Renungan

Selasa, 17 Mei 2016

Perbedaan mazhab al-Asy’ari dan al-Maturidi (bag. 3)

7. Masalah sa’aadah dan syaqaawah
Menurut al-Maturudi, seseorang kadang-kadang dalam keadaan sa’aadah, tapi kadang-kadang dalam keadaan syaqaawah. Artinya seseorang bisa jadi pada waktu hidupnya syaqaawah, tetapi kemudian dia mati dalam keadaan sa’aadah. Demikian juga sebaliknya. Adapun al-Asy’ari berpendapat tidak ada i’tibar sa’aadah dan syaqaawah kecuali pada ketika khatimah (mati).
Perbedaan pendapat ini terjadi karena perbedaan antara kedua ulama besar ini dalam memahami makna sa’aadah dan syaqaawah. Al-Maturidi berpendapat sa’aadah adalah Islam, sedangkan syaqaawah adalah kekafiran. Karena itu, seseorang bisa saja Islam dalam hidupnya, sehingga dia bersifat dengan sa’aadah, tetapi kemudian dia mati dalam kekafiran, sehingga dia bersifat dengan syaqaawah. Demikian juga sebaliknya. Adapun al-Asy’ari memahami sa’aadah sebagai mati dalam Islam, sedangkan syaqaawah adalah mati dalam kekafiran. Imam al-Asy’ari tidak memahami sa’aadah dan syaqaawah kecuali pada ketika mati, baik dia pada awalnya adalah kafir atau Islam. Sepakat dua ulama ini, apabila seseorang mati dalam Islam, maka dia bersifat sa’aadah pada waktu kematiannya.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat dipahami bahwa perbedaan di atas hanya perbedaan karena berbeda dalam memahami makna sa’aadah dan syaqaawah saja, meski sebenarnya sepakat dalam substansinya. Dengan demikian, maka ini adalah khilaf lafzhi, yakni khilaf dalam penamaannya saja.
8.  Ampunan atas orang kafir
Al-Maturidi mengatakan, ampunan Allah kepada orang kafir tidak boleh pada akal. Adapun al-Asy’ari mengatakan boleh menurut akal, tetapi tidak boleh menurut syara’ (sima’i).
Menurut al-Maturidi, akal merupakan alat yang dapat mengetahui (ingkisyaf) hukum yang telah ditetapkan Allah dengan iradah-Nya. Berdasarkan ini, maka beliau mengkaidkan akal dengan ketentuan syara’ yang yang telah menetapkan tidak ada ampunan atas orang kafir. Sehingga beliau berpendapat bahwa menurut akal tidak ampunan atas orang kafir. Adapun menurut al-Asy’ari, hukum Allah tidak dapat diketahui dengan akal semata. Berdasarkan ini beliau menjelaskan kepada kita masalah ampunan kepada orang kafir menurut akal merupakan dari sudut aspek dan tinjauan akal semata-mata. Karena itu, beliau mengatakan, ampunan kepada orang kafir boleh menurut akal dan tidak boleh menurut syara’. Berdasarkan ini, maka ini menurut Sa’id Fudah merupakan khilaf yang tidak prinsipil.
9. Masalah kekal orang beriman dalam neraka dan orang kafir dalam surga
Al-Maturidi mengatakan, mengekalkan orang beriman dalam neraka dan orang kafir dalam surga tidak boleh menurut akal dan syara’. Adapun menurut al-Asy’ari, mengekalkan orang beriman dalam neraka dan orang kafir dalam surga boleh menurut akal, akan tetapi menurut syara’ tidak boleh.
Perbedaan pendapat ini juga didasarkan kepada perbedaan kedua imam besar ini dalam memahami al-husn wal qabhu di atas dan peran akal dalam bidang hukum. Al-Maturidi yang mengkaidkan akal dengan hukum yang tetapkan Allah dengan iradah-Nya, mengatakan mustahil pada akal, Allah mengekalkan orang beriman dalam neraka dan orang kafir dalam surga. Adapun al-Asy’ari yang melihat hukum Allah ditetapkan dengan iradah-Nya dan tidak diketahui hukum Allah itu dengan akal, maka beliau mengemukakan pendapatnya tentang masalah ini dari sisi pandang akal semata, meskipun menurut syara’ punya ketetapan yang berbeda. Karena itu, pandangan beliau tentang ini adalah pada diri sifat kekafiran, pahala dan azab tidak ada hubungan satu sama lainnya, demikian juga iman, pahala dan azab, hanya saja syara’ menentukan hubungan antara sifat kekafiran dengan azab dan sifat keimanan dengan surga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar