz. IX, Hal.
314-315